Rabu, 23 Mei 2012

Paroki Santo Paulus Wonosobo

Paroki St. Paulus Wonosobo terletak di jalan raya Wonosobo-Dieng, + 500 m sebelah utara alun-alun Wonosobo. Konon, lantaran tidak mempunyai lahan yang cukup memadai untuk ruang pertemuan, maka pada tahun 2003 diadakan renovasi pastoran yang tepat berada di belakang Gereja. Lantai bawah digunakan sebgai aula dan pastoran menggunakan lantai kedua. Pengaturan semacam ini semakin membuat indah pemandangan sekitar Gereja. Apabila kita lihat dari depan kita akan melihat pemandangan bangunan gereja “Joglo Pangrawit Ceblokan.”

A. Sekelumit Sejarah

Beberapa tanggal penting dalam sejarah paroki Wonosobo :

9 Agustus 1932 : Rm. Dr. C Damman MSC datang ke Wonosobo– ditetapkan sebagai hari jadi paroki Wonosobo.

Minggu, 9 Desember 1934 : gedung gereja baru diberkati oleh Mgr. Visser MSC

Tahun 1937 : para suster Darah Mulia menetap di Banjarnegara (sebelah utara makam pahlawan sekarang) dan mulai berkarya pada sebuah sekolah di sebelah utara yang sekarang menjadi gereja.

7 Februari 1939 : cita-cita Mgr. Visser MSC terwujud dalam sebuah Lembaga Anak Tuna Rungu di bawah asuhan para suster PMY diberkati.

8 April 1940 : Rm. Dr. Damman MSC pindah tugas menjadi pastor pertama ”paroki” banjarnegara dengan tugas khusus tetap memperhatikan pendidikan agama anak tunarungu di Wonosobo.

1942 : semua pastor, bruder, dan suster yang berasal dari negeri Belanda diinternir oleh Jepang. Sehingga Keuskupan Purwokerto hanya mempunyai seorang pastor pribumi yaitu Rm. Th. Padmowidjojo MSC yang pada tahun 1945 mulai menetap di Wonosobo

22 Desember 1948 : sehabis misa pagi gedung gereja di bom oleh Belanda, sakristi dan pastoran rusak berat. Karena dikhawatirkan Belanda akan menduduki kota Wonosobo, maka gedung SR pius dibumihanguskan oleh tentara Indonesia.

8 Desember 1955 : Bruder-bruder Caritas (FC) mendirikan karya pendidikan bagi anak-anak tunarungu bagian putra yang kemudian dikenal dengan SLB/B Don Bosco

Beberapa Pastor yang pernah berkarya di wonosobo

1932-1969 : C Damman MSC (1932-1940), J. Burger MSC, B. Kockelkoren MSC, A. Belderok MSC, H. Mannesse MSC, A. Grootveld MSC, W.Switzar MSC, W. Zeegers MSC, Th. Padmowidjojo MSC, P. Van Bilsen MSC, H. Obbens MSC, Th. Tangelder MSC (1953-1957; 1961-1976), Putu Hardjono MSC, J. v.d Pas MSC, M. Pasquarelli MSC, A. Wahyabawana Pr, H. Westerkamp MSC.

1969-1990: P. Rozemeijer MSC (1969-1991), Reksowardojo MSC, T. Wigyosoemarto MSC, W. Kintrup MSC, Al. Sukirdi MSC (2004-2006 jg), Ign. Hadisiswaya MSC (1999-2001, Rb. Siswowiyana MSC (1996-1999 juga), ST. Sumpono MSC, Y. Sumarsono MSC, A. Ardiatmono MSC.

1990-2007: Untung MSC, Sujono MSC, Paul Hendro Pr, Widi Hargono MSC, Suparmanto MSC, Siswanto MSC, Lasono W MSC, Soekmana MSC (sekarang).

B. ”Joglo Pangrawit Ceblokan”

Kendati telah mengalami renovasi beberapa bagian dalam Gereja dan Pastoran tahun 2003 lalu, tapi bentuk bangunan gereja yang nampak saat ini tetaplah berbentuk Joglo, lebih khusus disebut gereja ”Joglo Pangrawit Ceblokan yang dibangun antara tahun 1980-1984. Bentuk Joglo Pangrawit Ceblokan pada hakekatnya menggambarkan ”Wujud lain yang otentik dan asli” dari ide rahim. Rahim adalah perwujudan di alam Hindu dan kebatinan merupakan suatu gua yang gelap, dimana orang sering bersemedi di dalamnya. Inti bait Hindu di India juga disebut Garbha Griha, rahim kediaman. Dengan kata lain, melalui bentuk ini, gereja Wonosobo dimaknai sebagai sebuah rahim, sumber kehidupan tempat benih rahmat diterima. Lebih daripada itu, di dalam rahim juga bersemayam kehidupan, sebuah kehidupan baru yang serba tergantung dari Ibunya. Makna ini hendak mengajak mereka yang memasuki gereja ini untuk merasakan suasana sebuah kehidupan yang masih baru, damai dan bergantung sepenuhnya kepada yang illahi.

Lain daripada itu, bentuk bangunan Joglo Pangrawit Ceblokan juga mengisyaratkan makna inkulturasi, dimana Gereja mau mendekatkan diri dengan budaya jawa (mataraman) sebagai budaya yang dominan. Hal ini perlu dimaklumi, karena kendati paroki Wonosobo terletak di keuskupan Purwokerto yang dominan dengan budaya banyumasan, tetapi Wonosobo merupakan eks-karisidenan kedu dan sebagian besar penduduknya pun merupakan pendatang dari wilayah timur Jateng (yogya dan sekitarnya). Maka,tak heran kalau budaya yang dominan adalah budaya mataraman yang bahasa sehari-harinya merupakan bahasa campuran antara banyumasan dan mataraman.

C. Sejumlah Data Sekarang

1. Batas-batas wilayah

Ø Utara : Paroki Banjarnegara ( stasi cemara), Paroki Temanggung ( stasi wates)
Ø Timur : Paroki Kapencar (Kertek)
Ø Selatan : Paroki Kebumen
Ø Barat : Paroki Banjarnegara

2. Regional

Ø Jumlah lingkungan :14

i. Utara: Garung, Manggisan, Bugangan, Longkrang, Kauman (paroki)
ii. Timur: prajuritan, sidojoyo, ngasinan,
iii. Barat: sumberan, sambek, punthuk
iv. Selatan: Jl. Madya (pecinan), Sudagaran, Tosari, Tw. Sari

Ø Jumlah stasi : 8

i. Utara (lereng sindoro) : Buntu,
ii. Timur : Giyanti, Pucung Pandak,
iii. Selatan : Selomerto, Kaliwiro, Wd. Slintang, Grugu, Lamuk

3. Kategorial

Ø Organisasi Kategorial Gereja : PPA, Mudika, WK, Wara Kawuri, Dionisia, Koor St. Paulus,
Ø Pendidikan : TK-SD Pius (PBHK), SMP Bhakti Mulia (PMY), SLB/B Don Bosco (FC), SLB/B Dena Upakara (PMY), pra-TK Indriasana (WK).

4. Data umat (seturut rasa perasaan dan pengamatan selama ini-tanpa sumber resmi)

Sebagian besar umat paroki Wonosobo adalah orang jawa-pendatang-bukan asli Wonosobo yang memilikki latar belakang sebagai guru dan pegawai negeri sipil. Sebagian kecil lainnya adalah orang Tionghoa yang suka berdagang dan bisnis. Maka, dalam kepengurusan paroki, unsur birokratis amat kuat tetapi dukungan materiil juga cukup kuat karena mulai masuknya beberapa saudara/i Tionghoa dalam kepenguruan Dewan Paroki sekitar tahun 2000. Bahkan sekarang -kalau belum diganti- ketua Dewan bidang I juga dijabat oleh orang Tionghoa (Bp. Heru Kristianto).

5. Panggilan

Imam : 2 orang
Calon Imam : 4 orang
Suster : lebih dari 2 orang

Sumber : http://uniokecilpwkt.wordpress.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar