Senin, 30 Januari 2012

Paroki Santo Bartolomeus dalam Perjalanan Waktu

Pada tanggal 23 Agustus 1995, Uskup Agung Jakarta dalam surat pengangkatan no. 1270/4.4.12/95, menetapkan Pater Alexius Dato Lelangwayan, SVD menjadi Pastor kepala Gereja Santo Bartolomeus, Paroki Taman Galaksi, Bekasi Selatan.

Sebulan kemudian, tepatnya 20 September 1995, Uskup Agung Jakarta Mgr. Leo Sukoto dalam Surat Keputusan (SK) no. 1479/3.25.3/95 mengangkat Pengurus Gereja dan Dana Papa/Dewan Pengurus perdana Gereja St. Bartolomeus (PGDP/DP). Hal tersebut menandakan mulai saat itu Gereja St. Bartolomeus resmi menjadi paroki ke-50 di Keuskupan Agung Jakarta (KAJ). Di mana saat itu juga Republik Indonesia merayakan 50 tahun kemerdekaannya, dan Uskup Agung Jakarta Mgr. Leo Soekoto juga merayakan pesta perak (25 tahun) menjabat sebagai uskup KAJ. Hal tersebut menjadikan Gereja St. Bartolomeus sangat istimewa.

Ide Pendirian Gereja

Salah satu pertimbangan pembentukan Gereja Santo Bartolomeus, Taman Galaksi, Bekasi Selatan karena umat Gereja Santo Arnoldus Janssen, yang merupakan paroki induk telah mencapai 3.546 kepala keluarga (kk), atau 14.551 jiwa pada akhir 1993. Sementara itu, umat di kecamatan Bekasi Selatan dan Jati Asih sudah cukup besar ± 4000-5000 jiwa, yang menyebar di 35 lingkungan dan dikoordinasikan ke dalam 8 wilayah. Melihat data statistik tersebut maka diperlukan sebuah paroki baru.

Adalah seorang umat Gereja St. Arnoldus Janssen, Ph. Winarso, yang saat itu menjabat sebagai wakil ketua II urusan perangkat keras DP, prihatin dengan kondisi Gereja St. Arnoldus Janssen yang sudah sangat padat pada misa mingguan. Pelayanan pastoral juga sangat berat karena umat terlalu banyak dan wilayah pelayanan yang teramat luas, “Ada yang pergi ke Arnoldus. Tapi ada juga yang Gereja pindah-pindah. Pokoknya cari yang tidak umpeg-umpegan (berdesak-desakan). Mencari suasana yang masih membuat mereka bisa berdoa. Tapi harapan ini pun masih susah payah mereka dapatkan, karena selalu dihadang kemacetan lalu lintas. Kalau dulu ke Gereja Arnoldus butuh waktu 15 sampai 30 menit, sekarang bisa sampai satu jam,” ungkap Winarso.

Dari situlah muncul ide mendirikan Gereja di Bekasi Selatan tahun 1992, “Ide itu kemudian saya sampaikan kepada 35 pemuka umat. Mereka saya undang ke rumah. Undangan sayapun disambut dengan penuh harapan,” tambahnya.

Gagasan tersebut ia sampaikan kepada PGDP/DP St. Arnoldus Janssen periode 1991-1994. Gagasan tersebut terus dimatangkan dan akhirnya menjadi kebijakan DP. Rancangan tersebut pada kahirnya disetujui Uskup Agung Jakarta saat itu, alm. Mgr. Leo Soekoto.

Berkat dorongan alm. Mgr. Leo Soekoto, sejak tahun 1992 panitia inti mulai bergerak mencari lahan untuk paroki baru di kawasan Bekasi Selatan. Beberapa lokasi telah menjadi incaran. Namun tantangannya, pada waktu itu harga tanah sangat tinggi. Hal ini diungkapkan Toro, yang juga termasuk penggagas paroki baru,“Kita semangat, mas. Soalnya waktu itu, asumsi kita KAJ, bakal beli tanahnya. Sama seperti dilakukan pembangunan Gereja Santo Arnoldus. Lalu kita sendiri tinggal membangun gedung Gereja. Wis pokoke kita belingsatan kemana-mana cari lahan. Di sekitar Masnaga, Pekayon, Century Garden, pompa bensi Jati Asih, lahan Telkom, dll. Ada sekitar sepuluh lahan kita obog-obog (periksa).

Akhirnya sebuah tim kecil mengadakan pendekatan kepada pengembang Taman Galaksi Indah menjelang akhir tahun 1993. Hasilnya sama sekali tak terduga. Pengembang bersedia menyediakan tanah seluas 4000 m² sebagai lahan Gereja Katolik di lokasi pengembangan pemukiman di wilayah Kelurahan Jakasetia, Kecamatan Bekasi Selatan. Untuk menindaklanjuti peluang ini, dibentuklah panitia pendirian gereja.

Panitian pendirian Gereja Katolik di Bekasi Selatan diangkat melalui Surat Pengangkatan Pastor Kepala Gereja St. Arnoldus Janssen, Pater Ben Ujan, SVD no. 05/A-III-73/SK/II/94 tanggal 18 Februari 1994. Surat ini untuk menyempurnakan panitia karena pengukuhan personel inti panitian pendirian Gereja Katolik sudah dilakukan sejak 5 Oktober 1993.

Dalam SK itu disebutkan ketua umum, Ph. Winarso, Ketua I Y. Toro Prayitno, ketua II A. Sudiro Agung, sekretaris A. Prasetyo, dan H. Moerdianta Ps, Bendahara F. Dhono Indarto dan F. Metty herman. Selain itu dilengkapi komisi humas, komisi dana intern, komisi perizinan, dan komisi teknik.

Berdasarkan catatan pastor kepala pertama Gereja St. Bartolomeus, Alexius Dato L, paroki secara resmi dinyatakan berdiri tanggal 20 September 1995 melalui Surat Pernyataan Uskup Agung Jakarta, alm. Mgr. Leo Soekoto no. 1479/3.25.3/95.

Peran (Alm.) Mgr. Leo Soekoto

Peran Uskup Agung Jakarta, alm. Mgr. Leo Soekoto sangat besar dalam mendorong pendirian Gereja. Ketika beraudiensi 2 kali, beliau memberikan petuah kepada panitia,”Jika Pemda Bekasi saja sudah berbuat baik dengan memberikan banyak kemudahan, maka umat harus bersedia berbuat lebih baik lagi. Dan memberikan lebih banyak lagi buat Gereja.”

Oleh karena itu, alm. Mgr. Leo Soekoto memerintahkan panitia untuk membeli tanah dengan harga murah dari pengembang seluas 2 ribu-3 ribu m². Tanah tambahan itu dimaksudkan untuk mendirikan pastoran dan gedung serba guna. KAJ hanya memberikan bantuan yang sangat kecil untuk pembangunan komplek Gereja. Terdiri dari gedung Gereja, gedung serba guna. Almarhum juga menginstruksikan untuk membangun komplek Gereja secara serentak.

Perburuan Tanah

Sejak dicanangkannya kebijaksanaan pendirian gereja, para panitia berusaha gencar mancari tanah. Banyak lokasi disurvei dan beberapa penawaran lokasi strategis diteruskan ke alm. Mgr. Leo Soekoto. Namun karena harga penawaran dianggap terlalu tinggi, maka tidak ada satupun penawaran yang ditutup dan tidak ada satu lahan tanah untuk gereja yang bisa dibeli oleh KAJ. Situasi tersebut melemahkan semangat mencari lahan,” Gimana nggak putus asa. Harga tanah rata-rata Rp. 150.000 per meter persegi. Eee...KAJ Cuma sanggup Rp. 5.000 per meter persegi,” ungkap Toro, salah seorang tim pencari lahan gereja.

Semangat mencari tanah timbul kembali dan Ph. Winarso mempunyai ide terobosan, yaitu mencari tanah gratis dari Rumah Sakit St. Carolus dan Yayasan Marsudirini.

RS. St. Carolus memiliki tanah seluas 10 hektar di kelurahan Jakasetia, tetapi status tanah dalam sengketa. Dan pihak St. Carolus tidak mau mengurusnya. Dengan demikian ide mendapatkan tanah gratis dari St. Carolus tidak terlaksana. Tanah sengketa tersebut sekarang dimiliki dan dijadikan Perumahan Villa Jakasetia.

Yayasan Marsudirini memiliki lahan yang cukup luas dan bersedia memberikan tanah untuk gereja seluas 0,5 hektar. Namun, karena Marsudirini secara geografis terletak di kecamatan Bekasi Timur, maka kesediaan tersebut tidak dapat diproses lebih lanjut. Kesediaan ini hanya dipegang sebagai alternatif terakhir kalau tidak berhasil mendapatkan tanah di tempat lain,“Dua-duanya akhirnya nggak jadi kita urus. Tanah milik Carolus masih sengketa. Sementara lahan Marsudirini terletak di Kecamatan Bekasi Timur. Lbih dekat dengan Gereja Santo Arnoldus. Padahal kita di Kecamatan Bekasi Selatan,” ungkap Winarso.

Secara kebetulan dengan sikap coba-coba, 2 Oktober 1993, Ph. Winarso mendatangi pengembang Taman Galaksi ditemani Hoediono. Kebetulan sekali bisa bertemu Direktur Utama PT. Taman Puri Indah-pengembang Taman Galaksi, Wiryono Halim. Keduanya sama sekali belum pernah berkenalan. Beliau menyetujui permohonan agar disediakan tanah untuk Gereja Katolik bagi umat Katolik Taman Galaksi dan sekitarnya.

Gereja Katolik St. Bartolomeus boleh dikatakan beruntung, karena berdiri di atas lahan sarana sosial dalam pemukiman indah Taman Galaksi tanpa harus membeli tanah seluas 4 ribu m². Bahkan dalam waktu yang relatif singkat. Untuk pertama kalinya pula, Gereja Katolik, secara khusus KAJ menerima fasilitas lahan untuk tempat ibadah dari pemerintah. Luas tanah yang disediakan pemerintah daerah (pemda) Bekasi seluas 2 ribu m². Atas kebijakan pemda Bekasi, tanah 2 ribu m² lainnya diperuntukkan bagi Gereja Prostetan Batak Karo dan Gereja Eukumene Anugerah, masing-masing 1000 m².

Wiryono Halim, dalam suratnya no.199/TPI/X/93, antara lain menyatakan, “...pada prinsipnya kami tidak keberatan, namun demikian mengingat open space di lokasi kami terdahulu sudah habis dimanfaatkan, maka kami akan merencanakan di lokasi pengembangan yang mana izin lokasinya telah ada persetujuan dari Pemda Bekasi...”

Batas-batas Paroki Santo Bartolomeus: sebelah utara Paroki Kranji, Sebelah Barat Paroki Jatibening, sebelah selatan Paroki Kampung Swah/Paroki Kalvari Pondok Gede, dan sebelah timur Gereja St. Arnoldus Janssen Bekasi.

Roh Kudus Berkarya

Ketua umum panitia pendirian Gereja St. Bartolomeus, dalam surat laporannya tanggal 8 Oktober 1995, melukiskan tidak sulitnya upaya pendirian gereja sebagai “peristiwa penuh mukjizat yang digerakkan oleh tangan halus Roh Kudus.” Betapa tidak, tanpa dinyana-nyana, pada hari Sabtu, 2 Oktober 1993, Direktur Utama PT. Taman Puri Indah-pengembang Taman Galaksi, Wiryono Halim, bersedia menyediakan tanah untuk gereja St. Bartolomeus. Bahkan beliau memberikan petunjuk-petunjuk bagaimana memproses izin ke Pemda Bekasi.

“karya besar sudah diciptakan dan sesungguhnyalah tangan halus Roh Kudus sendiri yang menggerakkan karya besar tersebut melalui panitia pendirian Gereja Bekasi Selatan dengan kerja sama dan bantuan dari umat Paroki St. Arnoldus, umat St. Bartolomeus, dan kedermawanan umat paroki lain yang satu,” ungkap Winarso.

Motivasi dan Peran Seluruh Umat

Tanpa peran seluruh umat, barangkali Gereja St. Bartolomeus tak akan pernah berdiri. Itu pula yang yang disadari panitia pendirian gereja. Panitia mulai berani bergerak setelah mendapat respons dari umat berupa kesanggupan untuk menyumbang selama 24 bulan sejak Januari 1995-Desember 1996. Dari formulir kesanggupan yang diterima panitia hingga November 1996 misalnya, didapatkan realisasi sebesar 62% dari jumlah yang disanggupi umat. Hasil ini memang tidak terlalu jelek, namun inilah salah satu modal bagi panitia untuk lebih berani menggalang dana dari berbagai sumber dan dengan bermacam-macam cara.

Duta besar (Apostolic Nuncio) Vatikan untuk Indonesia, Mgr. Pietro Sambi, menyatakan bahwa membangun Rumah Allah yang baru adalah usaha yang melibatkan komunitas. Tiap anggota komunitas Katolik setempat boleh berbangga atas sumbangannya berupa satu batu, sesuai dengan kemungkinannya, kepada konstruksinya.

“jangan seorangpun tinggal pasif. Tiap orang dapat menemukan jalan untuk menjadi berguna. Hanya dengan demikian umat Katolik akan merasa bahwa Gereja St. Bartolomeus adalah milik mereka,” kata Pietro Sambi dalam sambutannya di malam dana (25/4/1996).

Gereja Transisi

Sebagai tempat ibadah sementara sebelum gedung gedung Gereja rampung, KAJ sempat menyarankan agar dibuat bedeng untuk tempat ibadah sementara. Namun panitia pendirian gereja beragumentasi bahwa membuat bedeng hanya akan membuang dana saja, selain merusak lingkungan pemukiman Taman Galaksi. Akhirnya, setelah menginvestigasi tiga lokasi, untuk sementara dipilih Ramanda Department Store (sekarang Naga Swalayan).

Ketika terjadi transisi antara Gereja St. Arnoldus yang dimekarkan menjadi St. Paroki Bartolomeus, sebagian umat Katolik masih mengikuti misa di gereja St. Arnoldus, yang tepat berada di belakang terminal Bekasi. Dan sebagaian lainnya memilih mengikuti perayaan ekaristi di Ramanda.

Misa perdana calon Gereja Bartolomeus diselenggarakan di Ramanda. Momen itu dipimpin langsung oleh alm. Mgr. Leo Soekoto (15/1/1995). Misa mingguan berikutnya dilaksanakan antara Oktober 1995-Agustus 1996.

Berburu Perizinan

Tidak seperti paroki-paroki lain yang kesulitan memperoleh izin pendirian Gereja, panitia pendirian Gereja St. Bartolomeus, tidak mendapat kesulitan berarti. Lurah Jakasetia, H. Abd. Rosyid, dalam surat rekomendasinya no. 453.1/188/XI/94, tanggal 9 November 1994 menyatakan, “Pada dasarnya kami Lurah Jakasetia tidak keberatan dengan mempertimbangkan warga di sekitarnya serta mendapat persetujuan.”

Camat Bekasi Selatan, Gani Nasuha, dalam suratnya no. 452.2/905/Kesra tanggal 21 November 1994 menyatakan, “...kami tidak keberatan didirikannya pembangunan gereja dimaksud (Gereja St. Bartolomeus Bekasi Selatan) selama yang bersangkutan memenuhi ketentuan yang berlaku.”

Walikota Bekasi, H. Kailani AR, dalam suratnya no. 452.2/810/Kesra tanggal 24 November 1994, antara lain menyatakan, “Kami beritahukan bahwa pada prinsipnya kami tidak berkeberatan atas permohonan Saudara (Panitia Pendirian Gereja bekasi Selatan) dengan ketentuan menyelesaikan rekomendasi dari Bupati Kepala Daerah Tingkat II Bekasi dan site plan dari Bappeda Tingkat II Kabupaten Bekasi.”

Atas kebijakan Pemda bekasi, akhirnya diperoleh persetujuan pendirian dan pembangunan Gereja St. Bartolomeus dari Bupati Bekasi 452.2/4499/Bappeda tanggal 14 Desember 1994. Dalam suratnya, Bupati Bekasi, Moch. Djamhari, antara lain menyatakan, “pada prinsipnya kami tidak berkeberatan dan dapat menyetujui penggunaan tanah sarana sosial di Perumahan Taman Galaksi Indah, Kelurahan Jakasetia, kecamatan Bekasi Selatan untuk pembangunan Gereja Katolik.” Surat Izin Pelaksanaan Mendirikan Bangunan no. 503/235/DTK. TB, akhirnya juga diperoleh 1 November 1995.

Dalam proposal permohonan dana pembangunan Gereja Katolik St. Bartolomeus Januari 1995, panitia pendirian Gereja menargetkan Gereja sudah berdiri tahun 1996. Panitia memperkirakan biaya yang diperlukan untuk pembangunan gedung Gereja sekita Rp. 1.250.000.000.

Gedung tersebut direncanakan berkapasitas sekitar 1.050 orang dengan luas bangunan sekita 1.050 m². Perincian anggaran tersebut sebagai berikut, biaya gedung Rp. 850 juta (termasuk struktur, arsitektur/finishing, dan mekanikal-elektrikal-sound system), perlengkapan Rp. 300 juta, halaman/pagar/taman/gardu jaga Rp. 100 juta.

Dalam rencana pembiayaan pembangunan gereja, panitia memperkirakan, umat calon Gereja St. Bartolomeus waktu itu ada 1.000, kalau setap keluarga dimohon kerelaannya memberikan sumbangan rata-rata Rp. 1.250.000 per kepala keluarga, maka biaya akan segera tertutup. Namun panitia memahami tidak semua keluarga bisa menyumbang uang sebesar itu, sebaliknya ada keluarga yang mampu menyumbang lebih. Oleh karena itu, panitia mengharapkan kepada keluarga yang mampu menyumbang lebih, sudi memberikan sumbangan lebih dari Rp. 1.250.000. Sumbangan tersebut bisa disalurkan sekaligus atau mencicil sejak Januari 1995 selama 24 bulan.

Selain sumbangan dari umat sendiri, panitia mengadakan malam dana untuk tujuan tersebut. Persiapannya dilakukan melalui rapat pleno panitia (10/12/1995). Rapat itu memutuskan pembentukan Tim Perumus yang diketuai oleh E. Th. Bambang Tridjoko, yang oleh tim sekaligus diberi mandat untuk menjadi ketua umum Panitia Malam Dana. Malam dana ini diadakan karena dari biaya 1.300.000.000, baru terkumpul sekitar Rp. 750.000.000. Penyelesaian gedung membutuhkan dana sekitar Rp. 550 juta, antara lain untuk pemasangan keramik, altar, bangku dengan tempat berlutut, peralatan gereja, interior, merapihkan halaman dan membuat pagar serta gardu jaga.

Malam dana yang bertajuk “Andrawina dalam Gita Kenangan” digelar di Puri Agung Hotel Sahid Jakarta tanggal 26 April 1996. Dengan dibantu oleh beberapa tenaga profesional dari Gereja Maria Bunda Karmel (MBK), Tomang dan melibatkan puluhan personil dari umat. Pendapatan dari malam dana Rp. 343.620.000. Setelah dikurangi pengeluaran untuk sekretariat/publikasi dan perjamuan sebesar Rp. 116.320.250, akhirnya diperoleh penerimaan bersih Rp. 226.299.750.

Pemancangan Tiang Pertama

Pemancangan tiang pancang utama Gereja St. Bartolomeus dilakukan Minggu (19/11/1995). Dalam buletin PPG St. Bartolomeus no. 4, desember 1995, disebutkan bahwa pemancangan tiang dikeluarkan dari lingkup pekerjaan kontraktor, karena segera dibutuhkan untuk upacara liturgi. Padahal proses penunjukkan kontraktor belum selesai.

Pemancangan dilakukan oleh PT. Indopile, sedangkan upacara liturgi dipimpin oleh Administrator Diosesan KAJ, Rm. M. Soenarwidjaja, SJ. Panitia juga mengundang seluruh umat, namun melalui perwakilan saja. Selain karena lahan tidak memungkinkan untuk itu, panitia ingin agar upacara ini dilaksanakan secara sederhana sebagaimana diharapkan Pemda Bekasi. Panitia bahkan tidak mengundang seorang pejabatpun, tetapi melaporkan pemancangan tiang pertama itu kepada Bupati Bekasi dan seluruh jajarannya. Dengan pemancangan itu tahap pembangunan fisik Gereja sudah dimulai.

Pembangunan fisik selesai hanya dalam waktu delapan bulan di bawah supervisor Ernawan dan Sudiro, yang didukung bantuan teknik dari Himawan. Gereja St. Bartolomeus akhirnya dapat dipakai tanggal 18 Agustus 1996, namun baru diberkati 5 April 1997. Kardinal Julius Darmaatmadja mengagumi bentuk gereja St. Bartolomeus, terutama dengan arsitektur atap yang bertrap tiga.

Rumah Pastor

Gedung gereja sudah berdiri megah, begitu pula dengan segala perlengkapannya. Namun, para gembala yang berkarya di Paroki St. Bartolomeus masih juga “dikontrakkan” di sebuah rumah. Selama 5 tahun para pastor tinggal di rumah itu. Baru pada usia paroki ke-5, menjelang pesta Lustrum I, dibentuklah panitia pembangunan gedung pastoran, dengan SK DP/PGDP no. 03/06/DPS.KEP/2000, tanggal 1 Juni 2000.

Panitia dikomandani oleh Kusnarno, telah mendapat izin prinsip oleh Uskup Agung Jakarta, Mgr. Julius Darmaatmadja, pada 26 Agustus 2000, melalui surat no. 1807/3. 25.4.50/2000. Berbekal keberanian dan setengah nekad panitia mulai bergerak, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Setelah semua perizinan diperoleh tanggal 24 September 2002, bertepatan dengan Pesta Lustrum I, dilaksanakan pemancangan tiang pertama pembangunan pastoran oleh Vikaris jendral (Vikjen) KAJ, Rm. Subagio. Tekad panitia pada saat itu, “tujuh bulan setelah tiang pancang ini berdiri, gedung pastoran harus sudah jadi.” Kini pastoran sudah berdiri megah, menjadi satu kesatuan dengan kompleks gedung Gereja.

Gedung karya Pastoral Plus Lonceng

Gedung yang belum sempurna itu hampir setiap saat dipakai untuk bermacam-macam kegiatan. Panitia Pembangunan Fisik Komplek Gereja (PPFKG) dibentuk (10/10/2002), setelah itu baru membeli tanah seluas 2000 m² dari pengembang Taman Galaksi. Di balik gedung yang kini berdiri menjulang megah tersirat perjuangan yang luar biasa dari kelompok manusia yang tak kenal lelah.

Setelah mendapat IPMB (10/6/2003) dari Pemda Bekasi sebulan kemudian dilaksanakan pemancangan tiang utama. Upacara ini bertepatan dengan Peringatan Sewindu paroki dan disesuaikan dengan pesta nama St. Bartolomeus (24/8). Mengenai lonceng Gereja yang telah dirindukan umat sejak lama baru terwujud pada akhir 2004. Lonceng seberat 406 kg dipesan dari Jerman. Diresmikan penggunaannya (23/12/2004), oleh Pastor Kepala Paroki, umat dan beberapa tokoh umat Muslim yang ada di sekitar Gereja, kemudian dengan membunyikan lonceng pengukuhan lonceng Gereja resmi digunakan.

Kini, semua sarana dan prasarana Gereja St. Bartolomeus sudah memadai. Namun, bukan berarti sudah selesai, pemeliharaan semuanya itu perlu kita jaga dan perhatikan. Dan lebih dari itu pembangunan “Gereja” yang sesungguhnya hari demi hari harus kita tingkatkan.

Mengapa Memilih Nama Santo Bartolomeus?

Mungkin tidak banyak yang mengetahui bahwa nama Gereja sekarang awalnya diusulkan dengan nama Sancta Maria Gratia Plena. Hal ini disebabkan karena Rahmat Ilahi benar-benar tampak saat pendirian Gereja bulan Oktober 1993. Bulan Oktober merupakan bulan Santa Maria Penuh Rahmat (Sancta maria Gratia Plena). Akan tetapi KAJ tidak menyetujui nama tersebut karena nama Latin tidak dimengerti banyak orang. Selain itu sudah terlalu banyak nama Maria sebagai pelindung di Gereja-Gereja lain. KAJ mengusulkan nama rasul. Setelah dicek, ternyata tinggal dua nama rasul yang belum dipakai, dan akhirnya dipilih nama Santo Bartolomeus.

Bartolomeus berarti ‘Anak Tolmai’. Ada semacam keragu–raguan tentang nama rasul ini; apakah itu nama sesungguhnya dari rasul Bartolomeus, ataukah sekedar dipakai sebagai nama tambahan untuk menunjukkan bahwa dia adalah anak Tolmai. Rasul Yohanes dalam Injilnya tidak mengatakan apa–apa tentang rasul yang disebut Bartolomeus itu. Yohanes hanya menulis tentang seseorang yang dinamakan Natanael, sahabat karib Filipus yang kemudian mengikuti (Yoh 1: 45–51). Atas dasar ini, banyak sejarahwan dan ahli Kitab Suci menyimpulkan bahwa kedua nama itu, Bartolomeus dan Natanael, menunjuk pada orang yang sama. Kemungkinan Bartolomeus pun adalah sahabat karib Yohanes. Dalam perjanjian baru, nama Bartolomeus ditemukan pada ketiga Injil Sinoptik: Matius 10:3, Markus 3:18 dan Lukas 6:14, dan didalam Kisah Para Rasul 1:13. Ia bukanlah seorang nelayan seperti empat rasul lainnya: Andreas, Yohanes, Simon dan Filipus, yang berasal dari Betsaida dan dikenal sebagai nelayan tasik Genesareth. Ia seorang petani, karena berasal dari Kana, sebuah kampung yang cukup jauh dari tasik Genesareth. lagipula nama ayahnya ‘Tolmai’ berarti ‘petani’. Dua alasan itu diperkuat lagi oleh peristiwa pertemuannya dengan Filipus di kebunnya di bawah pohon ara (Yoh 1:45–51).

Yohanes dalam injilnya menggambarkan Bartolomeus sebagai seorang yang jujur dan tulus, bahkan oleh Yesus dia disebut ‘Orang Israel sejati’, yang kemudian menjadi murid setiawan Yesus. Pada peristiwa penampakan Yesus kepada 7 orang rasul-Nya di tepi danau Tiberias, Natanael juga hadir menyaksikan peristiwa itu. Pada hari Pentekosta, oleh kekuatan Roh Kudus, Bartolomeus menjadi salah satu pendekar Gereja yang mewartakan Injil ke berbagai tempat. Eusebius, sejarahwan Gereja dari Kaesarea (260–340), dalam bukunya ‘Historia Ecclesiastica’, menceritakan bahwa Bartolomeus menjadi pewarta Injil Kristus dibelahan dunia timur. Santo Hieronimus (340–420), pelanjut karya Eusebius, mengisahkan bahwa Pantaenus Aleksandria, ketika mewartakan Injil di India pada awal abad ketiga, menemukan bukti–bukti kuat tentang karya misioner rasul Bartolomeus. Kepada Pantaenus, orang–orang India menunjukkan satu salinan Injil Mateus yang ditulis dalam bahasa Ibrani untuk membuktikan bahwa mereka (orang–orang India) telah diajar oleh Bartolomeus kira–kira satu setengah abad yang lalu. Hieronimus selanjutnya menjelaskan bahwa Pantaenus kemudian membawa salinan Injil Mateus itu ke Aleksandria. Catatan–catatan Gereja lainnya tentang periode ini berbicara tentang Bartolomeus yang mewartakan Injil di Hierapolis, Asia Kecil. Di sana Bartolomeus berkarya bersama–sama dengan Filipus. Sepeninggal Filipus dan pembebasannya dari penjara, Bartolomeus mewartakan Injil di provinsi Likaonia, Asia Kecil.Bangsa Armenia pun menyebut Bartolomeus sebagai rasul mereka. Mereka mengatakan bahwa Bartolomeus–lah orang yang pertama yang menobatkan mereka hingga mati sebagai martir Kristus di Albanopolis, tepi Laut Kaspia, pada masa pemerintahan Astyages, Raja Armenia. Selain berkarya diantara orang–orang Armenia, Bartolomeus juga berkarya di Mesopotamia, Mosul (Kurdi, Irak), Babilonia, Kaldea, Arab dan Persia.

Semoga umat Santo Bartolomeus dapat meneladani sikap dan keberanian Santo Bartolomeus, sebagai pelindung Gereja kita.

Sumber : http://mimbar.info/index.php?option=com_content&view=article&id=45&Itemid=27

0 comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP