Sabtu, 07 Januari 2012

Sekilas Sejarah Paroki Hati Kudus Yesus Tasikmalaya

AWAL MULA GEREJA KATOLIK TASIKMALAYA

Awal mula kehadiran Gereja Katolik di Tasikmalaya tidak terlepas dari orang-orang Belanda yang memiliki perkebunan karet yang tersebar di wilayah Tasikmalaya dan Ciamis. Para pemilik dan keluarga serta handai taulannya banyak yang beragama Katolik. Mereka sangat membutuhkan pelayanan, terutama pelayanan Ekaristi. Selain orang-orang Belanda, di Tasikmalaya banyak juga tentara KNIL yang beragama Katolik, yang membutuhkan pelayanan bimbingan rohani.

Adanya kebutuhan tersebut mendorong hierarki mengutus pastor bekerja di Tasikmalaya, Ciamis dan wilayah sekitarnya. Pastor datang ke Tasikmalaya silih berganti. Belum ada pastor yang menetap. Dengan adanya pelayanan rohani dan Perayaan Ekaristi, maka satu dua ada keluarga Tionghoa yang bergabung sebagai simpatisan.

Ketika Pelayanan Gereja diserahkan dari Serikat Yesuit (SJ) ke Ordo Salib Suci (OSC) wilayah Tasikmalaya dan sekitarnya menjadi “stasi“ dari Paroki Garut. Inilah langkah awal mulai berdirinya paroki Tasikmalaya.

Pada tanggal 28 Mei 1947 seorang anak bernama Tan Tjing It dari keluarga Tan Joen Liong dibaptis dan dicatat tersendiri dalam buku baptis Tasikmalaya meskipun dicatat pula di Garut. Baru pada tahun 1955 buku baptis benar-benar sudah terpisah dari Garut. Sayang arsip dari tahun 1947 sampai dengan 1996 yang mempunyai nilai sejarah yang tinggi itu ikut terbakar dalam peristiwa “Tasikmalaya Kelabu” pada 26 Desember 1996. Dalam perkembangannya, perayaan ekaristi dari waktu ke waktu selalu berpindah-pindah. Itulah sekilas awal mula Gereja Katolik di Tasikmalaya.

Menelusuri jejak langkah Gereja di Tasikmalaya bak menyusun batu-batu sendi menjadi sebuah bangunan. Apalagi hampir semua arsip baik foto-foto, dokumen permandian musnah terbakar. Pengalaman kehidupan menggereja yang kami dituangkan dalam Sejarah Gereja Paroki “Hati Kudus Yesus” Tasikmalaya terbagi dalam tonggak-tonggak:
1. Gereja Masa Revolusi (1930 – 1947)
2. Gereja Masa Mengembara (1947 – 1955)
3. Gereja Menetap (1955 – 1965)
4. Gereja Berkembang (1965 – 1994)
5. Renovasi: Perjuangan Seluruh Umat (1994 – 1996)
6. Peristiwa Tasikmalaya Kelabu (1996)
7. Membangun Kembali (1996-1997)
8. Gereja Memasyarakat (1997 – 2007)
9. Melampai Tahun 2000

BAGIAN I : GEREJA MASA REVOLUSI (1930 – 1947)

Pada tanggal 19 Oktober 1930 perkawinan antara Henri August Leonard dengan Catherine Jacqueline tercatat dalam buku perkawinan Pastor yang memberikan Sakramen Perwakinan adalah Pastor Ant. Van Asseldonk OSC. Pada tanggal 16 Februari 1931 Tasikmalaya memiliki sebuah gedung gereja sendiri. Meskipun telah memiliki gedung gereja Tasikmalaya merupakan stasi dari paroki Garut.

Pada tahun 1937 Mathias Tan Joen Liong yang dipermandikan di Bandung datang ke Tasikmalaya bekerja sebagai pegawai kebun karet Onderneming ADAWARNA di daerah Sukaraja-Cibalong. Bersama dengan pegawai kebun karet yang lain dan para tentara KNIL serta beberapa orang Tionghoa yang tertarik dengan agama Katolik mereka sering berkumpul mengadakan perayaan ekaristi. Para pastor Belanda dari Bandung yang memimpin perayaan ekaristi. Meski tidak rutin mulai tahun ini perayaan ekaristi sering diadakan secara berpindah-pindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain.

BAGIAN II : GEREJA MENGEMBARA (1947 – 1955)

Setelah situasi agak normal, perayaan ekaristi baru diadakan lagi mulai tahun 1947. Umat menggunakan rumah yang terletak di Jalan Seladarma No. 10 untuk beribadah dan beraktifitas. Selain di rumah tersebut, kehidupan menjemaat juga menggunakan gedung milik Brigif TNI-AD yang terletak di Jalan Yudanegara (sekarang pertokoan). Pada sekitar tahun 1947 pastor yang berkarya adalah Pastor Sumodiwirjo OSC seorang pastor yang bertugas mendampingi para tentara menggantikan Pastor C. Mooij OSC. Karena pastor Sumo adalah pastor tentara (Almoezenier) maka tidak heran bila kerap kali misa diadakan di kantin tentara.

Pada masa pengembaraan ini, sebuah sejarah penting yang perlu juga dicatat yakni peran TNI AD dalam perkembangan gereja Katolik Tasikmalaya. Anggota TNI AD saat itu membantu para pastor dalam pelayanan kepada umat. Bapak Budi Rahardjo dan Bapak Antonius Djawal, anggota TNI AD bagian pembinaan Rohani Katolik (Roh-Kat) ikut membantu pelayanan pastor dalam karya pewartaan.

Karena merekalah perayaan ekaristi hampir selalu diadakan di tempat milik TNI AD. Pada dekade ini sebagian besar umat Katolik adalah anggota TNI AD. Selain menempati markas Brigif, kegiatan berjemaat dilaksanakan di CPRAD yang terletak di Jalan Kalektoran (sekarang gedung BRI).

BAGIAN III : GEREJA MENETAP (1955 – 1965)

Setelah menjalani peziarahan perjalanan gereja yang cukup panjang dan melelahkan, berpindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain berkat bantuan Bapak Richardus Selawinata pada bulan Juli 1954 dibelilah sekolah “Minerva“ milik bapak Tjong A Koei yang terletak di jalan Kebon Tiwu. Setahun kemudian gedung lama dibongkar dan dibangunlah secara bertahap gedung yang baru di bawah koordinasi pastor Dohne OSC dengan arsitek bapak Ho A Buy.

Seiring dengan berdirinya bangunan baru, pada tahun 1955 mulailah sekolah Yos Sudarso Tasikmalaya di bawah pengelolaan Yayasan Salib Suci. Kegiatan hidup menggereja mulai terpusat di tempat ini. Ruangan gedung sekolah sengaja tidak disekat mati, karena setiap hari Minggu ruangan-ruangan kelas tersebut digunakan untuk perayaan ekaristi dan kegiatan gereja.

Ketika itu perayaan ekaristi masih menggunakan bahasa Latin dan semua umat termasuk imamnya menghadap ke altar. Salah satu ruangan yang terletak di ujung bangunan digunakan untuk tempat tinggal pastor sekaligus sebagai sakristi.

Pada tanggal 26 Juli 1956 seluruh bangunan TK, SD, dan SMP Yos Sudarso selesai dibangun. Mgr. Arntz OSC, Uskup Bandung memberkati dan meresmikan pemakaiannya dengan dihadiri perwakilan dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.

BAGIAN IV : GEREJA BERKEMBANG (1965 – 1994)

Perkembangan umat yang di luar dugaan ini mendorong untuk memikirkan gedung gereja yang permanen dan representatif. Pastor Van de Pool OSC yang masih muda dan bersemangat mulai membangun gedung gereja dan pastoran di atas tanah di Jalan Manonjaya No. 50 Tasikmalaya yang telah dibeli sebelumnya.

Entah dananya dari mana, mulailah dibangun gedung gereja dan pastoran sederhana. Kapan persisnya gereja dan pastoran tersebut selesai dibangun, namun menurut catatan, pernikahan tanggal 5 Februari 1966 telah menggunakan gedung gereja baru tersebut. Gedung gereja tersebut (kini telah menjadi lapangan parki). Di belakang gereja terdapat aula kecil yang digunakan untuk pertemuan, pelajaran agama, ruang tamu pastoran, dan sekretariat.

Dengan demikian perayaan ekaristi tidak diadakan di sekolah Yos Sudarso. Semuanya pindah ke Jalan Manonjaya No. 50 Tasikmalaya (sekarang Jl. Sutisna Senjaya). Gereja tersebut bisa menampung kurang lebih 200-an umat.

Setelah berkarya kurang lebih dua tahun dan menuai begitu banyak panenan, beliau pindah tempat tugas pada bulan April 1966. Yang menggantikan adalah Pastor Gani OSC yang datang ke Tasikmalaya pada bulan Mei 1966. Pada bulan Agustus 1966 Pastor Hidayat OSC, seorang pastor tentara bergabung untuk berkarya di Tasikmalaya. Kedua gembala ini melayani umat yang tersebar diberbagai tempat di kabupaten Tasikmalaya, Ciamis, Banjar, Pangandaran. Karya mereka bukan hanya dalam bidang katekese juga pemberdayaan ekonomi terutama masyarakat di pedesaan.

BAGIAN V : RENOVASI: PERJUANGAN SELURUH UMAT (1994 – 1996)

Perkembangan umat yang begitu pesat mendorong semua pihak baik pastor maupun umatnya untuk mulai memikirkan tempat sarana pembinaan yang lebih memadai secara serius. Seiring dengan keinginan itu pada pertengahan tahun 1993 keinginan umat memiliki gereja yang lebih luas dengan sarana lainnya tidak terbendung. Angan-angan memang besar, namun waktu itu dana serupiah pun belum punya. Maksud mulia itu disetujui oleh pastor Martin Sommers OSC.

Maka dibentuklah panitia pembangunan gereja. Sebagai pelindung pastor Martin Sommers OSC, penasehat adalah RH Selawinata, Y. Hidayat Yodi Saputra, Yan Setiono, pastor Y. Siswa Subrata Pr. Sedangkan panitia inti adalah dr. Lukmantara Tendi Ketua) dan F.H. Suhartono SH (Wakil Ketua). Panitia yang lain adalah A. Sugito dan C. Sugirman (Sekretaris), L. Benny Hamdani dan F. Eddy Tunggino (Bendahara), Ir. Ign. Sukianto, Ir. Aat Sumadi, H. Gunawan, YB Djoni Hasan, A. Darmawan Tendi (pelaksana). Seksi usaha K. Hansen Tendi dan seksi humas B. Waluyo dan Ign. Sutono. Mereka itulah yang terlibat dari awal sampai akhir sesuai dengan talenta dan waktu serta tenaga yang tersedia.

Selama kurun waktu setengah tahun panitia mengumpulkan modal dan memohon bantuan dana dari Keuskupan Bandung dan Yayasan Salib Suci. Umat juga diajak untuk terlibat dari yang terkecil sampai dengan yang besar kemampuannya. Pengumpulan dana dari umat dilakukan dengan cara iuran per keluarga. Bentuk bangunan pun mulai dirancang dengan meminta bantuan Ir. Bun Yong seorang arsitek dari Bandung. Melalui perdebatan yang panjang dan melelahkan akhirnya model bangunan disetujui.

Pada tanggal 29 September 1994 pastor Martin meletakkan batu pertama gedung gereja di dalam tanah bekas pastoran yang dipakai awal tahun 1960-an pertanda dimulainya pembangunan gedung gereja. Karena dana yang dikumpulkan umat belum memadai, maka selama pembangunan berlangsung umat mengumpulkan dana lewat iuran yang dihimpun lewat para ketua lingkungan. Umat dengan setia sesuai kemampuan memberikan bantuan. Setiap kali pembangunan belum selesai dan masih membutuhkan dana umat diajak untuk berunding mengenai cara mencari dana.

Gereja baru yang dibangun di belakang gedung gereja lama tampak lebih luas. Karena menggunakan tanah sekolah Yos Sudarso yang sebelumnya dipakai untuk lapangan basket dan ruang laboratorium, maka gereja mengganti kedua fasilitas tersebut. Lapangan basket dibuatkan di samping aula dan ruang laboratorium di samping ruang legio Mariae.

Berbagai tantangan dan hambatan muncul silih berganti. Namun syukurlah semuanya bisa diatasi berkat suntikan dan pendampingan pastor Siswa Subrata Pr. Gedung gereja selesai dibangun dan telah mulai dipakai sejak Minggu pertama masa Advent tahun 1995. Waktu pelaksanaan termasuk seluruh gedung penunjang berlangsung 672 hari atau tepatnya 96 minggu, mulai tanggal 29 September 1994 sampai dengan 31 Juli 1996.

Sepintas semuanya berjalan cepat dan lancar, namun sesungguhnya setiap hal membutuhkan diskusi dan perjuangan tersendiri. Prasasti gedung gereja ditandatangani oleh bupati Tasikmalaya Suljana W. Kusumah dan diresmikan penggunaannya serta diberkati oleh bapak Uskup Alexander Djajasiswaja Pr. pada tanggal 7 Agustus 1996.

BAGIAN VI : PERISTIWA TASIK KELABU (1996)

Kamis, 26 Desember 1996, sehari sesudah Hari Raya Natal adalah Hari Raya Santo Stefanus, Martir Pertama. Kota Tasikmalaya mencatat sejarah penting yang tidak pernah dilupakan terutama oleh masyarakat yang menyaksikan maupun mengalaminya. Pada hari itu, 77 hari setelah kerusuhan di Situbondo, terjadilah kerusuhan yang mengejutkan. Peristiwa itu memakan korban jiwa dan kerusakan harta benda. Gereja-gereja dan pertokoan termasuk rumah-rumah yang dimiliki oleh orang Tionghoa dirusak dan dibakar termasuk terbakarnya gedung gereja Paroki Hati Kudus Yesus yang baru diresmikan oleh Bapa Uskup Alexander Djajasiswaja Pr pada tanggal 7 Agustus 2006. Prasasti yang menandai diresmikannya gereja tersebut ditanda tangani oleh Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kabupaten Tasikmalaya Suljana W. Kusumah.

Dalam peristiwa yang mengejutkan itu, gedung gereja Paroki Hati Kudus Yesus, Jl. Sutisna Senjaya 50, Tasikmalaya mengalami empat gelombang aksi perusakan. Sebagai sebuah catatan sejarah penting kiranya perlu ditulis kronologis perusakan gedung gereja dan sarana penunjang lainnya sebagaimana dituturkan oleh Pastor Kepala Paroki, Rama Y. Siswa Subrata Pr dan beberapa umat yang menyaksikannya.

BAGIAN VII : MEMBANGUN KEMBALI DI ATAS PUING-PUING RERUNTUHAN (1996-1997)

Peristiwa Kerusuhan Tasikmalaya, dan peristiwa serupa yang terjadi di mana-mana pada dekade tahun 1996 – 1997 kiranya menimbulkan keprihatinan umat katolik yang sangat mendalam. Kerusuhan yang terjadi di Tasikmalaya merusak sejumlah sarana umum, kantor instansi, toko, pabrik, gedung gereja dan tempat ibadah lain serta bangunan-bangunan lain. Akibat dari peristiwa tersebut, banyak orang yang terlantar dan menderita karena kehilangan lapangan pekerjaan dan sumber penghidupan.

Peristiwa Kerusuhan Tasikmalaya yang meluluhlantahkan bangunan gereja dan sarana penunjang lainnya menyimpan sebuah tanda tanya: mengapa gereja yang harus dirusak? Keprihatinan ini menjadi semakin menghentak masyarakat lantaran disusul dengan krisis moneter yang menimpa bangsa Indonesia. Harga bahan makanan pokok yang melambung tinggi, jumlah pengangguran yang melonjak, masyarakat yang dihantui rasa takut membuat semakin lengkaplah penderitaan bangsa ini. Keprihatinan yang melanda seluruh negeri seolah ingin mengatakan bahwa bangsa ini sedang terpuruk. Jatuhnya rezim Orde Baru yang ditandai dengan mundurnya Soeharto dari kekuasaan pada tanggal 20 Mei 1998 membuat situasi semakin tidak menentu. Setelah kerusuhan di Tasikmalaya, menyusul pembakaran gereja di mana-mana yang dipicu oleh peristiwa sederhana. Pada masa ini umat katolik merasa tersudutkan dan kurang aman. Apalagi ditambah dengan kenyataan hidup yang semakin terasa menghimpit karena krisis moneter.

Di tengah-tengah situasi yang rawan, umat Tasikmalaya bangkit membangun kembali gedung gereja yang telah luluh lantak. Dalam suasana yang masih tidak menentu, reruntuhan dibersihkan dengan dibantu oleh warga masyarakat sekitar. Pastor Siswa Subrata Pr. membentuk sebuah tim yang bertugas merenovasi bangunan yang telah hancur.

BAGIAN VII : GEREJA MEMASYARAKAT (1998 – 1999)

Satu tahun setelah kerusuhan masih muncul bermacam rumor di masyarakat.. Gerakan-gerakan meskipun kecil menimbulkan kekhawatiran di kalangan umat. Banyak umat yang memiliki toko masih enggan membuka kembali usahanya. Setiap kejadian yang melibatkan masyarakat Tasikmalaya didiskusikan bersama. Pastor Siswa Subrata Pr. sebagai pastor paroki berperanan sekali dalam mengamati setiap kejadian. Umat diajak untuk mendiskusikan setiap gerak kemudian mengambil langkah-langkah untuk mengantisipasi kejadian yang tidak diinginkan.

Menyikapi situasi negara yang sedang dilanda krisis moneter, maka gereja mengadakan berbagai macam kegiatan sosial. Dalam setiap rapat para pengurus Dewan Paroki maupun Pengurus Lingkungan selalu disinggung mengenai situasi terkini yang terjadi di Tasikmalaya. Setiap kejadian yang menarik perhatian masyarakat direfleksikan menjadi sebuah aksi. Maka muncullah berbagai macam gagasan kegiatan yang melibatkan masyarakat. Boleh dikatakan bahwa tahun 1998 – 1999 adalah tahun kegiatan sosial yang diwarnai dengan aksi sosial entah berupa pemberian Paket Murah atau Paket Hemat berupa beras, minyak goreng, gula, mie instant. Kegiatan lain yakni berupa operasi pasar ke pelosok-pelosok dengan menjual beras murah.

Kegiatan yang paling mendapatkan tanggapan positif dari masyarakat adalah pasar murah bagi warga RW 05 Kebon Tiwu yang dilaksanakan pada tanggal 25 Januari 1998. Kegiatan ini mendapat sambutan hangat karena krisis ekonomi sedang melanda seluruh negeri dimana harga barang-barang kebutuhan pokok melonjak. Seluruh umat terlibat dalam kegiatan ini sesuai dengan talentanya masing-masing. Pada kesempatan tersebut walikota Tasikmalaya hadir meski tidak diundang.

Pasar murah menjadi agenda kegiatan yang berkelanjutan bahkan rutin dilaksanakan. Pada bulan Maret 1998 berturut-turut pasar murah diadakan bagi warga di kecamatan Tawang, kemantren Tamansari, bagi para penderita cacat. Tidak jarang pula kegiatan sosial seperti ini bekerjasama dengan PMII dan IPNU. Pada bulan yang sama dierikan paket berupa beras, mie instant, ikan asin bagi masyarakat Gunung Tanjung dan kemantren Tamansari.

Bulan berikutnya paket murah juga diberikan bagi orang-orang yang cacat di kompleks lembaga sosial. Pada hari Minggu, 17 Mei 1998 paket hemat diberikan untuk para penyandang cacat di lapangan basket.

Pada tanggal 26 Mei 1998 bekerjasama dengan IPNU dan mahasiswa Cipasung (IAIC) yang sedang mengadakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) mengadakan operasi pasar ke: Warungponteng sebanyak 5 ton beras; Sukaratu 1 ton beras; Cipicung, Taraju 1 ton beras; Sukanagara 1 ton.

Pada bulan Agustus 1998 paroki melaksanakan program rakyat sehat. Berbagai macam aksi sosial dilaksanakan. Kegiatan yang paling menonjol yakni program bayi sehat. Seksi sosial dan PMII bekerjasama membagikan susu bagi balita hampir di setiap kelurahan.

Komunikasi dengan saudara-saudara muslim ditingkatkan. Kunjungan kepada para kyai dan ajengan dilaksanakan. Silaturahmi dengan para pemuka agama diintensifkan bersama dengan para pengurus lingkungan di tingkat masyarakat bawah.

Jalinan persaudaraan itu membuahkan hasil yakni terbentuknya sebuah forum yakni Forum Persaudaraan Umat Beragama (FPUB) yang dideklarasikan pada tanggal 20 Mei 1998 oleh beberapa tokoh dari kalangan umat beragama. Saat terbentuk forum ini mempunyai tujuan agar bisa digunakan sebagai tempat merumuskan konsep-konsep persaudaraan antarumat beragama. Dialog keagamaan pun berlanjut dalam karya bagi masyarakat.

Sumber : http://parokitasikmalaya.wordpress.com/2010/09/13/sekilas-sejarah-paroki-tasikmalaya/#more-369

Tidak ada komentar:

Posting Komentar