1. Sejarah Perkembangan
Salatiga adalah kota di daerah dataran tinggi lereng gunung Merbabu bagian utara. Kota yang berhawa sejuk ini sekitar 55 km dari kota Semarang kearah selatan. Bangunan gedung Gereja “Para Martir Jepang” atau lebih dikenal dengan sebutan “St. Paulus Miki dkk” terletak di Jln. Diponegoro no. 34.
Sejak tahun 1890 sampai dengan tahun 1938, jemaat katolik Salatiga diasuh, dibina dan dilayani oleh Pastor dari Ordo Serikat Yesus (SJ). Waktu itu Salatiga merupakan salah satu stasi dari paroki Ambarawa, karena berstatus stasi, maka segala administrasi menjadi satu dengan administrasi Gereja Ambarawa.
Baru pada tahun 1939 stasi Salatiga berubah statusnya menjadi suatu paroki yang berdikari. Perubahan status ini bukan penetapan secara resmi dari Uskup, sebab Keuskupan Agung Semarang baru terbentuk pada tahun 1940 dengan uskup yang pertama adalah Mgr. Alb. Soegiyopranoto, SJ. Pada saat itu yang menjadi pastor paroki Salataiga adalah Romo Th. Teppema, SJ. Beliau berkebangsaan Belanda dan paham bahasa Jawa, sehingga memudahkan pergaulan, pendekatan dan pembinaan terhadap jemaatnya.
Pada waktu itu paroki membawahi dua stasi, yaitu : Stasi Karanganyar dan Stasi Jlupang. Walaupun saat itu umat Katolik kebanyakan adalah orang-orang belanda dan indo atau dengan kata lain camputan Indonesia-pribumi, namun lama kelamaan muncul juga orang-orang pribumi yang menjadi warga Gereja Katolik. Pada tahun 1952 ketika Romo L. van Rijkevorsel, SJ menjabat pastor paroki. Daya tampung Gereja sekitar 600 orang, berukuran 35 x 12 x 7 m. Gereja yang cukup megah itu diberkati dan diresmikan pada tahun 1935 oleh Mgr. A. Sugiapranata, SJ, uskup Semarang. Nama pelindung yang dipilih adalah “ PARA SUCI MERTIR JEPANG “ (St. Paulus Mili dkk). Pemberian nama tersebut bertujuan untuk menghormati 26 orang Katolik di Jepang yang rela dibunuh oleh golongan yang anti terhadap Agama Kristen Katolik. Pembunuhan terjadi pada tahun 1597 di Nagasaki.
Dalam perkembangannya nama “ Gereja Para Suci Martir Jepang “ kurang dikenal dan lebih popoler dengan nama “ Gereja St. Paulus Miki dan kawan-kawan “, dan belakangan terjkenal dengan nama “ Gereja St. Paulus Miki “. Gereja paroki “ St. Paulus Miki dan kawan-kawan “ juga pernah terkenal dengan sebutan “ Gedung Gereja Militer “ karena yang mengunakan gedung tersebut sebagian besar adalah anggota militer Belanda.
Waktu itu jumlah umat Katolik baru 660 orang, semenjak semula para gembala menempati rumag lama yang dibangun sekitar tahun 1900 yang bterletak di Jln. Diponegoro no. 34 Salatiga. Sejak tahun 1957 paroki “ Para Martir Jepang “ Salatiga yang semula disuh oleh room Ordi Serikat Jesuit di serahterimakan dalam asuhan Romo Kongregasi Misionaris Keluraga Kudus (MSF). Room J. Van Beek MSF menjadi pastor paroki yang pertama. Perkembangan umat yang meningkat begitu cepat, pelayanan rawatan rohani kepada seluruh umat yang perlu senantiasa ditingkatkan dan kenyataan keterbatasan prasarana ibadah, mendorong seluruh umat untuk mendirikan gedung Gereja yang baru.
Panitia pembangunan yang baru yang sudah terbentuk telah berhasil memperjuangkan sebidang tanah seluas kurang lebih 5000 persegi. Tanah ini di dapat secara resmi pada tahun 1984 atas partisipasi dari berbagai pihak baik masyarakat maupun pemerentah kotamadya setempat. Di harapkan agar gedung Gereja baru yang terletak di daerah Tegalrejo di kawasan kotamadya Salatiga bagian selatan tersebut nantinya dapat menjadi paroki yang berdikari dan dewasa dalam iman.
2. Situasi Geografis
Daerah yang menjadi asuhan, ainaan dan layanan Paroki Salatiga sangat luas, meliputi 13 kilometer persegi dengan batas geografis sebagai berikut:
1. Sebelah Utara dibatasi oleh Paroki Ungaran.
2. Sebelah Selatan dibatasi oleh Paoki Boyolali.
3. Sebelah Timur dinatasi oleh Paroki Purwodadi.
4. Sebelah Barat dibatasi oleh Paroki Ambarawa.
Untuk semakin memudahkan pelayanan bagi umat, paroki ini membagi daerahnya menjadi 15 wilayah dan 10 stasi yang kemudian masing-masing membawahi Lingkungan. Semuanya ada 84 lingkungan di seluruh Paroki St. Paulus Miki dkk.
3. Situasi Sosiogarfis
Kerjasama di Paroki antar Umat katolik cukup terpelihara dengan baik. Kegiatan Eukumene (Katolik, Kristen, Islam, Hindu, Budha, Aliran Kepeertcayaan) dapat berjalan dengan lancar. Kehidupan beragama, antar pemeluk yang satu dengan yang lain tidak dirasakan adanya hambatan ataupun kesulitan. Taraf kehidupan umat di bidang social ekonomi, dapat digolongkan sebagai “ Masyarakat yang berekonomi cukup “. Mata pencaharian umat umumnya di kota adalah sebagai pegawai negeri dan swasta serta menerima kost bagi mahasiswa – mahasiswi, sedangkan umat yang berada di daerah stasi umumnya bermata pencaharian bertani, berkebun dan ada juga yang menjadi pegawai atau buruh.
Sumber : http://www.kas.or.id/
Gambar : http://albertusgregory.blogspot.com/
http://www.salatiga.nl/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar