Jumat, 02 Maret 2012

Sejarah Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Pugeran

Pada awalnya

Tercatat dalam sejarah Gereja-gereja Katolik DIY bahwa sampai dengan tahun 1925, di kota Yogyakarta hanya ada satu gereja Katolik, yaitu gereja Santo Fransiscus Xaverius. Gereja ini terletak di sebelah selatan rumah (loji) orang-orang Belanda serta Kampemen Straat, sehingga gereja tersebut dikenal dengan nama gereja Kidul Loji. Kemudian pada zaman Jepang, nama Kampemen Straat diganti menjadi jalan Secodiningratan. Perkembangan lanjut, akhir tahun 1950-an, jalan Secodiningratan diganti menjadi jalan Senopati, sehingga gereja Santo Fransiscus Xaverius juga dikenal dengan nama gereja Senopati.

Umat gereja Santo Fransiscus Xaverius ini hanya orang-orang Belanda yang beragama Katolik sedangkan orang-orang Jawa Katolik dilarang memasuki gereja ini, kecuali para misdinar yang sedang bertugas. Padahal makin hari sedikit demi sedikit orang-orang Jawa memeluk Katolik. Untuk itu, di sebelah timur gereja Santo Fransiscus Xaverius didirikanlah sebuah geraja baru yang diberi nama gereja Santo Yusup.

Gereja Santo Yusup digunakan untuk ibadat umat Katolik Jawa dengan pengantar bahasa Jawa. Apalagi berkat jasa Rm. van Driessche SJ, yang tekun belajar bahasa Jawa, maka misa kudus di gereja Santo Yusup senantiasa dipersembahkan dengan pengantar bahasa Jawa. Kondisi ini menjadikan banyak orang Jawa tertarik untuk menjadi pengikut Kristus. Akibatnya, gereja Santo Yusup yang kecil dan sifatnya sementara, ternyata tidak dapat menampung seluruh umat yang datang untuk beribadat.

Untuk menampung banyaknya umat dan sebagai wadah untuk memperluas Pasamuwan Suci, maka didirikanlah secara berturut-turut beberapa gereja, yakni gereja Santo Antonius di Kotabaru (1926), gereja Santo Yusup di Bintaran (1934) sebagai pengganti gereja Santo Yusup Secodiningratan, dan juga pada tahun yang sama (1934) gereja Hati Kudus Tuhan Yesus di Pugeran.

Gereja Jawa

Gereja Pugeran dibangun di atas tanak milik beberapa penduduk yang dibeli oleh suatu yayasan misi di Yogyakarta yang bernama Yayasan Papa Miskin. Pembelian tanah ini diatasnamakan kepada Rm.A.Djajasepoetra, SJ. Tanah tersebut terletak di sebelah timur jalan Suryaden, yaitu jalan antara Pojok Beteng Kulon dan Bantul dan dikenal dengan nama Pugeran.

Pada tanggal 5 November 1933 diadakan upacara peletakan batu pertama pembangunan gereja Pugeran. Upacara tersebut dipimpin Rm.Rietra SJ – saat itu bertugas di gereja Santo Fransiscus Xaverius di Secodiningratan (Kidul Loji) – dan didampingi Rm.de Kuyper SJ, dan Rm. A.Soegijapranata SJ serta dibantu oleh seorang awam L.Jama Sastrowinoto.

Gereja ini dibangun dengan corak Jawa, kombinasi antara joglo dan candi, dengan seorang arsitek J.Th.van Oyen. Kombinasi joglo dan candi merupakan ciri khas rumah-rumah orang Jawa. Gereja ini dibangun di tengah-tengah masyarakat Jawa dan diharapkan menonjol dengan coraknya yang njawani, sehingga komunikasi dan penyesuaian dengan masyarakat yang ada di sekitar gereja akan lebih lancar.

Suatu saat, datanglah hari yang paling dinantikan, yaitu hari Minggu Pon 8 Juli 1934, gereja Pugeran diberkati. Iring-iringan misdinar dan para romo konselebran berjalan menuju pintu utama gereja (sebelah barat). Ditandai dengan penyerahan kunci, dari kontraktor van Oyen kepada Rm.van Kalken. Selanjutnya romo memberkati gereja dan pastoran, yang diawali dengan memberkati pintu utama gereja, lalu berjalan ke arah kanan dan seterusnya mengelilingi bangunan sampai selesai. Di atas pintu utama gereja tertulis Ad Maiorem Dei Gloriam, yang artinya: “Demi kemuliaan Tuhan yang lebih besar”. Kalimat ini dapat dimaknai sebagai masuknya seni budaya ke dalam Gereja, suatu seni budaya yang dapat diajak kompromi dalam karya kerasulan Gereja.

Misa konselebrasi itu dipimpin oleh Rm.A.Van Kalken SJ, dengan diakon Romo Rektor Xaverius Muntilan, dan subdiakon Rm.A.Sukiman Prawirapratama SJ. Yang menarik adalah sambutan Rm.Sukiman dalam bahasa Jawa antara lain: “Gereja Tyas Dalem ing Pugeran punika awangun joglo ingkang sentosa, kasanggi saka guru sekawan. Punika saged dipun tegesi bilih piwulang Dalem Gusti Yesus punika dipun sanggi dening rasul sekawan ingkang dados juru Injil, inggih punika: Santo Mateus, Santo Markus, Santo Yohanes lan Santo Lukas”. Juga, sambutan terakhir dari Rm.Djajasepoetra SJ – romo paroki yang pertama – antara lain juga memberikan makna empat saka guru gereja itu, yakni melambangkan empat sikap kejawen yang mendukung pengabdian manusia kepada Tuhan. Keempat sikap itu adalah: (i) Gotong royong, (ii) Saling menghormati, (iii) Saling mengingatkan atau memaafkan, dan (iv) Rasa manunggal.

Pemberkatan gereja ini dipersembahkan kepada Hati Kudus TuhanYesus, sebagai ungkapan dan rasa syukur karena Tuhan berkenan melimpahkan kasihNya kepada ordo Serikat Yesus genap 75 tahun berkarya di Indonesia. Atas kemurahan-Nya pula, pada saat itu umat dikaruniai sebuah gereja dan pastoran di Pugeran. Gereja yang memiliki pelindung Hati Kudus, dimaksudkan agar menjadi tanda untuk selalu berterima kasih atas rahmat dan karuniaNya, dan untuk selalu mohon berkat dan perlindungan-Nya bagi masa depan.

Oleh sebab itu, di depan gereja ditempatkan patung Hati Kudus Tuhan Yesus yang besar. Sebuah patung Tuhan Yesus sedang mengulurkan tangan dan memberi berkat kepada setiap orang yang datang. Di bawah patung terpahat rangkaian kata-kata indah Iya Ingsun Karahayonira. Ketika masuk ke dalam gereja akan terlihat rangkaian tulisan cukup besar yang terletak di atas altar Salus Vestra Ego Sum. Artinya, “Akulah Keselamatanmu”. Demikian sabda Yesus: “Marilah kepadaKu, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu” (Mat 11:28). Sesungguhnya rangkaian kata-kata Iya Ingsun Karahayonira ini merupakan hasil pemenang sayembara menerjemahkan Salus Vestra Ego Sum. Pemenangnya adalah N. Suhirman, siswa seminari menengah di Yogyakarta. Selanjutnya Suhirman dikenal sebagai Driyarkara, pastor Jesuit sekaligus doktor filsafat yang sangat berjasa dalam perkembangan filsafat di Indonesia.

Semangat Perjuangan di Masa Perang Kemerdekaan

Penjajah silih berganti. Pemerintah Hindia Belanda menyerah, lalu datanglah bala tentara Jepang. Apa yang terjadi? Ketika itu Rm. Reksaatmodjo,SJ mendapat tugas di gereja Pugeran, menggantikan Rm.A.Djajasepoetra SJ– romo pertama di paroki Pugeran – yang dipindah tugas ke Kolose Ignatius Kotabaru. Namun malang nasib Romo Reksa. Ia ditangkap tentara Jepang pada 10 Juli 1942 lalu disiksa.

Selang waktu berikut, Jepang pergi, tapi Belanda datang lagi dengan membonceng tentara Sekutu. Pada 11 Desember 1948 Belanda memutuskan perjanjian dengan Indonesia. Dan terjadilah agresi militer kedua, atau akrab disebut “Clash Kedua”. Sekitar seminggu lebih atau tepatnya 19 Desember 1948, tentara Belanda mengebom Bandara Maguwo. Kota Yogyakarta menjadi lumpuh.

Pada hari itu juga, banyak orang mengungsi menuju ke arah selatan dari kota Yogyakarta. Jadilah halaman gereja Pugeran penuh dengan para pengungsi. Namun ngerinya, ternyata tentara Belanda sudah menguasai kawasan Pojok Beteng Kulon, sementara itu rumah-rumah sebelah selatan Pojok Beteng Kulon telah dibakar.

Romo A. Sandiwan Brata Pr. terpanggil hatinya untuk melindungi dan mengayomi para pengungsi. Ia mengusahakan obat-obatan dan makanan bagi para pengungsi, merawat yang terluka dan sakit. Sementara itu, di jalan depan gereja Pugeran tampaklah mayat-mayat bergelimpangan. Romo Sandiwan amat berani menanggung risiko. Beliau mengambil mayat-mayat itu lalu menguburkan secara layak. Tak ketinggalan Romo Sandiwan melangkah ke luar gereja, yakni menjamin keamanan dan kesejhateraan para pengungsi yang berada di Dalem Condronegaran. Walau situasinya gawat, dan sudah berulangkali Romo Sandiwan ditangkap tentara Belanda, toh beliau dibebaskan – berkat keteguhan imannya.

Akhirnya, pada tanggal 29 Juni 1945 tentara Belanda ditarik dari kota Yogyakarta. Keadaan mulai tenang. Para pengungsi di gereja Pugeran dan Dalem Condronegaran kembali ke rumah masing-masing. Peranan gereja Hati Kudus Tuhan Yesus dalam memperjuangkan negara dan bangsa Indonesia – khususnya masa perjuangan fisik 1948-1949 - diabadikan pada monumen Pesta Emas berupa prasasti. Monumen dan prasasti dibangun di depan gereja, tepatnya di belakang patung Hati Kudus Tuhan Yesus. Monumen tersebut diresmikan oleh Wakil Gubernur DIY Sri Paku Alam VIII dan Uskup Agung Semarang Mgr. Julius Darmaatmadja SJ, bertepatan dengan 50 tahun Pesta Emas Gereja Pugeran.

Prasasti itu berbunyi: “Di bawah naungan Hati Kudus Juru Selamat Kristus para pastor beserta umat paroki Pugeran dengan penuh bakti serta syukur memperingati hari ulang tahun ke-50 Gereja Hati Kudus tercinta ini; khususnya dengan kenang-kenangan bahagia bahwa pada hari-hari yang paling gelap penuh derita 19 Desember 1948 – 19 Juni 1949 selama Perang Kemerdekaan Republik Indonesia tempat ini telah menjadi pengungsian dan perlindungan bagi penduduk tak bersalah di sekitar gereja Pugeran dan merupakan tempat penghubung rahasia pula antara para pejuang gerilyawan Perang Kemerdekaan Republik Indonesia yang bergerak di dalam dan di luar kota Yogyakarta”.

Peristiwa meletusnya pemberontakan G30S/PKI cukup mendebarkan umat paroki Pugeran. Mengapa? Ada perang urat syaraf bahwa gereja akan dibakar. Para romo dan tokoh Katolik akan diculik dan dibunuh, dan sebagainya. Kaum muda Katolik senantiasa stand by menjaga gereja. Selain itu, peminat pelajaran agama Katolik meningkat. Ketika itu tercipta kondisi yang membuat masyarakat takut dicap PKI, karena tidak secara nyata memeluk agamanya. Namun warga gereja justru semakin berhati-hati dalam bertindak, karena PKI mengadakan penyusupan ke dalam kelompok masyarakat yang beragama.

Tradisi Nawa Brata

Ada tradisi bagi masyarakat Jawa di Yogyakarta dan sekitarnya, untuk mengadakan tirakatan atau renungan pada hari-hari tertentu, misalnya malam Selasa Kliwon, malam Jumat Kliwon, malam 1 Sura, dan sebagainya. Hal-hal seperti ini juga dilakukan oleh sebagian umat Katolik yang masih melestarikan tradisi leluhurnya, misalnya pada malam 1 Sura memutari benteng kraton Yogyakarta.

Gereja Pugeran pernah mengadakan malam renungan Nawa Brata pada tahun 1972. Kata Nawa Brata berasal dari bahasa Jawa, yaitu Nawa berarti sembilan, dan Brata berarti langkah atau tahap (bahasa Jawa: lampah). Setiap langkah diadakan setiap malam Jumat Kliwon mulai pukul 22.00 WIB pada bulan Sura, dan setelah sampai tahap kesembilan lalu berhenti. Selanjutnya pada bulan Sura dimulai lagi tahap pertama, dan seterusnya.

Nawa Brata ini dilaksanakan dalam bentuk Ibadat Sabda, namun pada langkah pertama dan langkah kesembilan dibuka dan ditutup dengan Misa Kudus. Perayaan Ibadat Sabda maupun Misa Kudus disampaikan dalam bahasa Jawa, diiringi gending dan macapat, dan seluruh petugas berbusana Jawa lengkap.

Dalam suasana hening, Romo atau Prodiakon mentahtakan Sakramen Maha Kudus di atas tabernakel. Tema tiap langkah dibuat berurutan dari langkah pertama sampai dengan langkah kesembilan; dan semuanya diambil dari Kitab Suci. Bacaan-bacaan Kitab Suci setelah dibacakan, kemudian dilagukan dalam tembang macapat. Syair macapat digubah oleh kaum awam, antara lain tokoh penggubahnya adalah C.Sosroatmojo dan Katidjo Wiropramoedjo.

Seusai komuni diterimakan, malam renungan Nawa Brata ditutup dengan Doa Penutup. Kemudian Sakramen Maha Kudus yang semula ditahtakan di atas tabernakel, dimasukkan kembali ke dalam tabernakel.

Peminat tradisi Nawa Brata ini sebagian besar kalangan kasepuhan, yang ingin merenung dan berdoa dalam suasana hening. Sekarang refleksinya: mengapa tradisi Nawa Brata ini tidak pernah terdengar lagi? Mungkinkah dihidupkan kembali dengan melibatkan kaum muda?

Jelang Hari Esok

Wilayah paroki Pugeran mempunyai luas sekitar 6.400 hektar atau 64 km2. Di sebelah utara berbatasan dengan paroki St.Fransiscus Xaverius Kidul Loji; sebelah timur berbatasan dengan paroki St.Yusup Bintaran; sebelah selatan berbatasan dengan paroki St.Yakobus Rasul Bantul; dan sebelah barat berbatasan dengan paroki St.Maria Assumpta Gamping.

Mengingat begitu luasnya wilayah paroki Pugeran, maka untuk mempermudah pelayanan kepada umat dibagi menjadi kring-kring. Semula – sejak berdirinya – paroki Pugeran terdiri dari 10 kring, yakni Kring I sampai dengan Kring X. Setiap kring dipimpin oleh Ketua Kring. Pada tahun 1972 diadakan penataran pamong kring se Kotamadya Yogyakarta antara lain menentukan syarat-syarat untuk dipilih menjadi Ketua Lingkungan.

Untuk membantu Romo dalam menggembalakan umat, maka dibentuk Dewan Paroki, dan juga di lingkungan dibentuk Pengurus Lingkungan. Sedangkan untuk memperlancar pelaksanaan tugas, beberapa lingkungan digabungkan menjadi satu sektor. Paroki Pugeran membawahi empat sektor, yakni: (i) sektor gereja Pugeran, (ii) sektor gereja Brayat Minulyo, (iii) sektor Kraton, dan (iv) sektor Padokan. Setiap sektor dipimpin oleh seorang Ketua Sektor.

Pada tahun 1958,dari 10 kring yang ada dikembangkan menjadi 16 kring. Selanjutnya jumlah kring semakin berkembang, dan pada tahun 1972 jumlah kring menjadi 28 kring. Pemberian nama kring tidak lagi menggunakan angka romawi, namun diganti dengan nama kampung induknya. Dua tahun berikutnya, yaitu th. 1974, bertepatan dengan Panca Windu Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus, jumlah kring/lingkungan telah berkembang menjadi 30 kring/lingkungan.

Selanjutnya, epuluh tahun kemudian, th. 1984, bertepatan dengan Pesta Emas Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus, jumlah lingkungan menjadi 32 lingkungan. Menjelang perayaan Pesta Emas itu, Dewan Paroki Pugeran menyelenggarakan sensus umat. Hasilnya jumlah umat se Paroki Pugeran sebanyak 9.784 jiwa terdiri atas 4 sektor, yakni: (i) Sektor Gereja (14 lingkungan) sebanyak 4.331 jiwa; (ii) Sektor Kraton (8 lingkungan) sebanyak 1.866 jiwa; (iii) Sektor Padokan (4 lingkungan) sebanyak 1.336 jiwa; dan (iv) Sektor Wirobrajan (6 lingkungan) sebanyak 2.251 jiwa.

Ketika Rm St. Suhartono Pr (1986-1989) dan Rm. J. Hadiwikarta Pr. (1989-1991) berkarya di paroki Pugeran, nama sektor diubah menjadi wilayah, dan jumlah lingkungan pun bertambah. Kemudian pada masa karya Rm.H. Natasusila (1991-1994) jumlah lingkungan terus berkembang menjadi 45 lingkungan, terbagi dalam 7 wilayah dan 1 stasi. Adapun wilayah dan stasi tersebut sebagai berikut: (i) Wilayah Kraton, (ii) Wilayah Gereja Barat, (iii) Wilayah Gereja Tengah, (iv) Wilayah Gereja Timur, (v) Wilayah Padokan; (vi) Wilayah Wirobrajan; (vii) Wilayah Gunung Sempu, dan (viii) Stasi Bangunharjo.

Dewasa ini pada usianya 72 tahun, jumlah lingkungan menjadi 52 lingkungan, dan jumlah umatnya sebanyak 11.411 jiwa (tahun 2005). Uniknya, sesungguhnya gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Pugeran ini memiliki 4 gereja wilayah sebagai berikut:

1. Gereja Santo Yusup Padokan, berdiri di atas tanah sekitar 1.000 m2 atas “sumbangan” PG Madukismo. Untuk pertama kalinya Misa Kudus dipersembahkan Rm.A.Wignyomartoyo Pr di gereja ini pada Minggu Kliwon, 6 Juni 1971. Dan, hari itu dinyatakan sebagai hari jadi Gereja Santo Yusup Padokan.

2. Gereja Brayat Minulyo Wirobrajan, berdiri di atas tanah seluas 840 m2 atas persembahan keluarga JP Poedjosubroto. Gereja ini memaknai spiritualitas Keluarga Kudus, yang diberkati Mgr.Julius Darmajuwono pada 12 Juli 1980.

3. Gereja Santo Martinus Bangunharjo, berdiri di atas tanah hibahan dari keluarga Martinus Darmoyuwono. Misa pemberkatan dipersembahkan Rm.JM Harjoyo Pr pada Minggu Pantekosta, 30 Mei 1982.

4. Gereja Salib Suci Gunung Sempu, berdiri di atas bukit seluas 1.295 m2, dengan pelindung Salib Suci. Diberkati Mgr.Julius Darmaatmadja SJ pada 20 Mei 1990.

Bertitik tolak pada PDDP-KAS 2004 (Pedoman Dasar DewanParoki – Keuskupan Agung Semarang) menyebutkan pengertian lingkungan (pasal 1) bahwa lingkungan adalah paguyuban umat beriman yang bersekutu berdasarkan kedekatan tempat tinggal dengan jumlah antara 10-50 kepala keluarga. Lalu penjelasannya, bila jumlah kepala keluarga dalam lingkungan lebih dari 50, lingkungan harap dimekarkan menjadi lebih dari satu lingkungan. Implikasinya, umat bersama Dewan Paroki telah mengadakan pemekaran Lingkungan dan Wilayah.

Data terakhir terhitung mulai tanggal 1 Nopember 2006, Paroki Hati Kudus Tuhan Yesus Pugeran memiliki 78 Lingkungan yang tercakup dalam .... .. wilayah (data masih menunggu).

Akhirnya, semoga Hati Kudus Tuhan Yesus yang menjadi pelindung paroki kita ini, sungguh menuntun dan mendampingi perjuangan kita. Berkah Dalem. ***

Sumber : http://historiadomus.multiply.com/
Gambar : http://baitallah.wordpress.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar