Rabu, 22 Februari 2012

Sekilas Sejarah Gereja Santo Ignatius Cimahi

Tahun 1908 merupakan tonggak utama sejarah pelayanan gereja katolik Cimahi di mana pada tahun tersebut bangunan gereja yang didirikan oleh para imam dari ordo Serikat Jesus (SJ) secara resmi menggunakan nama pendiri ordo tersebut, Santo Ignasius Loyola (1491~1556) sebagai nama pelindung gereja yang terletak di Jalan Baros No. 8. Cimahi.

Namun demikian agama katolik atau umat yang beragama katolik di Cimahi, sudah ada jauh sebelum tahun 1908. Mereka bukan penduduk asli tetapi mereka mula-mula adalah para pendatang yang berasal dari negeri Belanda maupun yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka ditugaskan di Cimahi sebagai tentara Kerajaan Belanda (KL) maupun sebagai Tentara Pemerintahan Hindia Belanda (KNIL). Jadi pengambilan tahun 1908 sebagai tonggak bukanlah tahun dimana untuk pertama kali ada umat katolik di Cimahi tetapi tahun dimana untuk pertama kalinya digunakan nama St. Ignatius Loyola untuk gedung gereja yang dibangun di Cimahi yang pada tahun 2008 berusia 100 tahun.

Bahwa umat katolik Cimahi sudah ada sebelum tahun 1908 dapat dibuktikan dengan adanya berbagai pelayanan yang diberikan kepada umat, dan pembangunan gedung gereja yang dilakukan oleh pastor-pastor SJ. Kedatangan pastor-pastor SJ ke Cimahi bersamaan dengan dijadikannya Cimahi sebagai pangkalan militer Hindia Belanda sebagai bagian dari wilayah pertahanan militer kolonial Belanda di tanah Priangan.

Cimahi Kota Militer

Sejak masa pemerintahan Gubernur Jendral Herman Willem Daendels (1808-1811), Cimahi direncanakan untuk dijadikan sebagai daerah pangkalan militer Pemerintah Hindia Belanda guna membantu pertahanan militer di pulau Jawa. Dipilihnya Cimahi sebagai daerah pangkalan militer dengan pertimbangan; letak geografisnya yang strategis, berada di daerah pedalaman yang dilalui jalur rel kereta api maupun jalan raya Bogor – Bandung dan Cikampek serta jalur kereta api Batavia – Bandung. Pada perkembangannya kemudian Cimahi juga merupakan benteng pertahanan untuk menjaga dan melindungi Pangkalan Udara Militer di Andir Bandung.

Untuk mewujudkan Cimahi menjadi kota militer, berbagai sarana penunjang seperti Kompleks Perumahan Perwira (di Jalan Gedung Empat sekarang), Markas Militer (sekarang Markas Kodim), Rumah Sakit Garnisun (sekarang RS Dustira), barak / tangsi (tersebar, saat ini menjadi berbagai pusat pendidikan TNI AD) Sositeit Perwira dan Penjara Militer (sekarang Rumah Tahanan Militer Poncol) dibangun antara tahun 1886 – 1887.

Cimahi juga merupakan kota markas besar garnisun militer Belanda yang mengawal pertahanan kota Bandung, didukung oleh tiga batalyon yaitu: Infanteri, Genie (Zeni) dan Artileri yang diresmikan pada bulan September 1896 dengan komandan pertamanya Majoor Infanteri C.A. Loenen dan ajudannya Luitenat J. A. Kohler.

Dengan dijadikannya Cimahi sebagai pangkalan militer, maka terjadilah penempatan tentara dalam jumlah relatif besar, baik Tentara Kerajaan Belanda (KL) maupun Tentara Hindia Belanda (KNIL) yang kebanyakan berasal dari Flores, Timor, Ambon, Menado dan Jawa. Tidak sedikit di antara keluarga tentara tersebut terdapat keluarga yang beragama katolik.

Untuk memenuhi kebutuhan rohani umat akan kegiatan beribadah, maka umat katolik yang berasal dari kalangan tentara dilayani oleh pastor tentara (aalmoezenir) sedangkan umat katolik yang bukan tentara dilayani oleh pastor yang berasal dari Cirebon karena sejak tahun 1878 Cirebon menjadi salah satu stasi dari Vikaris (wilayah pelayanan gereja katolik) Batavia yang dipercayakan kepada Pastor Adolphus Philippus Caspar Van Moorsel SJ. untuk melayani daerah Priangan dan Tegal. Dua tahun kemudian, pada tahun 1880 stasi Cirebon ditingkatkan statusnya menjadi Gereja Cirebon yang diresmikan oleh Uskup Mgr.A.Claessens dan diberi nama pelindung Santo Yosep.

Pada tahun 1895, Mgr. Walterus Staal SJ, Vikaris Apostolik Batavia meresmikan dan memberkati gedung gereja katolik pertama di Bandung yang diberi nama pelindung Santo Fransiskus Regis di sudut Jalan Scoolweg (Sekarang Gedung Bank Indonesia di Jl. Merdeka) dan Jalan Kerkweg (kini Jl. Wastukencana). Gereja tersebut kemudian dijadikan sebagai gedung pertemuan Katoliek Sociale Bond (KSB) setelah gereja Katedral St. Petrus yang terletak diseberangnya (sudut Jalan Jawa dengan Jalan Merdeka) dibangun dan diresmikan pada tanggal tahun 1922 oleh Mgr. E.Luypen.

Pendirian gereja tersebut dilatarbelakangi oleh semakin berkembangnya umat katolik di kota Bandung yang berasal dari kalangan pegawai pemerintah Hindia Belanda yang beragama katolik. Perkembangan itu terjadi karena sejak tahun 1884 hubungan kereta api antara Bandung dan Batavia semakin intensif sehingga Bandung berkembang menjadi kota besar.

Dengan berdirinya Gereja St. Fransiskus Regis, maka sejak tahun 1907 Bandung menjadi stasi baru dengan pastornya J. Timmers SJ. dan dibantu oleh pastor Fv. Santen SJ, maka umat katolik yang berada di Cimahi dilayani secara lebih intensif oleh kedua pastor tersebut secara bergantian sebulan sekali. Hal ini terjadi karena Cimahi termasuk wilayah stasi Bandung yang semula merupakan bagian dari Paroki Santo Yosep Cirebon. Pada tanggal 13 Februari 1907 Cimahi terpisah dari Cirebon dan berdiri sendiri sebagai stasi. Mengenai perkembangan umat, ada sebuah catatan di buku permandian Paroki St. Yosep Cirebon yang menunjukkan bahwa pada tahun 1903 di Cimahi sudah ada umat yang dipermandikan.

Pembangunan Gedung Gereja

Sebulan sekali perayaan misa ekaristi dipersembahkan di sebuah ruang kelas di Ambonsche School di Tagog (SMP Negeri I Cimahi sekarang). Hal itu dinilai kurang memadai karena kehidupan beragama yang lebih semarak dan bersemangat dinilai sulit dikembangkan dengan sarana yang terbatas tersebut. Melihat kenyataan itu, Vikaris Apostolik Batavia Mgr. Edmundus S. Luypens SJ. (1898-1923) menganjurkan agar di daerah-daerah yang ada umat katoliknya, dibangun gedung gereja sebagai identitas diri umat katolik.

Maka pada tahun 1906 dimulai usaha pembangunan gedung gereja di Cimahi di atas sebidang tanah bantuan dari Pemerintah Hindia Belanda yang lokasinya di pertigaan Baros Weg (Jalan Baros) dan Prins Hendrik Laan (sekarang Jalan Jend. Sudirman).
Dana yang dipakai untuk pembangunan gedung gereja diperoleh dari Dep. Onderwys en Eridienst (Dep. Pendidikan dan Agama) atas prakarsa seorang awam bernama Riviera de Verninas, serta bantuan dari para opsir-opsir bagian Genie/Zeni dan sumbangan dari negeri Belanda.

Pembangunan gedung gereja awal yang luasnya 8 x 16 meter ini, berbentuk lurus dengan fascade (tampak muka) bergaya neo romantic dengan langit-langit dan jendela berbentu melengkung. Altar menyatu dengan tabernakel terbuat dari kayu jati berukir bergaya gothic dengan salib dari baja bertengger di bumbungan gereja. Pada waktu perluasan gereja, salib itu dipindahkan di atas atap pintu utama sebelah selatan sampai sekarang. Pembangunan periode tersebut dilakukan dibawah pengawasan Pastor Martinus Timmers SJ dan Pastor Jacobus van Santen SJ (1907), diteruskan oleh Pastor Joanes Kremer SJ (1908). Pembangunan yang tidak disertai gedung pastoran itu, memakan waktu lebih kurang 2 tahun, selesai pada tanggal 20 Desember 1908 dan mampu menampung umat sebanyak 100 – 150 orang.

Pemberkatan dan Pemberian Nama

Pemberkatan gedung gereja yang dibangun tanpa kupel (menara) itu dilakukan pada tanggal 20 Desember 1908 oleh Pastor Joanes Kremer SJ dan diberi nama pelindung Santo Ignatius Loyola. Ignasius adalah seorang Santo (orang suci dalam iman katolik) mantan perwira Kerajaan Spanyol yang menjadi imam dan pendiri Ordo Serikat Yesus. Pemberian nama tersebut sangat mungkin berkaitan erat dengan keberadaan kota Cimahi sebagai kota garnisun, gedung gereja yang ada di tengah-tengah perumahan militer dan umat perdananya adalah kalangan militer.

Meskipun pemberkatan dilakukan pada tanggal 20 Desember 1908, tetapi hari jadi Gereja Santo Ignatius Cimahi diperingati setiap tanggal 31 Juli, sesuai dengan peringatan pesta nama St. Ignatius Loyola.

Pembangunan Perluasan Bangunan Gereja

Seiring dengan berjalannya waktu, maka perkembangan jumlah umat semakin hari semakin bertambah sehingga dirasa perlu untuk memperluas gedung gereja. Pada tanggal 30 April 1925, gedung gereja diperpanjang sehingga ukurannya menjadi 8 x 24 meter.
Sedangkan bentuk gedung gereja seperti salib dengan menara seperti yang ada sekarang, adalah hasil pelebaran yang dilakukan pada tanggal 31 Juli 1930 oleh pastor J. de Rooij OSC. Selain pelebaran gedung gereja, dibangun pula pastoran (rumah tinggal pastor) dan gedung pertemuan yaitu gedung Sugiyapranoto sekarang. Peresmiannya dilakukan oleh Mgr. J. H. Goummans OSC pada tanggal 2 April 1933 bertepatan dengan 25 tahun berdirinya gereja di Cimahi.

Selain berkarya dan memberikan pelayanan di bidang rohani, gereja saat itu telah memberikan pelayanan dibidang sosial, pendidikan dan kesehatan, meskipun masih sangat terbatas.

Berdirinya Paroki St. Ignatius Cimahi

Sebelum serah terima dilakukan, gereja St. Ignatius Cimahi berubah statusnya dari Stasi menjadi Paroki pada tanggal 7 Juni 1928. Meskipun demikian, Paroki baru ini belum memiliki pastoran sehingga belum ada pastor yang tinggal menetap.
Pelayanan terhadap umat masih dilakukan oleh pastor-pastor yang berasal dari Bandung. Pada saat itu jumlah umat tercatat sebanyak lebih kurang 135 orang yang terdiri dari 115Orang Eropa dan 20 orang non Eropa.

Tahun 1928 sekumpulan opsir yang beragama katolik membeli sebuah rumah di daerah Tagog untuk tempat rekreasi dan pertemuan. Rumah tersebut diberi nama Militer te Huis dan kemudian pada tahun 1960 an namanya diganti menjadi Panti Cengkrama. Rumah tersebut akhirnya dihibahkan kepada gereja dan oleh gereja dibangun menjadi gedung serba guna dan Gereja St. Agustinus sampai sekarang.

Pada tahun 1930 Pastor Johanes de Rooij OSC. tinggal dan menetap di Cimahi, mula-mula di daerah Tagog (sekitar daerah apotik Omega sekarang) kemudian pindah ke rumah sewaan di Prins Hendrik Laan (sekarang letaknya di Ubug pas di tusuk sate ujung jalan Oerip Soemoharjo). Ia adalah pastor pertama yang menetap di Cimahi. Setelah kurang lebih 3 tahun bekerja sendiri, kemudian datang pastor Dirk Koster OSC. sebagai pastor pembantu pada tahun 1933, karena semakin luasnya wilayah pelayanan dan umat yang harus dilayani.

Disaat itulah mulai dipikirkan untuk membangun gedung pastoran, gedung pertemuan dan gedung sekolah. Rencana pembangunan gedung sekolah dibatalkan karena lahan yang tersedia kurang luas.

Pembangunan Gedung Pastoran, Gedung Peremuan dan Perluasan Gereja

Pada tanggal 31 Juli 1930 dimulailah upaya pembangunan gedung pastoran dan gedung pertemuan sekaligus perluasan gedung gereja oleh Pastor J. de Rooij, sebagai pastor paroki. Gedung gereja yang semula berukuran 8m x 16m diperluas, ukurannya menjadi 8m x 24m, bentuknya lurus, posisi mengarah ke Timur – Barat dengan pintu utama di sebelah Timur. Gedung pastoran dibangun di sebelah Utara gereja agak ke arah Timur Laut dan digunakan sampai awal tahun 2004. Pastor J. de Rooij adalah pastor paroki pertama yang untuk pertama kalinya menempati pastoran baru tersebut. Sedangkan gedung pertemuan yaitu Gedung A. Sugiyapranoto yang digunakan sampai sekarang dibangun di samping sebelah Timur gereja.

Pada tanggal 20 September 1933 dilakukan peletakan batu pertama pada acara perluasan gedung gereja dilakukan oleh pastor Antonius van Asseldonk. Bangunan gereja yang diperluas berbentuk salib dilengkapi dengan sebuah menara lonceng dan sebuah lonceng besar yang diberi nama Angelus (para malaikat) digantungkan disitu sejak 9 Juni 1935. Pembangunan dilakukan oleh pemborong yang bernama Lim A Goh dari Bandung dibawah pengawasan de Leeuw sebagai toezicht. Biaya yang dihabiskan untuk pembangunan tersebut sekitar 9.000 gulden.

Pada tanggal 2 April 1934, bertepatan dengan Hari Raya Paskah dan 25 tahun gereja St. Ignatius Cimahi, Mgr. Jacobus Hubertus Gouman OSC meresmikan bangunan gereja yang sudah selesai diperluas. Perluasan gedung gereja dilakukan kembali karena umat paroki Cimahi semakin bertambah dan wilayah pelayanan pastoralnya semakin luas.
Gedung gereja yang sudah diperluas bentuknya seperti gedung gereja sekarang ini dan mampu menampung umat sebanyak 500- 600 jemaat.

25 Tahun Gereja Santo Ignatius Cimahi

Peringatan seperempat abad gereja St. Ignatius Cimahi ditandai dengan peresmian perluasan bangunan gereja yang sebelumnya sudah diperluas oleh Mgr. J.H.Gouman OSC. Prefek Apostolik Bandung I yang diangkat pada tanggal 27 Mei 1932 dan dilantik oleh Vikaris Apostolik Batavia Mgr. Antonius van Velsen SJ. pada tanggal 15 Agustus 1932 di gereja St.Petrus Bandung.

Hal itu terjadi karena sejak tanggal 20 April 1932, berdasarkan Brevis Apostolica Paus Pius XI, wilayah Bandung dipisahkan dari Vikaris Batavia menjadi Perfektus Bandung.

Dalam usianya yang sudah 25 tahun, kegiatan pelayanan diberikan kepada umat khususnya berkaitan dengan permandian, komuni pertama, sakramen penguatan dan perkawinan.

Wilayah pelayanan paroki Cimahi saat itu sangat luas meliputi Purwakarta, Cikampek, Karawang, Pamanukan, Subang dan daerah-daerah disekitarnya. Hal inipun tentu membutuhkan jumlah pelayan/pastor yang memadai. Untuk kebutuhan itu, maka didatangkan seorang pastor pembantu yaitu pastor Dirk Koster OSC.

Masa Menjelang dan Paska Kemerdekaan

Periode 25 tahun kedua atau 31 tahun setelah pastor-pastor OSC berkarya di Cimahi, paroki St. Ignatius mencatat berbagai peristiwa penting yang membawa dampak bagi kemajuan dan perkembangan umat katolik maupun peristiwa yang berdampak tidak menguntungkan. Peristiwa-peristiwa tersebut secara kronologis diuraikan di bawah ini.

Kedatangan Suster-Suster OP dan Tentara KNIL di Cimahi

Menindaklanjuti perlunya sarana pendidikan dalam rangka pengembangan kedewasaan pikiran dan sikap mental umat, maka pastor Johanes de Rooij sebagai pastor paroki menulis surat kepada suster-suster Ordo Santo Dominikus atau Ordo Praedicatorum (OP) yang memiliki biara induk di Cilacap, untuk berkarya di Cimahi. Undangan tersebut mendapat sambutan yang positif, maka pada tanggal 2 Juli 1934 beberapa suster Dominikanes tiba di Cimahi. Mereka bermaksud membeli tanah di daerah Hotel Berglust (dikenal sekarang sebagai Berkles di Jln. Sukimun), tetapi batal dan akhirnya membeli tanah didaerah Baros sekarang dari seorang pemilik yang bernama Timmerman. Di atas lahan itulah dibangun rumah biara dan sebuah local Taman Kanak-Kanak (Frobel School) St. Theresia dan Sekolah Dasar (Largere School) St. Maria. Bangunan tersebut masih terbuat dari bilik bambu dan diresmikan pada tanggal 1 Agustus 1934, sedangkan kompleks bangunan yang permanent baru dibangun pada tanggal 23 Mei 1935 di mana Uskup Bandung, Mgr.J.H.Goumans OSC meletakkan batu pertama pada pembangunan Sekolah Katolik dan Kapel Suster Dominikanes tersebut. Setelah pembangunan selesai, kompleks sekolah dan kapel baru tersebut diberkati pada tanggal 12 Agustus 1935 oleh Mgr. J.H. Goumans OSC.

Pelayanan pendidikan yang diselenggarakan oleh para suster Dominikanes, semakin hari semakin berkembang. Oleh karena itu untuk melayani pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi yaitu Sekolah Dasar, perlu ada ruangan kelas yang baru. Menyadari akan adanya kebutuhan tersebut, maka pada tanggal 1Agustus 1938 dibangun Sekolah Dasar yang lokasinya di lapangan biara susteran.

Kemajuan paroki sangat ditunjang oleh umat yang berpendidikan dan terampil dalam mengolah setiap persoalan hidup menggereja ditengah-tengah masyarakat. Untuk hal itu, maka generasi muda gereja harus dibekali dengan pendidikan dan keterampilan yang memadai. Supaya generasi muda gereja memiliki keterampilan praktis dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi, paling tidak untuk kepentingannya, maka pada tanggal 15 Agustus 1940 didirikan dan diresmikan sebuah sekolah kejuruan.

Selain kedatangan suster-suster OP, pada tahun yang sama datang pula tentara KNIL dari Menado, Flores dan Jawa beserta keluarganya yang ditugaskan di Cimahi. Kedatangan mereka mengakibatkan jumlah umat katolik di paroki semakin bertambah karena banyak diantara mereka yang beragama katolik. Tugas pembinaan rohani anggota KNIL dilakukan oleh pastor Leenders OSC. sebagai pastor tentara yang datang ke Cimahi pada tahun 1937 menggantikan pastor Antonius Kooyman OSC.

Pendudukan Balatentara Jepang

Invasi balatentara Jepang ke Indonesia pada tahun 1942, mengakibatkan wilayah Indonesia dikuasai oleh pemerintah Jepang. Pada bulan Maret 1942 tentara Jepang masuk dan menguasai kota Bandung dan juga kota Cimahi. Pendudukan Jepang mendatangkan kesulitan bagi gereja karena para pastor dan suster banyak yang ditawan dan dipenjarakan, gereja dijadikan sebagai gudang logistik, kegiatan peribadatan umat dilakukan secara sembunyi-sembunyi karena dilarang, termasuk membunyikan lonceng “Angelus”di gereja setiap pukul 12.00. Larangan itu terjadi karena gereja tetap membunyikan lonceng Angelus setiap pukul 13.30, padahal sejak tanggal 23 Maret 1942, Waktu Jawa dihapus dan diganti oleh Waktu Nippon yang selisihnya maju 1,5 jam, maka pihak Jepang menyadari bahwa gereja masih tetap menggunakan waktu Jawa.

Gedung gereja dan pastoran dijadikan markas dan gudang logistik bagi tentara Jepang. Pastor Bart Leenders dan Pastor Scheerder ditawan dan dipenjarakan. Setelah beberapa kali pindah kamp tawanan, akhirnya mereka ditawan di Kamp IV (sekarang Pusdikhub, sebelah utara Kantor Pos Cimahi). Dengan ditawannya para pastor, maka pelayanan umat diseluruh Vikariat Bandung dilakukan oleh pastor H. Reichert, satu-satunya pastor asing yang tidak ditawan dan dipenjarakan. Ini adalah suatu tugas dan tanggung jawab yang hampir berada di luar bataskemampuan manusia untuk mempertahankan Gereja Katolik. Pada tanggal 5 April 1943, salah seorang pastor yang ditawan di Cimahi yaitu pastor A. van Dijk meninggal dunia.

Pada masa sulit tersebut, seorang katekis awam yang bernama Pedro Mawi Amang yang berasal dari Flores, sempat mengurusi dan memberikan pelayanan rohani pada umat, sampai akhirnya ketika sedang memimpin perayaan ibadat, tentara Jepang menangkapnya dan kemudian membunuhnya. Ia menjadi semacam martir bagi umat paroki Cimahi. Beberapa suster pribumi yang tidak ditawan yaitu Sr. Clara dan Pst. Padmawidjaja MSC. dari Vikariat Purwokerto sempat memberikan pelayanan pada umat, bahkan mempermandikan beberapa umat di Cimahi.

Penataan Paroki Setelah Kemerdekaan

Pada tahun 1945, setelah Jepang menyerah dan Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, para pastor dan suster yang ditawan dan dipenjarakan oleh Jepang, dibebaskan. Pastor Bart Leender, setelah dibebaskan kembali ke Cimahi, ia dihadapkan pada kondisi gedung gereja dan pastoran yang porak poranda serta umat yang tercerai berai. Ia berusaha membenahi dan memperbaiki kerusakan, tetapi karena situasi kota Cimahi yang tidak aman, maka ia memutuskan kembali ke kamp tawanan untuk mengamankan diri dan menunggu sampai situasi aman.

Sekitar bulan Juli 1946, keadaan kota Cimahi mulai aman, maka pastor Bart Leender dengan bantuan militer Belanda, memperbaiki gereja dan pastoran tetapi sekolah belum dapat dibuka kembali, karena Suster-suster Dominikanes belum kembali ke Cimahi. Baru pada tanggal 1 September 1947 suster-suster Dominikanes mulai membuka Sekolah Dasar St. Yusuf (satu kompleks bangunan dengan SD Santa Maria) dan pada tanggal 1 November 1947 sekolah kejuruan mulai dibuka kembali.

Pada tahun 1947 pastor Jan Dohne OSC (umat asli Cimahi yang menjadi pastor pertama) menggantikan pastor Anton Kooyman OSC dan pastor Reiner Kloeg OSC yang adalah pastor tentara. Kesulitan yang dialami para pastor baru ini adalah penggunaan bahasa Indonesia/Melayu saat memberi homili. Penggunaan tata bahasa yang tidak teratur, pemakaian kata yang tidak tepat, sering mengakibatkan timbulnya salah pengertian dalam berkomunikasi. Tetapi meskipun demikian, umat dapat menerima kekurangan tersebut.

Upaya penataan kembali kehidupan menggereja di paroki Cimahi berlangsung sampai dengan tahun 1950-an. Walaupun upaya ini dirasa berjalan lambat, tetapi sedikit demi sedikit berbagai persoalan yang dihadapi seperti tersebut di atas, dapat diselesaikan berkat bantuan dari semua pihak yang sangat peduli terhadap perkembangan kehidupan menggereja di kota Cimahi yang lebih baik.

Pemulangan Tentara Belanda (KL) Ke Negeri Belanda

Sebagai kota militer, Cimahi menjadi sangat peka terhadap perubahan situasi politik yang terjadi baik di pusat maupun di daerah. Hal itu dapat dilihat selama kurun waktu 1950-1960 yang ditandai dengan terjadinya berbagai peristiwa seperti pemberontakan DI/TII dibawah pimpinan Kartosuwiryo, perkembangan partai komunis yang semakin kuat dan konflik Irian Barat antar pemerintah Indonesia dan Belanda. Peristiwa-peristiwa tersebut membawa dampak terhadap kehidupan menggereja di paroki Cimahi.

Terjadinya konflik antara pemerintah Indonesia dan Belanda karena Belanda belum mau mengakui kedaulatan Republik Indonesia yang sudah merdeka, mengakibatkan terjadinya pemulangan Tentara Belanda sehingga jumlah umat paroki Cimahi menjadi berkurang Pada tahun 1950an, umat paroki berkurang sangat mencolok dari jumlah 2400 umat berkurang menjadi tinggal 600 orang.

Namun sebaliknya, kedatangan TNI dan keluarganya ke Cimahi kemudian, membawa pengaruh yang cukup besar pada perkembangan umat di paroki Cimahi, karena diantara keluarga tersebut ada yang beragama katolik dan mereka mulai aktif terlibat dalam kehidupan menggereja.

Penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan oleh suster-suster Dominikanes sebagai salah satu bentuk pelayanan di bidang pendidikan terhadap umat di paroki Cimahi, terlebih setelah dibukanya SMP St. Mikael pada tanggal 1 Agustus 1950, membawa implikasi bagi terbentuknya Persatuan Guru Katolik di Cimahi.

Demikianlah sekilas perjalanan sejarah Gereja Katolik Santo Ignasius meretas masa-masa awal yang penuh gejolak yang tidak sedikit menuntut dan menyita pengorbanan yang luar biasa dari para pelakunya. Namun hal ini menjadi batu karang yang kokoh bagi landasan bangunan hidup menggereja umat dan para gembalanya.

Tidak sepesat perubahan bangunan dan prasarananya, perkembangan kehidupan menggereja umat lebih mewarnai perkembangan Gereja Katolik utama dan pertama di Kota Cimahi yang pemerintahannya tahun ini genap berusia 6 tahun. Berbagai organisasi, baik yang menjadi bagian internal gereja, maupun organisasi atau kelompok yang berafiliasi dengan gereja, semakin hari semakin mewujud dan senantiasa bergerak menjalankan misinya masing-masing yang pada akhirnya bermuara pada pelayanan sesama untuk semakin memuliakan Allah. Saat ini umat katolik Cimahi berjumlah lebih dari 2750 keluarga dengan jumlah umat sekitar 8000 jiwa.

Adapun daerah cakupan pelayanan Paroki Santo Ignasius Cimahi adalah:
* Sebelah Utara: berbatasan dengan Lembang Bandung (Kel. Cisarua)
* Sebelah Timur: berbatasan dengan Paroki Waringin dan Paroki Pandu (Ciwaruga)
* Sebelah Selatan: Sungai Citarum (Nanjung)
* Sebelah Barat: berbatasan dengan Paroki Cianjur (Rajamandala) dan Paroki Purwakarta (Plered)

Dalam cakupan wilayah yang luas tersebut, keragaman etnis memperkaya kehidupan hidup menggereja di Paroki Cimahi ini. Dari jumlah 2750 keluarga, di antaranya berasal dari berbagai etnis, seperti Jawa, Sunda, Batak, Dayak, Manado, Ambon, Flores, Timor, Papua dan Tionghoa.

Seluruh umat dalam paroki ini dilayani oleh empat orang pastor. Sebagai Pastor Kepala adalah Pastor Aloysius Supandoyo OSC., yang dibantu oleh Pastor Ignasius Putranto OSC.

Sumber : http://ignatiuscimahi.blogspot.com/
Gambar : http://ignatiuscimahi.blogspot.com/
http://baitallah.wordpress.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar