Minggu, 01 Januari 2012

Sejarah Gereja Katolik Santo Servatius & Sejarah Umat Kampung Sawah (5)

Gedoran, Kisah Kelabu Saat Kemerdekaan

Jakarta, pertengahan kedua bulan Agustus, sesaat setelah proklamasi kemerdekaan, mengalami situasi yang tak menentu. Pelbagai kelompok pejuang muncul. Penculikan kerap terjadi di kegelapan malam. Barisan-barisan pelopor, dengan menggunakan bambu runcng dan golok terhunus, berterbaran.

Rabu, 4 Oktober 1945, pukul 09.00 pecah pertempuran antara pasukan pelopor dan polisi keamanan Cililitan di dekat Pondok Gede. Kamis, 5 Oktober 1945, pukul 14, Tabrani Kaser, Asisten Wedana Pondok Gede, bersama sejumlah barisan pelopor, naik motor ke Kampung Sawah dengan tujuan menggeledah rumah penduduk untuk mendapatkan senjata. Selama perjalanan mereka membujuk penduduk untuk mengikuti mereka.

Kelompok itu pun jumlahnya menjadi seribu orang, “Mari kita membabat orang-orang Kristen di Kampung Sawah dan merampas segala milik mereka!” teriak mereka di jalan.

Sesampainya di Kampung Sawah, beberapa tembakan diletuskan sambil berteriak, “Merdeka!” Sebagian dari mereka langsung menuju rumah Pendeta Mika Rikin untuk merampok segala miliknya. Sebagian lain pergi ke gereja Katolik. Pintu dibuka dengan kapak, patung-patung dipecahkan. Ada pula suara ancaman yang ingin membunuh pastornya.

Bapak Poespasoepadmo telah mengibarkan bendera merah putih. Namun bendera disobek dan Pak Poespo, di bawah ancaman dua pucuk golok di leher, diminta untuk menyerahkan uang sekolah yang disimpan. Ibu Poespo melepaskan cincin dan anting-antingnya. Klinik dirampok. Busana ibadat dicuri.

Pada malam itu umat Kristen Kampung Sawah, Protestan maupun Katolik, tidur di bawah pepohonan dalam ketakutan. Harta mereka ludes dirampok.

Ketika berita itu sampai ke Monseigneur Willekens di Jakarta, ia pun mengirimkan Guru Yakub pada hari Jumat 6 Oktober 1945. Diiringi hujan, Pak Yakub, karena situasi pada saat itu mencekam, memilih jalan kecil menuju Desa Bambuapus. Setelah melewati beberapa ancaman dan penggeledahan oleh pemuda-pemuda pelopor, sampai juga ia di Kampung Sawah pada pukul 19.30. Ketika bertemu dengan warga Kampung Sawah, ia tak sanggup menenteramkan hati mereka. Siang malam, selama ini, warga Kampung Sawah, Katolik dan Protestan tidur di alam terbuka, berjaga-jaga di bawah pepohonan.

Sabtu 7 Oktober 1945, malam hari, terdengar tembakan pistol. Beritanya, gereja Katolik mau dibakar. Betul saja. Dengan obor di tangan, mereka mendekati “gereja Belanda”, gereja Katolik. Api pun disulut pada papan dinding yang kering. Api pun menjalar ke mana-mana, menuju atap dan menara.

F.X Boih Rimin[10], yang pada saat itu berumur 14 tahun dan masih menganut agama lain, bersaksi tentang kejadian itu, “Kawan-kawan saya cukup banyak. Ada seorang bapak yang memimpin. Waktu itu Kampung Sawah sedang kacau. Saya dan kawan-kawan iri hati sebab saya pikir, orang yang agamanya Kristen itu beragama Belanda. Hidupnya mewah dan pinter. Waktu itu saya berunding, kalau orang Kristen kita tindas dan kita rampok. Saya menyuruh orang Kristen sembahyang agama saya. Kalau tidak mau, saya ucapkan, ’Tahu sendiri!’ Seterusnya saya diajak membakar gereja Katolik. Saya enggan jawab. Rombongan saya membakar dan saya diam-diam menghilang dari rombongan.”

Dari jauh umat Kampung Sawah menyaksikan gereja mereka terbakar. Dalam hati mereka berdoa agar Tuhan menyelamatkan gereja mereka. Api menjalar terus. Tiba-tiba salib dari puncak menara jatuh.

Minggu 8 Oktober 1945, pukul 03.00. Lonceng kecil di menara mini jatuh, tapi tertahan rantainya. Lonceng tetap tergantung berayun-ayun pada seuntai kawat besi. Api menyala sampai menjelang fajar. Umat Katolik Kampung Sawah hanya pasrah. Namun ketika matahari bersinar, kelihatan bahwa ternyata hanya bagian barat gereja dan menara saja yang habis tertelan api dan ambruk. Sedangkan bagian timur gereja dan panti iman masih agak utuh.

Guru Yakub minta diri ke Jakarta untuk melaporkan situasi tersebut. Setelah ia berangkat bersama seorang pembantu dari pastoran Jatinegara, terjadi lagi perampokan.

Selasa, 10 Oktober 1945, Pondok Gede diduduki oleh tentara Belanda, para pelopor mengungsi ke udik. Rabu, 11 Oktober 1945, Tabrani serta barisan pelopornya mendirikan markasnya di Kampung Pedurenan. Pastoran diambil alih oleh kepala desa yang baru, Simoen, dan mulai dipakai juga sebagai tempat tinggalnya. Haji Dehir dari Pedurenan, mulai meningkatkan intimidasi terhadap orang-orang Kristen. Bapak Benyamin Kadiman, “sesepuh” Kampung Sawah, dibawa paksa ke Cileungsi dan ditahan bersama anaknya, Guru Sulaiman.

Tentang kejadian ini, Guru Sulaeman Kadiman berkisah, “Sebetulnya saya lahir di Cisarua, Bogor. Tanggal 16 Agustus 1919. Usia 3 bulan, karena orang tua nggak tahan dingin, beliau punya penyakit asma, kami pindah ke Kampung Sawah. Saya bekerja sebagai guru SD Odoricus Sithcting, dari tahun 1939 sampai 1945 di Munjul. Pada saat penangkapan itu, saya bersama orang tua dan paman, Lukas Napiun dan mertua saya, Yohanes Cani. Setelah Belanda menyerang Cileungsi, saya sempat menjadi tentara. Sementara orangtua saya dibawa ke Katedral!”

Sumber : http://www.servatius-kampungsawah.org/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar