Sabtu, 17 Desember 2011

Sejarah Gereja Katolik St. Servatius dan Sejarah Umat Kampung Sawah (1)

Sepangkèng[1] Kisah Umat Katolik Kampung Sawah

“Seluruh jemaat, datanglah. Menuju altar Tuhan Allah. Alunkanlah lagu pujian. Kita puji kebesaranNya. Plak kedang dung plak plak plak kendang nyaring ditepak. Yang mengiring misa semua nyanyi riang…”

Lagu gerejawi bergaya betawi yang berjudul Seluruh Jemaat Datanglah[2] itu kerap bergema di sebuah gereja, di pelosok pinggir tenggara Jakarta. Kisah pergolakan iman umatnya begitu panjang, sejak Jakarta bernama Batavia. Ini kisahnya…

Kisah Tumbuhnya Benih Iman

Batavia yang lengang, tahun 1895. Engku[3] (guru) Nathanael, 50 tahun, menatap sebentar rumah kokoh di Lapangan Banteng yang disebut orang Rum[4] Katolik sebagai pastoran sekaligus keuskupan itu. Sebagai orang udik dari Kampung Sawah, 28 kilometer dari pusat Kota Batavia, ia pantas kagum, apalagi ketika ia sempat menengok Gereja Katedral yang megah. Ia banyak mendengar cerita dari para tetangganya tentang orang-orang Rum Katolik. Ia yakin, para tetangganya yang bekerja di pastoran dan di kompleks biara Ursulin di Postweg (kini Jalan Pos) dan Noordwijk (kini Jalan Juanda) telah bercerita tentang perselisihan kaum Protestan di Kampung Sawah. Perselisihan yang berbuntut pemecatan dirinya sebagai guru pembantu!

Diketuknya pintu pastoran yang merupakan tempat tinggal Monseigneur Walterus Staal S.J, Vikaris Apostolik Batavia. Ia menatap sebentar ke arah kawan-kawannya yang senasib dengannya. Mereka harus bertemu pastor Rum Katolik!

Seorang pastor Belanda yang berusia 40 tahun, Pastor Bernardus Schweitz, SJ, menemuinya. Engku Nathanael dan kawan-kawannya langsung menyatakan ingin menjadi Rum Katolik. Pastor Schweitz menatap mereka dengan bijaksana. Pastor yang telah 12 tahun bertugas di Flores, Lembata dan Sumba itu menyampaikan bahwa permohonan mereka akan dipertimbangkan, asal mereka bersedia mengikuti pelajaran khusus tentang ajaran Gereja Katolik.

Pastor Schweitz ingat bahwa selama ini para pegawai di pastoran yang berasal dari Kampung Sawah sering bercerita tentang pertengkaran saudara-saudara Protestan di kampung mereka. Lewat mereka, Pastor Schweitz tahu bahwa Engku Nathanael dan teman-temannya adalah 1 dari 3 kelompok jemaat Protestan yang saling bermusuhan. Pemahaman agama Kristen mereka pun masih sangat minim.

Permintaan Pastor Schweitz disetujui Engku Nathanael dan kawan-kawannya. Sebagai langkah pertama, pastor pun meminta kesediaan Bapak Suradi, yang tinggal di Kwitang-Kalipasir, untuk membuka pelajaran khusus bagi para warga Kampung Sawah yang ingin menjadi Katolik. Para katekumen pertama ini adalah Engku Nathanael, Tarub Noron dan Markus Ibrahim Kaiin. Ketiganya, sebelumnya telah menjadi guru injil jemaat Protestan. Selain itu ada Yosef Baiin dan Sem Napiun.

Tanggal 22 Juni 1896, Engku Nathanael pun dibaptis oleh Pastor Schweitz. Beberapa bulan kemudian, Pastor Schweitz pun berkelana, dari pastoran Katedral ia menggunakan kereta kuda sampai Kampung Melayu, lalu dengan menyewa seekor kuda melanjutkan perjalanan menembus rimba belantara, melewati tanah-tanah partikelir perkebunan yang becek ketika hujan sampai Kampung Sawah. Bila musim kemarau, perjalanan dapat ditempuh dalam waktu 4 jam. Akan tetapi bila hujan sudah turun, semua jalan kecil ke arah Kampung Sawah menjadi kubangan lumpur yang licin. Puncak kunjungan Pastor Schweitz adalah pada tanggal 6 Oktober 1896, ketika ia membaptis 18 anak Kampung Sawah. Inilah hari bersejarah, hari “kelahiran” umat Katolik Kampung Sawah.

Selanjutnya, Pastor Schweitz, yang tetap tinggal di pastoran Katedral, berkunjung ke Kampung Sawah sekali dalam satu-dua bulan. Pada tanggal 8 Desember ia datang lagi dan membaptis 3 anak. Mengingat umat yang mulai tumbuh, Pastor Schweitz pun berniat mendirikan gereja, maka dengan izin tuan tanah keturunan Cina dari Pondok Gede, Pastor Schweitz membeli sebuah rumah desa yang sebagian ditata bagi keperluan ibadat.

Tahun 1897, siaplah sebuah “gereja” gubuk yang sederhana. Gereja kecil seharga 70 gulden itu dapat menampung sekitar 50 umat. Engku Nathanael pun diangkat menjadi ketua stasi dan guru agama. Bersama guru pembantu bernama Markus Ibrahim Kaiin dibuka juga semacam sekolah bagi anak-anak kampung.

Ketika pada akhir tahun 1897 jumlah baptisan Katolik sudah mencapai 47 orang, Gubernur Jendral Hindia Belanda sempat menyatakan keberatannya, namun peringatan ini rupanya tak diindahkan oleh Pastor Schweitz. Terbukti, pada bulan Mei 1898 ia mempermandikan 10 orang lagi. Benih iman yang baru tumbuh belum lagi matang, Pastor Schweitz jatuh sakit dan harus cuti ke Belanda pada tahun 1898. Maka Pastor Edmundus Luypen, S.J, yang menggantikan Monseigneur W.Staal, SJ sebagai Vikaris Apostolik Batavia pun menunjuk Pastor A.Kortenhorst, SJ untuk menggantikan Pastor Schweitz.

Pastor A. Kortenhorst, S.J secara berkala membaptis umat Katolik Kampung Sawah dan melaksanakan Misa Kudus dengan menggunakan doa-doa bahasa Latin. Khotbah disampaikan dengan bahasa Indonesia bercampur Belanda yang kaku. Bila tak ada pastor, Engku Nathanael, dengan pemahaman iman Katolik yang masih seadanya, memimpin ibadat hari Minggu pagi dan mendoakan litani-litani yang dipetik dari Buku Pemimpin Serani. Pada tahun 1900 tercatat jumlah umat 78 orang.

Kisah Lunglainya Benih Iman di Kampung Sawah

Pada masa itu terdapat “artikel 177” dari Kitab Hukum Kolonial yang memberi kekuasaan kepada Gubernur Jendral untuk melarang setiap bentuk pengabaran Injil di antara golongan bumiputera, bilamana berpotensi memicu kerusuhan. Mengingat kesulitan yang baru dialami di Sulawesi Utara yang berkaitan dengan hukum tersebut, Monseigneur Luypen pun berinisiatif meminta izin resmi kepada Gubernur Jendral Rooseboom bagi pelaksanaan karya Gereja Katolik di Kampung Sawah. Meski di Kampung Sawah tidak ada kerusuhan, permintaan itu ditolak! Penolakan itu membuat hubungan antara umat Kampung Sawah dan para imamnya mesti dijalankan secara gelap. Bahkan, antara tahun 1902 sampai 1904, Gereja Katolik dilarang oleh pemerintah kolonial di Batavia untuk menyelenggarakan kegiatan di Kampung Sawah dan sekitarnya. Akan tetapi, di masa akhir pelarangan, justru pada 10 Agustus 1904, Pastor Kortenhorst sempat mempermandikan 19 umat Katolik Kampung Sawah.

Benih iman yang baru menggeliat, tiba-tiba lunglai ketika pada awal tahun 1905, Engku Nathanael sempat berurusan dengan polisi. Mengingat persoalan membesar, maka Engku Nathanael yang sebagai katekis dan guru digaji 15 gulden diberhentikan oleh Pastor Kortenhorst. Pemberhentian ini membuat iman Engku Nathanael goyah. Ia pun melirik pada ajaran Gereja Methodis yang pada saat itu mulai disebarkan dari Kota Buitenzorg (sekarang Bogor). Tahun 1906, Engku Nathanael terbujuk masuk Gereja Methodis. Tepat pada bulan Juni 1906, ia membawa sebagian besar umat Katolik Kampung Sawah untuk menyeberang ke Gereja Methodis. Penyeberangan ini diperkuat oleh jarangnya kunjungan pastor pada saat itu. Pada tahun ini, tercatat hanya Engku Markus lah, yang menggantikan Nathanael, yang bertahan dalam ketegaran iman Katolik. Catatan dokumentasi lunglainya iman Katolik di Kampung Sawah bisa dipaparkan sebagai berikut. Jumlah umat pada tahun 1906 mencapai 130 orang, dan pada tahun yang sama masih ada 4 orang yang dibaptis. Tahun 1907 meski ada tiga baptisan, akibat begitu banyak umat yang menyeberang, jumlahnya tinggal 34 orang, yang pada tahun yang sama merosot menjadi 15 orang. Tahun 1908 kosong, tahun 1909 dua, tahun 1910 kosong, tahun 1911 kosong, tahun 1912 – 1914 kosong, tahun 1915 dua, tahun 1916 – 1917 kosong. Kondisi ini diperburuk, ketika pada tahun 1917 Pastor Kortenhorst, S.J wafat pada usia 69 tahun.

Kampung Sawah yang Hampir Ditinggalkan

Setelah melewati petualangan berat menuju Kampung Sawah, di suatu hari pada tahun 1917 itu, Pastor A.Mathijsen, SJ yang telah berusia 59 tahun itu kaget sekali. Ia yang baru ditunjuk untuk menghidupkan kembali umat Kampung Sawah, hanya menemukan 1 keluarga Katolik, yaitu keluarga Pak Markus! Kampung Sawah telah diserahkan ke Paroki Kramat, paroki yang dikepalainya. Namun keadaannya begitu menyedihkan. Gereja “gubug” dan pastoran bahkan sudah tidak ada lagi. Telah dibongkar oleh umatnya sendiri, tanpa sisa!

Maka sekembalinya ia ke Kramat, ia menulis surat kepada Pastor Hoeberechts, superior Serikat Yesus di Indonesia, “Tidak mungkin berbicara lagi tentang misi Rum Katolik di Kampung Sawah. Kenyataannya ialah tinggal satu keluarga Katolik!”

Pastor Hoeberecht membalasnya, demikian, “Saya harap Pastor telah menyampaikan pendapatnya kepada Monseigneur. Kalau tidak, saya mohon dengan hormat supaya Pastor sudi mengabarkannya kepada Monseigneur. Monseigneur telah mempersalahkan para pastor Batavia menelantarkan kampung itu. Setelah menyampaikan pendapat, ikutilah petunjuk beliau. Sayang keadaan umat Katolik pribumi itu parah sekali, namun dengan mengeluh kita tidak akan maju. Sesudah berbicara dengan Monseigneur, Pastor mesti membuat yang sama dengan Pater Sondaal. Biar merekalah yang mengambil keputusan apakah pekerjaan di kampung itu akan diteruskan atau tidak!”

Surat Umat yang Menyelamatkan

Gereja Metodis mulai mendapatkan masalah di Jawa Barat. Saat itu jemaat Metodis Kampung Sawah memakai rumah seorang Katolik yang telah pindah ke aliran Methodis sebagai gedung gereja mereka. Sang pemilik rumah dan banyak jemaat lainnya meminta Pak Markus bersedia menjadi pemimpin ibadat, jika Gereja Metodis jadi angkat kaki dari Kampung Sawah. Mengetahui hal ini Pendeta Albers pun mulai mengunjungi Pak Markus untuk meyakinkannya tentang melesetnya ajaran Katolik.

Meski Pak Markus orang yang bersahaja dan kurang sekali pengetahuannya, ia tak mau mengalah. Maka terjadilah, Pak Markus, umat Katolik Kampung Sawah yang teguh, menjadi pemimpin di Gereja Metodis.

Dengan bangga, Pak Markus yang bersahaja itu mengabarkan kepada pastor di Jakarta, bahwa Gereja Katolik di Kampung Sawah mulai bersemi kembali. Namun akibatnya selama beberapa hari Minggu berturut-turut, upacara ibadat di gerejanya dikacaukan oleh gerombolan orang Kristen, yang dipimpin oleh dua orang guru agama. Salah satunya adalah Engku Benyamin Kadiman, guru sekolah di Desa Bojongrawalele. Mereka berhasil mengusir Pak Markus dari mimbarnya. Kelompok Markus mengadakan protes yang tegas, dan menang! Pak Markus bersama teman-temannya telah menabur lagi benih sejarah umat Katolik Kampung Sawah.

Pada masa itu juga, yaitu pada tahun 1920, Pastor Yoanes van der Loo, S.J ditunjuk sebagai pengganti Pastor Mathijsen. Pastor Yesuit Belanda berusia 48 tahun itu tinggal di Kramat dengan tugas khusus melayani umat Katolik Kampung Sawah. Pada saat itu kabar bahwa stasi Kampung Sawah mungkin akan ditinggalkan oleh Gereja Katolik, malah tercium oleh sejumlah warga. Mereka pun menyusun sepucuk daftar dengan 150 nama, disertai permohonan agar sekali sebulan pastor mau datang ke Kampung Sawah untuk merayakan Misa Kudus.

Situasi ini ditulis Pastor van der Loo di majalah Misi Yesuit, “Para Metodis telah memberhentikan usaha mereka dan menyerahkan para anggotanya kepada kaum Protestan. Namun hal itu tak jadi: orang-orang tidak mau menjadi Protestan, melainkan datang melapor kepada saya, ingin bersama-sama membentuk jemaat Katolik, disertai permohonan mendesak, agar pastor Katolik berkenan secara teratur memberi pelayanan rohani kepada mereka, pun pula menyediakan sebuah Gereja. Nah, kalau orang ingin menjadi Katolik, tidak berlebihan bila mereka minta seorang pastor dan sebuah tempat ibadah. Namun saya minta bukti kesungguhan hati mereka, maka saya mengusulkan supaya katekis, yang sudah ada sejak sekian tahun, kini mau mulai bekerja dengan benar dan supaya orang-orang yang bersikap tulus terhadap agama Katolik, akan menyuruh anak-anak mereka setiap hari mengikuti pelajaran agama.”

Pastor van der Loo yang menyukai berkarya penuh tantangan berharap mendapat izin dari atasannya untuk menetap di tengah umatnya. Sayang sekali, pimpinan Serikat Yesus tidak sependapat dengan Pastor van der Loo.

Engku Benyamin, dari Penyerang Menjadi Penuntun

Pastor van der Loo tak kenal menyerah untuk memperhatikan Kampung Sawah. Kebetulan ia bersahabat dengan Dokter Wis, bekas kepala sekolah Metodis di Singapura yang kini telah pindah ke Jakarta dan telah menjadi Katolik. Engku Benyamin Kadiman, yang di masa lampau pernah menyerang Pak Markus, pernah belajar di sekolah yang dipimpin oleh Dokter Wis di Singapura, maka ia kerap datang ke tempat praktik Dokter Wis di Pintu Air. Pastor van der Loo pun kerap bertemu dengan Engku Benyamin. Meski Benyamin masih menganut Protestan, namun ia telah menyatakan diri sebagai simpatisan Katolik. Maka ketika kesehatan Pastor van der Loo menurun, dan ia membutuhkan seorang kepala stasi Kampung Sawah yang berkepribadian kuat, ia pun mengangkat Engku Benyamin. Pak Markus, meski setia tapi dirasa kurang berwibawa untuk mendampingi umat yang makin bertambah. Engku Benyamin, yang pada saat itu masih menganut Protestan, dipilih menjadi penuntun umat Katolik Kampung Sawah. Ketika mengangkat Engku Benyamin, Pastor van der Loo sesungguhnya berharap ia masih mampu mendampingi asistennya itu, namun kesehatannya semakin menurut. Meski demikian, pada tahun 1921, umat yang dulu menyeberang ke Gereja Methodis, pulang ke pangkuan Gereja Katolik. Umat yang semula berjumlah 20, langsung melonjak menjadi 150. Setahun kemudian, Pastor Loo berhasil mengajak umat membangun gedung gereja kedua milik umat Kampung Sawah. yaitu sebuah gereja kecil yang dilengkapi sebuah menara, di tanah persawahan, di lokasi gereja sekarang.

Akan tetapi, sebelum gereja selesai, ia harus kembali ke negeri asalnya karena sakit.

Pengganti Pastor van der Loo adalah Pastor van Driel, S.J, pastor yang masih berusia 39 tahun. Ia diserahi tugas membina Kampung Sawah dari Paroki Matraman. Monseigneur A.van Velsen, Vikaris Apostolik Batavia yang baru memang telah memutuskan bahwa untuk melayani Kampung Sawah, pastor sebaiknya tinggal di Matraman yang lebih dekat letaknya.

Urusan keseharian dan pelayanan rutin di daerah Kampung Sawah ditangani sepenuhnya oleh Engku Benyamin, yang bersama semua anaknya dibaptis dalam Gereja Katolik pada tahun 1923. Sebagai kepala stasi, Engku Benyamin telah memberi teladan yang baik, ia berhasil dalam mempertahankan jumlah dan mutu umat Kampung Sawah.

Pastor van Driel, S.J dan Sepedanya

Suatu hari di tahun 1922. Matahari pagi baru tersenyum, sesaat setelah hujan yang baru saja berhenti. Inilah saatnya kunjungan ke Kampung Sawah. Dengan jubah hitamnya, Pastor Y.van Driel, SJ langsung mengayuh sepedanya dari pastoran Matraman. Ia harus menempuh jarak 22 kilometer menuju perkampungan becek dan licin. Ia menuju stasiun Manggarai. Di sini telah menunggu kereta bumel yang akan membawanya ke Stasiun Depok. Pastor muda ini langsung menumpangkan sepedanya di gerbong bagasi.

Kereta api pun bergerak lambat, berhenti setiap 3 kilometer untuk menaikkan penumpang. Pastor yang sebelumnya telah bertugas selama 4 tahun di Tomohon dan Kendari itu menatap sawah-sawah yang menghijau sambil mendaraskan doa-doa harian, memuji keagungan Tuhan. Sesampainya di Stasiun Depok, ia langsung mengayuh sepedanya ke arah timur, menyusuri hamparan persawahan. Setelah beristirahat di warung untuk menghirup kelapa muda segar, Pastor van Driel pun menyusuri hutan karet di Kampung Cibubur. Ada sebuah situ yang indah. Ia meneruskan perjalanannya di jalan yang sangat licin akibat basah hujan di Pondok Ranggon Udik. Dari sini ia meneruskan perjalannya ke arah Perkebunan Pondok Gede. Ia pun sampai di Kampung Ganceng, hmm tinggal melewati tiga legok persawahan sampai Kampung Pabuaran.

Sesaat Pastor Driel berhenti sejenak ketika mendengar anak-anak menyanyikan mantera ceria berulang-ulang sambil menjepitkan batang padi yang sudah direnggangkan di bibir bagian bawah mereka, “Pang-ping, pang-ping kelabang lagi bunting, diantup kalajengking terjungkang jungking…”

“Ah, mereka sedang main gogolio!” gumam Pastor Driel.

Beberapa umat Katolik menyapanya, meminta mampir, namun ia harus tiba di pastoran lebih dulu, atau tepatnya ke sebuah bilik yang bersebelahan dengan dinding papan altar gereja.

Sesampai di pastoran, setelah beristirahat dan menjemur jubah hitamnya, ia siap menunggu kepala stasi. Betul saja, tak lama kemudian, Engku Benyamin Kardiman menghadap beliau. Engku Benyamin langsung berkeliling mengajak orang menghadiri pelajaran agama oleh pastor. Sesaat kemudian para tamu bermunculan, sebagian besar ingin minta obat, pekerjaan, uang, pinjaman dan pakaian. Tak banyak yang minta siraman rohani, kecuali pasangan-pasangan yang minta perkawinannya diberkati saat pastor datang lagi nanti. Malamnya, Pastor diantar Engku ke gubuk seorang uwak untuk menerimakan Sakramen Pengurapan.

Pagi hari, saat matahari mulai mengintip dari pepohonan Kampung Pedurenan di sebelah timur gereja, Pastor pun mempersembahkan Misa Kudus dalam bahasa Latin. Sebelum misa, ia sempat teringat kejadian ketika ia mempersembahkan misa seminggu setelah Paskah, dan umat dengan sangat lambat menyanyi, “Malam Kudus, Sunyi Senyap…”. Ah, sambil tersenyum ia menghalau rongo-rongo[5]. Pastor siap memulai Misa Kudus.

Sampai tahun 1930, Pater van Driel, SJ berusaha melayani Kampung Sawah. Lalu digantikan oleh Pater Lunter OFM. Pada tanggal 6 Mei 1930, Pater Lunter OFM diantar oleh pater van Driel, SJ ke Kampung Sawah dan diperkenalkan kepada umat setempat. Pengabdian Yesuit selama 34 tahun di lingkungan Kampung Sawah tidak berlangsung gemilang, namun dedikasi dan pengorbanan para pater Jesuit misionaris patut dikenang penuh rasa syukur. (Bersambung...)

[1] Sepangkeng: Pangkeng adalah tempat menyimpan beras,dan berbagai kebutuhan pokok yang penting. Pangkeng biasanya ada dalam bagian rumah dan tempatnya dianggap khusus.
[2] Karya Marsianus Balita.
[3] Sampai zaman Jepang para guru di daerah Kampung Sawah disapa dengan kata Engku, tapi kemudian kata itu diganti menjadi Bapak Guru.
[4] Maksudnya Roma Katolik.
[5] sejenis serangga kecil yang pada musim pohon rambutan berbunga suka mengitari kepala manusia

Sumber : http://servatius-kampungsawah.org/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar