Senin, 16 Januari 2012

Sejarah Paroki "Santa Maria Bintang Samudera" - Situbondo

Pengantar
Sejarah Paroki ini disusun tidak hanya untuk dokumentasi tetapi juga untuk bahan pendalaman iman. Tidak mudah penyusunannya karena sejumlah kendala. Selain makin berkurangnya sumber-sumber lisan, kesulitan disebabkan juga oleh keterbatasan data tertulis di paroki yang musnah terbakar pada peristiwa kerusuhan 10 Oktober 1996 dan karena banjir pada tahun 2002 dan 2008. Hasil yang tersaji dalam buku ini diperoleh dengan jerih payah yang keras tim penyusun. Semoga dapat menjadi awal penelusuran yang lebih mendalam di kemudian hari. Semoga bermanfaat pula untuk pendalaman iman dalam rangka meningkatkan reksa pastoral sekarang dan di masa depan.

REKAMAN DARI MASA KE MASA
Peringatan 50 Th hari jadi paroki Maria Bintang Samodera Situbondo dirayakan pada tahun 2008 dengan acuan tanggal 1 April 1958 sebagai hari penetapan berdirinya. Sejak tahun 1936 Situbondo merupakan stasi dari Paroki St. Yohanes Penginjil Bondowoso. Sewindu sebelumnya masih dalam hitungan sejumlah keluarga Katolik dilayani dari Paroki Jember, Probolinggo atau Malang. Namun masa lalu Situbondo sepertinya tidak cukup ditelusuri sebatas masa-masa itu. Situbondo memiliki keistimewaan masa lalu jauh dari jaman Portugis abad XV dan jaman Kompeni tiga setengah abad sesudahnya.

Gereja Panarukan Jaman Portugis Abad XV
Panarukan pada abad XV merupakan kota kedua dari kerajaan Blambangan dan menjadi pelabuhan singgah pelayaran dari Malaka ke Maluku. Sejak Portugis berkuasa di Malaka, tahun1511, Panarukan selalu disebut karena kehadiran sejumlah orang Portugis di tempat ini. Sering disebut dengan istilah Patoekangan atau Panaroekan. Sejarah misi di Indonesia mencatat usaha pewartaan Injil dari Gereja Katolik Syro Khaldea / Mesir di sini.

Seorang misionaris Yesuit, B. Diaz menulis dalam surat 3 Desember 1559 yang dikirim dari Malaka ke Goa sekelumit keadaan waktu itu : “ Dalam pelayaran dari sini ke Solor, orang singgah di Kerajaan Panarukan. Orang Panarukan sangat bersahabat dengan kita. Orang bilang pada saya bahwa penduduk Panarukan tidak memeluk agama lain, kecuali agama kita. “

Satu dasawarsa kemudian, Pater Gaspar da Cruz dalam catatan yang diterbitkan di Portugis tahun 1569 menulis : umat Katolik di Panarukan ketika itu mendapat pelayanan dari Ordo Dominikan. Jaman itu Ordo Dominikan telah memiliki biara besar di Malaka. Mereka berkarya di Flores dan Maluku. Rupanya mereka juga menempatkan misionarisnya di Panarukan. Melengkapi kedua catatan, sebuah penuturan agak panjang ditulis dalam Sejarah Misi Indonesia menggambarkan keadaan umat di Panarukan tiga dasawarsa sesudah tahun1569.

Pada pertengahan bulan Mei tahun 1579 kapal, yang mengangkut tawanan pembunuhan, Diogo Lopez de Mesquita, meninggalkan Malaka. Ikut serta berlayar diatas kapal tersebut tiga orang misionaris Yesuit : Pater Bernadino Ferrari, Pater Jorge Fernandez dan Pater Gomez da Amara. Karena mendapat rintangan angin haluan yang kuat, maka kapal terpaksa singgah di pelabuhan Panarukan. Waktu kapal sedang berlabuh di pelabuhan Panarukan, para awak kapal tiba-tiba diserang gerombolan sejumlah 150 orang dengan senjata keris. Tujuh puluh tiga orang Portugis mati terbunuh, di antaranya dua orang imam Yesuit : Pater Jorge Fernandez dan Gomes de Amara. Juga kapalnya di rebut dan dikuasai orang orang itu. Pater Bernadiino Ferreri terhindar dari pembunuh an tersebut, karena kebetulan pada waktu itu dia tidak ada di pantai. Dia pergi ke kota Panarukan, kota kedudukan seorang Adipati, sahabat kita. Di sana dia sedang mendengar kan pengakuan dosa dari orang-orang Portugis, yang telah bertahun-tahun menetap di Panarukan. Pater Ferrari diterima dengan sangat ramah oleh Adipati Panarukan dan mendapat hadiah sebidang tanah, untuk membangun sebuah gereja. Tatkala Pater Ferrari mendengar terjadinya pembunuhan di pantai tersebut , maka dia lalu terpaksa bertolak kembali ke Malaka. Pater Ferrari diserahi surat Adipati Panarukan, untuk disampaikan kepada panglima Portugis di Malaka. Di dalam surat itu sang Adipati menyatakan keinginannya, agar dari Malaka dikirim misionaris-misionaris ke Panarukan.

Serikat Yesuit pada waktu itu sudah sangat kekurangan tenaga untuk kepulauan Maluku. Tidak ada misionaris Yesuit yang dapat ditugaskan di Jawa Timur. Ordo Dominikan kekurangan misionaris untuk pelayanan di Nusa Tenggara Timur. Mereka juga tidak dapat melayani Panarukan. Akhirnya datanglah beberapa misionaris Fransiskan.

Empat misionaris Fransiskan berangkat dari Malaka tahun 1584 atau 1585, menumpang kapal Portugis yang akan ke Maluku, dipimpin Manuel Pintu. Setelah pelayaran duapuluh tujuh hari mereka tiba di Panarukan. Pater Pedro Arouca dan Pater Jorge de Viseu tinggal di Panarukan. Sedang Pater Manuel de Elvas dan BruderJeronymo Valente terus ke Blambangan dekat teluk Pangpang, di tepi selat Bali.

Usaha Pater Pedro de Arauca dan Pater Jorge de Viseu di Pelabuhan Panarukan sangat lancar dan menghasilkan banyak buah. Mereka telah mempermandikan banyak orang, antara lain keponakan raja. Tetapi raja tidak suka melihat keponakannya memeluk agama Kristen. Dia ditangkap dan dibunuh atas perintah raja. Kedua orang misionaris di Panarukan itu dikejar.

Kedua orang misionaris Fransiskan tersebut bekerja kira-kira empat tahun di Panarukan. Jadi kurang lebih sama lamanya dengan dua misionaris Fransiskan lainnya, yang bekerja di kota Blambangan.Setelah kembali di Malaka Bruder Jeronymo meninggal karena kecelakaan. Ketiga Pater Fransiskan mendapat tugas di tempat lain. Hampir dapat dipastikan, bahwa setelah berangkatnya keempat orang misionaris tersebut ke Malaka, di kerajaan Blam bangan ada beberapa misionaris Fransis kan baru, yang ditugaskan di situ. Tetapi diantara mereka hanya seorang, yang namanya dapat kita ketahui : Fr. Cosme.

Dalam bulan Januari tahun 1597 Cornelis Houtman, seorang Belanda, dengan kesatuan kapal-kapalnya berlayar melalui Selat Bali. Willem Lodewijcksz, salah seorang yang turut dalam pelayaran Houtman, menulis tentang pelayaran di Selat Bali itu, bahwa pada tanggal 19 Januari ada seorang bangsawan dari Pasuruan datang berkunjung ke kapal Houtman. Bangsawan itu menerangkan, bahwa Adipati Pasuruan masih terus berperang dengan raja Blambangan. Menyusul setelah itu, pada tanggal 21 Januari ada dua buah kapal Blambangan berlayar menuju armada Belanda tersebut. Diatas salah satu kapal tadi terdapat seorang budak (belian) dari seorang imam katolik, yang menyiarkan agama Kristen di Panarukan dan mempermandikan orang-orang Jawa. Pada akhir tahun yang sama di Malaka terdengar kabar, bahwa orang-orang Portugis dan umat Kristen pribumi di Kerajaan Blambangan telah menderita kerugian besar, akibat perang Blambangan dengan Pasuruan. Di sebut dalam tulisan Gidinho de Eridia, tahun 1599 : “Tempat kediaman umat Kristen di dekat Panarukan dihancur leburkan dan sekarang kosong, tidak ada penghuninya”.

Riwayat Gereja Panarukan jaman Portugis tampaknya tamat setelah perang Blambangan-Pasuruan itu. Tahun 1915 Rouffer hanya menemukan sisa peninggalannya berupa kebiasaan orang jawa menyebut " Tugu " yang letaknya di Kuta Bedah ( Ver over de Stad ), dua kilometer dari Panarukan sekarang. Namun demikian tidak dapat dipungkiri, sejarah telah mencatatkan perjalanan kelana Gereja di Panarukan ketika itu. Catatan pertama tahun 1559 dari B. Diaz sampai catatan dari Gidinho de Eridia pada tahun 1599 menggambarkan perkembangan yang berlangsung lebih dari 40 tahun. Secara rohani inilah Israel dalam perjalanan padang gurun sebelum masuk Tanah Terjanji. Sedang rentang waktu lima abad dari kehadiran awal itu sampai berdirinya paroki, mengingatkan perumpamaan tentang benih yang mati sebelum bertunas. Situbondo bagaikan tunas dari benih Panarukan. Di tanah ini tetes darah kemartiran telah dipertaruhkan dan menyiram benih yang ditabur hingga tumbuh tunas dan cabang-cabangnya sampai sekarang. Secara rohani terpaut, meskipun tidak terpaut menurut kesinambungan kacamata sejarah. Biji yang ditanah mati menghasilkan buah banyak sekali. WafatMu menghidupkan.

Jaman Hindia Belanda dan Jepang
Setelah surutnya Portugis pada paruh abad 17, Hindia Belanda berkuasa di Nusantara selama tiga setengah abad. Misi Katolik berkembang lagi pada jamannya mulai tahun 1810 dalam persaingan ketat dengan Zending. Pada awalnya pelayanan orang Katolik Eropa di berbagai tempat dilakukan berkala dengan kunjungan misionaris imam-imam Diosesan Belanda dari Batavia. Setelah Surabaya ditetapkan menjadi Stasi ke 5 Perfektur Apostolik Batavia, sejumlah misionaris lebih sering mengunjungi Pasuruan, Probolinggo dan Besuki. Disebutkan antara lain Pastor H. Waanders Pr, Thiljssen Pr dan Pastor Cartenstat Pr. Orang-orang Eropa Katolik di Besuki yang mereka kunjungi tersebar di beberapa perkebunan, pabrik gula dan pelabuhan Panarukan. Di Besuki dan sekitarnya Hindia Belanda memang membangun pabrik gula antara lain Demas, Wringin Anom, Mangaran, Panjie, Asembagus dan Prajekan. Hindia Belanda juga masih mempertahankan pelabuhan Panarukan untuk pengiriman barang dengan kapal laut sampai kemudian dibangun jalan Anjer Panarukan.

Para misionaris Imam Diosesan dari Belanda itu,sejak tahun 1858 digantikan oleh para misionaris Yesuit, diantaranya Pastor M. van den Elzen SJ, Pastor YB. Palinckx SJ dan Pastor Sondaal SJ. Catatan yang mereka tulis menyebutkan kunjungan ke Pasuruan, Probolinggo dan Besuki makin sulit dilakukan karena pembatasan tugas dari Hindia Belanda. Mereka menjumpai pula kehidupan moral yang buruk dari tentara kompeni karena hidup bersama dengan nyai-nyai tanpa ikatan nikah.

Tahun 1923, misionaris Yesuit digantikan oleh Ordo Karmel. Pelayanan ke Besuki ditempuh dari Malang, dengan menumpang kereta api atau kereta pos yang ditarik kuda. Tahun 1924 pusat pelayanan menjadi lebih dekat karena Ordo Karmel membuka pusat baru di Probolinggo ditangani Rm. Linus Henckens dan Rm. Elias Wouters. Tahun 1926 menyusul tujuh Suster Onza Lieve Vrouv ( SPM ) datang di kota itu, memperkuat karya misi. Rm. E. Stultiens yang tiba di Malang pada tanggal 27 Agustus 1926 langsung ditugasi untuk pelayanan di wilayah “ Jawa Pojok Timur “. Tanggal 4 Juni 1928 Stasi Jember menjadi paroki sekaligus pusat pelayanan untuk orang-orang katolik di sekitarnya. Situbondo mendapat kunjungan dari Jember, Probolinggo atau Malang secara berkala. Mayoritas umat masih orang-orang Belanda yang hanya tinggal sementara di tempat kerjanya. Tidak mudah untuk melacak jumlah, kegiatan dan penyebaran mereka.

Sumber-sumber lisan menceritakan sekitar tahun 1930 di Situbondo terdapat sejumlah orang Katolik namun beribadah di sebuah gereja Protestan. Diantaranya pasangan suami isteri Y.W.F Keeltjes dan Maria Bruk.

Puteri ketiga YWF Keeltjes bernama Helena Sovia Keeltjes pada usia 7 tahun ikut misa untuk pertama kali tahun 1941 di Europese Lagere School Situbondo. Umatnya masih sedikit. Selain orang tuanya sendiri Y.W.F Keeltjes dan Maria Bruk ada pula Pasutri Abels, Ibu Abels Everadus Wilhemus, Jutting Helena Theresia, Pasutri Otto Oberhansil, Sri Rahayu, Ibu P.J. Van der Heyde pemilik hotel Situbondo,pasutri mertua ibu Halim dan Bp. Yakob Rosma dari Solo yang menjadi guru ilmu hitung di Europese Lagere School. Sebagian dari mereka bekerja di pelabuhan Panarukan dan sebagian lain di pabrik gula.

Ditilik dari catatan Sejarah Keuskupan Malang, pelayanan misa ketika itu agaknya dilakukan oleh para Romo Ordo Karmel yang melayani Jember dan Bondowoso. Tahun 1936 Romo Meth. Hendriks O. Carm. Tahun 1937 Rm. St. Mulder O.Carm dan Rm. Petrus Starman O.Carm. Mulai Februari 1939 dilayani oleh Rm. Viester O.Carm dan selama 3 bulan oleh Mgr. Albers yang sempat menetap di Bondowoso, sebelum dilayani lagi oleh Rm. Viester sampai kedatangan tentara Jepang pada tahun 1942.

Selama jaman Jepang pelayanan rohani umat terhenti. Jaman Jepang merupakan masa kelam. Ken Pe Tai atau penguasa Jepang memenjarakan orang-orang Belanda dan melarang kegiatan keagamaan di semua daerah. Kisah umat Situbondo sulit dilacak, seperti halnya kisah-kisah di tempat lain. Rm. Gondo Wardoyo O.Carm yang bekerja di Jember ditangkap juga karena melayani orang Indo Eropah.

Wilayah sekitar Situbondo pada jaman Hindia Belanda tidak pernah sepi dari orang-orang Eropa Katolik yang mendapat pelayanan misionaris, terutama di Besuki yang banyak disebut dalam catatan sejarah misi. Namun karya misionaris ketika itu nampaknya tidak mengakar karena pembatasan tugas dari Hindia Belanda Pelayanannya terbatas pada pelayanan misa dan sakramen tobat yang dilakukan di tempat-tempat yang tidak dikhususkan untuk peribadatan. Mereka tersebar secara sporadis dalam jumlah kecil dan tampaknya tidak menetap. Pengakaran mulai tampak sejak Ordo Karmel hadir di Malang, 1923 dan berdirinya pusat misi di Probolinggo, 1926. Keluarga-keluarga Katolik di Besuki dan Situbondo atau Patokan ketika itu dilayani dari tempat ini sampai Jember ditetapkan menjadi paroki, 1928 dan menjadi induk yang penting untuk pemekaran paroki-paroki lain di wilayah eks karesidenan Besuki dan Blambangan.

Umat Perdana
Geliat kehidupan Katolik di Situbondo yang terpuruk pada jaman Jepang tampak semi kembali sekitar 1952. Sebuah Privatles yang diasuh oleh Ibu Cori di Jl. PB. Sudirman 157 diambilalih oleh Gereja dan berkembang menjadi Sekolah Misi. Setelah sekolah berjalan, Paroki didirikan. Dua romo dikenal baik oleh umat dari masa ini, yakni Romo Werenfridus Viester O.Carm dan Quirinus Kramer O.Carm.

Lembaga Pendidikan Perintis
Ibu Cori memiliki nama lengkap Cornelia Domingo atau Koo Hong Gwan. Privatles di rumahnya dirintis sejak tahun1952, mengasuh 15 anak Tionghoa setingkat Taman Kanak-kanak dan Sekolah Kelas 2. Tahun 1955 Privatles diambilalih oleh Romo Viester menjadi Sekolah Misi : Frobel dan Sekolah Rakyat di bawah pengelolaan Yayasan Karmel. Setelah Romo Viester digantikan oleh Romo Kramer, Sekolah dipindahkan dari rumah Ibu Cori ke Gaduhan, di rumah seorang Bupati yang dihuni keluarga peranakan Belanda bernama Grootbleming. Rumah itu sekarang menjadi Gedung DPRD Situbondo di Jl. Kenanga 1. Selain ditata untuk Frobel dan Sekolah Rakyat, Serambi belakang dari gedung itu digunakan untuk gereja. Luasnya hanya 4 x 8 m2 dengan 9 bangku menampung sekitar 20-30 umat. Sangat sederhana.

Frobel ditangani Ibu Cori. Sedang Sekolah Rakyat diasuh Ibu Martina Martini, guru lulusan SGA Katolik Malang. Murid angkatan pertama berjumlah 35 anak, terbagi dalam tiga kelas. Setelah setahun, pada tanggal 1 Agustus 1956 Ibu Martina Martini digantikan oleh Ibu OM. Sri Soeprapti. Pendampingan murid-murid dilakukan bersama dua orang guru dari Probolinggo.

Untuk pengembangan sekolah pada tahun 1956 Gereja mengupayakan pembelian tanah milik Yayasan Balai Rakyat yang letaknya tak jauh dari Sekolah Kenanga 1. Luasnya 14.387 m2 dengan harga Rp. 7.00 ( tujuh rupiah ) per m2. Tanah yang dibeli berupa sawah dengan banyak cemara di sekitarnya. Sempat muncul sengketa di pengadilan atas sebagian tanah yang dibeli, namun dapat diselesaikan dengan baik. Sebelah utara berbatasan dengan kompleks Rumah Dinas Pemda Situbondo. Di selatan membujur Jl. Cemara atau Jl. Mawar sekarang. Di sebelah Barat Stadion dan Tanah milik Yayasan Perumahan Rakyat. Di Timur pekarangan dan sawah milik Kepala Desa Dawuan.

Pembangunan gedung SDK dimulai pada bulan Januari 1958 dan diresmikan pada tanggal 2 Nopember 1958 oleh Mgr. AEJ. Albers O.Carm dan Bupati RS. Brotoningrat. Pada tahun yang sama SD mendapatkan tambahan ruang kelas dari Nederlands Sticchting Ondewijs yang terletak di seberang Jl. Mawar. Hampir bersamaan waktunya dibangun pula gedung untuk SMPK St. Elias untuk pendidikan lanjut lulusan SDK.

Pembangunan sekolah-sekolah Katolik sangat giat dilakukan pada waktu itu. Mgr. Albers sebagai Vikaris Apostolik Malang berpendapat : Gereja akan muncul dengan sendirinya, kalau jumlah orang Katolik sudah cukup. Tetapi sekolah tidak datang dengan sendirinya. Sekolah harus dibangun. Jika pendidikan masyarakat diperhatikan, dengan sendirinya Gereja akan berkembang. Sekolah adalah salah satu pengabdian misi.

Pelayanan Misa dari Tahun 1955-1958
Seiring dengan pengembangan lembaga pendidikan, umat mulai dihimpun dengan ekaristi. Sebelum memiliki tempat tetap di Kenanga 1, misa dirayakan secara bergantian di Hotel Situbondo dan di rumah Ibu Cori, depan stasiun kota, di bengkel Rimba Motor Jl. A. Yani sekarang. Romo menetap di Bondowoso. Jika ke Situbondo menginap di Hotel Situbondo atau di Wisma Jakarta Loid.

Misa di Hotel Situbondo dan di Rumah ibu Cori pada tahun 1955, menurut Ibu Agustiene Triesye dirayakan dengan duduk lesehan. Umat sekitar 20 orang. Teman sebaya pada waktu itu antara lain Ibu Suryanto, Ibu Parlan dan Berta Didik. Dalam kenangan Bp. Ign. Sulardjo, tahun 1956 Hotel Situbondo masih berupa rumah panggung yang sempit. Pada tahun itu jumlah umat sudah meningkat dari 20 orang menjadi 25 - 30 orang, terdiri dari keturunan Belanda, Tionghoa dan Jawa. Sebagian bekerja di perdagangan, sebagian lain di pabrik-pabrik gula dan guru.

Dalam kenangan beberapa sumber lisan, Romo Kramer lebih dikenal dari pada RomoViester. Mereka menggambarkan sosok Romo Kramer sebagai pribadi yang penuh semangat dengan postur tinggi kurus. Setiap hari berjubah. Kulitnya putih, karena beliau orang Belanda. Romo Kramer naik motor seperti CB, yaitu TWN buatan Eropa, gagah layaknya cowboy. Kunjungan keluarga dilakukan dengan tekun. Jumlah umat tak dimasalahkan. Berapapun jumlah umat yang dilayani beliau tetap hadir penuh semangat. Ketika di Besuki baru ada 2 orang umat, beliau rutin melayani misa di Jl. Sawunggaling 527, di rumah Ibu Hong Kiok, orang tua dari Bp. P. Chandra Prawironegoro. Ketika tahun 1960 jumlah umat hanya 4 orang, pelayanannya tak pernah surut. Anak-anak sekolah juga senang dengan Romo Kramer. Selain setia menemani anak-anak yang belum dijemput usai sekolah, anak-anak pastinya menantikan permen yang tak pernah habis dari saku jubahnya. Dalam pengajaran budi pekerti kepada anak-anak yang belum Katolik, Romo Kramer dikenal piawai dan jago yang memikat. Rm. Kramer pastor paroki pertama yang pantas dikenang.

Dari kesaksian sumber-sumber lisan, dapat diperoleh nama-nama umat antara 1955-1958 yang diingat dari perjumpaan dalam misa di Situbondo. Nama-nama yang disebut antara lain Ibu Vander Heyde (Pemilik Hotel Situbondo), Ibu Cornelia Domingo, Bapak Teo Dores Keeltjes, Lamber H. Tentija, Bapak Albers, Ibu Albers, Bapak Edy Minggu, Ibu Edy Minggu, Bapak Kristantunus Edy Suprayitno, Ibu Lusia Rustingatun (Isteri Edy Suprayitno), Ibu Saniya Maria Magdalena, Bapak Y Sane, Bapak M.J. Croux, Ibu Elisabeth Keeltjes, Bapak Antaonius Yosep Ketang, Bapak Otto Oberhansli dan Ibu Sri Rahayu (Isteri Otto), Ibu Elisabeth Martina, Ibu Augustiene Triesye (B. Maspur), Bapak Suryanto, Van Lim Bek, A.J Soeroso, Dr. Liem Cim Song, Leonardus Tjoa Ting Kian, Ibu Tjoa Ting Kian, Inviolata Siauw Siok Ing, Bapak Koa Ping Lian, Ibu Koa Ping Liang, Ibu Yusefin Utarjo, Suyudi, Munte, Sugeng, Sarjirah, Sungkono (Kepala SMPK), Markus Sale, Bapak Soetedjo, Berta Didik, dan Bapak Ignatius Sulardjo. Tahun 1958 mendapat tambahan dari sejumlah guru muda untuk SDK dan SMPK dan warga baru, antara lain Bp. H.J. Suwarno, Ibu Odelia Soeprapti dan Ririn adiknya, Bpk. Soekarlan, Bpk. Kwa Ping Liang, Ibu Kwa Ping Liang, Bpk.Soekardi, Ibu Theresia Soebiyatmi dan Ibu Soekarti. Sejumlah guru tinggal bersama dengan menyewa ruang belakang rumah Bp. Muntahar menyatu dengan gedung Kenanga 1. Misa makin semarak oleh alunan koor mereka

Nama-nama yang tercatat pantas disebut “ Umat Perdana “ Pada waktu dipersiapkan dan ditetapkan menjadi paroki 1 April 1958, mereka merupakan kelompok umat yang berdomisili di wilayah Situbondo. Meskipun kemudian beberapa di antaranya menyebar ke luar dari Situbondo, kenangan bersama umat lain dari masa merintis berdirinya paroki tidak mereka lupakan.

Enam atau lima tahun sebelum ditetapkan menjadi paroki, geliat kehidupan gereja Situbondo fokus pada usaha merintis lembaga pendidikan Katolik dan menghimpun umat. Jumlah yang terhimpun belum seberapa banyak, namun upaya pengembangan lembaga pendidikan itu menorehkan riwayat inti awal paroki. Pelbagai kemajuan paguyuban umat secara langsung mendapat kekuatan, dukungan dan tenaga inti dari umat yang berkiprah di lembaga itu. Kerjasama yang dibangun antara kalangan pendidik di sekolah dan mereka yang bekerja di pabrik gula, pelabuhan, kantor-kantor pemerintah dan perdagangan membentuk semacam pondasi bagi paguyuban paroki. Situasi ini menggambarkan sebuah permulaan yang agak khas dibanding perkembangan awal dari paroki-paroki lain.

Di tempat lain sering awal riwayatnya mulai dari ketekunan seorang imam, guru agama atau katekis yang penuh kesetiaan berjuang untuk mempertobatkan mereka yang belum mengenal Kristus. Di tempat lain lagi awal pertumbuhan mulai dari peran tokoh-tokoh terpandang yang kuat pengaruhnya dengan warisan besar untuk menghidupi benih paguyuban setempat. Berbeda pula ketika awalnya dirintis seorang atau sekumpulan orang asli setempat dengan segala jerih payahnya. Situbondo tidak beranjak dari awal seperti itu. Sentuhan pendidikan sebagai ciri khas permulaannya ditopang oleh jejaring kekuatan yang datang dari berbagai penjuru satu demi satu, kawanan demi kawanan, pendatang demi pendatang. Rapuh tampaknya untuk sehati sejiwa, namun kokoh jika mengingat besarnya harapan untuk pencerdasan dengan pendidikan. Apalagi dikuatkan ketekunan para romo perintis dan semangat dari Mgr. Albers ketika itu. Gereja akan berkembang manakala pendidikan masyarakat diperhatikan.

Jalan Penuh Liku Di Awal Langkah, 1958-1966
Jerih payah pengakaran Gereja melalui pendidikan di Situbondo sejak 1955 membuahkan hasil tidak hanya anak-anak cerdas dan pinter, tetapi juga beberapa baptisan baru, datangnya tenaga-tenaga baru dan akhirnya juga gerakan baru di tengah persekutuan umat, hingga cukup persyaratannya untuk ditetapkan menjadi sebuah paroki. Delapan tahun pertama setelah menjadi paroki, Situbondo harus bergumul menghadapi gejolak sosial bangsa yang berkembang ketika itu, terutama di tahun 1965.

Hari Jadi Paroki, 1 April 1958
Hari jadi Paroki tanggal 1 April 1958 diperoleh dari catatan Buku Gereja Katolik Indonesia. Sumber-sumber lisan di paroki tidak tahu persis tentang peristiwa penetapan itu. Cukup kesulitan juga untuk melacak dari sumber-sumber tertulis yang ada di paroki karena berkasnya terbakar pada peristiwa 10 Oktober 1996. Data tertulis dari dokumen di Keuskupan tidak memberi keterangan yang rinci. Hanya disebutkan Romo Quirinus Kramer O. Carm menjadi Pastor Paroki Pertama.

Jika ditelusuri dari catatan pertama pada buku Baptis yang menandai status paroki, sementara ini yang dapat ditemukan adalah catatan dari baptis yang dilakukan pada tanggal 11 April 1958, atas nama Heribertus Eko Wahyudi, anak dari Edward Rudi, kelahiran Situbondo, 2 Maret 1958. Dari kesaksian sumber-sumber lisan, di antara belasan murid pertama SDK terdapat dua anak yang dibaptis sekitar tahun 1958, yakni Bertha Didik yang sekarang tinggal di Sukowono dan Agustiene Triesye, namun catatannya masih masuk di buku baptis paroki Bondowoso.

Hari jadi 1 April 1958 tidak muncul tiba-tiba. Jika ditelusuri dalam konteks luas berdirinya paroki-paroki tetangga yang dekat, penetapan itu tak lepas dari persiapan panjang yang telah dimulai sejak tahun 1928 di Paroki Jember dan sejak tahun 1936 di Paroki Bondowoso. Situbondo lahir dari induk yang sama dengan sejumlah paroki di bagian timur Jawa Timur. Selama 22 tahun dilayani dari Bondowoso hingga saatnya ketika ditetapkan untuk berdiri sendiri.

Wilayah Paroki
Wilayah Paroki meliputi seluruh kawasan Kabupaten Situbondo, yang luasnya sekitar 1.638,50 km2 atau 163.850 hektar, terdiri dari 17 Kecamatan : Banyuglugur, Jati Banteng, Alas Malang, Besuki, Suboh, Mlandingan, Bungatan,Kendit, Panarukan, Situbondo, Mangaran, Panji, Landangan, Arjasa, Jangkar, Asembagus dan Banyuputih. Tahun 1993 diperluas dengan tambahan Kecamatan Cerme, Prajekan dan Klabang di Kabupaten Bondowoso, yang sebelumnya dilayani Paroki Bondowoso. Batas sebelah barat dengan Paroki Probolinggo di Paiton. Sebelah timur dengan paroki Banyuwangi di hutan Baluran. Sebelah selatan dengan Paroki Bondowoso di Klabang. Bagian utara berbatasan langsung dengan laut Jawa.

Sisi utara merupakan kawasan pantai, membujur 150 km, dengan 3 obyek wisata unggulan yakni pantai Pasir Putih, Patek dan Bama di Taman Nasional Baluran. Suhu cenderung panas dan lebih padat penduduk. Terdapat pelabuhan nelayan yang besar di Besuki, Panarukan dan Mimbo. Kawasan bagian selatan berupa perbukitan dengan panorama indah. Ada Kayumas sebuah perkebunan kopi di dekat kawah Ijen. Ada pula Puncak Renganis di Gunung Raung. Suhu cenderung dingin, kepadatan kurang, didominasi lahan perkebunan. Lahan pertanian untuk tanaman pangan dan tebu luasnya mencapai 32.000 hektar di kawasan bagian tengah antara daerah pantai dan pegunungan. Di seluruh wilayah terdapat 5 pabrik gula yang masih aktif hingga sekarang, yakni PG Wringin Anom, PG Olehan, PG Prajekan, PG Panjie dan PG Asembagus. PG Demas di Besuki dan PG Mangaran sudah tidak beroperasi selama beberapa tahun terakhir.

Mayoritas penduduk orang Madura. Warga lainnya dari etnis Jawa, Tionghoa dan campuran. Dialek sehari-hari menggunakan bahasa Madura. Menurut data BPS Kabupaten Situbondo tahun 2006 jumlah penduduknya 621.624 jiwa. Penduduk beragama Islam 612.208 jiwa (98,49 %). Katholik 6.175 (0,99 %), Kristen Protestan 2.549 jiwa (0,41%), Hindu 215 jiwa (0,03 %), Budha 296 jiwa (0,05 %), dan lain-lain 181 jiwa (0,03 %).

Dinamika Umat Sewindu Pertama
Langkah awal dinamika umat paroki sekitar tahun enampuluhan ditopang terutama oleh guru-guru di SDK dan SMPK, dalam kerjasama mereka dengan penggerak umat dari pabrik gula dan berbagai kalangan lain. A.J. Soeroso dikenal sebagai penggerak dari PG Wringin Anom dari periode ini. F. Sambanu, Jong Ambon dari Saumlaki, mulai tahun 1961 menambah kekuatan penggerak umat yang sudah ada, selain tugas pokoknya sebagai guru di SMPK.

Keluarga-keluarga Katolik di PG Panjie dan Olean dalam paguyuban masing-masing pada awal paroki ini menjadi semacam embrio terbentuknya Lingkungan. Belum secara resmi ditetapkan sebagai kring atau Lingkungan. Masing-masing paguyuban di PG dianggap satu kelompok karena tinggal berdekatan di kompleks rumah dinas. Umat yang di Besuki, Panarukan dan Asembagus jumlahnya belum banyak dan dilayani sebagai Stasi. Romo melakukan kunjungan rutin berkala untuk misa dan kegiatan pastoral lain.

Persoalan menonjol yang dirasakan pada awal paroki ketika itu lebih banyak menyangkut pergantian pastor Paroki yang terjadi antara 1960-1966, rencana pembangunan gedung Gereja serta gejolak politik yang berimbas pada kehidupan paroki.

Tak lama setelah tahun 1958, Romo Kramer pindah ke Sidikalang Medan, digantikan seorang Romo dari Sumenep Madura, selama setahun. Sumber-sumber lisan lupa namanya, namun beliau adalah seorang Belanda yang pandai dalam pengobatan dan sering mengadakan pemeriksaan cuma-cuma bagi warga. Setelah ditarik kembali ke Sumenep, penggantinya seorang Romo Tionghoa yang sebelumnya bekerja di Paroki Pasuruan. Tak lama bertugas, beliau dipindah lagi, digantikan oleh Romo Stultjiens O.Carm.

Bersama Rm. Stultjiens O.Carm paroki Situbondo mulai merencanakan pembangunan Gereja yang akan didirikan dekat lingkungan SDK dan SMPK. Pembangunan gedung Gereja diperlukan mengingat status tanah dan daya tampung Gereja di Jl. Kenanga 1, serta persiapan untuk masa depan paroki. Gereja Kenanga 1 pada awal tahun enam puluhan dirasa makin sesak. Jumlah umat ketika itu sudah sekitar 40 orang.

Selain kepanitiaan, perijinan, rancang bangun dan anggaran, dalam perencanaan pemba ngunan Gereja juga harus diselesaikan persoalan status tanah. Kepastian status tanah yang direncanakan untuk gedung gereja harus diselesaikan di pengadilan, karena masih menjadi sengketa. Paroki menghadapi masalah ini dengan menugaskan Bapak Petrus Supardjo dan Bapak AJ Soeroso mewakili Keuskupan Malang bersidang di Pengadilan Negeri Situbondo. Setelah melewati masa persidangan yang panjang, diputuskan pada sidang ke 4 tanah yang disengketakan sah menjadi milik Keuskupan Malang dan dapat digunakan untuk mendirikan bangunan Gereja.

Selama dasawarsa tahun enampuluhan pertambahan umat cukup terasa. Angkatan baru yang masuk selama dasawarsa ini diantaranya: Ibu Agustina Widarti, Bapak Lilek Drajat, Ibu Ana Maria Sugiani, Bp. Yohanes Bianto, Bp. Simon Petrus Marsuto, Ibu Lusia Musari Sihanik, Bp. AR. Murtedjo, BSc, Ibu Elisabeth Keeltjes, Bp. Aloysius Soetrisno, Ibu Mariyanti Sutrisno, Ibu Suryati, Ibu Soekarti, Ibu Teresia Soebiyatmi, Ibu Kristina T, Bp. YK Soedjiono, Ibu Sri Sukartina, Bp. Kwa Ping Liang, Ibu Kwa Ping Liang, Bp. Fx. Muh. Yasin, Ibu Suwarti, Petronela Astina, Ibu Carina, Ibu Corina (Aleks Motor), Ibu Florentina Sunarti (B. Sambonu), Ibu Emertina Isiyatik, Ibu Anastasia Sarmi (Istri HJ Soewarno), Bp. APM Supriyono, Bp. YB Suyadi, Ibu YB Suyadi, Sagiyadi, Petrus Pardjo, Sudarto, Subagyo, Maryono, Sutikno, Sawiji, Pris, Tik Giok Bi, Tik Giok Ing, Tio Bak Kim, Sutanto, So Ho Bing, So Han Sing, So Han So, Ibu Katarina dan Bp. Purnomo.

Seputar Peristiwa G 30 S 1965
Tahun 1965 suhu politik bangsa memanas karena peristiwa G 30 S. Dampak peristiwa ini sempat menimbulkan masalah bagi paroki. Sejumlah pengerak umat dituduh terlibat dalam gerakan komunis. Sejumlah orang lain lagi ditangkap dan sempat digunduli rambut kepalanya ketika ditahan di penjara. Persiapan pembangunan gereja terhambat. Ketakutan menyelimuti seluruh paroki. Bukan karena ancaman penangkapan dan penjara saja, tapi juga karena bahaya pembunuhan. Tuduhan pada perorangan berimbas pada lembaga atau organisasi dimana orang itu berkegiatan, termasuk keaktifnnya di sekitar kegiatan Gereja. Untuk mengatasi kegelisahan dan kesulitan yang timbul, Romo Stultjiens bersama sejumlah penggerak umat mengupayakan pembelaan, di antaranya A.J Sambuno, guru SMPK yang waktu itu aktif sebagai Wakil ketua II Form Barisan Pancasila. Mereka menghadap bupati untuk membebaskan umat yang ditahan. Upaya advokasi membuahkan hasil. Umat yang ditahan dapat dibebaskan.

Tak lama setelah kemelut terlewati, paroki menyambut dengan penuh syukur kehadiran Suster-suster SPM di Jl. J.A. Suprapto. Pada tanggal 19 Desember 1967 tiga suster SPM pertama datang menempati rumah yang dibeli dari keluarga Kwa Ping Liang, yakni Sr. Aloysia SPM, Sr. Rita SPM dan Sr. Agatha SPM. Selain dibangun biara, di Jl. Suprapto dibangun pula Taman Kanak-kanak. Para Suster menerima pelimpahan dari Yayasan Karmel untuk mengelola SDK Fransiskus Xaverius dan TKK St. Theresia mulai 1 Januari 1968. Penggerak di paroki makin bertambah kuat dengan kehadiran mereka.

Pembangunan Gedung Gereja, Tahun 1967
Tak lama juga setelah lewat badai peristiwa G 30 S, tahun 1967 rencana pembangunan gedung Gereja kembali dimatangkan. Kejelasan status tanah dari sidang-sidang sengketa tuntas dengan keluarnya Sertifikat tanah dari Dinas Agraria Situbondo, yang diserahkan oleh Bupati Tahir kepada A. J. Sambonu, mewakili pihak Gereja Katolik Keuskupan Malang.

Sesuai rencananya, gedung gereja didirikan satu lokasi dengan SDK dan SMPK. Tepatnya pada lahan di sebelah utara SDK. Panitia Pembangunan yang dibentuk diketuai Bp.Tjoa Ting Kian. Bendahara Bp. So Hong Bing (Sosrowibowo), dibantu Bp. So Han Sing dan Bp. Balok dari Asembagus, Bp. AL. Sawiji, Bp. Sutikno dan Bu Edy dari Panarukan, Bp. Parjo dan Kwa Ping Liang dari Situbondo. Dalam perjalanan Ketua Panitia digantikan oleh Bp. A.J. Soeroso.

Keseluruhan beaya dianggarkan 2 Juta rupiah. Selain ditopang oleh beberapa sponsor dari pejabat PG dan pengusaha Tionghoa, beaya pembangunan digali juga dari para donatur, kegiatan bazar dan berbagai usaha lain. Romo Paroki dan Bapak Uskup menggali dana dari Belanda dan berhasil menghimpun separuh dari kebutuhan, yakni sekitar Rp. 1.000.000. Dengan mobil “ Oustin “ bendahara panitia berkeliling di Surabaya dan sekitarnya. Berkat usahanya bantuan mengalir tidak hanya dari umat Katolik, diantaranya dari Bp. Kasian, Kepala BRI Situbondo, Bapak Siri (orang Kalimantan sahabat Bapak Sosrowibowo), Ibu Rokayah dan beberapa wali murid SDK dan SMPK Situbondo.

Ketika bergerak di sekitar Malang, selain bantuan dana, Bp. Sawiji bersama Bp. Sutikno malahan mendapat perlakuan istimewa. Karena keraguan, mereka sempat dihadapkan ke Uskup oleh umat setempat untuk memastikan keabsahan proposalnya. Dipelopori oleh Sr. Aloysia SPM, Sr. Rita SPM dan Sr. Agatha SPM, paroki menggelar bazar pakaian. Lewat Bp. Sambonu, Mgr. Albers suatu ketika juga mengadakan lelang bolpoin parker ke siswa-siswi SMPK.

Dalam bentuk lain, bantuan datang dari umat sendiri dan beberapa anggota kepolisian. Selain kerjabakti pengecoran balkon, bantuan mereka diwujudkan dalam bentuk penjagaan lokasi. Kerjasama gereja dengan Polres Situbondo pada waktu itu dijembatani beberapa umat yang bekerja sebagai polisi : Bp. Petrus Parto, Bp. T. Sudarto, Bp. Bagio dan Bp. Murtoyo. Keamanan belum sungguh-sungguh kondusif, penjagaan diperlukan.

Peletakan batu pertama gedung Gereja dilakukan oleh Romo Stultjiens, Bp. Sosrowibowo sebagai motor utama pembangunan, dan anggota panitia lain di hadapan umat yang hadir. Batu pertama yang ditempatkan di landasan pondasi adalah batu eks Gereja jaman Portugis Panarukan. Pencarian batu dilakukan oleh Bp. Sawiji dan Bp. MJ. Sutikno dari sekitar Tugu Portugis. Dalam peta sekarang lokasinya terletak sekitar 300 meter dari Jembatan Sibun, Sebelah Timur Muara Sungai Sampeyan Panarukan.

Peletakan batu pertama gedung Gereja dilakukan oleh Romo Stultjiens, Bp. Sosrowibowo sebagai motor utama pembangunan, dan anggota panitia lain di hadapan umat yang hadir. Batu pertama yang ditempatkan di landasan pondasi adalah batu eks Gereja jaman Portugis Panarukan. Pencarian batu dilakukan oleh Bp. Sawiji dan Bp. MJ. Sutikno dari sekitar Tugu Portugis. Dalam peta sekarang lokasinya terletak sekitar 300 meter dari Jembatan Sibun, Sebelah Timur Muara Sungai Sampeyan Panarukan.

Pengadaan kayu ditangani oleh Bapak Hoi Wi Tjik, pengusaha pengergajian terkenal di Situbondo ketika itu. Kayu yang digunakan adalah kayu jati yang didatangkan dari Bojonegoro oleh Bapak Coa Ping Liang dan Bapak Balok masih dalam bentuk glondongan. Material lain banyak disumbang sejumlah pengusaha di Situbondo. Konsultan tehnis Bp. Muntalib, pejabat Kantor PU Situbondo. Kepala tukang seorang muslim dari Sidoarjo bernama Bp. Abuhasan.

Pembangunan berjalan hampir setahun. Sebelum selesai semua rencana, pada tanggal 25 Nopember 1967 gereja diresmikan penggunaannya oleh Mgr. Albers O.Carm. Uskup Malang. Peresmian dilakukan beberapa bulan setelah mutasi pastor paroki ketika itu. Romo Stultjiens pindah tugas ke paroki lain, digantikan oleh Romo Borggreeve O.Carm. Sebagai pastor pengganti, beliau menyelesaikan sebagian bangunan gereja dan mempersiapkan pembangunan pastoran baru, sampai beliau digantikan oleh R. Hutten.

Pada masa Rm. Hutten, panitia pembangunan Gereja yang lama resmi dibubarkan dan dibentuk panitia baru pada tahun 1969, dengan SK Keuskupan Nomor : 15/16/S, tanggal 22 April 1969. Ketua I dan II dalam kepanitiaan ini adalah Bp. Petrus Pardjo dan Bp. Tjoa Ing Tjwan. Bp. HJ. Soewarno dan Bp. Ignatius Sulardjo menjadi Sekretaris. Bendaharanya Bp. A.L. Sawiji dan Bp. Bian Hwat. Sedang bidang usaha ditangani Bp. Sosrowibowo, Bp. Soetikno, Bp. Tan Hok Hian ( Soetanto ), Bp. So Han Sing, Bp. Kwee Swie Sing, Bp. Tristijono dan F. Sambonu.

Panitia bekerja menyempurnakan gereja dan membangun pastoran sampai perte tngahan tahun 1970 dan diresmikan penggunaannya pada tanggal 15 Agustus 1970. Romo mulai menetap di pastoran dekat Gereja. Pastoran di Jl. Sentana 1 dikembalikan kepada pemilik karena statusnya dalam sengketa sebuah keluarga. Demikian pula SDK kelas I - II digabung ke lokasi SDK di Jl. Mawar dan TKK dipindah ke Jl. J.A. Suprapto.

Dasa warsa enampuluhan telah dilewati oleh paroki sebagai masa penuh warna. Selain tragedi karena peristiwa G30S, paroki juga harus bekerja keras melengkapi diri dengan membangun Gereja dan Pastoran. Suasana kebersamaan setiap kali menjadi lebih kental dan dinamis dalam pergumulan semacam ini. Namun demikian tugas gereja tidak langsung selesai sesudah berhasil membangun gedung Gereja. Tugas yang harus dipikul Gereja masih mengantri panjang. Perjalanannya harus menjadi sebuah ziarah dalam kepekaan terhadap suka duka dan harapan masyarakat sekitarnya. Fasilitas gedung Gereja menjadi wadah perjumpaan umat dengan Tuhan dan sesama umat beriman. Menjadi juga tempat menempa diri untuk menjadi garam yang asin dan terang yang mampu bersinar dalam kegelapan. Pembangunannya yang dilakukan menyusul setelah lembaga pendidikan berjalan mantap menyingkapkan rencana Tuhan untuk mendahulukan nilai Kerajaan Allah dan yang lainnya ditambahkan.

Pengembangan Panca Tugas, 1968-1995
Setelah memiliki Gereja sebagai sarana utama untuk pastoral umat, Paroki memusatkan perhatian pada usaha-usaha mewujudkan panca tugas Gereja, yakni Paguyuban, Liturgi, Pewartaan, Pelayanan dan Kesaksian.

Pengembangan Paguyuban
Selain Stasi dan Lingkungan sebagai paguyuban yang dibentuk atas dasar pembagian wilayah, dalam paroki juga dikembangkan paguyuban atas dasar kebutuhan khusus karena faktor usia, minat, jenis karya dan tugas-tugas yang diemban.

Stasi St. Mikael Besuki
Sejarah misi mencatat misionaris-misionaris pada jaman kompeni sering berkunjung ke Besuki. Meskipun tidak mudah dilacak, dapat diperkirakan pada waktu itu sudah ada orang Katolik di Besuki. Sumber-sumber lisan hanya ingat pengalaman sekitar tahun 1958. Sejak tahun itu Besuki rutin mendapat kunjungan Romo yaitu Rm. Kramer, Rm. Stultjiens dan Rm. Boorggreeve. Jumlah umat hanya 2 orang, namun dilayani dengan misa di rumah Ibu Hong Kiok di Jl. Sawunggaling 527. Tahun 1960 jumlah umat masih 4 orang. Peningkatan terjadi selama satu dasawarsa kemudian hingga tahun 1970 jumlahnya sudah mencapai 25 orang.

Kapel stasi mulai dipersiapkan tahun 1980. Tanah untuk Kapel di Jl. Sapudi dibeli dengan harga Rp. 600.000,-. Modal awal untuk pembangunan Kapel hanya Rp. 300.000,- Dengan jerih payah keras pembangunan dapat diselesaikan dalam waktu setahun. Di kapel ini pelayanan misa diberikan 2 kali dalam sebulan, yakni pada Minggu I dan III. Pada Minggu II dan IV dilayani dengan ibadat Sabda tanpa imam oleh petugas awam dari Paroki. Ketika terjadi kerusuhan 10 Oktober 1996 kapel juga tidak luput dari perusakan. Kerusakannya tidak sangat parah, namun tetap perlu renovasi. Selama setahun misa dan ibadat sabda dipindahkan di rumah Bp. Ambrosius Agus Sinaryadi hingga renovasi dapat diselesaikan akhir tahun 1997.

Sejak awal umat rukun dan kompak. Perkembangan ini tidak lepas dari keuletan para ketua stasinya : Bp. A. Sunaryo, Bp. Ign. Jemmy, Bp. Ambrosius Agus Sinaryadi, Bp. Petrus Ponjol, Bp. Yohanes Deny Cipta dan Bp. Fx. Liman Hartono. Tahun 1980 dirintis Minggu Gembira. Berdasarkan pengalaman menangani Minggu Gembira, pada tahun 2006 Stasi mendirikan Play Group dan Taman Kanak-kanak “ Tunas Kasih “. Tahun 2008 dirintis pendirian Legio Maria Presidium Maria Tak Bercela yang belum diresmikan oleh Kuria.

Stasi St. Yoseph Asembagus
Sumber-sumber lisan dari Stasi Asembagus mengingat pendahulu mereka sudah ada sejak tahun enampuluhan, antara lain Keluarga Yohanes, Liu Seng, Balok, Hansing dan Keluarga pemilik Toko Tunas. Mereka tidak hanya aktif di Asembagus, tetapi juga di Situbondo. Misa diadakan di rumah keluarga secara bergantian setiap bulan satu kali. Rumah yang sering digunakan untuk misa adalah Rumah Bp. Gondo, wakil Tata Usaha PG Asembagus dan di Rumah Bp. Hadi, kakak dari Romo Puspo O.Carm.

Prakarsa untuk memiliki rumah ibadah datang dari Bp. Balok. Persiapannya dilakukan bersama Rm. Hutten. Dilakukan tahap demi tahap. Setelah mendapatkan tanah di lokasi kapel sekarang, dilakukan pemagaran lokasi dengan batu-bata yang dibuat dan dibakar sendiri oleh umat. Perijinan dilakukan dengan menggunakan nama Bp. HJ. Suwarno hingga dapat didirikan tempat yang pantas untuk rumah ibadah. Pembangunan berjalan sekitar setahun dan dapat diselesaikan pada tahun 1980.

Seiring dengan tersedianya rumah ibadah, stasi kemudian membentuk kepengurusan pada jaman Rm. Hadi. Tongkat pertama untuk ketua stasi dipercayakan kepada Bp. Martin Appel. Menyusul kemudian Bp. Herman dan Bp. Gunardi.

Kapel stasi Asembagus tidak luput dari kerusakan akibat kerusuhan 10 Oktober 1996. Bangunannya tidak sempat terbakar, namun seluruh perabot dalam kapel porak poranda. Renovasi yang dilakukan setelah kerusuhan menjadi kapel dalam bentuk seperti yang sekarang ada. Sekarang misa dapat dilayani rutin setiap Minggu II dan IV. Pada Minggu I dan III umat mengikuti Ibadat Sabda Tanpa Imam bersama petugas awam dari Paroki. Minggu Gembira diadakan setiap Minggu mulai pk. 08.00 sebelum misa atauibadat pada pk. 10.00 dengan pembina Bp. Martin Appel dan Ibu Suciwati. Selain faktor jarak tempat tinggal umat yang cukup berjauhan, kesulitan untuk berkumpul juga timbul karena kesibukan pekerjaan. Untuk mengatasinya para pengurus berusaha terus menerus menyapa umat dan menggiatkan doa berkala di rumah-rumah umat.

Kebersamaan umat digalang juga dengan mengadakan kegiatan khusus setiap hari raya Gereja, baik Natal maupun Paskah dan hari Pelindung Stasi pada pesta St. Yoseph. Bagi warga yang sakit, pengurus bersama umat melakukan kunjungan bersama-sama setelah kegiatan ibadah atau misa hari Minggu. Untuk melayani calon Katolik, Stasi mempercayakan pembinaannya kepada Bp. Martin Appel. Demikian pula untuk persiapan penerimaan Komuni Pertama dan Krisma. Stasi Asembagus di masa depan harus menggalang tenaga-tenaga muda untuk tinggal menetap di wilayahnya, karena banyak dari mereka harus menempuh pendidikan di tempat lain. Dengan doa dan usaha membangun paguyuban yang tekun harapan ini niscaya dapat dicapai.

Stasi St. Paulus Panarukan
Sebelum ditetapkan menjadi Stasi, umat Katolik di Panarukan jumlahnya sekitar 15 orang. Sejak tahun enampuluhan umat sudah mendapat kunjungan dari Rm. Kramer, Rm. Stuljiens, Rm. Borggreevee, dan Suster Yosea SPM. Suster memberi pelajaran agama bagi calon baptis di rumah Bapak Kristantunus Edy Suprayitno. Romo melayani misa secara bergantian di rumah Bp. Edy dan Bp. M. Sutikno. Dalam perjalanan waktu mulai dibicarakan keinginan untuk memiliki kapel sebagai tempat ibadah yang tetap. Bersama Rm. Hutten keinginan itu mulai diwujudkan dengan membeli rumah milik salah seorang famili dari keluarga Bp. Sutikno di Jl. Raya Panarukan pada tahun 1970. Dana untuk pembelian rumah digali dari swadaya umat dan bantuan yang digalang oleh Rm. Hutten dan Sr. Yosea. Rumah yang mereka beli dirombak sedikit pada bagian tenggah sehingga menjadi lebih luas untuk merayakan misa dan diberi nama Rumah St. Paulus.

Pada jaman Romo Blasius, tahun 1995 dilakukan renovasi total atas rumah tersebut dan didirikan di tempat yang sama sebuah kapel. Namun sekitar tiga atau empat bulan setelah pembangunan selesai, kapel yang belum sempat diresmikan itu dirusak oleh massa pada peristiwa 10 Oktober 1996. Kapel dibangun kembali sesudahnya dalam bentuk seperti yang sekarang ada.

Wilayah stasi meliputi Gelung, Pecaron, Kendit, Sumberkolak, Wringin Anom dan Paowan. Pertambahan jumlah umat meningkat sedikit demi sedikit dari keluarga-keluarga yang anaknya sudah baptis lebih dahulu melalui katekumenat sekolah. Kemajuan yang terjadi tidak lepas dari kegigihan para pengurus stasi. Pernah menjadi ketua stasi di Panarukan antara lain : Ibu Lusia Rustingatun isteri Bp. Kristantunus Edy Suprayitno, Bp. Antonius Lukas Sawidji, Bp. A. Y. Suparlan, Bp. Hendricus Suwadi, Bp. Y. Gunardi.

Sekarang ini secara rutin misa dilayani pada Minggu I dan III. Pada Minggu II dan IV umat mengikuti Ibadat Sabda tanpa imam dipimpin oleh petugas awam dari Paroki. Doa bersama di rumah keluarga semula dapat rutin diadakan seminggu sekali secara bergiliran. Kini masih dipertahankan tapi jangka waktunya satu bulan sekali. Minggu Gembira pernah dirintis pada jaman Bp. Antonius Lukas Sawidji ditangani oleh Bp. Hong Liang, namun kemudian surut dan dirintis kembali pada tahun 2007 setiap Minggu pk. 17.00, bersamaan dengan misa dan ibadat sabda, dengan pendamping Sdri. Elly dan Juli.

Kesulitan di tengah umat sering timbul terkait dengan ajakan untuk pindah ke Gereja lain. Pengurus Stasi berupaya menghadapi kesulitan ini dengan meningkatkan kunjungan keluarga secara berkala. Umat juga dipacu lebih giat dalam peribadatan di kapel dengan mengingatkan kembali janji yang digalang sebelum kapel direnovasi. Pertalian dengan masyarakat diwujudkan dalam bentuk santunan kepada warga menjelang hari raya keagaman Katolik atau Lebaran. Sekarang ini untuk pemeliharaan kapel, pengurus mempercayakan kepada sebuah keluarga Muslim. Panarukan berupaya agar kapel juga menjadi bagian dari keseharian masyarakat sekitar. Menyangkut sejarah Gereja Katolik jaman Portugis, pengurus masih terus berusaha melacak situs-situs lama di sekitar desa Kom. Karena tenggang waktu yang lama dan derasnya pembangunan di wilayah ini upaya yang dilakukan belum mencapai hasil yang memuaskan.

Stasi St. Bernardus Prajekan
Stasi Prajekan mulai dirintis pada tahun 1973 sebagai bagian dari Paroki Bondowoso. Ketika itu jumlah umat sekitar 10 orang, terdiri dari karyawan karyawati PG Prajekan. Misa hanya satu kali dalam sebulan, bertempat di Rumah Bp. I. Woeryanto, kompleks Rumah Dinas PG. Pada tahun 1993 Stasi Prajekan diserahkan kepada Paroki Situbondo dan diberi nama pelindung St. Bernardus. Jumlah umat sekitar 18 orang. Pelayanan misa diberikan 2 kali dalam sebulan pada Minggu II dan IV, bergiliran di rumah umat. Untuk menjalin kerjasama dengan Gereja-gereja Kristen lain dan masyarakat, pada hari Raya Natal sering diadakan Natal Ekumene, bertempat di Gedung Pertemuan Rono Puri milik PG. Pada jaman Rm. Ign. Irwanto pernah diusahakan untuk membangun kapel untuk peribadatan tetap. Tanah untuk lokasi pembangunan sudah berhasil dibeli. Namun proses pembangunan terhambat oleh sejumlah hal hingga sekarang ini. Stasi Prajekan masih menjadi umat peziarah dari rumah ke rumah untuk berdoa bersama. Namun dengan cara ini pula kebersamaan yang terbentuk menciptakan suasana kekeluargaan yang kental.

Pengembangan Lingkungan di Sekitar Gereja Induk
Setelah berkembang sebagai benih dalam bentuk paguyuban warga di beberapa pabrik gula sejak 1958, pada tahun 1970 Paroki mulai menata wilayah sekitar Gereja induk di Situbondo menjadi Kring. Keluarga-keluarga yang berdekatan dalam satu wilayah digabungkan dalam satu kelompok. Awalnya hanya dibentuk 2 Kring. Dalam perkembangan dimekarkan menjadi 3 Kring dan sesudahnya dimekarkan lagi menjadi 5 kring dan namanya diganti dengan istilah Lingkungan.

Pada waktu pembentukan pertama, Kring I dimotori Bp. Yovet Siwi, meliputi wilayah di sekitar Gereja. Kring II di daerah Ardirejo dipimpin Bp. Antonius Sutanto. Umat sungguh merasakan pengaruhnya. Tahun 1972 doa kring sangat aktif. Rumah yang digunakan sering tidak mampu menampung umat yang hadir. Maka pada tahun 1973 diputuskan untuk pemekaran kring baru, yakni pembentukan Kring III di wilayah Sucipto, Olean dan Basuki Rahmat, dengan motor penggerak Bp. Otto. Menyusul pada tahun berikutnya, dilakukan perubahan lagi. Selain berupa pemekaran Kring, juga dilakukan penamaan baru. Kring diganti namanya menjadi Lingkungan. Ketiga Kring yang sudah ada dimekarkan menjadi 5 Lingkungan dengan nama St. Aloysius, St. Yohanes, St. Pertus, St, Cicilia, St. Maria.

Hari Kamis setiap pekan menjadi hari untuk pertemuan rutin di semua Lingkungan. Masing-masing menjadwalkan pertemuan di rumah umat secara bergantian. Selain misa, pertemuan diisi dengan Pendalaman Iman oleh anggota Tim PI dan sering diisi pula dengan intensi khusus dari keluarga yang rumahnya ditempati untuk doa. Dalam beberapa tahun terakhir, Romo dijadwalkan misa harian di setiap Lingkungan pada hari Kamis pk. 18.00 secara bergiliran. Selain menjadi kesempatan untuk kunjungan, misa ini juga menjadi kesempatan untuk mengadakan berbagai pemberkatan-pemberkatan sesuai permintaan umat.

Dalam kurun waktu setahun, irama rutinitas pertemuan setiap Lingkungan kurang lebih sama. Selama masa Advent pertemuan difokuskan untuk persiapan Natal. Pada masa Prapaskah fokus untuk persiapan Paskah. Selama bulan Mei dilakukan doa rutin devosi kepada Bunda Maria. Pada bulan September mengikuti irama Bulan Kitab Suci Nasional dilanjutkan devosi kepada Bunda Maria pada Bulan Oktober dan doa untuk arwah pada bulan Nopember. Pada hari Pesta Nama dan Pelindung Lingkungan, masing-masing dengan berbagai cara memperingati dan merayakan bersama-sama dengan mengundang Dewan Pastoral Paroki dan pengurus dari Lingkungan lain dan pengurus Stasi. Dalam rangka pelayanan Liturgi, Lingkungan sudah cukup lama diberi tugas untuk koor, lektor, menghias altar, dll. Namun hingga kini pelaksanaannya dirasakan masih belum maksimal. Diperlukan kepengurusan yang lebih solid di tingkat Lingkungan agar tanggungjawab yang dipercayakan kepada Lingkungan dapat dipikul bersama dengan keterlibatan sebanyak mungkin umat.

Pembagian paguyuban umat sebagai Lingkungan merupakan pembagian yang tuntas. Dengan membagi wilayah dalam bentuk Kring atau Lingkungan, maka tidak ada satupun umat yang tidak terjangkau. Siapapun yang bertempat tinggal dalam satu wilayah secara otomatis masuk dalam Lingkungan setempat. Masalahnya tinggal pada masing-masing keluarga atau umat setempat : melibatkan diri atau tidak. Di tengah jaman yang makin berkembang sekarang, paguyuban kecil seperti Lingkungan menjadi penting untuk mewujudkan persaudaraan seiman. Jumlah ideal warga untuk satu Lingkungan adalah 20-30 KK dengan jarak yang tidak terlalu berjauhan. Jika dalam perkembangan jumlah KK dalam Lingkungan makin membengkak, maka Lingkungan itu harus siap dimekarkan. Dengan pemekaran Lingkungan ditambahkan pula kekuatan baru penggerak umat. Namun seringkali pemekaran tidak mudah dilakukan karena kuatir kehilangan keakraban.

Pengembangan Paguyuban Kategorial
WKRI ( Wanita Katolik Repoblik Indonesia, Cabang Situbondo )
WKRI telah dirintis sejak 1958 pada jaman Rm. Kramer sebagai cabang dari WKRI Keuskupan Malang. Sejak awal cakupan tugas yang diemban meliputi tugas pada bidang liturgi, pembinaan ibu-ibu paroki dan karya kemasyarakatan. Secara berkala WKRI mengikuti rapat tahunan di tingkat Dewan Pembina Daerah ( DPD ) dan pada Musyawarah Nasional, selain menyambut kunjungan dinas pengurus DPD. Selain berperan aktif dalam organisasi wanita ( GOW), WKRI juga selalu berusaha untuk mengikuti berbagai kegiatan tingkat Kabupaten, misalnya pada kesempatan peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI dengan mengikuti lomba gerak jalan, bola tik, donor darah, pasar murah, dll. Sesuai dengan kedudukannya sebagai organisasi massa WKRI mencoba menghadirkan Gereja di lingkungan pemerintahan dan masyarakat sekitar Situbondo. Ibu-ibu yang pernah berperan menangani WKRI antara lain Ibu Edy, Ibu Tien, Ibu Is dan Ibu Yohanes Nangameka.

Legio Maria
Legio Maria dibentuk pertama kali pada tanggal 15 Agustus 1968 pada jaman Rm. Borggreeve O.Carm. dengan nama Presidium Bintang Timur. Sempat vakum mulai tahun 1986 dan dihidupkan lagi pada tahun 1990. Pada tahun 2005 dibentuk satu presidium lagi yakni Presidium Pecinta Damai dan sejak 2008 dirintis pembentukan presidium di Stasi St. Mikhael Besuki, yakni presidium Maria Tak Bercela. Anggota Presidium Bintang Timur pada tahun-tahun terakhir ini 10 orang aktif dan 15 orang auksilier. Sedang Presidium Pecinta Damai, aktif 9 orang dan auksilier 5 orang. Presidium Maria Tak Bercela di Besuki belum diresmikan, memiliki 8 orang anggota aktif dan 8 orang anggota auksilier. Selain pertemuan rutin seminggu sekali, Legio mengemban tugas membantu pastor paroki dalam pelayanan pastoral, antara lain mengirim komuni untuk umat yang sakit, kunjungan keluarga, mendoakan umat paroki dan anggota legioner sendiri, serta karya untuk pengudusan lainnya. Legio Maria mewajibkan anggotanya untuk mengikuti ekaristi harian dan mendoakan Tesera. Dari permulaan hingga sekarang ini legioner di paroki antara lain : Bp. Ign. Bp. APM Supriyono dan Ibu Milka Landong, Bp. FX. M Yasin, Ibu Merry Wowor, IBp. Hartono, Ibu Magda, Ibu Agnes Suyati, Goddiva Samsida, Agnes Suprapti, Sulardjo dan ibu, Ibu Dermawan, Bp. Sambonu dan ibu,Ibu Rusli, Ibu Chenan, Ibu Sinta Chandra, Bp. Joko Marsudi, Ibu Yassin, Ibu Titin, Ibu Anna Supardjiah, Bp. Widodo, dll. Selain Romo Paroki, Legio memiliki pembantu pembimbing Rohani, yakni Bp. Yoseph dan Sr. Agnesa SPM.

SSV ( Konferensi Stella Maris Situbondo )
Serikat Sosial Vincentius merupakan paguyuban yang mendasarkan semangatnya pada St. Vincentius dengan memberi perhatian kepada orang miskin dan terlantar.Selain meningkatkan mutu hidup, karya serikat juga mendorong agar klien makin mandiri dengan berbagai bantuan yang diberikan. Di Situbondo SSV disahkan oleh Dewan Pusat di Paris sejak 1963 dengan nama konferensi BMV Stella Maris. Penggerak yang pernah aktif di konferensi Situbondo antara lain : Bp. Sutrisno, Bp. Sutanto, Bp. Marsuto, Bp. Wiyoto, Bp. Supardjo, Ibu Hook, Bp. Gunardi, Ibu Magdalena, Ibu Swandayani, Ibu Suryanto, Ibu Atik, Bp. Sambonu. Pada tahun 1963 SSV Situbondo menjadi Pengurus Dewan Daerah membawahi 7 konferensi.

PK ( Pemuda Katolik )
Pemuda Katolik Cabang Situbondo sebagai organisasi kemasyarakatan ( OrMas ) didirikan 1995 atas prakarsa Bp. Yohanes Nangameka, Bp. Vincentius Joko Marsudi dan Bp.Yustinus Sugeng Sunarto. Selain untuk memperkuat basis pemuda dalam bermasyarakat, pendirian Pemuda Katolik ini tak lepas dari keinginan untuk membina kaum muda paroki dalam jaringan kerjasama tingkat regional dan nasional. Peresmian berdirinya ditandai dengan Musyawarah Cabang I, menghadirkan Ketua Pemuda Katolik Jawa Timur, Ketua Pemuda Katolik RI, dan Ketua Komisi Kepemudaan Keuskupan Malang. Pemuda Katolik dalam programnya antara lain menangani Arisan Paroki dan kegiatan-kegiatan umat pada peringatan hari Nasional. Selain itu juga membidani lahirnya Yayasan Putra Samudera dan mempersiapkan kader-kader politik. Dalam rangka kaderisasi di bidang Sosial Politik pada tahun 1994 Pemuda Katolik mempersiapkan Alf. Rudi Alfianto untuk duduk di lembaga legeslatif Situbondo namun tidak berhasil. Usahanya baru berhasil pada Pemilu tahun 2004 dan bertahan hingga kini. Kepengurusan pada tahun pertama dimotori oleh Sdr. Antonio dilanjutkan Sdr. Agustinus Tri Suradi. Dalam perjalanan terakhir ini, Pemuda Katolik melangkah antara ada dan tiada.

PUKAT ( Persekutuan Usahawan Katolik )
PUKAT kependekan dari Persekutuan Usahawan Katolik. Forum ini dibentuk di Situbondo setelah peristiwa 10.10 untuk menyatukan kebersamaan umat yang bekerja sebagai usahawan dalam berbagai lapisan dan bidang. Selain mengupayakan siraman rohani bagi anggota secara berkala, Pukat juga menyelenggarakan arisan dan pembinaan kader-kader muda untuk mengembangkan usaha mandiri. Atas jerih payah PUKAT bersama umat, telah berhasil dipersembahkan aula St. Thomas Villa Nova, dua kapling tanah di sekitar pastoran, dan sejumlah perlengkapan gereja dan paroki. PUKAT masih terus menyelenggarakan arisan untuk mempersatukan anggota dan membantu pelaksanan berbagai kegiatan sosial dan pembangunan di paroki hingga sakarang. Dengan berhimpun dalam PUKAT, anggota didampingi untuk memperjuangkan penghargaan yang layak terhadap kaum pekerja dan meningkatkan kepedulian terhadap warga yang menderita di sekitar. Ketika berbagai bencana secara beruntun menimpa Situbondo, PUKAT menjadi jaringan yang diandalkan untuk menjangkau persekutuan-persekutuan di kota-kota lain. Dalam rangka pengembangannya di masa depan, PUKAT kini sedang berusaha menghimpun potensi baru dari kalangan usia muda dan mempersiapkan mereka dengan berbagai kegiatan untuk pelayanan dalam Gereja dan masyarakat.

KTM ( Komunitas Tri Tunggal Mahakudus )
Komunitas Tri Tunggal Maha Kudus ( KTM ) berkembang di Situbondo sejak 2004 sebagai paguyuban yang mempersembahkan karya doa dan pelayanan bagi orang sakit dan berbagai bantuan rohani lain. Kehadirannya di paroki memberikan warna keutuhan gereja yang dilengkapi dengan komunitas doa. Meskipun harus berusaha untuk dimengerti, KTM merambat sedikit demi sedikit meresapi keseharian anggota dan umat dengan kesetiaan pada Sabda, Ekaristi dan doa. Anggota mempunyai kewajiban untuk rajin menyambut Ekaristi, merenungkan Kitab Suci, menerima sakramen tobat dan melakukan doa pribadi dan dalam kelompok selnya. Penggerak komunitas ini antara lain Ibu Aris Atmaka dan Bp. Benny Kamallan. Pada bulan Desember 2007 komunitas menyelenggarakan retret di Susteran SPM Situbondo untuk melayani kehausan rohani umat. Selain pertemuan sel yang rutin diadakan di komunitas masing-masing, satu bulan satu kali diadakan pertemuan bersama di tingkat paroki.

Perkembangan Jumlah Umat Dari Masa Ke Masa
Data gereja berbeda secara mencolok dengan data yang dimiliki oleh BPS Situbondo terutama daridata tahun 2006. Jumlah yang dicatat di BPS Situbondo adalah 6.175 jiwa, sementara dalam catatan Gereja jumlahnya masih 2110 jiwa. Data yang mendekati fakta adalah data dari Gereja.

Ketua Dewan Pastoral Paroki Dari Masa Ke Masa
Istilah Dewan Pastoral Paroki mulai digunakan sejak 2008, mengantikan istilah Dewan Paroki yang digunakan pada masa sebelumnya. Selain mewujudkan peran serta umat dalam pastoral Paroki, pembentukan Dewan Pastoral Paroki juga menandai peningkatan mekanisme pastoral Gereja yang semula dipandang klerikalis.

Situbondo memiliki Dewan Pastoral Paroki sejak 1970. Dapat diperoleh data dari sumber-sumber lisan nama-nama umat yang pernah menjabat sebagai ketua Dewan:

A.J. Soeroso 1970-1976, Marsuto 1976-1979, F. Sambonu 1979-1981, Ismu Sutopo 1981-1983, HJ Soewarno 1983-1985, Harsoyo, 1986-1991, YB. Suyadi BK, 1991-1994, Bambang Harjito 1995-2000, Bambang Harjito, H.M. Sutjipto dan B. Setyabudi, 2011-2003, L. Amihadi, 2003-2010.

Masing-masing menghadapi tantangan pada jamannya yang berbeda dari waktu ke waktu. Namun semuanya memperlihatkan kesungguhan untuk membangun paroki menjadi gereja yang mandiri dan memasyarakat. Dengan panduan Anggaran Dasar Dewan Pastoral Paroki yang diumumkan pada awal Adven 2007, Dewan Pastoral Paroki mengemban tanggungjawab yang lebih besar untuk masa kini dan esok. Selain harus membina umat, Dewan Pastoral Paroki bertugas pula untuk membangun jaringan kerjasama dengan paroki-paroki lain dan masyarakat agar Gereja semakin nyata hadir sebagai garam dan terang.

SITUBONDO MEMBARA, 10 Oktober 1996

Keseharian yang landai paroki Situbondo selama puluhan tahun tiba-tiba kejut terperangah, Kamis 10 Oktober 1996. Semua tertegun seperti terjaga dari tidur. Fasilitas Katolik berupa gedung gereja, sekolah, susteran dan kapel-kapel dibakar massa. Tak jelas apa pangkal sebabnya, tak jelas pula apa kaitan dengan perkara pemicunya.

Sidang yang berlangsung di Gedung Pengadilan Negeri Situbondo, Jl. PB. Sudirman pada hari itu dijadwalkan untuk pembacaan vonis terdakwa. Massa yang besar terkonsentrasi di sekitar gedung pengadilan, mencapai jumlah hampir 2000 orang. Jaksa Penuntut Umum Riyanto mengajukan tuntutan 8 tahun penjara bagi terdakwa Soleh. Majelis Hakim yang terdiri dari M Ridwan R, Sumaryanto dan Suhartono menjatuhkan vonis 5 tahun penjara. Sedang massa di luar ruang sidang meng inginkan hukuman mati. Kekecewaan atas tuntutan dan vonis itu pada pk. 10.00 tgl 10 bulan 10 tahun 1996 itu segera menyulut ketegangan dan berbuntut kerusuhan.

Massa tidak hanya berteriak-teriak histeris. Mereka juga menyerang aparat pengamanan sidang itu dengan batu-batu dan berusaha merebut Soleh untuk diadili sendiri. Para Hakim, pegawai Kantor Pengadilan Negeri dan aparat keamanan berhamburan dengan berbagai cara untuk lolos dari kepungan massa. Karena Soleh tidak ditemukan, massa membakar gedung pengadilan dan Gereja Bethel Indonesia Bukit Sion di dekat Pom Bensin, sembari corat-coret hujatan di tembok. Dari kesaksian Komandan Kodim 0823 Situbondo, Letkol Imam Prawoto dalam Musda KNPI 12 Oktober 1996 di aula PG Panji terungkap Gereja Bukit Sion sudah dibakar hanya selang 30 menit setelah massa membakar gedung PN Situbodo, Namun yang membakar Gereja Bukit Sion adalah massa yang baru datang dengan beberapa truk dari arah selatan.

Sebelum semua sungguh tersadar oleh kerusuhan ini, massa yang beringas bergerak cepat mengalihkan amuknya ke lokasi lain di Situbondo dan sekitarnya, ke tempat-tempat yang tak ada kaitan langsung dengan peristiwa pengadilan itu, yakni fasilitas-fasilitas milik Katolik dan gereja-gereja Kristen serta sejumlah pertokoan. Berbagai sebutan diberikan untuk menamai peristiwa ini, diantaranya : “ Kamis Kelabu “ dan “ Peristiwa 10.10 “. Dari berbagai kesaksian dapat digambarkan kronologi peristiwa itu sbb :

Gelombang massa yang telah membakar PN Situbondo dan Gereja Bukit Sion bergerak ke arah timur menuju kota. Sebagian massa berjalan dengan histeria ke Jl. A. Yani, sebagian berbelok ke Jl. WR. Supratman ke arah Jl. Anggrek

11.30 GPIB di Jl. PB Sudirman diserbu. Aparat mencegah pembakaran gedung gereja karena letaknya bersebelahan dengan Polresta. Namun massa tetap mendesak masuk gereja, menjarah barang-barang gereja lalu membakarnya di jalan raya. Pada waktu yang bersamaan massa yang lain membakar Susteran dan TK St. Theresia di Jl. J.A. Suprapto. TK dan Susteran kosong. Sr. Alberta SPM yang ada di rumah sudah diungsikan ke rumah seorang warga Katolik di Jl. Santana sejak Pk. 09.00. Suster-suster lain pada hari itu sedang bepergian ke Probolinggo untuk mengikuti perayaan HUT SPM.

11.30 Sekelompok massa juga mulai berkumpul di depan kompleks Gereja dan sekolah Katolik di Jl. Mawar namun belum bertindak apa-apa. Jumlahnya sekitar 30 orang saja. Ketika itu pelajaran di sekolah masih berlangsung. Setidaknya masih ada 25 siswa di sekolah bersama sejumlah guru. Mereka masih ngobrol tentang kerusuhan di PN Situbondo dan Gereja Bukit Sion. Gerbang sekolah sudah ditutup sejak Pk. 09.00 atas permintaan seorang intel yang tak diketahui namanya. Guru-guru dan siswa yang tinggal itu kemudian evakuasi diri dari kompleks sekolah menyusul datangnya gelombang massa yang besar dengan kendaraan truk sekitar pk. 12.00. Massa dengan besaran sekitar 300 orang itu langsung memasuki halaman sekolah dan membakar gedung SDK, SMPK dan Pastoran. Kurang lebih 30 menit massa menguasai lokasi, kemudian pergi meninggalkannya. Dalam situasi yang masih mencekam, beberapa guru dan warga mencoba menyelamatkan gedung SMPK bagian utara yang belum terbakar.

Pk. 15.00 SDK dan Pastoran ludes. Gedung gereja aman dari api. Pastoran dan Gereja ketika itu hanya dijaga oleh koster dan Frater Burhan yang baru beberapa minggu menjalani tahun Pastoral di Situbondo. Romo Blasius Tira Pr, Pastor Paroki, sedang tidak di tempat, karena cuti. Fr. Burhan sedang mandi lalu meloncat melalui pagar belakang begitu gelombang massa dengan beringas mengepung dan membakar kompleks sekolah dan Pastoran. Dalam kekalutan itu tak ada berkas gereja yang sempat diselamatkan.

15.30 Sekelompok massa lain yang jumlahnya tak banyak dengan pakaian sorban
memasuki gedung Gereja. Mereka naik ke Balkon dan menyusun perabot dari kayu mendekati plafon lalu membakarnya. Sangat sistematik dan terencana. Gereja terbakar mulai dari bagian balkon di sisi selatan, menyusul bagian tengah dan utara. Pk 18.00 Seluruh bangunan gereja ludes terbakar, menyisakan tembok di ke empat sisi yang menghitam.

Pembakaran Gereja Stasi
Gerakan massa sejak tengah hari tidak hanya mengarah ke kota, tapi juga ke luar kota. Kapel Stasi St. Paulus Panarukan, Stasi St. Yusuf Asembagus dan Stasi St. Mikhael Besuki, tak luput juga dirusak massa.

Penyerbuan massa di Kapel St. Paulus Panarukan dimulai sekitar Pk. 14.00. Sebelum perusuh berdatangan pada pk. 14.00 Bp. Hendrikus Suwadji dan Bp. Eddy yang tanggap terhadap keadaan dengan sigap menyelamatkan lebih dahulu benda-benda penting dari dalam kapel. Sebuah doa pengharapan yang khusuk dipanjatkan dalam kapel itu oleh Bp. Hendrikus sebelum perusakan berlangsung. Selain keselamatan untuk seluruh umat, juga dimohon kan agar kapel tidak dirobohkan, karena ketika itu hutang pembangunannya belum tuntas diselesaikan. Kapel memang baru direhab total dan masih menyisakan tunggakan hutang. Perusuh yang datang dengan dua truk dan satu mobil bak terbuka itu kesulitan ketika berusaha menghancurkan kapel dan tidak berhasil merobohkan dindingnya. Bahkan ketika berbalik lagi pada pk. 20.00 untuk merobohkan dinding, mereka malah ditangkap oleh aparat keamanan seketika itu.

Kapel Stasi Besuki didatangi massa sekitar pk. 16.00. Warga sekitar sempat mencegah karena lokasi kapel berdekatan dengan rumah penduduk. Namun perusuh tetap menjarah barang-barang dari kapel dan membakarnya di halaman. Kerusakan yang dialami tidak separah tempat ibadah lain di Besuki yang dibakar massa sampai rata dengan tanah.

Kapel Stasi Asembagus diserbu massa yang datang dengan truk dan sepeda motor, sekitar pk. 15.00. Sejumlah peralatan dalam gereja sempat diselamatkan sebelum massa datang oleh Pak Hendro dan isteri. Gerbang pun dikunci rapat. Massa masuk ke halaman dengan melompati pagar lalu mermecah kaca-kaca, merusak pintu dan menjungkir balikkan bangku-bangku.Orgen diseret ke jalan dan dibakar bersama barang-barang dari Gereja Pantekosta. Gudang dibakar tapi sebelum api membesar dapat dipadamkan oleh PMK PG Asembagus .

Pembakaran Gereja-Gereja Kristen
Gereja-gereja Kristen di Situbondo, Banyu Putih, Asembagus, Panarukan dan Besuki mengalami nasib sama, diserbu massa sekitar tengah hari. Di Situbondo, selain membakar GBI Bukit Sion dan merusak GPIB, massa juga membakar Gereja Bethel Injil Sepenuh ( GBIS ), Gereja Sidang Jemaat Pantekosta ( GSJP ) di Jl. Argopuro, Gereja Pantekosta Pusat Surabaya ( GPPS ) di Jl. Basuki Rahmat, Gereja Pentekosta di Indonesi di Jl. A. Yani dan GKJW di Jl Anggrek.

Pembakaran yang dilakukan di GPPS tidak hanya menghanguskan gedung Gereja, tetapi juga keluarga pendeta yang tinggal di kompleks gereja. Ketika kerusuhan berlangsung keluarga pendeta semua berada di dalam rumah. Mereka terkepung dan tidak bisa meloloskan diri dari massa. Seluruh keluarga hangus terbakar dalam posisi berdoa bersama di Gerejanya. Mereka adalah Pendeta Ishak Christian ( 70 th ) ; Ibu Ribka Lena Christian , 65 th ( Isteri ); Elysabeth ( 20 th, anak ), Rita ( 25 th, anak asuh ) dan Nova ( 15 th, anak asuh ). Panti Asuhan Kristen “ Buah Kasih “, Sekolah Kristen Emmanuel dan sejumlah toko pun tak luput dari serbuan massa. Selain mengambil barang-barang, massa merusak jendela-jendela dan perabot sampai porak poranda. Tak ada yang salah dengan semua fasilitas itu, tapi entahlah massa dengan beringas meluluhlantakkannya.

Kerusuhan sehari itu meluas di lima kecamatan. Terhitung ada 24 Gereja dibakar. Di Situbondo menimpa 8 Gereja, 3 Sekolah, 1 Susteran, 1 Panti Asuhan. Di Panarukan 2 Gereja. Di Besuki 4 Gereja dan 1 klenteng Budha. Di Asembagus 3 Gereja. Sedang di Banyu Putih 7 Gereja. Amat mustahil jika diandaikan tanpa rencana.

Penanganan dari aparat dimulai dengan datangnya Kompi 514 pk . 14.00, yang waktu sedang latihan tempur di Bondowoso. Selain menangkap sebagian perusuh di pasar Mimbaan, tentara kompi 514 itu juga menyebar untuk mengamankan sejumlah fasilitas penting lain, kantor perbankan dan pompa bensin. Setelah malam tiba, Situbondo baru dapat terkendali.

1. Rekaman situasi umat 3 hari pertama
Begitu menyebar berita kerusuhan itu ke tengah umat, sebagian umat ada yang cepat-cepat mengungsi ke luar daerah. Sebagian hanya bisa terpaku berdiam di rumah atau di kantor dengan diliputi rasa tercekam, takut, sedih dengan doa penuh harapan dan penyerahan untuk mohon selamat dan perlindungan bagi semua. Ada pula beberapa orang yang turun ke jalan-jalan untuk melihat keadaan atau menyusup bergabung dengan massa untuk memantau gerakan mereka dengan perasaan getir karena menyaksikan hancurnya rumah Tuhan. Segala rasa campur aduk menyikapi peristiwa itu : takut, tercekam, lemas, marah, pedih, pilu, eman, iba, dan menangis merana, karena semua terjadi tanpa diduga dan tanpa sebab jelas. Isak tangis tak terbendung ketika umat bertemu di gereja yang masih menyisakan kepulan asap di malam usai pembakaran itu.

Sabtu, 12 Oktober 1996 dilakukan koordi nasi antara pengurus Gereja, Bp. Yohanes Nangameka, Bp. Yoseph Sudjiono dan beberapa guru SDK untuk mempersiapkan ujian sekolah SDK yang akan berlangsung Senin 14 Oktober 1996 dan kelanjutan proses belajar mengajar di sekolah Katolik. Untuk ujian sekolah, mereka mengajukan permohonan ke Pemda Situbondo dan diberi ijin untuk menggunakan gedung wanita sebagai tempat ujian dengan menggunakan bangku lipat, tanpa meja. Kegiatan belajar bagi sekolah-sekolah Katolik sementara waktu dilakukan di tempat yang masih bisa digunakan. SDK di gedung lama di selatan Jl. Mawar. SMPK menggunakan sebagian lokal di bagian utara yang tidak terbakar. Sedang TKK menggunakan aula di belakang kompleks susteran yang selamat dari kebakaran.

Sabtu dan Minggu,12- 13 Oktober 1996 tidak ada misa di gereja Katolik. Peribadatan di gereja-gereja Kristen juga ditiadakan. Romo Blasius Tira yang buru-buru balik ke Situbondo dari cuti untuk sementara menginap di rumah Bp. Petus Pardjo. Setelah kunjungan Bapak Uskup ke Situbondo Rm, Blasius diminta Uskup untuk tinggal di paroki Bondowoso.

2. Temperamen dan pola gerakan Massa
Sejumlah saksi peristiwa menuturkan massa pembakaran gereja terdiri dari orang-orang tua dan anak muda tanggung dengan pakaian sederhana. Ada yang pakai sarung. Bahkan banyak yang masih mengenakan seragam pelajar putih abu-abu. Mereka seperti berkelompok-kelompok. Dalam setiap kelompok selalu ada profokator yang berada di depan, dengan temperamen beringas, berbaju atau malah telanjang dada. Pemimpin berbadan atletis, ikat kepala hitam, diikuti beberapa anak buah bergaya pesilat, membawa pentungan dan mengawali perusakan dengan membakar ban. Komunikasi mereka memakai bahasa Madura, namun bukan dialek Madura Situbondo.

3. Kerjabakti Pembersihan Puing
Pembersihan puing-puing dilakukan beberapa hari setelah peristiwa. Selain oleh umat masing-masing gereja, dikerahkan pula sejumlah Ormas Islam dan semua pegawai Pemkab Situbondo dan masyarakat sekitar dibantu tentara yang dikirim dari Malang dan Surabaya.

4.Belarasa Berbagai Kalangan
Peristiwa 10.10 dengan cepat menjadi berita nasional dan internasional. Berbagai kalangan dengan cepat pula tanggap dan menyatakan sikap belarasa dan solidaritas nya dengan berkunjung ke Situbondo. Pada tanggal 12 Oktober KWI mengeluarkan surat keprihatinan yang dilansir di media massa. Umat yang sebelumnya seperti tertidur kemudian bangkit oleh solidaritas itu.

5. Perayaan Natal 25 Desember 1996
Natal 25 Desember 1996 dirayakan di bekas gereja yang hanya tinggal dinding di keempat sisi. Tanpa atap, tanpa bangku, duduk lesehan di lantai beralas tikar, dengan altar dan hiasan seadanya. Umat berjubel dan meluap sampai di halaman dan lapangan basket depan sekolahan. Misa dipimpin oleh Rm. Ant. Beny Susetyo Pr. Dalam perayaan yang monumental ini dipermandikan sekitar 100 orang calon baptis. Kehadiran umat yang jarang atau lalai ke gereja di waktu-waktu yang lalu menambah kesemarakan misa.

6. Pembangunan Gedung Gereja
Pembangunan gereja baru dimulai pada awal Januari 1997. Peletakan batu pertama dilakukan oleh dua Uskup, yakni Mgr. HSJ Pandoyo Putro O.Carm Uskup Malang dan Mgr. Hadi Wikarto Pr dari Keuskupan Surabaya dan sejumlah pejabat pemerintah. Dinding gereja lama dirobohkan, karena tidak diijinkan untuk dipertahankan sebagai monumen oleh Pemkab Situbondo. Hanya sebagian dari menara gereja yang dipertahankan. Luas gedung diperlebar dari pondasi gereja lama.

Sementara pembangunan berjalan, selama sembilan bulan perayaan misa dilakukan di bangunan sementara yang disebut “ Gereja Seng “. Letaknya bersebelahan dengan lokasi gereja yang sedang dibangun. Di tempat ini dengan meriah Pekan Suci 1997 dirayakan. Pada malam Paskah jumlah katekumen yang dibaptis juga banyak. Di tempat ini juga beberapa kali diadakan rekoleksi untuk pemulihan situasi batin umat dengan menghadirkan beberapa romo dan pemerhati. Untuk mendukung pembangunan Gereja, umat digalang membacakan “ Doa untuk Pembangunan Gereja “ dengan selebaran yang dibuat oleh paroki. Gereja Baru diresmikan penggunaannya oleh Bapak Uskup Malang pada jaman Rm. B. Hudiyono Pr.

Gereja Yang Bangkit
Berbagai kiprah Paroki Situbondo paska peristiwa 10.10


Upaya Pemulihan
Peristiwa 10.10 semula dialami oleh semua dengan perasaan getir. Namun tak lama larut dalam cekaman itu, umat bersama Romo Paroki dan berbagai elemen pemerhati mengupayakan pemulihan. Crisis Centre KWI membentuk Tim Pencari Fakta. Sejumlah tokoh nasional di sela kesibukannya yang padat meluangkan waktu khusus untuk kunjungan ke Situbondo. Ragam penafsiran yang berkembang disikapi dengan duduk bersama dalam semangat persaudaraan. Situbondo yang sebelumnya landai dan sepi menjadi begitu semarak oleh gebrakan-gebrakan dan kiprah “ Gereja Bangkit, Gereja Memasyarakat, Gereja Ramah Lingkungan “. Namanya muncul dalam percaturan nasional dan internasional, menyingkap tabir kekelaman yang selama ini tak dipandang dan diperhatikan orang,

Di tingkat Paroki bagi umat Katolik diupayakan pemulihan dalam bentuk ceramah dan rekoleksi, menghadir kan beberapa pemerhati DR. Daniel S. Paringga ; DR. Ery Seda, Rm. Sandyawan SJ, Rm. Adi Susanto SJ. dll. Pemulihan juga diperkuat oleh kunjungan beberapa tokoh nasional : Dirjen Bimas Katolik Pusat, K.H. Abdulrahman Wahid, Letkol. Suwardjono, Pendeta Wirasmohadi, dll.

Berkat kehadiran mereka, umat paroki dibantu dengan cepat melihat pokok persoalan yang mendasar di balik peristiwa 10.10 dan menemukan langkah-langkah konkret untuk dikerjakan bersama. Tragedi telah berubah menjadi semangat kebangkitan dan melahirkan sejumlah gebrakan yang mengejutkan.

Bersama masyarakat umum dilakukan berbagai kegiatan yang diprakarsai paroki dengan arahan dari Rm Beny Susetyo Pr. Selain ceramah pencerahan, di pondok-pondok pesantren diupayakan kursus komputer singkat untuk membantu para santri maju dalam tehnologi ini. Ketika pada tahun 1998 muncul gerakan reformasi, umat Katolik juga masuk dalam barisan pelopor untuk mendukung reformasi. Di tingkat regional dan nasional digalang terbentuknya Tim Pencari Fakta, FKAUB dan sejumlah diskusi lintas agama. KWI menerbitkan nota pastoral menjelang Pemilu 1999. Semua berupaya agar masyarakat jangan mudah melupakan peristiwa yang telah berlangsung, menahan diri dari tindak kekerasan dan memupuk rasa hormat satu sama lain, karena di balik peristiwa itu terbentang persoalan dasar kehidupan berbangsa yang selama ini selalu ditutup-tutupi dan ditekan. Semua juga berusaha agar kebersamaan di tingkat akar rumput hingga pucuk pimpinan sungguh digalang dengan tulus dengan menyingkirkan agenda-agenda tersembunyi. Paus Yohanes Paulus II sebagai pimpinan tertinggi Gereja Katolik seluruh dunia menyampaikan dukungan atas upaya-upaya positif itu, disamping keprihatinan dan kesedihannya karena rumah Tuhan diluluhlantakkan.

Selama beberapa tahun setelah peristiwa 10.10 pastoran di Jl. Mawar 50 selalu ramai oleh kehadiran rekan-rekan dari berbagai kalangan. Bazar dibanjiri oleh ribuan orang dilakukan di kompleks gereja atau di lokasi lain sebagai salah satu buah kerjasama paroki dengan elemen yang peduli pemulihan. Kegiatan jalan sehat dalam rangka ulang tahun kemerdekaan juga melibatkan peran serta warga memperlihatkan kesemarakan relasi yang dapat digalang pada waktu itu. Situbondo yang sebelumya sedikit muncul di media massa menjadi Situbondo yang tak pernah absen dari pemberitaan.

Tanggap Banjir 2002
Di tengah semarak kebersamaan paska peristiwa 10.10, Situbondo tiba-tiba dikejutkan lagi oleh banjir bandang Sungai Sampean karena jebolnya Dam Sampean Baru. Peristiwa ini dikenang dengan istilah Peristiwa 2.2. karena terjadi pada bulan Februari tahun 2002. Romo Haryono O.Carm yang bertugas sebagai pastor paroki ketika itu segera tanggap dengan keadaan dan mendirikan Posko untuk membantu korban banjir. Selain dipusatkan di gedung SDK lama di Jl. Mawar sebagai posko penyimpanan dan distribusi bantuan material, juga dibuka Dapur Umum di Jl. Anggrek Gg. VII di rumah Bp. Andreas dan Agustinus Tri Suradi. Namun karena luasnya wilayah dampak banjir dan keterbatasan tenaga relawan, dapur umum kemudian disebar di berbagai lokasi dengan melibatkan warga setempat. Posko mengambil peran sebagai pemasok bahan dan peralatan memasak selama kurang lebih tiga minggu.

Setelah melewati masa darurat, Paroki mengupayakan penanganan lanjut dampak banjir dengan mendirikan Balai Pengobatan di gedung SDK lama dan bertahan kurang lebih selama setahun. Untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal, paroki juga membangunkan beberapa rumah relokasi di Karang Asem, Talkandang dan Salewung dengan dana dari para donatur.

Tragedi kali ini tidak hanya menyadarkan umat untuk lebih memasyarakat, namun juga menjadi pelajaran arti bermasyarakat. Meskipun diri sendiri sama dengan yang lain menjadi korban, namun tetap mengulurkan tanggan untuk menolong korban yang lain.

Kegiatan-kegiatan akbar
Suasana semarak kebangkitan terus dilestarikan di paroki dengan berbagai kegiatan akbar yang menyusul setelah banjir 2002. Tidak hanya di kalangan orang dewasa, namun juga di kalangan anak-anak usia dini. Tidak sebatas kebersamaan dalam lingkup paroki namun juga dengan paroki-paroki dan lembaga gerejawi lain dari luar Situbondo.

Temu Akrab Minggu Gembira Regio Timur, 2 Oktober 2002
Temu Akrab Minggu Gembira yang diadakan 2 Oktober 2002 merupakan agenda kegiatan Bina Iman Usia Dini Regio Timur, yang telah dimulai di Bondowoso beberapa tahun sebelumnya. Situbondo dibanjiri sekitar 2000 tamu anak-anak usia dini dari Paroki Banyuwangi, CurahJati, Genteng, Jember, Tanggul, Bondowoso, Lumajang, Probolinggo dan Pasuruan yang sebenarnya termasuk regio Barat Keuskupan Malang. Ajang keakraban anak-anak ini dimaksudkan untuk pembinaan bersama, meningkatkan solidaritas anak-anak dan kerjasama antar pendamping. Kehadiran tim bina dari Paroki Celaket Malang sebagai pemandu acara makin menyemarakan jalannya temu akrab.

Aksi Panggilan
Menyusul sesudah sentuhan bagi anak-anakusia dini, semarak kebangkitan dikobarkan di antara para remaja dan orang muda dengan kegiatan Aksi Panggilan. Frater, Suster dan Romo yang hadir selama kegiatan ini sekaligus mendapat kesempatan Live In singkat di rumah umat. Selain ekspo dan sharing panggilan, kegiatan disemarakkan pula dengan penampilan dari frater, suster dan romo yang kocak dan menyegarkan. Umat mengenang dengan baik pengalaman sejenak bersama para frater, suster dan romo, meskipun dalam perjalanan selanjutnya masih sedikit yang kemudian terpanggil untuk menggikuti jejak mereka. Dari penelusuran sepintas, umat Situbondo yang pernah mencoba meniti panggilan untuk menjadi imam dengan belajar di Seminari antara lain Yohanes Suprapto, Ronny Siwi, Anis Sambonu, Bram, Tino dan Dion. Telah menjadi imam ada 3 orang, yakni Rm. Harry SJ dari Kapongan, Rm. Agustinus Marsuto OSC, Rm. C. Eko Atmono Pr. Masih menjadi frater Fr. Andreas SJ dan Fr. Andre Pr. Telah menjadi suster Sr. dari Sumber Waru dan Sr. Bernadeth Anggari Asih, anak dari keluarga Pak Legi.

Pesta Paduan Suara Gerejani 2006 di Situbondo
Situbondo pada tanggal 19 Nopember 2006 bersedia menjadi panitia Pesparani karena kebetulan Rm. Winuryanto sebagai Pastor Paroki sekaligus rangkap jabatan sebagai Ketua Komisi Liturgi Keuskupan Malang. Namun lebih dari faktor kebetulan itu, Situbondo menyediakan diri juga karena keinginannya untuk tetap menjaga semangat kebangkitan dari peristiwa 10.10, sebagaimana tersurat dalam tajuk kegiatan “ Umat Katolik Menjadi Berkat Bagi Masyarakat “.

Pesta Paduan Suara Gerejani 2006 di Situbondo diikuti oleh 13 paroki dari 29 Paroki di Keuskupan Malang, ditambah 2 tamu dari paduan suara Aloysius Gonzaga Surabaya dan Paduan Suara Seksi Musik Suci Komisi Liturgi Keuskupan Malang.

Paroki-paroki yang mengirimkan kontingen antara lain : Paroki St. Paulus Ambulu, Paroki Gembala Baik Batu, Paroki St, Yohanes Penginjil Bondowoso, Paroki Ratu Para Rasul Curahjati, Paroki Kristus Raja Genteng, Paroki St. Yusuf Jember, Paroki Annunciata Lodalem, Paroki St, Albertus de Trapani Blimbing, Paroki Maria Diangkat Ke Surga Celaket, Paroki Ratu Rosari Kesatrian, Paroki Permaisuri Damai Purworejo, Paroki Maria Tak Bernoda Tanggul dan Paroki Maria Bintang Samodera Situbondo sendiri sebagai tuan rumah.

Lagu wajib yang dilombakan adalah “ To Be Joyfull “ karangan WA. Mozart dan beberapa lagu gereja Inkulturasi sebagai lagu pilihan : Ke Altar Tuhan, Seluruh Jemaat Datanglah, Sambutlah Diri Kami Tuhan, Tuhan Membebaskan, Mulyakanlah Allah Bapa, Dosa dan Pengampunan, Kristus Beserta Kita, Gusti Memberkati, Rumah Yang Kokoh, KasihMu Tuhan, Wartakan Damai Tuhan, Sorak Sorai Para Kudus, Warta Malaikat, Hari Ini, Kobarkan Cinta, Kuatkan Iman, Harapan, Cintaku dan Satukan UmatMu.

Juara umum diraih oleh Paroki St. Yusuf Jember. Situbondo sebagai tuan rumah mendapat piala penghargaan dan pujian atas keberhasilan menjadi tuan rumah.

Penambahan Sarana Prasarana Pastoral
Selain dalam bentuk kegiatan, upaya menjaga semangat kebangkitan ditempuh dengan melengkapi sarana-sarana untuk keperluan bersama di Paroki. Pada tahun 1997 Paroki membeli sebuah rumah dari seorang pedagang logam mulia di Jl. Mawar 50 untuk Pastoran. Ketika itu bangunannya menjadi satu-satunya pastoran yang paling lapang di Keuskupan Malang. Gereja Seng yang difungsikan sebagai aula sementara kemudian dirombak total menjadi aula yang lebih permanen dan diberi nama Aula St. Thomas Villa Nova. Dengan sarana ini berbagai pertemuan umat dapat dilaksanakan dengan suasana yang lapang.Menyusul setelah pembangunan aula, dibangun gua Maria sebagai sarana devosi umat di ujung aula. Pembenahan dan penyempurnaan dilakukan kemudian untuk memperindah gua tersebut, termasuk penggantian patung Bunda Maria dari Semen dengan patung baru dari fiber yang masih bertahan hingga sekarang. Dalam rangka perluasan tanah untuk pengembangan sarana paroki di masa depan, PUKAT Situbondo berusaha membeli tanah di belakang pastoran pada tahun 2005 dan tanah dari keluarga Bp. Takik di sebelah pastoran pada tahun 2007. Tanah Makam untuk umat Paroki yang telah lama diidamkan diupayakan kembali pada tahun 2008 dan masih dalam proses penyelesaian untuk mendapatkan tanah makam di Kilen Sari Panarukan, menindaklanjuti hibah dari Kel. M.J. Sutikno kepada Gereja. Bagi kaum muda pada tahun 2006 disiapkan peralatan band untuk pengembangan talenta dan sarana menghimpun mereka, di tempatkan di Kantor Sekretariat paroki di belakang pastoran. Kendaraan Paroki diperbarui dengan harapan dapat mendukung mobilitas dan kelancaran pastor paroki dalam pelayanan, mengingat jarak stasi-stasi di Situbondo. Dalam rangka peringatan 50 Tahun Paroki dinding sebelah barat gereja dibangun dengan ornamen batu kali bersamaan dengan pembangunan Copula untuk Pieta atau Keluarga kudus oleh Agustinus Taufik Hadi Suryanto.

Tanggap Bencana Gempa 2007 dan Banjir 2008
Meskipun berjarak lebih dari satu dasawarsa, nuansa kebangkitan 10.10 tetap terasa ketika gempa menguncang Asembagus,10 September 2007 dan ketika banjir kembali menerjang Situbondo, 8 Februari 2008.

Bermodal dana sosial paroki dan bantuan dari Panitia Aksi Puasa Pembangunan KWI , Suster Putri Kasih Kediri, Pt. Era Data Surabaya, Paroki St. Andreas Malang dan sejumlah donatur, Paroki Situbondo menanggapi bencana Gempa Asembagus dengan membangun 6 lokal kelas di tiga SD Negeri Kedunglo. Di SDN II, III, dan VI Kedunglo masing-masing dibangunkan 2 lokal untuk mengatasi kesulitan sekolah menghadapi ujian akhir dan kelangsungan proses belajar mengajar karena kerusakan parah di gedung yang mereka miliki. Pelaksanaan pembangunan ditangani Agustinus Taufik Hadi Suryanto. Dikerjakan mulai 22 Oktober 2007 sampai 22 Desember 2007. Nuansa kebangkitan umat tetap terasa kental tampak dari kelengkapan data yang diperoleh oleh Seksi Sosial Paroki sejak 12 September 2007 dan kegairahan relawan dalam setiap kali melakukan bakti sosial. Diperoleh beras sebanyak 3,4 ton yang dihimpun pada misa pembukaan peringatan 50 tahun paroki 7 Oktober 2007 dan ratusan dus mie instan yang belum habis terbagi sampai datang musibah banjir 8 Februari 2008.

Banjir bandang 8 Februari 2008 dirasakan lebih parah dan meluas dari banjir 2002, karena banyaknya kawasan dampak banjir yang terkena. Banjir dari Sungai Sampean yang membelah Situbondo melanda 7 Kecamatan, 28 desa. Di bagian barat banjir datang dari bukit di Kecamatan Mlandingan melanda 3 Kecamatan 12 desa dengan karakter berbeda karena membawa bongkah batu besar-besar. Halaman gereja paroki kali ini dipenuhi lumpur sebatas polok kaki. Teras dan aula masih aman sehingga dapat digunakan untuk pengungsian warga sekitar ketika peristiwa terjadi dan sesudahnya. Dengan berbekal mie instan yang masih tersisa dari Bakti Sosial Gempa Asembagus, mulai malam peristiwa itu, Paroki langsung membuka Posko Dapur Umum di garasi pastoran. Relawan berdatangan dari berbagai tempat. Paroki Jember, Banyuwangi, Probolinggo dengan penuh semangat membantu posko selama hampir sebulan. Demikian pula pelbagai lembaga dari Malang dan Surabaya silih berganti mengirimkan santunan dan tenaga untuk meringankan beban korban. Pelayanan kesehatan yang berlangsung beberapa kali mendapat sumbangan besar dari kehadiran Suster-suster PK, Perdhaki Keuskupan Malang dan Surabaya, serta PT. Sidomuncul. Semua dapat merasakan, gereja benar-benar menjadi tumpuan korban di tengah situasi kalut dampak banjir. Selain bantuan kesehatan, perlengkapan tidur, pakaian dan perlengkapan dapur, Posko Mawar 50 bagian Dapur Umum mampu menyuplai sekitar 4000-7000 nasi bungkus setiap hari selama tiga pekan. Posko baru ditutup pada akhir Mei setelah menyelesaikan semua tanggungjawab distribusi bantuan kepada korban, baik di lingkungan umat Katolik sendiri maupun di tengah masyarakat warga. Semua memiliki harapan agar musibah tidak menjadi langanan berkala, karena setiap musibah datang berarti harus mengawali hidup mulai dari titik nol lagi

Tim Redaksi
Vincentius Tulam, Yohanes Nangameka, Ignatius Sunaryo, Bonifacius Basuki, Stephanus Purwono, Yohanes Suprapto, Markus Xaverio, Agustinus Taufik Hadi Suryanto, H. Sutjipto, dan Rm. J.A. Purnomo,sbg editor.

Narasumber Lisan
Bapak Teo Dores Keeltjes,Kristantunus Edy Suprayitno, Ibu Lusia Rustingatun,Ibu Vander Heyde, A.J Soeroso, P, Sosro, Bp. HJ. Suwarno, Ibu B. Martina, Bp. Marten Apple, Ign. Sulardjo (+), Ibu Helena Keeltjes, Ibu YasinBp. APM Supriyono, Ibu B. Odelia, Bp. YB Suyadi,Ibu Katarina dan Bp. Purnomo. Bp. Hendrikus Suwadi, Ibu Agustiene Trisye, Bp, Maspur, Bp. Suryanto, Ibu Suryanto, Ambrosius Agus Sinaryadi, P. Ponjol,

Pustaka
Bercermin Pada Wajah-wajah Keuskupan Gereja Katolik Indonesia, Dr. F. Hastorosariyanto, SJ,2001
Sejarah Gereja Katolik Indonesia 1A, IIIB, Dokpen KWI, 1974
Buku Petunjuk Gereja Katolik Indonesia, Dokpen KWI, 2005

Sekretariat Redaksi : Jl. Mawar 50 Situbondo, Telp. 0338.677460
Sumber : http://mawarlimapuluh.blogspot.com/p/sejarah-paroki.html

1 comments:

Dahana 27 November 2023 pukul 19.38  

Mikir dikitlah, tuh jaman kacau jaman Orla yg diwarnai persaingan politik antara kelompok kanan dan kiri apakah mungkin seorang sipil guru SMP lebih menonjol perannya dibanding umat yg berprofesi sebagai aparat dhi.TNI / Polri ? Dan soal Tapol pad jaman itu didaerah dalam kewenangan Kodim deh dan bukan Bupati😁, susun lagi deh sejarahmu

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP