Sejarah Keuskupan Bogor
Keuskupan Bogor terletak di bagian barat Pulau Jawa. Sampai dengan tahun 2000, seluruh wilayah Keuskupan Bogor termasuk dalam wilayah Propinsi Jawa Barat. Namun sejak bulan Oktober 2000, wilayah eks Karasidenan Banten menjadi sebuah propinsi tersendiri yang terpisah dari Jawa Barat.
Wilayah Keuskupan Bogor kini meliputi: (1) tiga Kabupaten (Bogor, Cianjur, Sukabumi) dan tiga Kotamadya (Bogor, Sukabumi, Depok) di Propinsi Jawa Barat, serta (2) tiga Kabupaten (Serang, Lebak, Pandeglang) dan dua Kotamadya (Serang, Cilegon) di Propinsi Banten. Luas Keuskupan Bogor adalah 18.368,92 km2, dengan total penduduk sekitar 14 juta jiwa. Sebagian besar penduduknya adalah Suku Sunda (termasuk Banten dan Badui). Selain itu masih ada pendatang dari luar, seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan lain-lain. Badui merupakan suku asli yang masih dengan setia mempertahankan adat-istiadat nenek moyang dan sangat ekslusif. Suku Tionghoa kebanyakan terdapat di kota-kota. Menurut data statistik terakhir, jumlah orang Katolik yang tinggal di Propinsi Banten ada 6.410 jiwa. Di Kabupaten/Kodya Sukabumi 5.348 jiwa, Kab/Kodya Bogor 28.788 jiwa, Kabupaten Cianjur 2.395 jiwa, dan di Kodya Depok ada 18.473 jiwa. Sehingga total jumlah orang Katoliknya hanya 61.414 jiwa.
Bagian Utara merupakan daerah dataran rendah yang rata dengan sedikit pegunungan, sedangkan di bagian Selatan merupakan daerah pegunungan yang berbukit-bukit. Pada peta wilayah gereja katolik di Indonesia, Keuskupan ini bagian Timurnya berbatasan dengan Keuskupan Bandung di Kali Citarum. Sebelah Utara berbatasan dengan Keuskupan Agung Jakarta. Sedangkan bagian Barat dibatasi oleh Selat Sunda dan bagian Selaran oleh Samudera Hindia.
Sebagian wilayah Keuskupan Bogor merupakan bagian dari Megapolitan Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) dan merupakan kawasan penyangga yang amat penting artinya bagi Ibukota Jakarta. Wilayah-wilayah Bogor, Cianjur, Sukabumi, Serang dan Pandeglang memberikan kesejukan dan kenya-manan untuk beristirahat atau berekreasi. Bahkan Bogor saat ini merupakan tempat tinggal alternatif bagi sebagian penduduk Jakarta yang berduit. Letak geografis yang dekat dengan Ibukota Negara ini ternyata sangat menguntungkan masyarakat maupun karya pastoral gereja di Keuskupan Bogor. Jalan tol sepanjang 200 km dari Bogor-Jakarta-Merak maupun jalan-jalan negara dan propinsi yang dibangun untuk menghubungkan kota-kota di kawasan utara, sangat membantu mobilitas di segala bidang kehidupan. Namun masih banyak pula daerah-daerah di pedalaman dan di pesisir selatan yang belum terjangkau transportasi yang memadai, bahkan sangat memprihatinkan.
Pusat-pusat paroki dalam wilayah Keuskupan Bogor semua dihubungkan dengan jalur transportasi yang memadai. Mulai dari jalan desa sampai dengan jalan negara telah turut membantu membuka isolasi seluruh wilayah. Sarana transportasi yang juga sangat berperanan mempercepat perkembangan tersebut adalah jalan kereta api, yang dibangun pada akhir abad XIX, yang dapat menghubungkan sentra-sentra pemukiman di Rangkasbitung/Lebak, Serang, Jakarta, Bogor, Sukabumi, dan Cianjur.
Pembangunan Sebuah Gereja Lokal
Benih Iman Kristiani bersentuhan pertama kali dengan bumi nusantara pada awal abad ke-16. Banten, sebuah bandar-laut di ujung barat pulau Jawa, sejak tahun 1512 sudah disinggahi kapal-kapal dagang Portugis yang berlayar dari Eropa menuju Timur-Jauh. Pertemuan antara para pedagang Portugis (yang Katolik) dengan penduduk asli Sunda (yang Hindu) sangat sering terjadi di sini. Sedangkan pewartaan dalam arti yang sebenarnya, baru terjadi pada tahun 1534, ketika Gonsalves Veloso, seorang saudagar Portugis tiba di Morotai, Halmahera Utara. Oleh karena itulah tahun 1534 dianggap sebagai SAAT HADIRNYA AGAMA KATOLIK di bumi nusantara. Dari sejarah Paroki Serang ditulis bahwa daerah Banten pertama kali didatangi oleh beberapa pastor Yesuit pada tahun 1642, dalam pelayaran mereka menuju Maluku dan sekitarnya.
Masuknya VOC pada abad ke-17 mematikan karya misi yang telah dilakukan oleh para pedagang Portugis dan para misionaris di Kepulauan Nusantara. VOC mengusir orang-orang Portugis, melarang agama katolik, dan memasukkan agama Protestan sebagai agama resmi. Gerak-gerik orang katolik selalu dicurigai. Keberadaan VOC menandai ‘masa gelap’ karya misioner yang telah dirintis dengan susah payah.
Untuk mengetahui sejarah Keuskupan Bogor kita harus menengok kembali ke belakang, tahun-tahun sejarah awal Prefektura Apostolik (1807-1842) di wilayah yang dulu disebut Hindia Belanda. Dalam periode awal ini tercatat ada 3 orang Prefek Apostolik yang pernah memimpinnya. Prefektura Apostolik Hindia Belanda kemudian ditingkatkan statusnya menjadi Vikariat Apostolik pada 20 September 1842.
Perluasan Wilayah Menuju Pembentukan Keuskupan Bogor
Dalam bulan November 1957, Congregatio de Propaganda Fide mengeluarkan keputusan untuk memisahkan daerah kabupaten ketiga di Karesidenan Bogor (yaitu Kabupaten Bogor) dari Vikariat Apostolik Jakarta dan menggabungkannya dengan Prefektur Apostolik Sukabumi. Dengan demikian batas-batas wilayah gerejawi ini sekarang DISAMAKAN dengan batas-batas KARESIDENAN BOGOR dan KARESIDENAN BANTEN. Pusat Prefekturpun akhirnya dipindahkan ke kota Bogor.
Ketika pembentukan Hirarki Gereja Katolik di Indonesia pada tahun 1961, Prefektur Apostolik Sukabumi ditingkatkan menjadi KEUSKUPAN BOGOR, dengan Mgr. N. Geise OFM selaku Administrator Apostoliknya. Beliau diangkat menjadi Uskup Bogor pada 16 Oktober 1961 dan ditahbiskan Uskup pada tanggal 6 Januari 1962. Untuk lebih mengaktualkan dan mengkristalkan cita-cita penggembalaannya sesuai dengan situasi Keuskupan Bogor, maka beliau mengganti menjadi IN OCCURSUM DOMINI (Menyongsong kedatangan Tuhan).
Pater-pater Konventual, yang semenjak 1938 menyumbangkan tenaga mereka di Bogor dan sekitarnya, memutuskan untuk pergi berkarya di tempat lain (di Sumatera Utara). Seminari Menengah dipindahkan dari Cicurug ke Bogor, mula-mula di sebuah rumah besar yang baru dibeli di Jalan Siliwangi 50, kemudian pindah lagi ke gedung Vinsentius warisan Pastor M.Y.D. Claessens Pr di Jalan Kapten Muslihat 22 sekarang. Adapun rumah bekas seminari tadi dijadikan gereja kedua di kota Bogor, yaitu Gereja SANTO FRANSISKUS ASSISI, Sukasari. Seminari Menengah di Bogor ini menampung siswa-siswa yang berasal dari semua penjuru Indonesia.
Pater-pater Fransiskan bersama Seminari Tingginya di Cicurug pindah ke Jakarta untuk studi Filsafat, kemudian melanjutkan ke Yogyakarta untuk studi Teologi. Dengan demikian Cicurug sekarang sudah berlainan sekali keadaannya daripada dulu. Meskipun demikian tetaplah ia merupakan suatu contoh yang baik tentang bagaimana caranya karya misi harus dilaksanakan di tengah-tengah masyarakat yang beragama Islam: dengan sederhana memperlihatkan semangat mengabdi sesama dengan hati yang teguh dan tabah. Pastor Cicurug secara teratur mengunjungi CIBADAK, yang tak seberapa jauh letaknya dari Cicurug. Di sana terdapat sekelompok kecil umat dengan sebuah SMP yang cukup maju dan sebuah cabang SPG Mardi Yuana dari Sukabumi.
DEPOK dan MEGAMENDUNG, dua tempat kecil yang selama bertahun-tahun dikunjungi secara berkala, sekarang sudah mempunyai gereja sendiri. Tetapi hanya Depok yang sudah menjadi stasi tetap, dan sejak tahun 1960 dilayani oleh seorang pastor yang menetap di sana. Depok memiliki persekolahan Mardi Yuana, yang sedikit demi sedikit berkembang menjadi satu kompleks persekolahan yang lengkap dari jenjang TK sampai SMU.
Keuskupan Bogor memang terletak di suatu daerah yang terkenal sebagai daerah pertanian. Oleh karena itu misi tak dapat tidak, harus hadir juga di kalangan petani, di bidang kehidupan mereka sehari-hari. Dalam kerjasama dengan suatu perkebunan teh terbesar di Jawa Barat, yaitu PERKEBUNAN TEH PASIR NANGKA, didirikanlah sebuah sekolah kejuruan yang sangat sederhana, yaitu SEKOLAH USAHA TANI (SUT). Di sekolah ini murid-murid mendapat pelajaran teori sedikit saja, tetapi lebih banyak belajar dengan praktek dasar-dasar bertani yang lebih baik, secara mendalam dan luas. Untuk keperluan ini, perkebunan teh Pasir Nangka menyediakan areal tanah seluas kira-kira 25 hektar. Segala petunjuk mengenai usaha pertanian yang pernah ditulis secara sangat emosional oleh PAUS YOHANES XXIII, pembela para petani itu, diusahakan untuk dilaksanakan secermat-cermatnya di sekolah ini.
Usaha Gereja dalam bidang sosial ekonomi di Keuskupan Bogor kiranya lebih menggembirakan. Oleh YAN VAN BEEK OFM didirikanlah PUSAT PEMBINAAN SOSIAL-EKONOMI KEUSKUPAN BOGOR (PP Sosek KB). Dengan berbagai cara, lembaga ini mencoba membantu memberdayakan kemampuan ekonomi umat dan masyarakat di sekitarnya.
Pada tanggal 11 Januari 1971 para Suster KONGREGASI RGS secara resmi memulai SKKA di daerah Baranangsing, Bogor. Sebulan kemudian para Suster RGS meninggalkan biara di Bondongan, -yang keberadaannya dimulai 7 Juli 1956-, kemudian bergabung di Biara Maria Fatima, Baranangsiang. Biara dan Persekolah St. Maria Fatima di Bondongan diserahkan secara resmi kepada Suster-suster SFS pada 30 Nov 1971.
Berdirinya Sebuah Prefektura Baru
Sewaktu perang berkobar di Eropa, tetapi belum sampai menjalari wilayah Hindia Belanda, timbul perbedaan pendapat antara Ordo Yesuit dan Fransiskan mengenai kedudukan imam-imam Fransiskan di Jawa Barat. Para Fransiskan menginginkan suatu daerah pelayanan pastoral tersendiri. Hal itu disampaikan kepada Yang Mulia Mgr. Panico, Internuntius Apostolik Sidney, yang mengunjungi pulau Jawa pada tahun 1939. Mgr. Willekens selaku Vikarius Apostolik Batavia berpendapat bahwa amatlah berbahaya untuk berkarya dan mendirikan wilayah gerejawi di wilayah Banten yang terkenal fanatik. Menurut beliau akan ada reaksi hebat dari pihak umat Islam, dari pemerintah Hindia Belanda, maupun dari orang-orang Belanda di pulau Jawa. Sedangkan Pater Nicolaus Geise OFM, seorang antropolog yang mengadakan penyelidikan Linguistik dan Ethnografis di wilayah Banten, berpendapat lain.
Perbedaan pendapat itu dapat diselesaikan pada tahun 1941, dengan dibentuknya PREFEKTUR APOSTOLIK SUKABUMI, de facto, non de iure. Artinya: dalam hubungan ke luar, Prefektur Apostolik Sukabumi masih tetap di bawah Iurisdiksi Vikaris Apostolik Batavia. Tetapi ke dalam, di bidang urusan-urusan gerejawi, kekuasaan diserahkan kepada PATER ARIAENS OFM, yang ditunjuk dan bertugas sebagai Prefek Apostolik.
Wilayah Prefektur Apostolik Sukabumi itu meliputi KERESIDENAN BANTEN dan 2 Kabupaten di Keresidenan Bogor, yaitu KABUPATEN SUKABUMI dan KABUPATEN CIANJUR. Kabupaten Bogor tetap masuk wilayah Vikariat Batavia. Stasi-stasi tetap Prefektur Apostolik Sukabumi adalah SERANG, RANGKASBITUNG, SUKABUMI, CICURUG, SINDANGLAYA, CIANJUR dan SUKANEGARA.
Pada tanggal 9 Desember 1948 ditetapkanlah secara definitif oleh Propaganda Fide: PREFEKTUR APOSTOLIK SUKABUMI, yang sejak tahun 1941 bersifat sementara. Pada tanggal 17 Desember 1948, Pater NICOLAUS GEISE OFM diangkat sebagai Prefek Apostoliknya. Untuk menggambarkan betapa luas ladang penggembalaannya di tatar Sunda, — yang diperkaya oleh sawah-ladang di antara bukit-bukit, dan kebun teh nan hijau disela-sela gunung-gemunung, di tengah masyarakat Sunda yang ramah— Pater Geise sebagai Prefek Apostolik memilih semboyan LAUDATE MONTES (Pujilah Tuhan, hai Gunung-gemunung). Sungguh tepat, karena umatnya memang masih sedikit sekali.
Setengah tahun kemudian, tepatnya tanggal 31 Juli 1949, Yayasan Odorikus dibubarkan. Sekolah-sekolah Yayasan tersebut di wilayah Prefektur Apostolik Sukabumi diambil alih oleh PERGURUAN MARDI YUANA. Bangsa Indonesia yang sudah menjadi lebih sadar, merdeka, dan berdaulat menghendaki kemajuan melalui pendidikan di mana-mana, bahkan sampai ke pelosok-pelosok di daerah pedalaman. Rakyat membutuhkan pendidikan untuk mencapai kemajuan. Maka dalam bidang pendidikan inilah terbuka kesempatan bagus bagi misi untuk MEMPERLIHATKAN PENGABDIAN DAN CINTA KASIHNYA sebagai orang Kristiani. Berbagai jenis sekolah dibuka di Sukabumi dan di kota-kota kecil sekeliling Gunung Gede, Pangrango dan Salak. Tempat-tempat ini dapat dipandang sebagai titik-titik tumpu, seperti Cicurug, Cianjur, Pacet, Sindanglaya, sampai ke pelosok-pelosok pegunungan di selatan Sukabumi dan Cianjur. Begitu pula di Serang dan Rangkasbitung.
Pergolakan di bidang politik menimbulkan banyak perubahan dan juga kerugian di kalangan umat katolik. Jumlah umat katolik Prefektur Apostolik Sukabumi merosot dari sekitar 3000 menjadi hanya 600 jiwa. Tetapi di dalam negara Indonesia yang baru saja merdeka, kerugian ini justru bermanfaat bagi umat sendiri, karena dengan demikian umat di dalam Prefektur ini ‘lebih kentara sifat ke-Indonesiaannya’. Karya misi di kalangan dan untuk kepentingan umat Indonesia, yang dulunya begitu sulit dilaksanakan, kini berjalan dengan sendirinya. Di samping Yayasan Mardi Yuana didirikan pula YAYASAN YATNA YUANA untuk usaha-usaha sosial.
Gagasan untuk mendirikan rumah khalwat dan biara Suster-suster Klaris di Cicurug dibatalkan. Para suster Klaris pindah ke Pacet, sedangkan di sindanglaya didirikan sebuah asrama baru untuk anak-anak Indonesia, yaitu Asrama Putra Santo Yusuf. Rumah sakit Sukabumi, seperti halnya rumah sakit di tempat-tempat lain, diambilalih oleh pemerintah, tetapi para Suster Fransiskanes dari Bergen Op Zoom diperbolehkan tetap bekerja melayani rumah sakit itu.
Bruder-bruder Budi Mulia juga mengubah sekolah mereka menjadi sekolah Indonesia. Para Suster YMY terpaksa meninggalkan Sukabumi dan kembali ke Sulawesi untuk menyumbangkan tenaga mereka di sana bagi pembangunan kembali karya misi, yang banyak menderita kerusakan dan kehancuran akibat perang dan revolusi. Bertahun-tahun lamanya Cicurug menjadi pusat pendidikan calon-calon imam, tingkat menengah maupun tinggi. Di sana pulalah ditahbiskan sejumlah imam Fransiskan Indonesia dan seorang imam praja pertama untuk Keuskupan Bogor.
Di Serang kompleks persekolahan yang dipimpin oleh suster-suster FMM berkembang pesat. Dari Serang diadakan kunjungan-kunjungan tugas ke Cilegon (tempat yang sangat terkenal dan ditakuti orang di tahun 20-an), ke Merak, ke tempat kolonisasi di Teluk Lada (yang dulunya disebut Peperbaai), dan ke Labuan, suatu tempat mungil di pantai Barat, yang juga ada sekolah Mardi Yuananya. Tambang emas Cikotok yang terletak di Banten Selatan dikunjungi secara tetap dari Sukabumi. Di sana terdapat juga beberapa sekolah. Baik juga dicatat di sini bahwa beberapa orang pater Fransiskan dari Prefektur Apostolik Sukabumi turut serta mempersiapkan berdirinya UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN di Bandung.
Cianjur Dan Pedalaman Jawa Barat
Tempat ketiga, yaitu Cianjur, keadaannya agak lebih baik. Pater HOEVENAARS SJ menangani tempat itu melalui pola kerja dasar yang sudah dikenal di mana-mana. Dengan bantuan terbatas dari sekelompok kecil umat katolik yang hidupnya sangat sederhana, dan didukung oleh bantuan para pengusaha perkebunan setempat, pada tahun 1931 dibangunlah sebuah gereja kecil di Cianjur. Setelah Cianjur diserahkan kepada pater-pater Fransiskan, mereka lantas mendirikan sebuah pastoran, yang mulai didiami pada 1933 oleh pater Y. POSTMA OFM, mantan misionaris fransiskan di Tiongkok.
Pembukaan stasi-stasi tetap di pedalaman Jawa Barat merupakan ‘orde baru’ dalam karya misi, yang sampai waktu itu agak terbatas di kota-kota saja. Tokoh pendobraknya adalah Pastor TOON CREMERS, yang dengan ketajaman visi serta keberaniannya mengambil keputusan dan tindakan tepat terhadap masalah yang pada waktu itu memang sulit terpecahkan. Golongan Katolik Eropa meminta hampir seluruh perhatian dan tenaga para misionaris, sehingga golongan Timur, Asli, maupun Asing, boleh dikatakan kurang diperhatikan.
Banten: Rangkasbitung Dan Serang
Keadaan paroki-paroki kecil di daerah Banten pada permulaannya memang agak berlainan. Pada tanggal 12 Oktober 1933, PATER LUNTER ditunjuk untuk menetap di Rangkasbitung. Di sana sudah ada suster-suster FMM, yang sejak 19 Maret 1933 bekerjasama dengan ‘Persatuan Pengusaha Perkebunan Lebak’ menyelenggarakan sebuah rumah sakit kecil dan sederhana untuk melayani penduduk Rangkasbitung dan sekitarnya. Dibangun pula sebuah gereja kecil, yang kemudian diberkati oleh pater provinsial Caminada pada tanggal 19 Desember 1933, dua hari setelah peletakkan baru pertama biara Klaris di Cicurug.
Di Serang, baru dalam tahun 1939 PATER HEITKÖNIG menetap selaku Pastor Tetap yang pertama. Sebelumnya, tempat ini hanya dikunjungi secara berkala oleh pastor dari Batavia, yang rupanya telah menanganinya sungguh-sungguh. Jumlah umat katolik di sana berkisar antara 20-30 orang. Tetapi paroki ini, yang kemudian diberi gelar Kristus Raja, rupanya dipandang harus juga ‘bersemangat pamor kerajaan’. Maka pada tahun 1937, dibelilah sebuah rumah tua yang besar, yang terletak di dekat alun-alun. Rumah itu berdiri di samping rumah kediaman Residen Banten, penguasa tertinggi daerah Banten pada waktu itu. Rumah itu digunakan sekaligus sebagai pastoran, gereja, dan gedung pertemuan katolik. Bahkan pada tahun 1939 rumah itupun difungsikan sekaligus sebagai sekolah. Berkat usaha yang gigih dari dua orang suster FMM dan dua orang ibu protestan, sekolah yang sederhana itu masih dapat juga bernaung di sana.
Sukabumi Menyongsong Lahirnya Sebuah Prefektura Baru
Seperti halnya misi di kota Bogor, pekerjaan misi di daerah Sukabumi juga berkembang, meskipun dengan irama yang lamban. Gereja sederhana, yang dibangun (lokasinya tak jauh dari Mesjid Agung sekarang) oleh Pastor M.Y.D. Claessens tahun 1896 itu aslinya adalah sebuah rumah tinggal biasa.
Tigapuluh tahun kemudian pada tahun 1927, SUKABUMI MENJADI STASI TETAP. Pastor H. LOOYMANS SJ menempati pastoran baru yang terletak di jalan Selabatu. Sementara itu para suster Ursulin dari Jalan Pos di Batavia membuka sebuah sekolah rendah Belanda (EUROPESE LAGERE SCHOOL) dan Taman Kanak-kanak. Ruang-ruang kelas baru sekolah itu diberkati oleh Mgr. Ant. van Velsen, Vikaris Apostolik Batavia.
Tak lama kemudian dibuka sebuah sekolah rendah berbahasa Belanda untuk anak-anak golongan Tionghoa. Sekolah ini mula-mula berada di bawah pimpinan dan pengawasan misi, tetapi dalam tahun 1933 diserahkan kepada SUSTER-SUSTER YMY, yang datang dari Sulawesi untuk memperluas karya mereka di Jawa.
Di antara pater-pater Yesuit yang ditugaskan di Sukabumi, ada banyak yang menaruh perhatian besar terhadap penduduk Sunda. Sikap mereka itu didukung oleh para pembesarnya, antara lain Pater VAN KALKENS SJ, dan Pater M. KUSTERS SJ, yang di kalangan penduduk Sukabumi dikenal sebagai orang suci. Pada bulan Januari 1930, suster-suster Ursulin membuka HOLLANDS INLANDSE SCHOOL (HIS) untuk anak-anak pribumi, baik perempuan maupun laki-laki. Baru beberapa tahun kemudian terjadi pemisahan, setelah para bruder Budi Mulia membuka HIS di Sukabumi pada tahun 1936 untuk anak laki-laki.
Pada tahun 1932 Pastor C. LUCAS SJ menetap di Sukabumi, sebagai antisipasi atas rencana pemerintah Kotapraja Sukab-umi, yang akan menyerahkan pengurusan dan kepemimpinan rumah sakit umum kepada pihak swasta. Kegembiraannya memuncak, ketika pada 19 Desember 1932, Dewan Kotapraja Sukabumi memutuskan untuk menyerahkan RS Hamenta (Kemudian dinamai RS St. Lidwina) kepada para suster FRANSISKANES DARI BERGEN OP ZOOM. Para Suster BOZ ini mendarat di Jakarta pada tanggal 13 April 1933. Keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan ke selatan menuju kota berhawa sejuk, Sukabumi. Suster-suster inilah yang kemudian bersama Pastor Lucas meluaskan kegiatan dan usaha kemanusiaan mereka ke daerah pegunungan di selatan Sukabumi dan Cianjur. Mereka membuka sebuah poliklinik di Cibeber, mendirikan sebuah rumahsakit di Sukanegara. Di puncak bukit dekat rumah sakit itulah Pastor Lucas mendirikan juga sebuah pastoran.
Pada tahun 1936 didirikanlah YAYASAN CLAVER oleh para pater Yesuit. Selama 1936-1938, Yayasan ini mendirikan beberapa sekolah untuk anak-anak pribumi di perkebunan-perkebunan di daerah Sukabumi: satu buah STANDAARD SCHOOL di Sukabumi dan tujuh VOLKSSCHOOL, yaitu dua di Sukanegara dan satu di Limbangan, Cilangkap, Lengkong, Takokak, dan Cisarua. Kemudian pada 20 Februari 1939 didirikanlah YAYASAN ODORIKUS, yang mengambil alih sekolah-sekolah untuk anak-anak pribumi dari Yayasan Strada di Batavia dan dari Yayasan Claver di Sukabumi.
Kwartet pastor Wubbe (1938-1941), Kusters (1928-1941), Lucas (1932-1941), dan Wiegers (1938-1941) mengakhiri karya para pater Yesuit di Sukabumi pada tahun 1941.
Sementara itu, MGR. PETRUS WILLEKENS SJ yang sejak 1934 menjadi Vikaris Apostolik Batavia, menyatakan niatnya untuk mempekerjakan ordo-ordo dan kongregasi-kongregasi lain juga di dalam kevikariatannya yang dipercayakan kepada Serikat Yesus. Kelompok rohaniwan bukan-Yesuit pertama yang masuk Vikariat Batavia adalah pater-pater Fransiskan, yang telah tiba sejak 21 Desember 1929. Mereka diserahi reksa pastoral di paroki Kramat dan Meester Cornelis (Jatinegara), ditambah dengan panti asuhan Vincentius dan Stasi Kampung Sawah. Kemudian berturut-turut diserahkan pula stasi-stasi di luar kota Batavia, yaitu Serang, Rangkasbitung dan Cianjur, yang pada waktu itu belum menjadi stasi tetap.
Pater-pater Fransiskan yang tiba pertama itu membagi-bagi tugas sedemikian rupa. Pater BEEKMAN OFM, pemimpin regulir, menjadi pastor kepala dibantu oleh Pater A. DE KOK OFM dan HEITKÖNIG OFM sebagai pastor pembantu di paroki Kramat. Pater Heitkönig merangkap direktur Vincentius. Kedua pater yang lain, B. SCHNEIDER OFM dan LUNTER OFM menjadi pastor pembantu di paroki Meester Cornelis. Perjalanan tugas ke luar kota dilakukan oleh pater de Kok dan pater Lunter selama beberapa tahun, sampai stasi-stasi yang dikunjungi itu menjadi tempat tinggal pastor tetap.
Tempat pertama di luar kota yang didiami oleh para Fransiskan sejak 1934 adalah CICURUG. Pada 17 Desember 1933 pater CAMINADA OFM, provinsial Propinsi Fransiskan Belanda meletakkan batu pertama pembangunan sebuah biara suster-suster Klaris dengan sebuah kapela yang terbuka juga untuk upacara-upacara umum bagi umat katolik. Diberkati pada 10 Maret 1935 oleh Mgr. Willekens sendiri.
Bogor Pada Masa Vikariat Apostolik Batavia
Sejarah gereja di Bogor mulai tampil ketika pada tahun 1845 umat katolik bersama-sama umat protestan meresmikan sebuah gereja simultan yang mereka pakai sebagai tempat ibadah secara bergantian. Sekarang gedung ini telah menjadi gedung Kantor Pos Juanda. Saat itu tak ada seorang imam katolik pun yang diizinkan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk menetap di Bogor. Umat katolik yang tinggal di Karasidenan Bogor dan Karasidenan Banten masih tergabung dalam wilayah gerejani Vikariat Apostolik Batavia, yang waktu itu dipimpin oleh Yang Mulia Mgr. Jakobus Groof Pr (1842-1846).
Pada tahun 1881, Mgr. A.C. Claessens Pr, Vikarius Apostolik Batavia 1874-1893, membeli sebidang tanah berikut rumahnya di Bogor, yang kemudian dipakai sebagai gedung gereja untuk menggantikan gedung simultan. Peristiwa ini mengakhiri penggunaan gereja secara bersama antara umat katolik dan protestan di Bogor. Imam pertama yang diizinkan menetap di Bogor adalah Pastor M.Y.D. Claessens Pr pada tahun 1885. Ia, yang adalah keponakan Mgr. A.C. Claessens, menjadi perintis dan gembala gereja katolik di Bogor.
Pada tahun 1886 ia merintis berdirinya panti asuhan dengan 6 anak asuh pertama. Panti ini berkembang terus, kemudian resmi berstatus hukum sebagai Yayasan Vincentius pada tahun 1887.
Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1889, secara resmi mengakui Bogor sebagai STASI dari Vikariat Apostolik Batavia. Tujuh tahun kemudian, pada tahun 1896 sayap misi dikembangkan lebih jauh oleh Pastor MYD Claessens Pr dengan membuka sebuah gereja di Sukabumi. Setelah itu ia kembali lagi ke Bogor untuk mengerjakan ‘mahkota segala karya’-nya, yaitu membangun sebuah gereja besar bercorak Gotik, yang mulai dipakai pada tahun 1905. Gereja inilah yang kemudian dijadikan Gereja Katedral.
Para suster dari Ordo Ursulin berhasil dibujuk oleh Pastor Claessens untuk menetap di Bogor sejak tahun 1902 dan membuka TK dan SD untuk anak-anak orang Eropa. Pada tahun 1907 Pastor MYD Claessens kembali ke tanah airnya, Negeri Belanda, setelah 30 tahun lamanya bekerja keras membangun kebun anggur Tuhan di Bogor. Ia meninggal dunia dalam usia 82 tahun di Sittard, Belanda, pada tahun 1934. Karyanya dilanjutkan dengan lebih mantap oleh Pastor Antonius van Velsen SJ, seorang misionaris Yesuit, yang kemudian pada tahun 1924 diangkat oleh Tahta Suci menjadi Vikarius Apostolik Batavia keenam.
Pada tanggal 4 Juli 1926, tujuh orang bruder dari Kongregasi Santa Maria di Lourdes (BRUDER BUDI MULIA) mengambilalih pimpinan dan penyelenggaraan panti asuhan Vincentius berikut sekolahnya. Kedatangan para bruder Budi Mulia mengakhiri masa karya penuh jasa dari pater-pater Yesuit bagi Vincentius. Di dalam gedung Vincentius inilah pada pesta Kabar sukacita, 25 Maret 1934, kongregasi Budi Mulia menerima dua orang novisnya yang pertama, dua orang pemuda pribumi, yang lahir dan dibesarkan di negeri ini.
Dalam tahun 1926, Ibu Schmutzer-Hendrikse mendirikan YAYASAN JEUGDZORG untuk mengasuh dan mendidik anak-anak yang tidak menikmati asuhan ibu. Yayasan ini juga menyelenggarakan pendidikan bagi para gadis remaja dan mempersiapkan mereka untuk menjadi pengasuh anak-anak dan pengatur rumah tangga yang cakap di kemudian hari. Usaha ini pada tahun 1932 diambilalih oleh para suster kongregasi FRANCISCAINES MISSIONAIRES DE MARIE (FMM).
Kemudian pada tahun 1930 Ordo Ursulin membuka HOLLANDS CHINESE SCHOOL (HCS) di kompleks yang sekarang menjadi sekolah REGINA PACIS, yang setelah perang dunia II pengelolaannya diserahkan kepada suster-suster FMM.
Dalam bulan Januari 1938, paroki Bogor diserahkan oleh Serikat Yesus kepada ORDO KONVENTUAL. Para pater Konventual pertama adalah H. Th. Leenders dan L. van de Bergh. Kemudian pada bulan September 1938 diikuti oleh Y. van Vliet dan D. de Ridder.
Keuskupan Bogor Menuju Gereja Mandiri
Gagasan Mgr. N. Geise OFM untuk menjadikan gereja di Keuskupan Bogor lebih berwajah lokal bukanlah sekedar cita-cita. Cita-cita yang tidak didukung dengan usaha nyata untuk mewujudkannya adalah idealisme yang kosong. Salah satu kunci untuk mewarnai Keuskupan Bogor agar semakin berwajah lokal terletak pada peranan para gembalanya sendiri. Tanpa adanya para gembala yang lahir, tumbuh, dan berkembang dari dan di tengah-tengah budaya Indonesia, cita-cita luhur tersebut pasti akan lambat terwujud. Dalam rangka itulah, sejak tahun 1969 didirikanlah Seminari Tinggi Petrus-Paulus di Bandung, yang secara khusus mendidik dan menyiapkan calon-calon imam putra Indonesia untuk Keuskupan Bogor. Putra sulung Seminari Tinggi ini adalah Alm. Romo FELIX TEGUH SUWARNO PR, yang ditahbiskan menjadi imam pada bulan Januari 1975.
Usaha gigih Sang Perintis tersebut rupa-rupanya mendapat dukungan juga dari Vatikan. Hal itu terbukti dengan dikabulkannya permohonan mengundurkan diri Mgr. Geise OFM dari jabatan Uskup Bogor pada awal tahun 1974. Pada tanggal 1 Maret 1975, Sri Paus Paulus VI mengeluarkan BULLA VERBA NOBISCUM SEDULE No.1095, yang menunjuk Romo Ignatius Harsono Pr sebagai Uskup Bogor yang kedua. Dengan ditahbiskannya MGR. IGNATIUS HARSONO PR di Gereja Katedral Bogor sebagai Uskup pada hari raya kenaikan Tuhan, 8 Mei 1975, berarti ada hal baru tercatat dalam lembaran sejarah Keuskupan Bogor: seorang putra Indonesia ditahbiskan untuk menggembalakan sekitar 10.000 umat di Keuskupan ini. OMNES IN UNITATEM (Bersama Menuju Kesatuan) adalah semboyan tepat yang dipilih oleh Uskup kedua ini untuk menggambarkan betapa mulia tugas penggembalaan yang harus diembannya untuk mempersatukan seluruh umat yang terpencar-pencar di antara gunung-gemunung menjadi sebuah paguyuban/komunio.
Satu hal menarik sekitar pergantian Uskup ini yaitu adanya ‘tukar-guling’ dalam hal jabatan. Sebelum Mei 1975 Mgr. Geise OFM adalah Uskup Bogor, sedangkan Mgr. Harsono PR menjabat Rektor Seminari Tinggi Petrus-Paulus Bandung. Setelah Mei 1975 terjadi kebalikannya, di mana Mgr. Geise OFM menjadi Rektor Seminari Tinggi, sedangkan Mgr. Harsono Pr menjadi Uskup Bogor. Bahkan di Bandung, Mgr. Geise OFM masih merangkap pula sebagai Rektor Unpar yang diembannya sejak tahun 1955 sampai akhir tahun 1979.
Dalam masa penggembalaan Mgr. Harsono inilah terjadi perkembangan yang pesat dalam jumlah imam praja di Keuskupan Bogor. Boleh dikatakan hampir tiap tahun, pasti ada imam praja yang ditahbiskan untuk memperkuat jajaran pelayan pastoralnya sebagai Uskup Bogor. Untuk mendukung karya pastoral dan memperkuat persaudaraan di kalangan para imam praja, dibentuklah UNIO UNIT KEUSKUPAN BOGOR, yang anggotanya adalah semua imam praja di Keuskupan ini.
KEADAAN SOSIO-RELIGIUS
Umat katolik di Keuskupan Bogor hanya merupakan kawanan kecil di tengah-tengah mayoritas penduduk yang beragama Islam, bertempat tinggal menyebar dalam jumlah yang kecil. Dari data statistik terakhir di atas, dapat kita hitung prosentasenya hanya 0,4% dan itupun umumnya berasal dari suku-suku di luar suku Sunda dan Banten. Penduduk asli yang menjadi katolik hanya sedikit sekali. Di masa-masa yang lampau, pada waktu situasi masih sangat kondusif banyak umat katolik yang betah bertempat tinggal di daerah-daerah pedalaman. Perkebunan-perkebunan di Cianjur Selatan, Sukabumi Selatan dan pedalaman Banten menjadi saksi bisu atas semua peristiwa menawan itu. Kini banyak Anak muda dari daerah-daerah tersebut yang terpaksa pindah ke kota-kota untuk mencari kesempatan berkembang dengan lebih maksimal. Maka tidaklah mengherankan kalau banyak tempat-tempat yang dulu menjadi pusat pelayanan umat, kini sudah tidak ada lagi.
Hubungan antar pemeluk agama yang berbeda umumnya dapat berjalan dengan normal. Kesalah-pahaman kecil kadangkala terjadi juga dalam hubungan antar pemeluk agama di sini. Dalam pola hidup masyarakat pluralistik, apalagi yang berlandaskan Pancasila, semua pihak dituntut untuk melakukan dialog yang intensif atas dasar kesamaan martabat sebagai ‘insan Ilahi’. Sebab, tanpa adanya dialog terbuka antar pemeluk agama yang berbeda, maka yang timbul adalah ketidak-mengertian, yang ujung-ujungnya bermuara pada rasa khawatir dan curiga. Tidak mengherankan kalau dalam dekade-dekade terakhir ini, kecenderungan untuk mempersulit pendirian gereja sangat dirasakan oleh umat di Keuskupan Bogor. Apalagi segelintir oknum dalam masyarakat sering memelintir persoalan beribadah ke isu kristenisasi yang sangat peka.
Sangat patut dihargai pula di sini adalah berbagai upaya para pemuka berbagai agama untuk saling mempererat tali silaturahmi. Memang secara jujur kita akui bahwa hal tersebut masih pada taraf permukaan, belum terlalu mempengaruhi lapisan akar rumput dalam masyarakat agamis di kedua propinsi ini. Dalam lingkup intern kalangan kristen hubungan tersebut dijalin melalui semacam forum komunikasi, yang sering disebut sebagai BKSG (Badan Kerja Sama Gereja-gereja).
Dalam kesempatan sangat terbatas, kontak dengan suku asli Badui, terutama Badui Luar, terus berjalan dengan baik sejak dahulu kala, entah mereka dikunjungi ataupun mereka men-datangi pastoran.
KEADAAN SOSIO-EKONOMI
Masyarakat Sunda adalah masyarakat agraris, di mana bertani merupakan mata pencaharian pokok. Di daerah pantai juga ada nelayan-nelayan. Wilayah Keuskupan Bogor merupakan kawasan yang subur dan kaya akan sumber alam. Sudah sejak zaman kolonial dikembangkan perkebunan-perkebunan teh, karet, kelapa, dan kelapa sawit yang mendatangkan banyak devisa, walaupun sekarang banyak yang telah dialih-fungsikan.
Sebagai wilayah penyangga Ibu Kota Republik Indonesia, wilayah-wilayah di Keuskupan Bogor senantiasa mengikuti gerak pembangunan nasional sebagaimana nampak dalam pelbagai proyek pembangunan sosial ekonomi seperti pabrik-pabrik, industri-industri dan pemukiman-pemukiman baru. Pola hidup masyarakatpun turut berubah dengan cepatnya. Bahkan banyak tanah yang dijual kepada masyarakat-kota yang berduit demi keuntungan sesaat. Masyarakat asli yang sebelumnya merupakan petani pemilik tanah, kini banyak yang menjadi petani penggarap, buruh bangunan, atau tenaga harian lepas/musiman. Masuknya para pendatang baru yang lebih menguasai ilmu dan teknologi hampir di semua sektor kehidupan, telah menggeser kedudukan masyarakat Sunda karena kalah bersaing dengan para pendatang itu.
Krisis ekonomi nasional yang berkepanjangan juga turut memperparah kehidupan sosial-ekonomi sebagian besar masyarakat. Banyak pabrik yang ditutup, perusahaan yang bangkrut, dan industri yang gulung-tikar karena kekurangan modal kerja. Akibatnya, banyak terjadi pemutusan hubungan kerja dan banyak orang yang terpaksa kehilangan pekerjaannya. Hasil lulusan pendidikan tidak dapat disalurkan untuk bekerja karena ketiadaan lapangan kerja. Banyak anak putus sekolah karena orangtua tak sanggup membiayai sekolahnya. Akibatnya, jumlah pengangguran menjadi bertambah banyak dan hal ini berpotensi menimbulkan masalah-masalah sosial baru.
KEADAAN DAN PEMELIHARAAN LINGKUNGAN HIDUP
Dalam wilayah Keuskupan Bogor terdapat banyak obyek wisata, baik wisata pegunungan maupun wisata bahari, yang cocok untuk beristirahat dan berekreasi. Kota Bogor sendiri bahkan sejak zaman kolonial dinamai ‘Buitenzorg’. Nama yang mengingatkan kita pada kedudukan Bogor sebagai tempat beristirahat dan berekreasi. Di sekitar Bogor ada wisata pegunungan (Gunung Salak, Gede, dan Pangrango), maupun wisata alam (Kebun Raya Bogor, Kebun Teh Gunung Mas, Kebun Buah Mekarsari Jonggol, Taman Safari, dan Kawasan Puncak). Di Cianjur banyak obyek wisata menarik, seperti Kebun Teh, Taman Bunga Nasional, Kebun Raya Cibodas dan Cipanas. Di Sukabumi kita dapat menikmati panorama Gunung Pangrongo dari sisi yang lain ataupun panorama Pegunungan Pesisir Pantai Selatan dan Pelabuhan Ratu. Sedangkan ke arah barat di propinsi Banten dapat ditemui Taman Nasional Ujung Kulon dengan species badak bercula satunya, Wisata Gunung Krakatau, dan wisata pantai di sekitar Labuan, Anyer, dan Merak (Tanjung Lesung, Carita, Karang Bolong, dan Florida). Seharusnya, kekayaan wisata di atas dapat mengangkat taraf hidup masyarakat Sunda dan Banten, namun dalam kenyataan kita lihat betapa sedikitnya masyarakat setempat yang mendapat kesempatan dan manfaat untuk hidup baik.
Pembangunan fisik, seperti pemukiman-pemukiman baru dan industri yang demikian pesat dan tak terkendali telah membawa kerusakan lingkungan yang cukup parah dan mengancam kedudukan sebagian wilayah ini sebagai kawasan hijau dan daerah resapan air. Sawah-ladang hijau telah berubah menjadi ‘hutan-beton’ hanya dalam tiga dasawarsa. Ekosistem lingkungan menjadi rusak dan membahayakan kehidupan di masa yang akan datang. Selain itu. pembangunan fisik tersebut membawa pula perubahan dalam pola hidup masyarakat dari yang bersifat agraris ke pola hidup modern dengan akibat nilai-nilai tradisional pun ikut tergeser pula.
Pelayanan Kategorial
Bersamaan dengan berkembanganya paroki-paroki, pelayanan terhadap UMAT KELOMPOK KATEGORIAL juga mendapat perhatian istimewa. Kelompok GURU-GURU INPRES, yang sebagian besar berasal dari Maluku dan Jawa Tengah, mendapat pelayanan rutin dari Pater G.W.J. RUIJS OFM dan PP Sosek KB. Secara berkala mereka dikumpulkan di rumah retret Cibadak dalam acara bersama, yang tentunya sangat berguna untuk memperteguh iman mereka yang dengan setia turut menjadi tanda kehadiran Gereja dalam pelayanan terhadap sesama di pelosok-pelosok. Pendampingan guru-guru inpres ini berlangsung sampai paruh pertama dasawarsa delapanpuluhan. Beberapa frater Seminari Tinggi Praja di Bandungpun turut dilibatkan dalam pendampingan ini.
Kelompok buruh di sekitar Cibinong juga mendapat pembinaan pastoral dari pihak pimpinan Keuskupan, melalui PP Sosek KB, yang dalam era 70 dan 80-an sangat berperanan dalam usaha MENGEMBANGKAN SUMBER DAYA MANUSIA, di tempat-tempat tertentu dalam wilayah Keuskupan ini. Berkembangnya industri di sekitar Cibinong membawa dampak bagi perlunya pendampingan pastoral kategorial khusus. Mengapa? Karena di tempat-tempat seperti inilah ‘nasib’ kaum buruh, yang umumnya berasal dari daerah, sangat rentan terhadap kemungkinan mendapat perlakuan sewenang- wenang.
Kelompok MUDA MUDI KATOLIK dibangkitkan kembali setelah tertidur hampir satu dasawarsa lamanya. Organisasi PMKRI masih berjalan tertatih-tatih, namun Pemuda Katolik yang tampil gagah pada tahun 60-an di Bogor kini tinggal kenangan. Pater G.W.J. Ruijs OFM bersama beberapa pemuda dan mahasiswa mencoba menyadarkan kembali kaum muda katolik di Keuskupan Bogor ini tentang pentingnya belajar berorganisasi. Tonggak awal kebangkitan tersebut ditandai oleh peresmian berdirinya MUDIKA KEUSKUPAN BOGOR dalam Musyawarah Muda-mudi Katolik se Keuskupan Bogor di Sindanglaya pada tanggal 11-13 Desember 1977.
Begitu juga PMKRI diajak untuk bangkit kembali menjadi wadah para mahasiswa menggembleng ketajaman visinya terhadap kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Walaupun lambat, namun toh terasa ada denyut kehidupan yang dialirkan dari markas mereka di Marga Putra dan Marga Putri, Jalan Riau Bogor.
Dari Sadayana Ngahiji Menjadi Mekar
Dalam rangka menjalin komunikasi antar kelompok dan antar umat di Keuskupan Bogor, pada tahun 1979 Pater G.W.J. Ruijs OFM bersama PP Sosek Keuskupan Bogor menerbitkan sebuah Majalah yang diberi nama OMNES IN UNITATEM. Beberapa waktu kemudian namanya diubah menjadi SADAYANA NGAHIJI (arti: Semuanya Bersatu). Majalah ini sempat mengalami mati suri selama beberapa tahun karena ditinggal oleh pengelolanya yang mendapat tugas menjadi gembala di Keuskupan Jayapura, Papua.
Majalah ini bangkit kembali pada bulan Mei 1985 dengan nama baru, MEKAR, Media Komunikasi Antar Paroki, yang diterbitkan oleh Komisi Komsos Keuskupan Bogor, yang waktu itu diketuai oleh ROMO DOMINICUS SUTEDJO PR dan dibantu oleh P. KORNELIUS KEYRANS OFM. Namun lagi-lagi tak bertahan lama karena hambatan kekurangan tenaga profesional untuk mengelolanya dan utang biaya cetak yang menumpuk.
Baru pada awal tahun sembilan puluhan, beberapa umat Depok, yang dimotori oleh Bapak R.A.Y. SOESILO dan ROMO AGUSTINUS SUYATNO PR, berusaha menghidupkan kembali MEKAR. Bahkan pada masa ini mereka sempat mendapatkan subsidi dana dari Propaganda Fide, yang kemudian digunakan untuk membeli peralatan komputer untuk mengolah MEKAR. Krisis moneter berkepanjangan yang dimulai sejak medio 1997 turut menggoyang keberadaan MEKAR. Pada awal 1998 dengan berat hati MEKAR kembali menguncup, menunggu uluran tangan banyak pihak yang punya perhatian besar terhadap dunia penerbitan non komersial. MEKAR harus dijadikan sarana mengkomunikasikan informasi antar paroki/lembaga. Oleh karena itu, semua pihak harus mau bersama-sama mencari jalan ke luar yang paling tepat agar kelangsungan hidup MEKAR bisa terjaga kesinambungannya. Mungkin kunci utamanya adalah menyiapkan sumber daya manusia yang handal, yang diharapkan mampu menjamin bobot/mutu isi majalah dan mengurus pemasarannya dengan cara yang tepat.
Datangnya pergantian millenium, menjadi tanda awal kebangkitan ketiga majalah MEKAR. Ketua Komsos yang baru, Bapak DOMINICUS AGUS GUNAWAN, dengan beberapa orang stafnya mencoba untuk menerbitkan kembali sarana komunikasi kebanggaan Keuskupan Bogor ini. Tidak muluk-muluk, targetnya setahun bisa terbit 3-4 kali. Semua umat tentu menaruh harapan kepada tim kerja ini agar mampu menjaga MEKAR tetap terbit selamanya. Sebaliknya, tim kerja MEKAR pun pasti tak dapat berbuat banyak kalau tidak didukung oleh semua pihak di Keuskupan ini, mulai dari Kuria Keuskupan, para Pastor Paroki, para Romo dan Biarawan/biarawati, para Pengurus Paroki/Wilayah/lingkungan/rukun, dan semua umat beriman lainnya.
Semua pihak harus diajak untuk berperan serta secara aktif menggerakkan karya di bidang KOMSOS agar Keuskupan Bogor yang letaknya di jantung Republik Indonesia ini tidak ketinggalan menikmati perubahan dunia yang begitu cepat dan pesat. Ke depan, bahkan harus mulai dipikirkan untuk mengelola kerasulan di bidang KOMSOS secara profesional melalui sebuah Badan Penerbitan, yang mau dan sanggup memanfaatkan bidang TELEMATIKA untuk mewartakan Cinta Kasih kepada siapapun juga.
PENGORGANISASIAN KARYA PASTORAL
Gereja Keuskupan Bogor yang terus berkembang membutuhkan pengorganisasian yang lebih baik dalam pelayanan pastoralnya. Jumlah imam pada waktu itu yang hanya duapuluhan orang tidaklah memadai untuk melayani wilayah seluas Keuskupan Bogor. Uskup Harsono memandang bahwa umat perlu diajak menyadari peranannya dalam kehidupan menggereja di Keuskupan Bogor. Tiap umat harus merasa bahwa dirinya adalah bagian dari Gereja yang satu dengan tugas perutusan yang sama, di mana setiap orang tanpa kecuali, dipanggil untuk melibatkan diri secara nyata dalam kehidupan menggereja dan memasyarakat di Tatar Sunda ini.
Gagasan tadi menelurkan TAHUN PENYADARAN, yang puncaknya melahirkan ANGGARAN DASAR DEWAN PAROKI KEUSKUPAN BOGOR pada tahun 1982. Tiap paroki sedikit demi sedikit berusaha membereskan manajemen keorganisasian parokinya. Di tiap Paroki dibentuk Dewan Paroki dengan perangkat pelengkapnya masing-masing, yang akan membantu Pastor Paroki menggembalakan umatnya yang semakin bertambah. Pada bulan Juni 1987 diadakan TEMU KARYA PASTORAL KEUSKUPAN BOGOR, yang diikuti oleh wakil-wakil umat dan organisasi-organisasi.
Sementara itu, Stasi Megamendung yang selama ini menjadi bagian dari Paroki Santo Fransiskus Sukasari, pada tahun 1984 ditingkatkan statusnya menjadi Paroki Santo Yakobus Megamendung. Adapun Pastor BOB LEVEBVRE MM, satu-satunya imam dari Kongregasi Maryknoll Father yang berkarya di Keuskupan Bogor, ditunjuk sebagai pastor paroki pertamanya. Buku baptis Paroki Megamendung pertama kali digunakan pada tanggal 10 November 1985. Atas prakarsa umat, pada pertengahan dasawarsa sembilan puluhan gedung gereja yang berupa sebuah rumah kecil ini disulap menjadi gedung yang memadai untuk disebut gereja.
Paroki Cibinong, yang pelayanan pastoralnya selalu mendapat bantuan tenaga dari Katedral Bogor, kemudian mengalami kevakuman beberapa saat sejak tahun 1984 memiliki Pastor Paroki yang menetap di tengah-tengah umatnya sendiri dengan hadirnya Pater DIAZ VIERA SVD, mantan Direktur Nasional KKI di Jakarta. Paroki Cibinong memang unik. Sejak tanggal 5 Juli 1975 sebenarnya sudah ditingkatkan statusnya dari Stasi Philipus menjadi Paroki Keluarga Kudus oleh Mgr. Geise OFM. Dari sinilah gerakan pemekaran paroki-paroki KUB (Kawasan Utara Bogor) dimulai.
Salah satu tantangan baru yang dihadapi oleh pimpinan Keuskupan Bogor pada waktu itu adalah menangani pastoral mahasiswa. Sebagaimana kita ketahui bahwa sejak tahun 1987, sedikit demi sedikit UNIVERSITAS INDONESIA MEMINDAHKAN KAMPUSNYA ke Pondok Cina, Depok, yang berada dalam wilayah Keuskupan Bogor. Penanganan pembinaan pastoral maha-siswa katolik UI tetap dipercayakan kepada Pastor IGNATIUS ISMARTONO SJ, yang sebelumnya adalah Pastor Mahasiswa di Keuskupan Agung Jakarta. Sedangkan untuk pembinaan pastoral dan pendampingan mahasiswa katolik di kota Bogor ditangani oleh PATER YUSTINUS SEMIUN OFM, yang sekaligus merangkap tugas menjadi dosen agama katolik di beberapa Perguruan Tinggi di Bogor.
Kongregasi Suster-suster ABDI KRISTUS (dahulu ADSK) memulai komunitasnya pada tanggal 28 Juni 1988 dengan 4 orang suster. Sebelum memiliki rumah di Jalan Margonda Raya, mereka tinggal di rumah milik paroki di Jalan Bangau I, dekat gereja Herculanus. Mereka membantu kegiatan pastoral di paroki, mengelola asrama mahasiswi, dan bekerja di Komisi PSE-KWI. Sejak medio sembilanpuluhan mereka juga membantu mengelola persekolahan Mardi Yuana Depok.
Fransiskan Mengurangi Peranan
Ordo Fransiskan adalah pioner pertumbuhan gereja di Keuskupan Bogor. Ditandai dengan pembangunan rumah retret di Cicurug tahun 1933, pelayanan para fransiskan terus berkembang ke seluruh wilayah Keuskupan Bogor. Boleh dikatakan Cicurug telah menjadi pusat perkembangan awal fransiskan di Indonesia selama 30 tahun lamanya, sampai perpindahan pendidikan fransiskan ke Yogyakarta (1965 untuk studi teologi) dan Jakarta (1968 untuk mahasiswa filsafat). Setelah 20 tahun meninggalkan Keuskupan Bogor sebagai tempat pembenihan para fransiskan muda, dalam Kapitel tahun 1982 para fransiskan memutuskan untuk kembali ke Keuskupan Bogor, dengan memilih Depok sebagai novisiat. Pada tanggal 27 Desember 1983, Pater Michael Angkur OFM, MINISTER PROVINSI FRANSISKAN, mengajukan surat permohonan untuk membangun Wisma Novisiat Fransiskan di Depok. Setahun kemudian dimulailah pembenihan para fransiskan muda di Novisiat Transitus, Depok. Dengan demikian, keterikatan historis Fransiskan dengan Keuskupan Bogor dinyatakan kembali.
Sebagai pioner, tugas para fransiskan adalah membuka jalan bagi para imam praja untuk mulai berkarya di Keuskupan Bogor. Setelah jumlah imam praja cukup banyak untuk pelayanan di wilayah Keuskupan Bogor, para fransiskan dengan semangat misionernya memutuskan untuk memulai sesuatu yang baru. Pada tanggal 11 Maret 1988 mereka mengembangkan sayap pelayanan ke Timor Timur, dengan mengirim Pater Andre Hama OFM dan Bruder Willy Wetak OFM sebagai pioner ke Samei/Alas. Sejalan dengan semangat para fransiskan itu, maka dalam perjanjian kerja sama antara Mgr. Harsono Pr. dengan Pater Michael Angkur OFM yang kala itu menjabat provinsial OFM, ditegaskan bahwa pelayanan OFM di Keuskupan Bogor, hanya di 3 paroki, yaitu Cianjur, Cipanas, dan Depok Lama. Ditambah pelayanan dan pendampingan rohani untuk biara-biara di sekitar Cipanas, Novisiat Transitus, dan Panti Asuhan Santo Yusuf.
LAHIRNYA BANYAK GERAKAN AWAM
Sebagai seorang Sosiolog, Uskup Harsono melihat kehidupan sebagai hasil korelasi antara berbagai manusia. Setiap manusia bisa berkembang kalau terbina relasi yang baik antara yang satu dengan yang lain. Oleh karenanya, setiap orang, setiap pribadi, setiap komunitas/kelompok, setiap kongregasi yang berniat baik, diberikannya kesempatan untuk berkembang di Keuskupan Bogor ini. Beliau ingin mewarnai Keuskupan Bogor dengan pelangi yang indah di balik gunung-gemunung yang menjulang tinggi.
Kerasulan MARRIAGE ENCOUNTER sejak tahun 1979 diberi peluang untuk berkembang mendampingi para pasutri. Gerakan ini masuk Jakarta pada tahun 1975, ketika beberapa tokoh ME dari Belgia diundang oleh Mgr. Leo Soekoto SJ untuk mendampingi week-end para pasutri. Selain itu, ada Gerakan PERSEKUTUAN DOA KARISMATIK KATOLIK, yang diizinkan mengembangkan sayap di paroki-paroki sejak tahun 1980. Sebenarnya pada tahun 1975 gerakan Karismatik telah dirintis kelahirannya oleh Alm. Pater MA’MUN MUCHTAR OFM dan Sr. LAETITIA RGS. Di Jakarta pada bulan Mei 1976, Mgr. Leo mengundang Pastor J. O’Brien SJ dan Pastor H. Schneider SJ dari Manila untuk mengadakan Seminar Hidup Baru dalam Roh. Tak lama kemudian Bapak R. ABDISA bersama beberapa umat di Jakarta membentuk P-3-S, yang dengan cepat berkembang pula ke Keuskupan Bogor.
Pada awal dasawarsa sembilan puluhan, beberapa tokoh cendekiawan Katolik yang dimotori oleh BR. ADI BM mencoba menggerakkan kembali ISKA (Ikatan Sarjana Katolik). KELOMPOK BELADIRI THS/THM boleh tumbuh dan berkembang, bahkan ditawarkan untuk membuka sebuah padepokan untuk membina kaum muda di Keuskupan Bogor. Kelompok ini memulai kegiatannya DI SUKASARI pada tahun 1991, kemudian meluas ke paroki-paroki Sukabumi, Cianjur, Katedral, dan Depok.
Para suster dari INSTITUT SEKULAR ALMA dan ROSA MISTICA pun turut menyumbang tenaga di kota Bogor dan Serang. ROMO YOHANES INDRAKUSUMA O.CARM bersama 12 orang fraternya dari Malang mulai membuka komunitas biara baru: ‘Pertapaan CSE Shanti Bhuana’ di Cikanyere, Cipanas, mulai tanggal 14 Desember 1988. Bahkan dua tahun kemudian, tepatnya pada hari Pentakosta, 3 Juni 1990, kelompok CARMELITAE SANCTI ELIAE (CSE) ini diresmikan oleh Mgr. Ignatius Harsono Pr sebagai ASSOCIATIO. Beberapa tahun kemudian, pelayanan kelompok ini di Cikanyere dilengkapi dengan hadirnya para SUSTER PUTRI KARMEL, yang sejak 30 Desember 1995 diizinkan oleh Uskup Michael untuk menetap di Biara Santa Imelda, kompleks Pondok Remaja Lembah Karmel, Cikanyere.
Sumber : http://www.keuskupanbogor.org/sejarah/
0 comments:
Posting Komentar