Selasa, 21 Februari 2012

Sejarah Gereja Paroki Santa Maria Assumpta Gamping

Gereja Paroki Santa Maria Assumpta Gamping terletak di Dusun Gamping Tengah, Desa Ambarketawang, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Terletak lebih kurang 5 km sebelah barat pusat Kota Yogyakarta.

Umat Pertama

Pertumbuhan umat paroki Gamping sangat erat hubungannya dengan Kramaredja, cucu dari Raden Panewu Djajaanggada, abdi dalaem Kasultanan Ngayojakarta Hadiningrat yang bekerja sebagai penjuang gamping. Karena pada saat itu Desa Gamping merupakan pusat produksi batu gamping di mana sebagian besar penduduknya bekerja sebagai panambang batu gamping. Hal ini menyebabkan desa Gamping dikenal luas di daerah Yogyakarta, Muntilan hingga Magelang.

Kramaredja pada saat itusering mengantarku gamping ke Muntilan kepada Romo Frans van Lith SJ (seoerang pastor Belanda berjiwa Jawa) sehingga mempunyai kedekatan dengan yang saat itu sedang mendirikan gedung Kolese Xaverius di Muntilan.

Bendot Djajautama, anak sulung Kramaredja, atas petunjuk ayahnya yang mempunyai kedekatan dengan Romo Frans van Lith SJ mengikuti pendidikan guru. Sewaktu menjadi guru di Indramayu, ia berkenalan dengan Den Mas Djajus, seorang guru yang beragama Katoli berasal dari Sala. Dari situlah ia kemudian mendalami agama Katolik dan dibaptis sekitar tahun 1918.

Setelah dibaptis, Bendot Djajantama membimbing adik-adiknya yaitu Sarwana Bratqaanggada supaya belajar di Normaalschool di Muntilan, dan dibaptis di Muntilan pada tahun 1919. Juga mengarahkan adik perempuannya untuk belajar baca tulis dan bekerja di pabrik cerutu Negresco (sekarang Tarumartani). Dengan cara itulah adik-adiknya dan orangtuanya menjadi Katolik. Kramaredja sendiri dibaptis dengan nama baptis Bartolomeus pada tanggal 10 Nopember 1920 oleh Rm. H. Van Driessche, SJ. Beliaulah yang tercatat menjadi umat pertama di Gamping.

Tumbuhnya biji sesawi

Demikianlah umat pertama di Gamping, berkat biji sesawi yang tumbuh dalam keluarga Kramredja, iman kristiani tumbuh pula pada keluarga lain dan menyebar ke desap-desa sekitar Gamping, seperti Banyuraden, Onggobayan, Mejing, Pasekan, dan Gancahan.

Berbicara tentang perkembangan iman Kristiani di Gamping ini, selain peran dari Rama Frans van Lith SJ lewat Normaalschool dan Kweekschool di Muntilan, juga Rm. H. Van Driessche, SJ yang mempunyai keahlian dalam berbahasa Jawa. Dan kemudian tahun 1917 mendirikan Standardschool yaitu sekolah bagian orang pribumi di Kumendaman. Mengingat kondisi kesehatan Rm. H. Van Driesssche SJ memburuk, maka Rama F. Straeter SJ ditugaskan membantu dan meneruskan misi tersebut, selanjutnya beliau menggunakan sekolah-sekolah Kanisius sebagai ujung tombak kerasulan.

Pada tahun 1923, Rm. F. Straeter SJ membuka Volkschool di Mejing, bertempat di kediaman Partadikrama dengan guru al. Bendot Djajautama dibantu Reksaatmadja.

Ketika umat berjumlah 50 orang, mereka mendapatkan misa sebulan sekali. Lambat laun ketika umat di Gamping berkembang menjadi 100 orang, mereka mendapatkan misa sebanyak dua kali dalam sebulan, bertempat di SD Kanisius Mejing. Akan tetapi pada minggu-minggu biasa sebagian dari mereka harus berjalan kaki ke kota, antara lain ke gereja Kidulloji, Kumetiran dan Kotabaru, dan Pugeran untuk mengikuti misa.

Perkembangan umat pada zaman Jepang

Tanggal 8 Maret 1942 Jepang menguasai seluruh pelosok Nusantara. Masa pendudukan Jepang ini merupakan masa-masa sulit bagi perkembangan umat. Hal itu disebabkan gereja Katolik dilarang untuk memberikan pendidikan dan pengajaran Katolik. Banyak imam, biarawan maupun awam ditangkap dan dipenjarakan.

Pada tahun 1943, umat paroki Gamping berjumlah sekitar 150 orang. Rama F. Straeter SJ mungkin telah menyadari adanya malapetaka yang akan terjadi, kemudian meminta Jacobus Mertadikrama dari Gamping Lor agar mengamankan altar dan peralatan misa dari sekolah ke rumah.

Tahun 1944 banyak gereja, biara, rumah sakit dan sekolah Katolik dirampas Jepang untuk dijadikan kantor pemerintah, penjara, atau markas militer. Berhubung dengan itu maka penyelenggaraan misa dilakukan di rumah Martadikrama hingga tahun 1948. Setelah ia meninggal tahun 1945, peralatan dan pakaian misa disimpan di rumah Bonifacius Tjaraka.

Zaman Revolusi Fisik

Pada tanggal 17 Agustus 1945 Soekarno Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dengan UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar Negara. Paroki Kotabaru dan gereja-gereja lainnya dibuka kembali dengan semangat baru. Di Kumetiran, meski peralatan misa tidak ada, akan tetapi jemaat yang telah terbentuk tidak bubar. Pada tanggal 31 Oktober 1945, umat di Kumetiran membentuk paroki sendiri dengan nama Hati Santa Perawan Maria Tak Bercela, dan Gamping menjadi salah satu stasi dari Paroki Kumetiran. Sejak saat itu pula dibentuk pengurus persiapan Paroki Gamping, dengan tugas mengelola umatnya agar lebih berkembang. Stasi Gamping dibagi menjadi wilayak Gamping, Gancahan, Nyamplung, dan Mejing.

Angin Perubahan tidak berlangsung lama, serangan-serangan Belanda mengakibatkan pemerintah RI semakin sempit, dan pada tahun 1946 Ibukota RI dipindah ke Yogyakarta. Dikuasainya Yogjakarta oleh Belanda, turut mempengaruhi keberadaan umat di Gamping. Tentara Belanda membuat markas pertahanannya di Gamping Kidul, Pasekan dan Klangon. Akibat adanya peperangan tersebut peralatan misa yang saat itu disimpan di rumah Bonifacius Tjaraka selalu berpindah-pindah tempat. Dengan bantuan beberapa teman, Bonifacius Tjaraka mengungsikan pakaian dan peralatan misa ke tempat Mudji Mudjosusanto di Gejawan. Sedangkan altar dibawa oleh beberapa pemuda ke rumah Prawirasukardja di Nyamplung. Dengan demikian perayaan Ekaristi kemudian diadakan di Nyamplung, dipimpi al. oleh Rama A. Pudjahandaja, Pr.

Setelah Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia pada tahun 1949, misa diselenggarakan di kediaman Jacobus Mertadikrama. Seiring dengan pertambahan umat, membuat rumah Mertadikrama tidak dapat menampung lagi. Melihat hal tersebut Cornelius Muljata selaku ketua Stasi Gamping berbicara dengan Raden Wedono Sastrawanadardja yang memiliki rumah besar. Walau pada saat itu beliau belum menjadi pemeluk Katolik, tetapi ia memperbolehkan untuk dipakai melaksanakan Ekaristi. Hal ini terjadi mulai dari tahun 1950 hingga berdirinya Gereja Santa Maria Assumpta Gamping pada tahun 1961. Kemudian salah seorang putra Raden Wedono Sastrawanadardja yaitu Mgr. Blasius Pujaraharja menjadi Uskup Ketapang.

Perkembangan umat di Gamping sangat subur, sehingga umat mendesak pastor Paroki Kumetiran untuk mempersiapkan beridirinya gereja di Gamping. Berhubung status Gamping belum tegas, apakah menjadi bagian dari paroki Kotabaru atau paroki Kumetiran, maka Rama Alexander Sandiwan Brata, Pr pada tahun 1954 menulis surat ke Vikariat Apostolik Semarang. Surat tadi berisi tentang penegasan status bahwa Gamping memilih menjadi bagian dari paroki Kumetiran daripada paroki Kotabaru, melihat dari keeratan hubungan Gamping – Kumetiran dan kebiasaan umat Gamping beribadat ke gereja Kumetiran.

Setelah terjadinya penegasan tersebut, pengurus Stasi Gamping membentuk Panitia Persiapan Pendirian Gereja, yang bertugas untuk mengusahakan tanah dan pendirian gereja dan pastoran di Gamping. Kepanitiaan tersebut terdiri atas: Petrus Honosudjatmo, Bonifacius Tjaraka, Hardjasuprapta, Subardi, Suhardi dengan pelindung Rm. Alexander Sandiwa Brata, Pr.

Seraya mengurus pendirian gereja – pastoran – sekolah, Panitia Persiapan Pendirian Gereja berupaya mencari tanah yang cocok untuk lokasi gereja – pastoran. Setelah beberapa waktu bekerja, Panitia memberi laporan berupa pilihan lokasi kepada Rm. Alexander Sandiwan Brata, Pr.

Alternatif pilihan lokasi rencana gereja al. :
- tanah di sebelah utara Kantor Pos Gamping;
- tanah bekas Kawedanan di Delingsari;
- tanah dengan bangunan kosong milik Rd. Wedana Pradjanarmada, Wedana Wates, Kulon Progo;

Setelah melewati berbagai pertimbangan, maka pilihan jatuh kepada tanah Rd. Wedana Pradjanarmada. Negosiasi tanah sendiri membutuhkan waktu yang cukup lama, mulai dari tahun 1953 dan akhirya berkat kegigihan Panitia pada tahun 1957 tanah tersebut bisa dibeli dengan harga Rp. 725,- / m2,

Berhubung tanah yang dibeli Panitia kurang memadai luasnya untuk kompleks gereja dan pastoran, maka Petrus Honosudjatmo meminta Petrus Wakijahadisunardja untuk merelakan tanah miliknya. Dengan cara itu terjadilah lahan gereja seperti saat ini, yaitu tanah seluas 3.050 m2, berbentuk segitiga siku-siku, dengan jalan raya depan gereja pada sisi miringnya.

Mgr. Albertus Soegijapranata SJ yang dikenal memiliki wawasan jauh ke depan, dalam kesempatan menerimakan sakramen krisma di Gamping kepada 50 orang umat Gamping pada tanggal 14 September 1956 berkata, „Para sedulur, aja padha cilik ing ati. Sapa ngerti yen ing tembe buri bakal ana greja mundhuk-mundhuk teka ana ing Gamping kene” (Saudara sekalian, jangan kecil hati, siapa tahu besok akan ada gereja tiba-tiba muncul di Gamping sini).

Pernyataan beliau tersebut merupakan kabar gembira yang membuat hati umat di Gamping berkobar untuk mendirikan sebuah gereja.

Setelah tanah diperoleh, Panitia kemudian mengurus pengesahan hak kepemilikan atas tanah yang dilakukan dengan membuat Yayasan berbadan Hukum „PENGURUS GEREJA DAN PAPA MISKIN ROOMS KATOLIK DI WILAYAH GEREJA SANTA MARIA DIANGKAT KE SURGA DENGAN MULIA DI GAMPING, SLEMAN, YOGYAKARTA”. Yayasan ini disahkan pada tanggal 9 September 1958, di depan Notaris Raden Mas Soeprapto di Semarang dengan susunan pengurus:

Ketua : Romo G. Susanto Utojo, Pr
Sekretaris : Petrus Honosudjatmo
Fransiscus Slamet Hartono

Dengan adanya Yayasan tersebut, maka Gamping merupakan paroki pertama Paroki Kumetiran yang mampu mempunyai hak atas tanah yang dibeli. Kepemilikian hak atas tanah tersebut lebih kuat dengan adanya sertifikat dari Kantor Pertanahan Kabupaten Sleman, yang terbit pada tahun 1994.

Nama pelindung “Maria Assumpta” diusulkan oleh Petrus Honosudjatmo, berangkat dari pengalaman yang tidak dapat ia lupakan, saat tertembak dalam peperangan melawan Belanda pada tanggal 19 Januari 1949. Dalam keadaan tak sadarkan diri karena kekurangan darah, ia seperti masuk ke dalam suasana serba gelap. Dalam suasana itu ia merasa ditemui oleh ibundanya Maria Pawirasukardja yang telah meninggal 13 November 1945. Ibu berkata, bahwa Tuhan akan mengabulkan permohonan bila dilaksanakan dengan perantaraan ”SANG KENYA KANG PINUNDHUT MENYANG SWARGA, PENUH KAMULYAN”. P. Honosudjatmo kemudian mengajukan permohonan agar selamat dari maut dan umur panjang. Setelah 5 bulan dirawat di Panti Rapih ia kemudian sembuh.

Usulan nama pelindung ”Sang Kenya Kang Pinundhut Menyang Swarga Penuh Kamulyan” disambut oleh Rama G. Susanto Utojo, Pr dan Rama Alexander Sandiwan Brata, Pr dengan gembira, bahkan menerangkan bahwa Paus Pius XII melalui Konstitusi Apostolik ”Munificentissimus Deus” 1 November 1950 menegaskan bahwa keyakinan akan Maria Diangkat Ke Surga Dengan Mulia (”SANCTA MARIA ASSUMPTA”) masuk dalam jajaran dogma, dengan tanggal 15 Agustus sebagai hari pestanya.

Setelah memiliki tanah dan hak kepemilikan beres, Petrus Honosudjatmo menghubungi Vikariat Apostolik Semarang bahwa pembangunan gereja dimulai. Ketika menghadap, ia membawa gambar rencana gereja hasil karya Victorianus Prajitnadirdja lengkap dengan anggarannya. Rama B. Schouten SJ, Sekretaris Vikariat Apostolik Semarang, menegaskan bahwa gambar perlu diperiksa dan disempurnakan oleh bagian pembangunan Keuskupan Agung Semarang (KAS), sedang biaya pembangunan menjadi tanggungjawab Vikariat Apostolik Semarang.

Pada tahun 1959, Rama B. Schouten SJ mengajak Rama C. Romments SJ, yang saat itu menjadi Pastor Paroki Pakem datang meninjau lapangan. Rama B. Kieser SJ menerangkan bahwa Rama C. Rommens SJ adalah imam yang memperkenalkan model Gereja konstruksi kayu. Oleh karena itu, bentuk bangunan gereja Gamping mirip dengan bentuk bangunan gereja Pakem.

Setelah semua dipersiapkan di bawah arahan Panitia Gereja, umat dari kring Nyamplung, Gancahan, Mejing, dan Gamping bekerja bakti membersihkan lahan dan meratakan tanah seluas 3.050 m2 dengan ketinggian 1-4.5 m. Kemudian mereka menbumpulkan batu dan pasir serta membangun pagar penahan tanah urug dan bangunan.

Petrus Honosudjatmo yang saat itu bekerja di Perusahaan Garuda Indnesian Airways mengerahkan truk PT. JUSUP untuk mengangkut baru, tanah, pasir atau apa pun yang dikumpulkan umat. Pembangunan berjalan terus, namun ada beberapa kendala, antara lain:
- Menunggu kusen-kusen yang dikerjakan di Semarang;
- Kedatangan lem perekat yang dipesan dari Belanda;
- Salahnya pemasangan tiang yang mengakibatkan pembongkarsan genteng yang hampir seluruhnya terpasang.
- Ambrolnya pasangan baru penahan tanah urug karena air hujan.

Peletakan batu pertama, tanda dimulainya pembangunan gereja Gamping, dilakukan oleh Rama Thomas Hardjawarsito Pr awal tahun 1960.

Rama Henricus van Voorst tot Voorst SJ, mantan ekonom Keuskupan Agung Semarang, memberi keterangan bahwa gereja Gamping itu bisa diibaratkan ”GEREJA TIBAN”. Maksudnya gambar konstruksi, penyediaan, dan pengerjaan dilakukan di Semarang atau tempat lain, setelah selesai kemudian dibawa ke Gamping untuk dipasang. Semuanya itu dikerjakan oleh Bagian Pembangunan Vikariat Apostolik Semarang.

Bapak G. Gunarto, mantan Kepala Bagian Pertanahan KAS, menambah penjelasan bahwa gambar gereja Gamping dikerjakan oleh Oei Ging Sing dari Semarang. Kayu jati yang dignakan disediakan oleh Bagian Pembangunan Vikariat Semarang di bawah pimpinan Br. J. Haeken SJ. Pelaksanaan pembangunan dikerjakan oleh Bagian Pembangunan Vikariat Semarang di bawah pimpinan Tjan Djie Tong. Adapun pelaksana di Gamping antara lain Petrus Sunarjo dari Semarang. Rama B. Schouten SJ berkunjung ke Gamping paling tidak dua minggu sekali. Luas bangunan 520 m2 dengan ukuran 13x40 m.

Ada beberapa hal yang istimewa dari gereja Gamping yang khas, yaitu:
- Semua jendela tidak ada yang berbentuk persegi, tetapi bulat dan trapezium;
- Tiang kayu sebanyak 12 batang. Per batang merupakan beberapa papan yang direkat dengan lem dan ditahan dengan baut sehingga menjadi sangat kuat.
- Dinding belakang altar dibuat dengan gaya semacam kayon atau pohon yang menggambarkan pohon kehidupan, diambil dari kisah wayang purwa.
- Lengkung kemenangan di depan altar dibuat dengan gaya burung Berli.
- Balkon belakang dibuat dari tangga pesawat terbang dan digambari motif kain ”parang barong atau parang rusak”.

Pembangunan gereja dianggap selesai meski tidak dilengkapi dengan altar, mimbar, kursi imam, kursi misdinar dan dhingklik umat. Semua perlengkapan kemudian dilakukan dengan cara swadaya umat atau mencari bantuan dari paroki lain.

Setelah dianggap selesai, Mgr. Albertus Soegijapranata SJ kemudian hadir memberkati gereja pada tanggal 24 Desember 1961 pukul 07.00 WOB. Selesai pembekatan, diadakan ramah tamah sederhana antara umat dengan Bapak Uskup dan dihadiri oleh Penewu Pradjaatmaka dan Raden Wedana Pradjanarmada, pemilik tanah gereja sebelumnya.

Sejak saat itu perayaan misa pindah dari rumah Raden Wedana Sastrawanadirja ke gereja hingga saat ini.

Zaman Persiapan Menuju Paroki

Pastor yang bertugas: Rama Benardus Wonosunarjo, SJ (1961-1970); Rama Petrus Chrysologus Soeharso Soetapanitra SJ (1963-1969); Rama Bernardinus A. Sadji OFM (1974-1976); Rama F. Sutojo OFM (1976-1978).

Rama Benardus Wonosunarjo SJ (berkarya di Gamping 1961-1970).

Setelah punya gereja, umat suka menyatakan diri sebagai umat Paroki Gamping, meski sebenarnya status masih tingkat stasi di bawah koordinasi Paroki Kumetiran. Reksa rohani terlebih misa dilayani para pastor Paroki Kumetiran sebulan 2 kali, Minggu II dan Minggu IV dengan bahasa Jawa. Pastor yang sering melayani di Gamping antara lain Rama Bernardus Wonosunarja SJ yang biasa dipanggil Rama Liem.

Rama Petrus Chrysologus Soeharso Soetapanitra SJ (berkarya di Gamping 1963-1969). Umat Gamping mengenang Rama Petrus Chrysologus Soeharso Soetopanitra SJ sebagai imam sandal jepit, suka mengendarai sepeda butut dan berjubah kusam. Rokoknya tembakau lintingan. Bila berkunjung ke rumah umat suka mempir ke dapur untuk minta intip (kerak nasi).

Rama Petrus Chrysologus Soeharso Soetapanitra juga dikenal sebagai pencinta budaya Jawa, terutama pertunjukan wayang. Melalui cara ini beliau dapat bergauldengan semua lapisan masyarakat. Kemudian pada tahun 1967 beliau pernah nanggap wayang kulit yang dimainkan oleh Ki Dalang Suparman. Setelah punya pastoran, beliau memasang wayang kayon (gunungan) Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong sebagai simbol pelayanan dan pengabdian.

Sejak adanya pastoran, Rama Petrus Chrysologus Soeharso Soetapanitra SJ, sering menginap di Gamping, untuk mulai mengadakan misa di lingkungan-lingkungan. Beliau menata Gamping dalam 7 kring (lingkungan) yaitu: Onggobayan, Gamping, Mejing, Gesikan, Nyamplung, Gancahan,d an Sumber Gamol – Gejawsan – Paseban. Agar keadaan wilayah mudah dibaca, beliau berintis adanya peta stasi.

Rama Bernardinus A. Sadji OFM (berkarya di Gamping 1974-1976)

Agaknya beberapa umat kurang begitu bisa menerima kehadiran beliau sebagai gembala paroki dengan alasan masih terlalu muda dan belum banyak pengalaman, sehinga dirasa kurang berwibawa. Akibat dari sikap itu, ”caos dhahar” sering terlantara, maka beliau sering ke umat yang menerima baik untuk minta makan malam. Dan pada tahun 1976 beliau pindah ke Jakarta.

Rama F. Sutoyo OFM (berkarya di Gamping 1976-1978)

Beliau menggantikan Rama Bernardinus A. Sadji OFM sampai tahun 1978. Umat mengenang Rama F. Sutoyo OFM sebagai rama yang menjunjung tinggi disiplin. Bila membuat janji, harus ditepati, meleset sediikit dari waktu yang ditetapkan, maka tidak akan dilayani.

Berdinynya Paroki

Rama Constantinus Harsasuwita SJ (berkarya di Gamping 1978-1988)

Rama Constantinus Harsasuwita SJ adalah imam yang membuat Stasi Gamping berdiri menjadi paroki. Ketika mulai berkarya di Gamping, beliau sudah berusia senja serta sering sakit. Umat mengenang beliau sebagai imam yang keras pendirian, dogmatis dalam ajaran dan pengarahan, suka menyanyi dan merayakan misa bahasa Latin. Paroki dikelola dengan mengutamakan hidup doa, kesalehan dan pelayanan sakramen. Aspirasi umat yang berkaitan dengan perubahan dan tuntunan zaman boleh dikata kurang mendapat tempat.

Rama Constantinus Harsasuwita SJ dikenang juga sebagai imam yang hampir tidak pernah khotbah. Khotbah biasaya dilakukan oleh awam, baik dari luar atau dari dalam paroki. Cintanya pada Gamping, mendorong beliau menambah ruang pastoran, tidak mau pindah, dan ingin bila meninggal dimakamkan di Gamping.

Rama Clemens Budiarto SJ (berkarya di Gamping 1988-1991)

Sejak Rama Constantinus Harsasuwita SJ istirahat ei Wisma Emmaus, Rama Clemens Budiarto SJ diangkat menadi Pastor Kepala Paroki Gamping mulai dari tahun 1988. Beliau dibantu oleh Br. Nicasius Haryono SJ. Dengan kehadiran beliau, Paroki Gamping mulai mengadakan pembenahan. Dengan dibantu oleh Rama Ignatius Madya Utama SJ selama satu semester pada tahun 1991, Paroki Gamping mencoba menerapkan konsep “Gereja Partisipatoris” dengan tekanan hakikat Gereja sebagai umat Allah yang terlibat partisipasinya. Dalam praksisnya, konsep itu dituangkan dengan merinci paroi dalam “stasi” sebagai satuan wilayah koordinasi dan kring sebagai satuan kecil himpunan umat yang tertempat tinggal berdekatan.

Selanjutnya Rama Clemens Budiarto SJ mengubah pembagian paroki yang tadinya 7 kring, menjadi 5 stasi (wilayah) dengan 15 kring (lingkungan). Dalam rangka membuata lingkungan menjadi basis kegiatan umat, beliau menghimpun mereka dengan pelayanan misa model selapanan (rotasi 35 hari) dan mendorong mereka berhimpun sendiri dengan mengadakan kegiatan seperti sembahyangan keluarga, rapat, arisan, dan koor. Berhubung Stasi Gancahan, Gesikan, dan Balecatur telah mempunyai kapel maka mereka mendapat pelayanan misa sebulan sekali.

Selain memberi arah dan menata wilayah, Rama Clemens Budiarto SJ juga membuat struktur paroki yang dituangkan dalam Pedoman Pelaksanaan Dewan paroki. Beliau juga memperhatikan kesenian Jawa antara lain dengan membeli gamelan dan menghidupkan “macapat” yang kemudian diintegrasikan dalam liturgi.

Rama Johanes Abdipranata SJ (berkarya di Gamping 1992-1993)

Rama Johanes Abdipranata SJ berkarya di Gamping cukup singkat, namun melekata di hati umat, terlebih karena khobah yang disampaikan bermutu dan sungguh dipersiapkan. Beliau dikenal amat disiplin, hati-hati dalam berkata maupun berbuat, akrab dan dekat dengan umat juga dengan generasi muda.

Karya peninggalan beliau seperti menggalakkan sarasehan, membuat ruang pertemuan dan sekretariat paroki. Masih banyak rencana yang akan dikerjakan, namun beliau harus segera meninggalkan Paroki Gamping untuk bertugas sebagai Socius Magister Novis Serikat Yesus di Girisonta.

Rama Johanes Mardiwidayat SJ (berkarya di Gamping 1993-1997)

Rama Johanes Mardiwidayat SJ hadir dengan tugas mempersiapkan paroki yang dikelola oleh Serikat Yesus untuk diserahkan kepada pihak Keuskupan Agung Semarang. Tugas itu beliau urai dalam empar prioritas:
1. Pembenahan struktur paroki;
2. Upaya membuat paroki menjadi swadana dan mandiri;

Menyempurnakan dengan pilar-pilar yaitu Liturgia, Kerigma, Koinonia, Diakonia, dan Marturia (kesaksian). Pilar-pilar itu kemudian ditopang dengan Pembangunan dan Dana-Usaha.

Dalam bidang usaha dana beliau merintis pendirian Koperasi Cinta Kasih (KC K) dan Tabungan Cinta Kasih (TCK) dengan tujuan untuk rencana Renovasi Gereja ke depan. Juga membuat Forum Sarasehan Rebo Pisanan.

Rama Christophorus Sutrasno Purwanto Pr (berkarya di Gamping 1997-2001)

Rama Christophorus Sutrasno Purwanto Pr adalah rama diosesan yang pertama bertugas di Paroki Gamping setelah pengelolaannya diserahkan dari Ordo Yesuit. Dalam perkembangannya beliau mendorong blok-blok di lingkungan untuk iman umat. Juga mendorong sarasehan-sarasehan di tingkat paroki, wilayah, maupun lingkungan.

Rama Christophorus Sutrasno Purwanto Pr juga merealisasikan pembelian tanah sebelah selatan gerja yagn saat ini digunakan untuk parkir. Pada tahun 2001 beliau mengadakan peringatan Pesta Nama ke – 40 tahun bersamaan dengan Krisma. Pada puncak perayaan Pesta Nama Gereja Gamping menghadirkan Bupati Sleman, Ibnu Subiyanto.

Rama Jakobus Winarto Widyosumarto Pr (berkarya di Gamping 2001-2007)

Rama Jakobus Winarto Widyosumarto Pr dikenal dekat dengan umat, menerapkan pelayanan murah hati sehingga sering disebut „rama misa”. Prinsip yang dijalankan adalah pembangunan umat paroki sebagai gereja kecil.

Semasa berkarya di Gamping telah memekarkan lingkungan di Wilayah Brayat Minulya Balecatur menjadi 6 (enam) lingkungan, yaitu dengan bertambahnya Lingkungan Santa Margaretha Gejawan Indah Puri. Di akhir masa karyanya di paroki Gamping memekarkan Wilayah Santo Aloysius Gonzaga dari 2 (dua) lingkungan menjadi 3 (tiga) lingkungan dengan bertambahnya Lingkungan Santa Veronika Gesikan III.

Setelah gempa bumi melanda Yogyakarta pada 27 Mei 2006, maka tugas yang paling berat adalah pembangunan kembali fisik gereja dan pastoran. Setelah perbaikan gereja 90 % terselesaikan, beliau digantikan oleh Rama Fransiskus Asisi Suntoro mulai 15 Juli 2007.

Sumber :http://historiadomus.multiply.com/journal/item/40/027_Sejarah_Gereja_Paroki_Santa_Maria_Assumpta_Gamping
Gambar : http://baitallah.wordpress.com/

0 comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP