Selasa, 10 Januari 2012

Sejarah Gereja Katolik St. Servatius dan Sejarah Umat Kampung Sawah (9)

Bapak Mario Menjadi Pastor Mario
Bapak Mario yang dulu sudah mengikuti studi menjadi imam tapi gagal, pernah memohon kepada Monseigneur Djajaseputra agar boleh ditahbiskan sekalipun sudah lanjut usia. Permintaan itu ditolak. Pada tahun 1970, Monseigneur Leo Soekoto, SJ menjabat sebagai Uskup Agung Jakarta. Pak Mario, usianya sudah 60 tahun, mengajukan permohonan sekali lagi. Kali ini dikabulkan. Tanggal 12 September 1971, Bapa Marius Mariatmadja, ditahbiskan menjadi imam projo di tengah umatnya di Gereja Kampung Sawah, pada usia 60 tahun. Umat Katolik Kampung Sawah sungguh berbahagia menyambut gembala mereka yang selama ini telah mendampingi mereka selama 20 tahun.

Kehandalan Pastor Mario dirasakan oleh semua umatnya, termasuk anak-anak. Bapak Yepta Noron mengaku, “Waktu masih anak-anak saya sering diajak ayah untuk ikut menjaga gereja, maka saya sering bertemu dengan beliau. Saya diajari banyak hal. Pastor Mario sangat perhatian terhadap umatnya. Pastor Mario juga berani melayani umat Katolik Kampung Sawah yang pada waktu itu menghadapi situasi yang sangat membahayakan. “

Sebagai imam, Pastor Mario tak bisa berkarya terlalu lama. Pada tanggal 3 Oktober 1972, ia dipanggil Tuhan. Untuk mengenang kehandalannya menuntun dan membina umat Katolik Kampung Sawah, dibuatlah bangunan khusus di Pemakaman Katolik Kampung Sawah. Selain itu, berbeda dengan paroki lain yang memakai Yayasan Santo Yusuf untuk mengurusi kematian dan pemakaman umat, maka Kampung Sawah memakai namanya, Marius.

Setelah wafatnya, dua pastoran, Kampung Sawah dan Cililitan pun lowong. Sebagai tindakan darurat, pimpinan Serikat Yesus mengutus Romo Brotosoeganda, S.J. Namun, belum sampai 10 hari bertugas, ia pun dipanggil Tuhan pada 13 Oktober 1972.

Pastor Kembali Tinggal di Paroki yang Dibangun Umat Kampung Sawah
Setelah Pastor Mario meninggal, dari tahun 1972-1993, Paroki Kampung Sawah telah mempunyai enam pastor kepala yang semuanya bertempat tinggal di Pastoran Cililitan, 12 kilometer dari Kampung Sawah. Pertama, tentu saja Pastor Baker, S.J, yang mulai tahun 1973 dibantu oleh Pastor Wiyono Haryadi, S.J. yang secara khusus menangani paroki Cijantung. Lalu tahun 1974-1977 Pastor C.Looymans, S.J. yang dibantu oleh Pastor P.P.Polimann, S.J. Pada saat itu pastor juga memperluas gereja hingga menampung 300 umat. Tahun 1977 sampai 1978 Pastor F.de van der Schueren, S.J.

Tahun 1978 sampai 1985, Pastor Martinus Oei Goan Tjiang, S.J. (tahun 1984 membuka SMP Strada Nawar) yang mula-mula dibantu oleh Pastor Martosudjito, S.J. yang bertugas menyiapkan Paroki Cijantung, kemudian dibantu juga oleh Pastor Wiharjono, S.J.

Pada masa penggembalaan Pastor Oei Goan Tjiang, menurut Ibu Triany, “Misa hanya dilakukan hari Minggu. Anak-anak duduk di depan dan suami – istri duduknya terpisah.” Ibu Triany yang datang ke Kampung Sawah pad tanggal 14 Agustus 1977, tinggal di Lingkungan 6 dengan ketua lingkungannya Bapak William Kadiman. Beliau langsung menjadi aktivis paroki, antara lain katekis, lektris, seksi liturgi paroki dan pembimbing Pemuda Paroki.

Pada saat itu memang mudika masih bernama Pemuda Paroki. Kegiatannya dimulai lewat bidang olahraga seperti bola voli, mengunjungi teman-teman yang sakit, dan rosario bersama.

“Romo Oei adalah romo yang punya perhatian lebih kepada umat!” tambah Pak Sutrisno, mantan Dewan Paroki. “Beliau datang malam minggu dan menginap di sini. Saat menginap itulah ia mau datang ke lingkungan-lingkungan. Pendalaman iman ia hadiri dengan vespa tuanya!”

Pada masa ini, datanglah Suster Pauline, OSU yang kemudian mengepalai SMP Strada Kampung Sawah. Beliau juga menggagas terbentuknya P3K (Pertanian, Perikanan, Peternakan) atau Proyek Karang Kitri Kampung Sawah yang tujuannya membantu warga yang tidak mampu. Sore harinya, muai pukul 15.00 WIB sampai senja, sejumlah anak berkebun di bawah bimbingan Pak Yulius Sastra Noron yang telah selesai mengikuti Sekolah Pertanian di Jawa Tengah.

Pastor Mudji Santara, S.J, pengganti Pastor Oei, suka sekali memacul dan menanam di pekarangan gereja. Pernah sewaktu mencabut rumput, datang tamu yang bertanya, “Pak, apakah ada Romo?”

“Tunggu dulu, Pak, nanti ia akan datang.” Jawabnya sambil masuk ke pastoran, mencuci tangan dan muka, mengenakan jubah, lantas keluar lagi. “Ini Romonya!”

Sejarah Kampung Sawah yang begitu panjang dan penuh gejolak membuat Pastor Mudji Santara berminat untuk mendokumentasikannya. Maka pada tahun 1987-1988 beliau mengadakan sayembara untuk membuat sejarah paroki. Bapak Yulius Sastra Noron yang berhasil memenangkannya mendapat hadiah berupa uang sejumlah Rp150.000,-. “Uang itu, “ungkap Pak Sastra, “saya gunakan untuk membuat pagar gereja!”

Pastor Pertama Asli Kampung Sawah
Pada tahun 1988, Kampung Sawah pantas berbangga, karena akhirnya ada seorang putranya yang ditahbiskan menjadi imam untuk Keuskupan Agung Jakarta. Tanggal 15 Agustus, Romo Aloysius Yus Noron, Pr, dalam usia 29 tahun, alumnus SD dan SMP Strada, mantan putra altar, ditahbiskan di Katedral Jakarta. Seminggu kemudian, umat Kampung Sawah merayakan Ekaristi Kudus secara meriah untuk menyambutnya.

Pastor dan Frater pun Menetap di Kampung Sawah
Sewaktu Romo Arko menjabat sebagai pastor kepala, beliau minta izin agar 4 frater muda diosesan yang sedang mengikuti Tahun Rohani di Wisma Samadi Klender diperkenankan tinggal di Kampung Sawah bersama pembibingnya Romo Alex Didjasusanta, S.J. Permohonan ini dikabulkan Bapa Uskup. Maka gedung bekas SMP di bawah pastoran pun disesuaikan sedikit untuk penampungan para frater. Pada tanggal 1 Agustus, Romo Alex bersama para frater berjalan kaki dari Klender menuju Kampung Sawah. Semenjak itu, meski Romo Alex adalah romo pembantu, namun pada kenyataannya ia dianggap pastor Kampung Sawah oleh umat. Dan ia tinggal di Kampung Sawah. Romo Alex langsung menghidupkan suasana paroki. Dibangunlah 2 pendopo di depan pastoran. Lalu dibangun Saung Maria. Panti Imam dan sakristi dibangun kokoh.

“Tumbuh kembalinya iman umat Katolik Kampung Sawah adalah pada masa Romo Alex, “ungkap Bapak Yepta Noron. Semasa Romo Alex, yang sangat disukai oleh warga paroki, SD Strada Cakung Payangan nyaris dibakar oleh oknum beragama lain, sebab permintaan mereka, supaya ada pelajaran agama non-Katolik di sekolah Katolik ditolak.
(bersambung)

Sumber : http://www.servatius-kampungsawah.org/

0 comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP