Rabu, 27 Juni 2012

Sejarah Gereja Paroki Santo Martinus Weleri

SEJARAH GEREJA PAROKI SANTO MARTINUS WELERI
Sampai Tahun 2007


1. BERMULA DARI GEDANGAN

Gedangan! Satu kata ini tidak boleh dilupakan bila orang mau memperbincangkan sejarah paroki Weleri. Untuk merunut sejarah, perlulah melihat sejarah awal Gereja mulai dari Gedangan, Semarang. Gedangan adalah ibu dari Gereja-Gereja Katolik di Jawa Tengah dan sekitarnya. Bermula dari Gedangan, lahirlah “anak paroki”, “cucu paroki”, “buyut paroki”. Paroki Weleri adalah “anak” paroki Gedangan – Semarang.

Pada akhir tahun 1808, dengan beslit dari G.G Daendels, pastor Lambertus Prinsen, Pr asal Belanda diangkat sebagai pastor di Semarang.[1] Ia hanya diberi wewenang untuk berkarya di antara orang-orang Eropa. Daendels merupakan Gubernur General yang memiliki kekuasaan tertinggi dan bertindak atas Kerajaan Belanda. Pemerintahannya turut mencampuri urusan intern Gereja Katolik, termasuk mengangkat dan membatasi kewenangan pastor yang bertugas di Indonesia. Meskipun dibatasi, jangkauan karya pastor Prinsen, Pr luas menyentuh daerah-daerah seperti Semarang, Salatiga, Klaten, Jogjakarta, Rembang, Tegal, Pemalang, Magelang, Surakarta, Magelang. Nama-nama kota tersebut dapat dilihat dari buku baptis paroki Gedangan. Setiap kali beliau membaptis, yang umumnya adalah anak-anak Belanda, selalu dicatat dalam buku baptis.

Dari buku baptis yang disimpan di Gedangan diketahui bahwa di Semarang untuk pertama kali ada baptisan Katolik pada 9 Maret 1809. Beliau berkarya di Gedangan sampai tahun 1828. Berikutnya, Weleri mulai dijangkau oleh pastor dari Gedangan, Ini dapat diketahui dari buku baptis yang tertulis bahwa pada tanggal 1 Desember 1870 terjadi baptisan bayi atas nama Johan Andrian Anton.[2] Yang membaptis adalah Pastor Denauden, SJ. Literatur yang mengisahkan kehidupan umat katolik di Weleri pasca tahun 1870, sampai tulisan ini dibuat, belum diketahui,

Selanjutnya, pada tahun 1948 ada seorang pastor pembantu yang tinggal di pastoran Gedangan. Namanya Rm. Ch. S. Soetapanitra, SJ. Beliau memelihara stasi-stasi sebelah Barat: Boja, Mijen, Kendal, Weleri, dan Sukorejo.[3] Beliau sungguh memperhatikan secara intensif terhadap Kendal, Weleri, dan Sukorejo yang waktu itu masih merupakan stasi dari paroki Gedangan, sampai tahun 1954. Umat Katolik sebagai paguyuban orang beriman mulai mendapat pendampingan iman yang cukup. Seringkali, ia datang ke keluarga-keluarga di daerah Kendal dan Weleri, kemudian dari Weleri menuju Sukorejo dengan berjalan kaki. Tidak segan-segan beliau berkunjung dan menerima bekal dari keluarga yang dikunjunginya, berupa makanan yang bisa dibawa sebagai bekal di perjalanan, mengingat bahwa perjalanannya cukup jauh itu.

Dengan kerapnya kunjungan romo, maka mulai dikumpulkan pula beberapa keluarga Umat Katolik di wilayahnya masing-masing yang kemudian menjadi perintis dan dasar berkembangnya umat Katolik di Weleri. Mereka itu antara lain: Kel. Bpk Hermintoyo, Kel. Bapak Siswo (alm), Bapak Hardjo (alm), Bapak Surasa, Bapak Sudojo dan Bapak Tan Widjaja.

Hal ini terjadi pula di tempat-tempat lain seperti di Kaliwungu, Kendal dan Pegandon. Dari Kaliwungu ada tiga keluarga, yaitu Bapak Supardjono, Bapak Sukirman dan Bapak Soejadi. Dari Pegandon terdapat keluarga Bapak Tamsi (Alm) dan Bapak Tjipto (Carik Magangan). Dari Pabrik Gula Cepiring terdapat Ibu Sumodarmono, sedangkan dari Kendal ada lebih banyak lagi keluarga Katolik, yaitu keluarga; Bapak Atmowijoyo yang pada waktu itu menjadi Ketua Partai Katolik Kabupaten Kendal, Bapak Sudarmo, Ibu Nanik dan keluarga Bapak van Ersen (seorang Belanda).

Perayaan Ekaristi Mingguan diadakan sebulan dua kali secara bergantian di rumah-rumah. Di Kendal diadakan Perayaan Ekaristi di rumah Bapak Atmowijoyo dan Ibu Nanik. Mereka datang dengan berjalan kaki. Sedangkan di Weleri, umat berkumpul secara bergantian di rumah Bapak Hermintoyo dan di Gedung Sekolah Dasar Kanisius. Pada waktu itu, gedung belum dipugar dan masih berbentuk rumah biasa. Perintis misa di rumah- rumah adalah Romo Soetopanitra, SJ. Pada waktu itu, beliau menyelenggarakan Misa Kudus pada hari Minggu kedua dan keempat setiap bulannya. Dengan demikian, selama kunjungan di Weleri-Kendal, pada hari Minggu beliau mempersembahkan Misa lebih dahulu ke Sukorejo, kemudian turun ke Weleri untuk mempersembahkan Misa bagi umat di Weleri dan akhirnya sambil berjalan pulang beliau singgah di Kendal untuk mempersembahkan Misa sekali lagi bagi umat di sana.

2. PERKEMBANGAN JUMLAH UMAT DI WELERI – KENDAL[4]

Dengan karya Romo Paroki yang penuh pengorbanan untuk melayani umat dan dengan kerjasama para umat yang bertanggung-jawab untuk mewartakan karya Kristus di tengah-tengah umat, maka Gereja sedikit demi sedikit mengalami perkembangan.

2.1 Perkembangan jumlah umat dengan adanya pendatang-pendatang baru:

Harus diakui bahwa untuk daerah Weleri-Kendal usaha pengembangan jumlah umat yang berasal dari penduduk asli memang tidak begitu mudah dilaksanakan. Perkembangan justru terjadi karena adanya pendatang baru dari lain daerah yang bekerja dan menetap di daerah tersebut. Dengan demikian, umat semakin bertambah banyak karena adanya pendatang-pendatang baru yang beragama Katolik itu. Sampai tahun 2007, jumlah umat paroki Weleri mencapai 1.029 jiwa.

2.2 Perkembangan jumlah umat lewat perkembangan pendidikan

Sebelum tahun 1950-an, di Weleri telah terdapat Sekolah Dasar Kanisius. Keadaan gedung belum sempurna karena sebenarnya gedung itu merupakan bekas gudang. Pada tahun 1955, Bapak Susilo Umar menjadi Pimpinan Sekolah Dasar Kanisius itu. Ia dibantu oleh beberapa guru antara lain ialah: Bp. Sadimin, Bp. Slamet Riyanto, Bp. Hermintoyo, dan Bp. Siswanto. Jumlah murid dari kelas I sampai dengan kelas VI kurang lebih ada 125 anak.

Melalui usaha menjalin keakraban dengan orang tua murid dan hubungan baik dengan para Pejabat Pemerintah, jumlah murid semakin bertambah. Melalui karya pendidikan ini pula, jumlah umat Katolik dapat bertambah. Karena jumlah murid semakin banyak, gedung sekolah diperluas. Juga, karena jumlah umat semakin bertambah, sebagian gedung sekolah dibuat lebih tinggi supaya bisa digunakan untuk merayakan Misa Kudus. Pada saat itu, Weleri belum mempunyai gereja. Usaha ini banyak disokong oleh persatuan Orang tua Murid dan Guru (POMG).

Hal yang sama terjadi pula di daerah Kendal. Sekitar tahun 1950-an sudah didirikan Sekolah Katolik SMP Kanisius Budi Murni. Sekolah tersebut juga merupakan sarana yang cukup membantu usaha perkembangan Gereja meskipun kenyataannya tidak begitu mudah untuk diterobos dengan ajaran Kristiani.

Di Weleri sendiri rupa-rupanya Sekolah Katolik mendapat tanggapan yang cukup positif dari masyarakat sekitar. Karena itu, pada tahun 1956 didirikan Sekolah Taman Kanak-kanak Patma 45 yang dibina oleh Ibu-ibu Wanita Katolik. Ibu Wiryono sebagai ketua dan Tuminem ditunjuk sebagai pengasuh murid-murid Taman Kanak-kanak itu.

Pada tahun 1958, atas prakarsa Romo Sutopanitro, SJ direncanakan pendirian SMP Katolik. Beliau dibantu Bapak Tan Widjaja dan Bapak Susilo Umar. Usaha pencarian dana dilakukan dengan jalan mendatangkan bintang film dari Jakarta untuk kemudian mengadakan show di Weleri. Di samping itu, bantuan dari para donatur yang terdiri dari keluarga-keluarga Tionghoa juga sangat memungkinkan pendirian Sekolah Katolik itu. Usaha tersebut sungguh-sungguh terwujud. Sekolah Katolik akhirnya berdiri dengan nama “SMP Krisna Paksa”, yang waktu itu berada di desa Karangdawa.

Untuk memanfaatkan gedung sekolah nasional yang pada waktu itu terpaksa dibubarkan karena Peraturan Pemerintah, maka kira-kira tahun 1960 SMP Krisna Paksa dipindahkan lokasinya dan menempati sebagian gedung sekolah nasional yang sampai sekarang menjadi SMP Kanisius.

2.3 Usaha Pembinaan Umat

Umat bertambah. Dengan sendirinya, tugas Gereja adalah pembinaan iman umat lebih lanjut. Untuk membina umat secara lebih intensif, Romo Sutopanitro, SJ mengkhususkan waktu lebih banyak untuk tinggal di daerah Weleri, Kendal dan Sukorejo. Pastoran dan gedung Gereja saat itu belum ada. Karena itu, beliau lebih kerap tinggal di keluarga-keluarga Katolik yang menyediakan sebagian rumahnya untuk tempat tinggal beliau. Pernah terjadi di Weleri, untuk tempat tinggal Romo disewakan kamar khusus di rumah Bapak Mantri Cacar, atau juga pernah Romo menginap di gedung SDK atau di rumah Bapak Hardjowirjono. Hal ini dilaksanakan supaya Romo sungguh-sungguh dekat dengan umat dan umat tidak terlantar dalam hal pembinaannya.

Di daerah Kendal, Romo Sutopanitra, SJ juga menempati gereja kecil yang sudah lama berdiri. Gereja itu sekarang ini dijadikan Pastoran atau ruang pertemuan. Beliau juga sering menginap di keluarga katolik Kendal atau juga sambil mengunjungi umat di daerah Pegandon. Beliau juga menginap di keluarga Katolik di sana. Di samping Romo Sutopanitro, SJ ada Romo Ferouge, SJ. Beliau sering datang menggantikan Romo Sutopanitro, SJ. Dengan cara mendampingi iman umat sebagaimana tersebut di atas, suasana Gereja menjadi lebih hidup, meriah dan semarak.

2.4 Pembelian Tanah Gereja

Karena umat bertambah, dipikirkan penyediaan tanah yang nantinya bisa digunakan untuk membangun gedung gereja. Untuk memperhatikan masa depan Gereja, pihak Keuskupan dengan perantaraan romo Sutopanitro, SJ membeli sebidang tanah. Tanah yang sudah cukup lama ada gerejanya ialah tanah Gereja di Kendal. Pada masa Romo Sutopanitra, SJ, tanah yang beliau beli ialah tanah Gedung Sekolah Nasional di Weleri yang sekarang sudah ada gedung gerejanya serta tanah di jalan Sukorejo yang sekarang sudah ada gedungnya serta dipakai untuk Susteran AK.

Mungkin, karena kurangnya pengawasan dari pihak Keuskupan serta kurangnya ketelitian, batas-batas tanah yang kurang begitu jelas, bukti-bukti jual-beli tidak jelas, maka pada tahun-tahun berikutnya timbul masalah yang berhubungan dengan tanah Gereja. Tanpa ijin Gereja secara tertulis, di atas tanah Gereja tersebut didirikan rumah-rumah penduduk. Masalah yang lain lagi ialah masalah Pabrik Kopi yang perijinannya sudah jatuh tempo, tetapi tetap menempati tanah Gereja. Hal ini kemudian dicoba diatasi oleh Romo-Romo penganti Romo Sutopanitro, SJ.

3. PERKEMBANGAN GEREJA KATOLIK PADA TAHUN 1960-AN

Pada umumnya harus dikatakan bahwa Romo Sutopanitro, SJ adalah seorang imam perintis dan pembuka jalan yang cukup menentukan berkembangnya umat katolik di paroki Weleri-Kendal dan Sukorejo. Khusus untuk paroki Weleri-Kendal dan wilayah yang tergabung dalam paroki Weleri sekarang, karya Romo Sutopanitro, SJ ini diteruskan oleh Romo penggantinya.

Pada tahun 1962, datanglah Romo Hardoparmoko, SJ menggantikan Romo Sutopanitro, SJ. Dengan sikapnya yang tidak pandang bulu dan tidak membedakan lapisan masyarakat satu sama lain beliau berhasil menambah jumlah umat di paroki Weleri. Penambahan jumlah umat ini dimungkinkan oleh beberapa hal sebagai berikut :

a. Katekese Sekolah yang kemudian menumbuhkan anak-anak Katolik baru dengan menerima sakramen baptis.

Seorang katekis yang cukup berperan dalam katekese sekolah maupun dalam masyarakat yang kiranya layak disebut di sini ialah Bapak Kamidiyanto. Anak-anak sekolah yang dibaptis, kemudaian mengajak orang tuanya untuk menggabungkan diri menjadi Katolik.

b. Pendatang-pendatang baru

Di sekitar kota Weleri, dibuka suatu perkebunan kopi dan karet yang cukup banyak menyerap tenaga serta mendatangkan tenaga dari luar daerah. Secara kebetulan Kepala Perkebunan adalah seorang Katolik, sehingga cukup berperan pula dalam pewartaan Gereja di daerah perkebunan itu. Di samping itu cukup banyak pula pegawai-pegawai baru yang datang untuk bekerja di pabrik Gula Cepiring. Beberapa orang pegawai itu ada pula yang beragama Katolik. Di satu pihak, para pegawai katolik ini dapat menambah jumlah umat di paroki Weleri-Kendal. Di lain pihak, mereka juga bertanggung jawab sebagai pewarta Kristiani di tempat kerjanya masing-masing. Gereja bisa semakin berkembang dan umat semakin banyak jumlahnya.

Dalam sejarah perkembangan umat di Weleri dan Kendal, banyak umat yang sering datang dan pergi. Romo paroki yang datang ke wilayah tersebut pun tidak selalu Romo yang sama, tetapi sering bergantian. Romo-romo yang pernah datang secara bergantian pada periode tahun 1960-an ini ialah : Romo Von Magnis, SJ, Romo Kuhn, SJ, Romo G. Van Delft, SJ dan Romo Taks, SJ. Karena pernah terjadi bahwa Romo-romo tidak menetap, pembinaan umat seringkali terlantar.

Untuk meningkatkan pembinaan umat dan mendapatkan baptisan-baptisan baru, dari Gedangan - Semarang Romo Hardoparmoko,SJ memberikan waktu lebih banyak untuk memberikan pelajaran agama baik bagi calon baptis maupun bagi yang sudah dibaptis. Beliau dibantu oleh Suster Florencis. Umat diajak untuk meningkatkan partisipasinya dalam bidang liturgi Gereja dengan cara latihan koor. Pada waktu itu, lagu-lagu Gereja masih menggunakan lagu-lagu Gregorian untuk menyambut hari-hari besar Gereja.

Penambahan umat yang cukup banyak terjadi di Kendal dengan datangnya beberapa keluarga Katolik baru. Mereka bekerja sebagai guru maupun pejabat pemerintahan. Para pendatang yang bekerja sebagai guru antara lain ialah : Bp. A.M. Sugiarto, Bp. Karwoto, Bp. Darmin, Bp. Darso, Bp. Sihana Hadi, Bp. Agus Rowohadji. Yang bekerja dalam lingkungan pemerintahan ialah : Bp. Sudarman sebagai Kepala Kepolisian, Bp. Dirdjowinoto sebagai Kepala Kejaksaan, Bp. Paulus Mardoyo sebagai Kepala Pengadilan dan Bp. Y. Sudjaslan sebagai Wakil Kepala Perhutani.

Dengan bertambahnya baptisan di satu pihak dn pendatang-pendatang baru di lain pihak, jumlah umat katolik menjadi semakin meningkat. Pada tahun 1960-an untuk pertama kalinya diadakan Natalan bersama umat Kristen di Kendal.

c. Munculnya kelompok-kelompok umat

Umat Katolik tidak hanya berada di daerah dalam kota saja, tetapi juga tersebar di daerah-daerah yang jauh dari keramaian kota. Pada awal berkembangnya Gereja di wilayah paroki Weleri, terdapat beberapa kelompok umat yang tergabung dalam kesatuan di wilayah masing-masing, yaitu:
1. Kelompok umat di daerah Kendal
2. Kelompok umat di daerah Weleri
3. Kelompok umat di daerah Kaliwungu
4. Kelompok umat di daerah Pegandon
5. Kelompok umat di daerah Sukorejo (yang nantinya menjadi Paroki tersendiri)

Sejarah terbentuknya kelompok umat yang ada di luar kota dapat diceritakan berikut ini.

Di daerah yang agak jauh dari keramaian kota dan cukup terpencil dari kelompok umat yang lain, perlu disebut dua kelompok umat yaitu Kaliwungu dan Pegandon. Kaliwungu adalah daerah yang cukup jauh dari Weleri tetapi agak dekat dengan kota Semarang. Pembinaan umat sejak terbentuknya kelompok ini dilaksanakan langsung dari Paroki Gedangan - Semarang. Pada perkembangan sejarah umat Katolik berikutnya, mereka lebih berorientasi ke Semarang dari pada ke Weleri. Hal ini terjadi, selain Weleri berada cukup jauh, mereka juga lebih senang untuk pergi ke Semarang yang lebih merupakan daerah kota dari pada Weleri. Kelompok umat di daerah Kaliwungu ini dipromotori oleh seorang tokoh umat katolik yang sekaligus juga seorang Brimob yang cukup gigih mempertahankan identitas Katolik di sana.[5] Tokoh inilah yang kemudian memperjuangkan berdirinya kapel di Kaliwungu. Pada waktu itu, daerah Kaliwungu adalah daerah yang cukup terpencil dan hidup di antara penduduk yang non-Katolik. Situasi ini seringkali menghambat kemajuan Gereja, sehingga perkembangan umat Katolik di sana seringkali mendapatkan tantangan yang tidak ringan. Dengan usaha perjuangan tokoh umat Katolik yang juga Anggota Brimob itu, meskipun berada di tengah-tengah lingkungan yang kurang menguntungkan, Gereja dan umat Katolik tetap bisa terlindung dan berkembang.

Di daerah lain, yaitu di Pegandon, dengan dipelopori oleh keluarga Bp. Tamsi terbentuklah kelompok umat yang tergabung menjadi satu stasi yang saat itu disebut stasi Pegandon.[6] Kelompok ini untuk pertama kalinya hanya terdiri dari dua keluarga yaitu keluarga Bp. Tamsi dan keluarga Bp. Cipto (Carik Desa Magangan). Keduanya merupakan penduduk asli Pegandon. Ketika penanggung-jawab Pastor untuk daerah Weleri dan sekitarnya di pegang oleh Romo Sutopanitro, SJ, berkali-kali beliau berkunjung ke Pegandon dalam rangka kunjungan rutin di daerah Weleri-Kendal dan Sukorejo. Hal ini terjadi ketika beliau mengkhususkan waktu lebih lama lagi untuk berada di tengah umat. Karena gedung gereja yang lama belum begitu memenuhi syarat sebagai tempat untuk menginap, beliau kemudian berkunjung ke Pegandon supaya lebih dekat dengan umat yang ada di tempat terpencil. Kalau perlu, Romo juga sering menginap di salah satu keluarga Katolik di Pegandon. Harapannya adalah supaya umat cukup bersemangat meskipun berada di daerah terpencil dan masih merupakan minoritas Katolik.

Atas inisiatif dan kerelaan dari Bp. Tamsi (Alm), didirikanlah rumah bertingkat. Lantai atas bisa untuk beribadat dan lantai bawah dijadikan semacam asrama. Pendirian tempat ibadat ini memberikan suatu kemungkinan yang cukup besar untuk mengumpulkan banyak umat dan sekaligus menambah jumlah baptisan. Namun demikian, perlu diketahui bahwa masih cukup banyak para pengikut perkumpulan itu mempunyai suatu pengertian yang salah mengenai artinya menjadi orang Katolik. Pengertian yang salah itu mengatakan bahwa menjadi Katolik itu berarti hidupnya dijamin oleh Gereja. Akibat dari pengertian yang salah adalah iman mereka kurang begitu mendalam. Mereka yang mengalami kekecewaan setelah dibaptis dan menjadi katolik, karena ternyata tidak dijamin hidupnya, kemudian dengan begitu saja “murtad”. Pada umumnya, boleh dikatakan bahwa tambahan umat dari penduduk asli Pegandon relatif sedikit jumlahnya. Ada pula penduduk asli yang menjadi katolik kemudian meninggalkan daerah Pegandon untuk menyusul anak-anak mereka yang sudah bekerja di lain tempat. Akibatnya, jumlah umat Katolik untuk daerah Pegandon berkurang lagi. Seperti terjadi di Weleri-Kendal, tambahan umat terjadi karena adanya pendatang-pendatang baru yang bekerja di daerah Pegandon tersebut. Namun demikian, meskipun jumlah umat hanya sedikit, mereka tetap bertekun dalam beribadat dan berkumpul secara rutin. Pada waktu itu, hambatan yang seringkali dialami dalam membina kebersamaan ialah medan yang masih sulit untuk ditempuh sehingga mempersulit komunikasi umat satu sama lain, terlebih kalau musim hujan dan baru saja hujan lebat. Ada kelompok umat yang tidak begitu mudah untuk keluar rumah dan pergi jauh dari rumah karena jalan yang cukup becek bagaikan rawa-rawa.

Daerah Sukorejo merupakan daerah pegunungan yang agak terpisah dari Weleri. Kecuali letaknya yang terpisah dari Weleri-Kendal, daerah ini lebih sukar dijangkau dari pada daerah Kendal, Kaliwungu dan Pegandon. Letaknya berada di pegunungan. Dalam perkembangan sejarah Gereja, karena semakin banyak pula tambahan umat, terbentuklah kelompok umat tersendiri yang lama-kelamaan menjadi paroki tersendiri pula.[7]

d. Peristiwa-peristiwa yang cukup penting bagi berkembangnya Gereja :

Karya pendidikan merupakan salah satu sarana yang membantu bagi perkembangan Gereja di satu pihak. Di lain pihak, karya pendidikan juga mempunyai pengaruh sosial dalam meningkatkan kecerdasan para murid. Sesuai dengan tujuan itu, sudah cukup lama dirintis pengadaan sekolah-sekolah katolik di Weleri dan Kendal. Pada waktu pertama kali sekolah katolik dimulai, masyarakat menyambut cukup positif. Banyak orang ingin menyekolahkan anaka-anak mereka di sekolah Katolik. Tetapi, keinginan untuk menyekolahkan anak di sekolah Katolik ini semakin berkurang dengan berdirinya sekolah-sekolah yang baru. Mereka lebih senang menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah yang pembiayaannya relatif lebih murah dari pada sekolah Katolik. Pada umumnya, hal itu bisa mematikan sekolah-sekolah Katolik yang kerap kali terjadi. Dengan alasan ini pula, semenjak diadakannya sekolah-sekolah perintis, sekolah Katolik di Kendal kehilangan kemungkinan untuk mendapat murid. Hal ini menyebabkan SMP Katolik Budi Murni Kendal dibubarkan dan dipindahkan ke Weleri serta digabungkan dengan SMP Katolik Krisna Paksa yang lebih banyak kemungkinan untuk mendapatkan murid. Kedua sekolah tersebut bergabung menjadi satu dan berlindung dibawah Yayasan Kanisius pada tahun 1963. Nama sekolah selanjutnya diganti menjadi SMP Kanisius Budi Murni.

Meletusnya G.30 S tahun 1965 merupakan peristiwa yang memberi pengaruh terhadap Gereja. Sesudah peristiwa itu, cukup banyak orang yang ingin menjadi Katolik sehingga tambahan umat juga cukup banyak. Perkembangan jumlah umat ini juga didukung oleh pelajaran agama/katekese lewat sekolah-sekolah katolik meskipun jumlah tambahan dari katekese sekolah itu tidak begitu besar juga. Dengan bubarnya SMP Katolik Budi Murni di Kendal, ada sementara umat Katolik yang merasa sedikit kecewa. Mereka merasa kehilangan salah satu sarana untuk memperkembangkan Gereja yang cukup dimungkinkan sesudah peristiwa G.30 S.

Untuk mendapatkan banyak murid, diperlukan sarana fasilitas sekolah yang memadai. Gedung sekolah beserta lingkungan sekolah yang kurang sedap dipandang mata diusulkan kepada Yayasan Kanisius Pusat supaya diadakan perbaikan Gedung Sekolah. Hal itu disetujui oleh Yayasan sehingga Sekolah Kanisius di Weleri tetap bisa bertahan sampai sekarang.

4. BERDIRINYA GEDUNG GEREJA KATOLIK

Secara bertahap, Gereja Weleri secara administratif dipisahkan dari Paroki Gedangan dan membentuk Paroki tersendiri dengan nama pelindung Santo Martinus.[8] Ini terjadi pada tanggal 13 Februari 1954. Selanjutnya, Gereja disebut Gereja “Santo Martinus” Weleri. Pada waktu itu, paroki Weleri mempunyai beberapa bagian wilayah, yaitu Weleri, Kendal, Kaliwungu dan Pegandon. Sementara itu, daerah Sukorejo berhubung dengan tempatnya yang tersendiri dan agak sukar dijangkau dari Weleri, selanjutnya juga membentuk paroki tersendiri.[9]

Dalam perkembangan, jumlah umat semakin bertambah. Hal ini menimbulkan suatu kebutuhan baru, yaitu kebutuhan akan adanya tempat ibadat yang dapat menampung cukup banyak umat untuk beribadat. Dalam situasi itu, muncullah Romo Knetsch, SJ yang berkarya di Paroki Weleri.[10] Beliau terkenal sebagai seorang Romo pembangun gedung Gereja. Tanah Gereja sudah disediakan oleh pihak Keuskupan yaitu tanah yang di atasnya sudah ada gedung SMP Kanisius Budi Murni Weleri. Selanjutnya adalah memikirkan rencana pembangunan Gereja. Dengan bantuan berbagai pihak serta atas jasa Romo Knetsch, SJ yang mengusahakan bantuan dari luar paroki, berdirilah gedung Gereja Katolik Weleri yang kurang lebih bisa menampung 400 umat. Gereja Paroki didirikan di Weleri dan bukan di Kendal yang sebenarnya lebih merupakan Ibukota Kabupaten. Pertimbangannya adalah bahwa di Weleri jumlah umat lebih banyak daripada di Kendal. Akhirnya, gereja Katolik Weleri selesai dibangun sekaligus dengan Pastorannya. Ini terjadi pada tahun 1968. Semenjak berdirinya gereja itu, Romo paroki menetap di Weleri. Romo Knetsch, SJ adalah romo yang pertama kali tinggal menetap di pastoran Weleri[11].

Sesudah disibukkan dengan pembangunan gereja, muncullah soal tanah Gereja yang ditempati oleh penduduk sekitar. Persoalan tidaklah begitu mudah diselesaikan serta menemui tantangan yang tidak ringan. Sebenarnya, masalah ini sudah cukup lama. Karena tidak pernah dihiraukan dan dianggap bukan masalah serta dibiarkan saja, lama-kelamaan menjadi “kadaluwarsa”. Sebagian tanah Gereja sudah terlanjur didiami penduduk. Akhirnya. karena usaha penyelesaian tidak menemukan jalan keluar, atas persetujuan Keuskupan Agung Semarang, tanah yang sudah terlanjur ditempati penduduk itu diikhlaskan. Supaya mempunyai batas yang jelas, dibuatlah pagar tembok pemisah antara tanah Gereja dan tanah yang ditempati penduduk. Kebijaksanaan ini diambil oleh Romo Knetsch, SJ dalam rangka memperjelas batas-batas tanah Gereja. Dengan diselesaikannya masalah tanah ini, suasana kompleks Pastoran dan Gereja menjadi lebih tenteram. Gangguan yang seringkali dialami hanya berasal dari mesin-mesin pabrik Kopi yang berada di sebelah Pastoran. Soal ini baru bisa diatasi pada tahun 1979 ketika Romo Christopher Dureau, SJ berkarya di paroki Weleri.

5. MUNCULNYA TAMBAHAN UMAT DAN TEMPAT-TEMPAT IBADAT BARU.

Berdirinya Gereja di Weleri beserta Pastorannya memberikan kemungkinan bahwa Pastor bisa menetap di Weleri. Semenjak romo menetap di paroki Weleri, rupa-rupanya juga memberikan pengaruh bagi perkembangan umat. Di satu pihak, umat merasakan hubungan dengan gembalanya menjadi dekat. Di lain pihak, perkembangan Gereja serta penambahan jumlah umat bisa terlaksana berkat bimbingan rohani yang lebih intensif. Di samping itu, diharapkan pula tanggung jawab dan partisipasi umat untuk mencukupi kebutuhan Gereja agar semakin ditingkatkan pula.

a. Beberapa Akibat Pembangunan Gereja Weleri Sebagai Gereja Paroki.

Setelah Weleri melepaskan diri dari Paroki Gedangan dan membentuk Paroki tersendiri yang berpusat di Weleri, gereja Weleri dijadikan Pusat Paroki Weleri. Ini menimbulkan dampat tersendiri. Umat yang letaknya cukup jauh dari Weleri merasa jauh dari pusat paroki serta jauh dari Romo Paroki. Meskipun pada waktu-waktu tertentu Romo Paroki datang untuk mengajak Misa Kudus, perasaan itu tetap ada. Pusat Paroki yang bertempat di Weleri ini memang cukup masuk akal. Boleh dikatakan bahwa Weleri berada di antara wilayah paroki bagian Timur dan bagian Selatan Sukorejo. Namun setelah Sukorejo menjadi Paroki tersendiri, umat yang ada di bagian paling Timur merasa kurang masuk akal bila Pusat Paroki berada di Weleri. Mereka berpendapat bahwa letak daerah Weleri sebenarnya terletak di pinggir Barat daerah (Wilayah) paroki yang sudah berbatasan dengan wilayah Keuskupan Purwokerto. Maka, Weleri yang dikatakan sebagai Pusat Paroki dan berada di pinggir Barat ini cukup jauh dijangkau dari bagian pinggir timur. Akibatnya, Kaliwungu dan sekitarnya tidak pernah berorientasi ke Weleri yang cukup jauh dari tempat mereka.

Akibat yang sama dialami pula oleh umat yang berada di daerah ibukota Kendal. Dipandang dari Kendal, Weleri adalah daerah kecamatan yang ada di bawah Kabupaten Kendal. Merasa berada di daerah kota kabupaten, mereka juga kurang mempunyai orientasi ke Weleri yang hanya merupakan kota kecamatan. Mereka lebih berorientasi ke “dalam” sehingga seakan-akan memberi kesan membentuk paroki sendiri. Hubungan dengan Weleri terlaksana hanya melalui Pastor Paroki Weleri yang melayani mereka.

b. Gereja Kendal didirikan.

Dengan didirikannya gereja di Weleri, umat di daerah kabupaten Kendal merasa kurang diperhatikan. Sebagai umat yang berada di daerah kota kabupaten, mereka mencoba mengadakan gerakan untuk mendirikan gereja yang baru. Usaha ini didorong pula oleh Bapak Bupati yang memang juga menginginkan agar segera didirikan gereja Katolik yang baru. Gereja yang lama memang terlalu kecil bila dipakai untuk menampung umat yang sudah ada.[12] Tidak ketinggalan pula Bapak Bupati juga memberikan sumbangan untuk pendirian Gereja itu. Setelah dimintakan pertimbangan kepada Romo Paroki yang “mewilayahi” daerah Kendal, ternyata Pastor tersebut menyetujuinya. Alasannya, sebagai Pastor di Kendal beliau menginginkan untuk meninggalkan suatu kenangan yang berwujud gedung gereja. Persetujuan ini sebenarnya belum dibicarakan bersama dengan Pastor lain yang berkarya di paroki Weleri. Akibatnya, setelah gedung gereja mulai dibangun terjadilah perbedaan pendapat antarpara Romo yang berkarya di Weleri. Meskipun begitu, gedung gereja tetap diteruskan pembangunannya. Gereja mulai dibangun tahun 1969 di atas tanah milik Yayasan Kanisius, yaitu pada bekas gedung Sekolah Katolik Budi Murni (pada waktu itu sudah dibubarkan dan dipindahkan ke Weleri).

Gedung gereja selesai dibangun tahun 1971 dan diberkati serta diresmikan pemakaiannya dengan mengambil nama Gereja “Santo Antonius” Kendal.[13] Dengan berdirinya gedung gereja yang baru, gedung gereja yang lama, sesuai dengan kehendak umat, dijadikan Pastoran serta ruang pertemuan kecil untuk menampung umat dalam mengadakan aktifitas Gerejani.

c. Gereja Kaliwungu dibangun.

Jumlah umat di daerah Kaliwungu semakin meningkat. Ini terjadi karena perjuangan para anggota Brimob Katolik yang bertempat tinggal di daerah tersebut serta usaha mereka untuk mempertahankan identitas kekatolikan di dalam masyarakat. Sebenarnya, usaha untuk mendirikan tempat ibadat di Kaliwungu cukup banyak tantangannya dan tidak begitu mudah dilaksanakan. Sebabnya adalah bahwa daerah tersebut merupakan daerah yang sebagian besar penduduknya beragama non-Kristen yang cukup fanatik. Namun, perjuangan para anggota Brimob yang kuat pengaruhnya di dalam masyarakat dan teguh usahanya dalam mempertahankan identitas Katolik memungkinkan berdirinya gereja di Kaliwungu.

Tanah untuk membangun gedung gereja disediakan oleh Pemerintah yang diterima oleh umat Katolik atas jasa dan perjuangan para anggota Brimob Katolik tersebut. Dengan bantuan dari berbagai pihak dan dengan menggali potensi umat yang ada, gereja mulai dibangun tahun 1974. Setelah selesai dibangun pada tahun 1975, gereja diresmikan pemakaiannya. Pada waktu itu, umat tidak lagi merayakan Misa Kudus di rumah-rumah secara bergantian, melainkan mereka mulai menempati gedung gereja serta diadakan Misa Kudus setiap hari Minggu.[14]

d. Terbentuknya kelompok umat stasi Bleder dan dibangunnya gereja.

Sebelum tahun 1974, daerah Bleder merupakan daerah rawa yang belum didiami oleh penduduk. Oleh Pemerintah, tanah tersebut disediakan bagi para bekas Veteran untuk didiami dan diolah menjadi tanah pertanian. Tanah tersebut merupakan daerah rawa di dekat pantai utara, kira-kira berjarak satu kilometer dari laut. Karena itu, datanglah bekas anggota Veteran untuk bertempat tinggal di Bleder dan mulai mengolah tanah. Di antara mereka yang datang dan berdiam di sana, ternyata cukup banyak pula yang beragama Katolik. Dari tanah yang diolah dan tidak lagi menjadi daerah rawa, ada sebagian tanah yang disediakan serta disumbangkan khusus untuk mendirikan gedung gereja. Dengan kesadaran akan tanggung-jawab mereka sebagai umat serta dengan bantuan dari berbagai pihak dan dengan persetujuan Pastor Paroki, gereja berhasil didirikan bersebelahan dengan Gereja Kristen Jawa yang umatnya juga cukup banyak di sana.

Jumlah umat di stasi Bleder memang sedikit apabila dibandingkan dengan umat di kelompok lain. Pada waktu itu, Romo Paroki mempersembahkan Misa Kudus untuk umat di sana hanya dua minggu sekali, yaitu bergantian dengan stasi Pegandon.

e. Terbentuknya kelompok umat di Tawang.

Pada tahun 1978, datanglah suatu keluarga yang anak-anaknya sudah beragama Katolik. Dia adalah Bapak Terry, seorang pensiunan juru rawat. Mengingat situasinya yang sudah pensiun serta tertarik oleh anak-anaknya, dia juga ingin mendapatkan ketentraman hidup dengan menggabungkan diri menjadi Katolik. Untuk mewujudkan keinginannya ini, dia menanyakan syarat-syaratnya kepada Romo paroki yang waktu ialah Romo Chris Dureau, SJ. Kemudian Romo Paroki menunjuk orang yang bisa memberi pelajaran agama Katolik di Tawang. Bapak Terry juga mengumpulkan orang-orang di sana yang menginginkan untuk menjadi Katolik.

Setelah menurut pandangan Romo Paroki mereka siap untuk dipermandikan, kemudian diadakan permandian bagi mereka yang sudah dipersiapkan itu. Dengan demikian, terbentuklah kelompok umat di Tawang ini yang disponsori oleh bapak Terry. Mungkin, karena persiapan permandian yang boleh dikatakan relatif singkat, iman mereka kurang begitu nampak. Kerap terjadi bahwa mereka yang bekerja sebagai nelayan tetap bekerja sebagai nelayan dari pada turut berkumpul untuk beribadat atau pun Misa Kudus. Kelompok umat di Tawang nampak lebih hidup setelah ada para pendatang-pendatang baru. Kelompok ini boleh dikatakan sebagai kelompok umat yang baru bila dibandingkan dengan kelompok umat yang lain di Weleri.

6. PEMBINAAN IMAN UMAT PAROKI

Perkembangan umat tidak hanya ditentukan oleh bertambahnya jumlah umat, melainkan juga ditentukan oleh karya Romo Paroki dalam kerja sama dengan umat untuk membina iman. Sehubungan dengan ini, betapa besar peran Romo Paroki dalam mengikutsertakan para umat agar bisa turut bertanggung-jawab dalam membina iman.

Pembinaan iman ini dilaksanakan bukan hanya semenjak ada gedung gereja dan pastoran serta terbentuknya Paroki dengan Dewan Parokinya, melainkan juga mulai pertama timbulnya kelompok umat di Weleri-Kendal, yaitu semenjak dirintis oleh Romo Sutopanitro, SJ dan diteruskan oleh Romo-romo yang berkarya di Weleri-Kendal.

a. Pembagian wilayah Paroki Weleri:

Paroki Weleri yang sudah membentuk Paroki tersendiri kemudian membentuk Pengurus Dewan Paroki supaya umat bisa diikutsertakan dalam pembinaan Paroki. Wilayah Paroki Weleri memanjang dari Kaliwungu yang berada di seberang Timur menuju ke Weleri yang berada di pinggir Barat serta dijadikan Pusat Paroki. Wilayah Paroki ini kemudian dibagi menjadi beberapa bagian. Ada bagian yang disebut unit dan ada bagian wilayah yang disebut stasi. Pada waktu itu, pembagian wilayah adalah sebagai berikut :
1. Unit Weleri
2. Unit Kendal
3. Unit Kaliwungu
4. Stasi Pegandon
5. Stasi Bleder

Masing-masing unit membentuk pengurus Dewan Unit Paroki sendiri-sendiri di bawah pimpinan Romo Paroki Weleri. Pada waktu itu, hanya ada satu Romo Paroki menetap di Weleri. Dengan demikian tidak ada Pengurus Dewan Paroki yang membawahi seluruh Paroki Weleri karena masing-masing unit sudah mempunyai Pengurus Dewan sendiri-sendiri.

b. Kegiatan Umat Paroki

Dalam rangka pembinaan iman untuk seluruh umat Paroki, pada waktu itu Romo Paroki memberikan pelayanaan rohani berupa Misa pada setiap hari Minggu untuk masing-masing unit. Sedangkan untuk kedua stasi tersebut, pelayanan Misa Kudus diberikan dua minggu sekali. Sampai pada periode tahun 1977, belum mulai dirintis untuk mengadakan Misa Kring.[15] Mulai tahun 1977, Misa Kring sudah mulai dirintis meskipun belum merata karena masih terlalu memperhatikan Kring yang nampak hidup dan banyak jumlah umatnya.[16] Akibatnya, kring-kring lain kurang bisa menerima kebijakan itu. Mulai periode tahun 1980 pelaksanaan Misa Kring sudah merata meskipun masih terbatas pada bagian unit Weleri.

Wilayah-wilayah yang mendapatkan bagian untuk menerima pelayanaan Misa Kring ialah Sambongsari, Nawangsari, Penyangkringan, Besokor, Tawang, Gringsing dan Krengseng. Masing - masing kring mendapatkan giliran Misa Kring sebulan sekali. Semua Kring yang mendapatkan Misa Kudus hanya pada setiap hari Minggu di Gereja masing-masing. Kegiatan-kegiatan di tingkat Kring rupa-rupanya ditangani sendiri-sendiri oleh para diakon setempat.

Untuk meningkatkan partisipasi umat dalam liturgi, masing-masing Kring juga diserahi tugas dalam menyelanggarakan Liturgi pada hari Minggu. Karena itu, sebagai isi dari kegiatan Kring adalah mengadakan persiapan untuk tugas Liturgi pada hari Minggu itu. Hidup dan tidaknya kegiatan kring ditentukan oleh banyak dan tidaknya jumlah umat pada kring tersebut. Bila jumlah umat cukup banyak maka kringnya cukup hidup, tetapi bila hanya sedikit maka cukup sukar pula untuk menghidupkan Kring itu. Pada umumnya, kegiatan seluruh unit cukup nampak bila menghadapi hari-hari besar Gereja. Kegiatan ini dilaksanakan misalnya dengan mengadakan rekoleksi untuk umat kesuluruhan pada salah satu unit Paroki. Untuk menggiatkan Kring, pada umumnya para umat yang berprofesi guru memainkan peranan yang cukup besar. Selain bisa menggerakkan umat di Kring, mereka juga dapat mengajak aktif anak buahnya lewat lingkup sekolah, khususnya di sekolah Katolik. Maka biasanya nampak pula keaktifan dalam kring itu.

7. BEBERAPA PERISTIWA PENTING BAGI GEREJA

Karya Kerasulan Gereja mendapatkan dukungan dari karya-karya baik kedalam Gereja sendiri dengan pendalaman iman umat melalui berbagai aktivitas maupun keluar Gereja dengan adanya karya-karya sosial yang berguna bagi masyarakat pada umumnya. Untuk melaksanakan tugas di atas ada beberapa peristiwa yang cukup penting untuk dicatat di sini.

a. Berdirinya SMA Theresiana

Karya pendidikan merupakan salah satu sarana untuk menampakkan aktivitas Gereja keluar yang sangat berguna dalam meningkatkan kecerdasan masyarakat. Mengingat hal ini dan mengingat bahwa di Weleri belum begitu banyak sekolah lanjutan tingkat atas serta didorong oleh situasi ketidakmampuan masyarakat berekonomi lemah untuk mendapatkan kesempatan belajar di daerah lain, Yayasan Theresiana berinisiatif untuk membuka sebuah sekolah SLTA baru di daerah Weleri. Sekitar tahun 1975 di daerah Weleri masih terdapat tanah-tanah yang dijual dengan harga yang cukup murah tetapi tempatnya agak jauh dari jalan raya. Kesempatan mendapatkan tanah ini dimanfaatkan oleh Yayasan Theresiana sehingga akhirnya mendapatkan tanah di daerah Penyangkringan. Tanah yang dibeli letaknya agak jauh dari keramaian kota dan berupa tanah pegunungan yang memang cukup terasing dari rumah-rumah kampung di sekitarnya, namun pada waktu-waktu sesudahnya lama kelamaan muncul rumah-rumah baru di sekitar kompleks sekolah itu.

Setelah Gedung Sekolah beserta dengan perumahan bagi para guru selesai dibangun, pada tahun 1975 SMA Theresiana mulai dibuka. Meskipun tempatnya agak terpencil, namun cukup banyak peminat yang ingin sekolah di sana. Mereka yang sekolah di SMA Theresiana kebanyakan adalah murid-murid lulusan SMP Kanisius yang rupa-rupanya mendapatkan prioritas untuk untuk meneruskan di sekolah tersebut. Dengan berdirinya SMA Negeri Weleri pada tahun 1980-an maka peminat untuk belajar di SMA Theresiana agak berkurang, namun masih cukup mendapatkan murid pula.

Dalam kenyataannya tidak begitu mudah untuk menumbuhkan baptisan-baptisan baru lewat karya sekolah tersebut. Padahal, pembinaan iman Katolik tidak pernah diabaikan berupa Misa Sekolah maupun dengan pembinaan iman berupa sarasehan pada hari Minggu yang dipimpin oleh salah seorang guru di sekolah tersebut. Pada tahun 1980-an, jumlah murid yang beragama Katolik belum mencapai 10% dari jumlah murid-muridnya.

Gedung Sekolah SMA Negeri Weleri juga didirikan di luar kota dan agak jauh dari daerah kota serta cukup terpencil pula, bahkan lebih jauh daripada jarak antara kota dengan SMA Theresiana. Mungkin inilah yang menyebabkan SMA Theresiana tetap bisa hidup serta mendapatkan cukup banyak murid, meskipun memang agak kurang bila dibanding dengan sebelum SMA Negeri didirikan. Lokasi sekolah yang cukup terpencil ini berakibat pula timbulnya gangguan keamanan yang sudah beberapa kali dialami oleh pihak SMA Theresiana. Setelah diadakan penertiban yang dilakukan oleh Pemerintah maka gangguan ini tidak pernah terjadi lagi.

b. Kembalinya Tanah dan Rumah Bekas Pabrik Kopi :
Satu masalah mengenai tanah adalah tanah yang dipakai untuk Pabrik Kopi. Tanah tersebut sudah selesai masa kontraknya pada tahun 1965, tetapi Pabrik Kopi tetap bekerja terus. Akibat dari suara mesin yang cukup keras adalah mengganggu ketenangan tetangga di sekitarnya. Pada waktu itu sudah cukup banyak pula rumah-rumah dibangun di sekitarnya.

Mengingat hal tersebut di atas, Gereja berusaha menyelesaikannya melalui beberapa pihak. Pertama-tama, cara ini ditempuh dengan melalui seorang tokoh dan pimpinan para Tionghoa di daerah Weleri yang bisa menghubungi pemilik pabrik Kopi dan menyelesaikannya secara kekeluargaan. Demikian juga melalui pemilik rumah di sekitar pabrik yang merasa terganggu oleh suara mesin. Mereka juga dimintai bantuan untuk menyelesaikan masalah ini dengan membuat surat pernyatan bahwa mereka merasa terganggu. Secara kebetulan Bapak Bupati dan sementara Pejabat Pemerintah di Kabupaten Kendal merupakan Pejabat-Pejabat yang baru. Mereka tidak tahu menahu mengenai soal ini serta belum pernah menerima “pengaruh” dari pemilik Pabrik Kopi ini. Melalui beberapa pihak itu serta dengan dasar hukum sewa-menyewa tanah yang sudah habis masa kontraknya, sedikit demi sediki permasalahan ini bisa menemukan jalan keluar..

Mengingat bahwa si pemilik Pabrik Kopi telah mempunyai pabrik di lain tempat serta anak-anak dari pemilik pabrik itu juga sekolah di SMP Kanisisus, maka dengan ikhlas hati pemilik pabrik menyerahkan kembali tanah kepada Gereja, bahkan dengan seluruh rumah dan tanah miliknya sendiri yang ada di belakang. Semuanya diserahkan kepada Gereja. Dengan rahmat Tuhan, permasalahan ini bisa diatasi dan diselesaikan secara kekeluargaan. Pihak pemilik pabrik juga mengajukan suatu permintaan agar masalah ini jangan dibesar-besarkan supaya tidak memutuskan hubungan kekeluargaan yang sudah terjadi.

Dengan kembalinya tanah Gereja dan disumbangkannya gedung bekas pabrik kopi, maka ini merupakan keutungan bagi sekolah. Pada waktu itu, tempat bekas Pabrik Kopi tersebut kemudian bisa dijadikan lokal untuk sekolah.

c. Suster-suster Abdi Kristus berkarya di Weleri :

Gereja telah membeli tanah di jalan Sukorejo. Rupa-rupanya di atas tanah tersebut sudah berdiri rumah yang pernah ditempati oleh penjaga kebun kopi. Rumah tersebut diserahkan pula kepada Gereja. Namun demikian pihak Keuskupan rupa-rupanya belum mempunyai rencana tertentu dalam hal penggunaan rumah ini. Mengingat bahwa ada suatu bidang sosial yang nampaknya bisa ditangani untuk para penduduk yang ada di sekitar rumah tersebut, maka didatangkan dua orang Suster Abdi Kristus pada tahun 1980. Para suster ini kemudian berkarya di Paroki Weleri sekaligus menempati rumah milik Gereja agar rumah tersebut bisa terpelihara.

Pada waktu itu, karya-karya yang ditangani oleh para Suster ini ialah :
- Pembinaan umat di wilayah sekitar Susteran (Kring Besokor)
- Usaha-usaha social untuk membantu penduduk yang kurang mampu
- Menyelengggarakan Sekolah Taman kanak-kanak.

Pada waktu itu, untuk pemeliharaan rohani baik bagi para Suster maupun bagi umat disekitarnya, Romo Paroki menyelenggarakan Misa Kudus secara rutin dua kali seminggu di Susteran. Ternyata, hal ini mendapatkan tanggapan yang cukup positif dari umat. Dampak positifnya adalah umat di Kring Besokor nampak lebih hidup.


8. PERIODE 1984-2005[17]

8.1. Pembangunan Gereja sekarang ini

Setelah umat katolik semakin berkembang dan bertambah, gereja yang sudah ada tidak mampu menampung umat. Pada tahun 1988 jumlah umat ± 1684 orang. Atas prakarsa umat dan dukungan dari romo T. Widyono SJ pada tahun 1988 didirikan gereja baru sebagai pengganti gereja lama. Peletakan batu pertama pembangunan gereja tersebut didahului dengan Misa.

Perencanan anggaran pembangunan gereja tersebut mencapai Rp. 82 juta. Dana tersebut didapat dari Keuskupan, partisipasi umat serta dari dukungan para donatur. Pembangunan gereja tersebut selesai dan mulai digunakan pada tanggal 11–12–1991 dan pembiayaan seluruhnya mencapai Rp 128.200.000,-.

8.2.Pembangunan Pastoran

Pada bulan Oktober 1999, Rm. JB Suyitno, SJ merintis pembangunan pastoran. Pastoran tersebut selesai dibangun dan diberkati pada tanggal 30 Juli 2000, oleh Rm.JB Suyitno SJ.

9. PERIODE TAHUN 2006 – 2007

Periode ini menjadi periode bersejarah dan layak dicatat. Mengapa? Pada periode ini, Serikat Yesus Provinsi Indonesia melepaskan karya parokialnya kepada Keuskupan Agung Semarang. Sejak 29 Januari 2006, karya pastoral imam Yesuit di Paroki Weleri dan Kendal diserahkan kepada Keuskupan Agung Semarang. Dengan begitu, karya pastoral berikutnya dipercayakan oleh imam-imam diosesan Keuskupan Agung Semarang (baca: rama projo KAS). Saat itu, Rama BYL Subagio Atmodiharjo, Pr ditugaskan oleh Bapak Uskup sebagai imam diosesan Keuskupan Agung Semarang yang pertama bagi pelayanan tersebut dan sekaligus menerima estafet pelayanan pastoral dari Rm. JB. Suyitno, SJ sebagai imam Yesuit yang terakhir berkarya di wilayah itu. Dua bulan berikutnya, tanggal 1 April 2006, Bapak Uskup menugaskan Rm. Antonius Dadang Hermawan, Pr sebagai Pastor Pembantu untuk menambah tenaga imam di paroki tersebut.

Selama periode itu, kedua imam diosesan tersebut meneruskan dan mengembangkan paroki berdasar semangat Pedoman Dasar Dewan Paroki Keuskupan Agung Semarang 2004. Beberapa hal yang dikembangkan di antaranya, makanisme rapat dewan harian dan dewan pleno yang rutin, pembenahan administrasi kesekretariatan, pembenahan administrasi keuangan, dan pelayanan ekaristi di tiap lingkungan yang terjadual. Pelayanan Ekaristi di tiap lingkungan diadakan setiap sebulan sekali secara merata. Sejak dilayani dua imam, perayaan Ekaristi Harian di gereja Weleri diadakan setiap hari. Sementara itu, perayaan Ekaristi Harian di gereja Kendal hanya dilayani hari Kamis dan Jumat.

Langkah pastoral yang ditempuh selanjutnya adalah ikut serta dan ambil bagian dalam Tri Tugas Kristus, yaitu sebagai RAJA (memimpin), NABI (mengajar), IMAM (menguduskan). Tri Tugas Kristus tersebut diwujudkan dalam 3 (tiga) bentuk pelayanan, yaitu pelayanan TERITORIAL KARYA, BIDANG KARYA, dan SAKRAMENTAL. Teritorial Karya berarti cakupan wilayah karya yang meliputi Weleri, Kendal, dan kaliwungu. Bidang Karya berarti cakupan bidang yang meliputi Liturgi+Peribadatan, Pewartaan, Sosial+Kemasyarakatan, dan Paguyuban+Tata Organisasi. Pelayanan Sakramental berarti pelayanan yang mencakup perayaan sakramen-sakramen. Tanggungjawab atas tiga bentuk pelayanan ini dibagi dan diampu oleh masing-masing rama. Masing-masing rama mempunyai tanggungjawab yang menyertainya dalam pembagian teritorial karya, bidang karya, pelayanan sakramen tersebut. Pembagian tersebut diputuskan oleh para rama demikian:

1. Teritorial Karya

Rm BYL. Subagio Atmodiharjo, Pr bertanggungjawab atas pelayanan umat di Paroki Weleri. Rm Ant. Dadang Hermawan, Pr bertanggungjawab atas pelayanan umat di Paroki Administrasi Kendal.

Tanggungjawab para rama tersebut mencakup:

1.1. Koordinasi Dewan Paroki


Masing-masing rama bertanggungjawab terhadap jalannya koordinasi, konsultasi, dan komunikasi dewan paroki. Untuk mengadakan rapat, pengurus harian dewan paroki berkonsultasi dan berkoordinasi dengan rama yang mengampu masing-masing teritorial. Dengan demikian, koordinasi, konsultasi, dan komunikasi jelas dan ringkas.

1.2. Pelayanan Calon Manten

Masing-masing rama bertanggungjawab terhadap persiapan calon manten yang berasal dari teritorial yang diampunya. Karena itu, setiap calon manten diharapkan langsung berkonsultasi dan mengurusnya dengan rama yang mengampu masing-masing teritorial. Dengan demikian, konsultasi dengan siapa dan yang dituju siapa cukup jelas. Mengenai pelaksanaan Hari-H pernikahan, rama yang mengampu di teritorial tidak otomatis meneguhkan pernikahan. Perlu mempertimbangkan waktu yang cocok antara jadual manten dan jadual rama.

2. Bidang Karya

Rm BYL. Subagio Atmodiharjo,Pr mendampingi Bidang Kerygma (pewartaan) dan Diakonia (Sosial-Kemasyarakatan), sedangkan Rm Ant. Dadang Hermawan,Pr mendampingi Bidang Liturgia (liturgi+ibadat) dan Martyria (paguyuban+tata organisasi). Pendampingan ini mencakup semua teritorial, yaitu Paroki Weleri maupun Paroki Administratif Kendal. Dengan pembagian ini, diharapkan koordinasi dan konsultasi masing-masing bidang tertentu dengan rama pendamping menjadi jelas dan mudah.

3. Pelayanan Sakramen

Pelayanan Sakramen di semua teritorial dilayani oleh semua rama secara bergilir-rata. Pelayanan Perayaan Ekaristi Mingguan, Ekaristi Harian, dan Perayaan Ekaristi bulanan di masing-masing lingkungan tetap dilayani oleh semua rama secara bergilir-rata sesuai jadual yang dibuat. Di luar perayaan Ekaristi tersebut, umat dimungkinkan untuk meminta pelayanan Perayaan Sakramen Ekaristi di keluarga (ujub), Sakramen Tobat, Sakramen Minyak Suci kepada rama siapa pun tanpa memandang rama teritorial. Umat juga tetap terbuka kemungkinan untuk menghubungi rama-rama di luar hal tersebut di atas, misalnya konsultasi, sharing, diskusi, dsb. tanpa memandang rama teritorial.


10. BAGAIMANA MERAYAKAN ULANG TAHUN PAROKI KITA?

Sampai tahun 2007, peringatan ”kemeriahan” paroki dikemas dalam kegiatan ”martinusan”. Mengapa ”martinusan” dirayakan pun, sampai saat ini belum ada sumber yang pasti untuk menerangkannya. Hanya satu yang pasti, yaitu bahwa pesta santo Martinus jatuh pada tanggal 11 November. Karena pelindung Gereja Weleri adalah santo Martinus, tampaknya hari peringatan Santo Martinus sebagaimana yang ditetapkan dalam liturgi Gereja, dipilih untuk ”memeriahkan paroki”. Haruskah pesta paroki dijatuhkan tanggal 11 November, yang sekarang ini disebut sebagai ”Martinusan”? Pertanyaan ini perlu diajukan untuk menentukan secara pasti kapan kita ”memeriahkan” Gereja Weleri.

Dalam sejarah Gereja Weleri, ada beberapa data berikut ini:

1. Tanggal 1 Desember 1870 terjadi baptisan pertama di Weleri
2. Tahun 1948-1954 Rama Sutopanitro memperhatikan secara intensif daerah Weleri-Kendal-Kaliwungu
3. 13 Februari 1954 Weleri Secara resmi dijadikan paroki Mandiri.
4. 25 Desember 1957 penulisan baptisan pertama kali di Buku Baptis Weleri
5. 1968 untuk pertama kalinya Weleri mendapat romo paroki yang tinggal menetap.

Dari data di atas, mana yang bisa dijadikan pedoman untuk merayakan ulang tahun paroki Weleri?

1. Jika mengambil data no 1, itu berarti bahwa pada tahun 2008 paroki Weleri Ulang tahun yang ke-138. Namun, penyebutan ulang tahun paroki dimulai pada masa itu kurang kuat. Tidak ada keterangan sesudahnya mengenai dinamika umat. Besar kemungkinan bahwa pada masa itu hanya baptisan yang dipentingkan mengingat semangat misi pada waktu itu.

2. Jika mengambil data no 2, itu berarti bahwa pada tahun 2008 paroki Weleri Ulang Tahun yang ke-60. Dinamika iman umat tampak karena pendampingan iman umat oleh Rm. Sutopanitro, SJ. Beliau sungguh merupakan bapak iman bagi umat weleri. Gereja sebagai paguyuban umat beriman sungguh menampakkan dinamikanya. Ada pemeliharaan iman oleh beliau.

3. Jika mengambil data no.3, itu berarti bahwa pada tahun 2008 paroki Weleri Ulang Tahun ke-54. Penegasan ulang tahun paroki dengan mengambil data tahun ini tampak lebih kuat. Paroki Weleri secara administratif sudah mandiri dan secara serius mengarahkan hidup imannya dengan jelas. Pengakuan secara resmi sebagai paroki mandiri inilah yang kiranya dapat dijadikan patokan.

4. Jika mengambil data no.4, itu berarti bahwa paroki Weleri pada tahun 2008 Ulang Tahun yang ke-51. Pengambilan patokan ulang tahun pada tahun itu akan ”meniadakan” dinamika umat weleri sebelumnya. Pencatatan baptisan mulai ditulis dalam Buku Baptis Weleri memang dimulai tanggal itu atas nama atas nama Josef Cosmas Soedojo oleh Rm Sutopanitro, SJ (LB I / 1 tahun 1957). Namun periode baptisan antara tanggal 14 Februari 1954 dan 25 Desember 1957, yaitu sejak berdirinya paroki Weleri sampai pencatatan baptisan pertama di buku Baptis Weleri, seluruh baptisan yang terjadi di Weleri dicatat di Buku Baptis Sukorejo. Ini bisa terjadi karena masa transisi sehingga tertib dan disiplin administrasi belum diperhatikan.

5. Jika mengambil data no. 5, itu berarti bahwa paroki Weleri pada tahun 2008 merayakan ulang tahun yang ke-40. Patokan pengambilan saat ulang tahun pada fase ini pun juga meniadakan dinamika umat sebelumnya. Sebelum tahun 1968, dimana paroki Weleri mempunyai pastor yang menetap dan tinggal, Paroki Weleri sebagai paguyuban sudah ada sebelum ada pastor yang menetap, yaitu Rm. Knetsch, SJ.

Lantas, tanggal mana yang dipilih? Untuk memilihnya, harus ada dasar pengambilan keputusan. Dasarnya adalah paroki telah diakui secara resmi sebagai paroki mandiri dan pendampingan iman dengan segala urusan administratifnya mulai berjalan terarah. Jika dasar ini digunakan sebagai pedoman, maka tanggal yang dipilih sebagai hari Ulang Tahun Paroki adalah 13 Februari 1954. Itu berarti, pada tahun 2008 paroki Weleri merayakan Hari Ulang Tahun Paroki yang ke-54.

11. EPILOG

Tulisan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, dibutuhkan komentar dan penambahan data, fakta, atau pun peristiwa yang masih tercecer dan belum tertuang dalam tulisan ini. Tulisan ini dibuat untuk melacak sejarah demi menegaskan arah mau kemana paroki Weleri menuju.

Satu hal penting yang pantas dicatat adalah peran Rm. Sutopanitro, SJ. Beliaulah perintis iman umat paroki Weleri dan sekitarnya sebagai paguyuban umat beriman. Karena itu, amat baiklah beliau senantiasa dikenang. Ada berbagai macam cara untuk mengenangnya. Salah satunya adalah ”anjangsana di rumah terakhirnya”, yaitu di makam para imam Yesuit di Girisonta. Melalui cara inilah paroki Weleri dapat mewarisi semangat iman, pelayanan, dan ketekunan di dalam menghadapi tantangan iman jaman sekarang.

Rama Sutopanitro, SJ...doakanlah kami yang masih berjiarah sebagai umat di paroki Weleri.

Weleri...kala merayakan ”martinusan” di tahun 2007

Rm. Antonius Dadang Hermawan, Pr
Rekam Jejak Paroki...

Tahun Peristiwa

1 Des 1870
Baptisan pertama di Weleri atas nama Johan Andrian Anton, seorang Belanda. Pencatatan di Buku Baptis Gedangan LB III/150

1950
SD Kanisius "Brana” berdiri di Weleri

13-Feb-54
Weleri secara resmi dijadikan sebagai stasi dari Paroki Gedangan.

1956
TK Sanjaya Patma dan SMPK Kresna Paksa berdiri, di prakarsai oleh (alm) Rm. PC. Sutopanitro, SJ.

25 Desember 1957
Pencatatan baptisan pertama kali di buku baptis Weleri, LB I / 1 atas nama Josef Cosmas Soedojo oleh Rm Sutopanitro, SJ

1963
SMPK Budi Murni Kendal bersatu dengan SMPK Kresna Paksa, dan penyatuannya dikenal sampai sekarang sebagai SMPK "Budi Murni" Weleri

1967 - 1968
Pembangunan gedung Gereja St. Martinus (lama) dilaksanakan Pembangunan diprakarsai Rm. F. Knetsch, SJ.

1968
Rm Knetsch, SJ sebagai romo pertama kali yang tinggal menetap di pastoran Weleri.

1974
SMA "Theresiana" Weleri berdiri

1988 – 1991
Gedung Gereja St. Martinus (baru) dilaksanakan pembangunannya. Peletakan batu pertama dilakukan oleh Rm. T Widyana, SJ. Selaku Pastor Paroki

13-Dec-92
gedung Gereja yang baru diresmikan penggunaannya oleh Bpk. Bpati KDH II Kendal. Pemberkatan oleh Mgr. Julius Darmaatmaja, SJ.

15 Oktober 1999
Pembangunan gudung Pastoran St. Martinus dimulai

30 Juli 2000
Pemberkatan gedung pastoran “St. Martinus” oleh Rm JB. Suyitna, SJ

29 Januari 2006
Serikat Yesus melepas Paroki Weleri ke Keuskupan Agung Semarang.

Rm. JB.Suyitno, SJ sebagai imam Yesuit terakhir yang berkarya di paroki Weleri dan Rm. BYL. Subagio Atmodiharjo Pr sebagai imam diosesan pertama yang berkarya di paroki Weleri.

Mereka yang bekarya untuk melayani....

Tahun Romo yang pernah berkarya

1954 - 1963
Petrus Chrisologus Sutopanitro, SJ

1963 - 1968
Sebastianus Hardoparmoko, SJ

1969
Fredericus Knetsch, SJ

1969 - 1972
Constantinus Harsosuwito, SJ

1973 - 1974
Gerbrandus Schoonhoff, SJ

1973
Al. Pradjasuto, SJ

1974 - 1975
C. Widayaputranto, SJ

1975 - 1976
Julianus Sunarko, SJ

1977 - 1980
Christophorus Dureau, SJ

1981 - 1984
Antonius Lamers, SJ

1985 - 1990
Tarcisius Widyana, SJ

1990 - 1991
Yoshepus Wiharjono, SJ

1991 - 1996
FX. Widyatmaka, SJ

1996 - 2005
JB. Suyitna, SJ

2003 - 2004
FX. Arko Sudiono, SJ

2006 - sekarang
BYL. Subagio Atmodiharjo, Pr

2006 - sekarang
Antonius Dadang Hermawan, Pr

[1] Lih. SEJARAH GERERJA. St YUSUP GEDANGAN, Dalam Rangka Peringatan 125 Thn Gedung Gereja 12 Desember 1875-12 Desember 2000, hlm 11.
[2] Lih Buku Baptis Induk Paroki Gedangan: LB III / no 150.
[3] Lih. “Satu Setengah Abad GEREDJA KATOLIK di SEMARANG, 1958.,hlm 33.
[4] Bdk. “SEJARAH PAROKI WELERI, sampai tahun 1984”. Tulisan berjudul tersebut merupakan fotokopi-an yang saya temukan di Arsip Keuskupan Agung Semarang, setebal 23 halaman. Halaman 1 tidak ada sehingga cukup sulit untuk menemukan gagasan awal dalam tulisan tersebut. Penulisnya pun tidak saya ketahui. Untuk penulisan selanjutnya, alur gagasan penceritaan yang terdapat dalam tulisan tersebut saya sadur sepenuhnya. Beberapa rumusan kalimat saya sederhanakan dan saya edit tanpa mengurangi gagasan / inti yang hendak disampaikan penulis sejarah tersebut. Beberapa nama tokoh yang disebut penulis, saya lengkapi berdasar wawancara dengan tokoh-tokoh umat yang masih hidup.
[5] Beliau adalah bapak A. Giman. Sekarang ini ( November 2007), beliau masih hidup.
[6] Pada waktu itu, Pegandon disebut stasi, bukan lingkungan sebagaimana penyebutan di tahun 2007.
[7] Sukorejo menjadi paroki mandiri pada tahun 1963
[8] Mengapa dipilih pelindung St. Martinus? Sampai tulisan ini dibuat, jawaban belum ditemukan. Siapa yang memilih dan atas dasar apa? Berdasar Data Statistik Gereja Katolik Indonesia, buku Baptis Weleri dimulai 14 Februari 1954. Namun, baptisan pertama kali dalam buku Induk Baptis LB I no 1 atas nama Josef Cosmas Soedojo, pada tgl 25 Desember 1957. Baptisan diterimakan oleh Rm Sutopanitro. Soalnya, periode 1954-1957 baptisan yang terjadi di weleri dicatat dimana? Ternyata, baptisan di weleri dicatat di buku Baptis Induk Sukorejo, meskipun paroki Weleri telah menjadi paroki Mandiri.
[9] berdasarkan Data Statitis Gereja Katolik Indonesia, buku Baptis Sukorejo dimulai tanggal 27 Juli 1963
[10] Dukungan dan rintisan dari Rm Knetsch SJ antara lain pembentukan dewan paroki, meskipun awalnya tidak dengan kepengurusan yang lengkap. Dewan paroki tersebut dikoordinatori oleh Bapak Titus Probohariono.
[11] Lih. “SEJARAH GEREJA ST. YUSUP GEDANGAN, Dalam Rangka Peringatan 125 thn Gedung Gereja 12 Desember 1875 – 12 Desember 2000, hlm. 30.
[12] Sampai tulisan ini dibuat, keterangan mengenai tahun berapa gedung gereja yang lama tersebut didirikan dan oleh siapa belum ditemukan jawabannya.
[13] Pada tahun selanjutnya, gedung gereja tersebut mengalami perubahan. Perintisnya adalah Rm. Widyatmoko, SJ pada tahun 1990-an.
[14] Pada tahun selanjutnya, gedung gereja tersebut mengalami perubahan. Perintisnya adalah Rm. JB. Suyitno, SJ pada tahun 2000-an. Nama pelindungnya adalah Maria Diangkat ke Surga. Ibu Giman mengatakan bahwa nama tersebut merupakan idenya.
[15] Isitilah “kring” sama dengan istilah “lingkungan” sekarang ini (2007)
[16] Menurut sebuah sumber tertulis, perintis misa di tiap Kring adalah Rm. J. Sunarka, SJ.
[17] Informasi periode tahun ini tidak banyak sumber yang diperoleh. Karena itu, gambaran Paroki Weleri terbatas. Terbuka kemungkinan untuk dilengkapi oleh berbagai pihak.

Sumber : http://historiadomus.multiply.com/
Gambar : http://albertusgregory.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar