Selasa, 29 November 2011

Para Bapa Apostolik

Bapa Apostolik adalah para penulis Kristen yang hidup pada generasi para Rasul. Mereka umumnya adalah pejabat Uskup dan umumnya memiliki hubungan pribadi dengan para Rasul. Sebagai contohnya, Santo Clement merupakan murid Santo Petrus dan Santo Paulus dan disebutkan bahwa ia ditahbiskan sebagai Uskup oleh Santo Petrus sendiri. Santo Polycarpus adalah murid dari Santo Yohanes Penginjil. Menurut salah satu legenda, Santo Ignatius dari Antiokia adalah anak kecil yang disebutkan di dalam Injil Markus 14:51-52 sebagai anak muda di Bukit Zaitun yang lari dengan telanjang.

Melalui tulisan-tulisan mereka kita melihat perhatian mereka akan identitas Kristen: Apa maknanya untuk menjadi seorang pengikut Kristus? Ini adalah suatu pertanyaan yang penting tidak hanya bagi komunitas Gereja yang diguncang dari dalam oleh berbagai heresi (penyelewengan ajaran), perpecahan dan perselisihan. Pertanyaan ini juga muncul dari luar Gereja seperti misalnya dari otoritas penguasa, karena klaim-klaim yang dibuat oleh umat Kristiani tampaknya membawa dampak serius terhadap tata-sosial. Umat Kristiani menolak untuk menghormati dewa-dewi seperti yang ditentukan oleh penguasa. Mereka juga menolak untuk menyembah kaisar. Oleh karenanya, penguasa sipil di kekaisaran melihat kelompok religius yang muncul dari tanah Palestina ini sebagai ancaman dan dimulailah penindasan. Semua Bapa Apostolik yang tertulis kisahnya dibawah ini, mati sebagai martir iman.

Paus Santo Clement I dari Roma

Nyaris segala yang kita ketahui tentang Santo Clement adalah penghormatan yang diterimanya dari komunitas-komunitas Gereja di segala penjuru dunia. Menurut Santo Irenaeus, Santo Clement adalah Paus ke empat, seorang Rowawi yang merupakan murid Santo Petrus dan Santo Paulus selama hari-hari mereka di Ibukota kekaisaran, Roma. Tertulianus menulis bahwa Santo Petrus sendiri yang mentahbiskan Clement sebagai seorang Uskup. Clement menjabat sebagai Paus diperkirakan antara tahun 88-97 Masehi.

Beberapa penulis Gereja mengidentifikasi Paus Clement sebagai Titus Flavius Clemens, seorang sepupu kaisar Domitian yang memegang jabatan di istana kekaisaran. Kita mengetahui dari sejarawan non-Kristen bahwa Clemens dihukum mati pada akhir abad pertama karena "sikap tidak hormat" terhadap dewa-dewi Romawi dan karena tuduhan "ateisme", suatu tuduhan yang sering dikenakan terhadap umat Kristiani pada waktu itu. Bukti-bukti yang menyangkut identifikasi ini agaknya kurang kuat.

Satu-satunya tulisan karya Clement yang masih ada, yaitu Surat Kepada Umat di Korintus, meliputi suatu doa bagi para penguasa sipil dan menunjukkan bahwa sang pengarang tahu seluk-beluk kehidupan militer Romawi. Dari tulisan tersebut juga dengan jelas tampak bahwa sang pengarang adalah seorang terpelajar yang brilian, yang sangat mengenal seluruh Kitab Perjanjian Lama, termasuk bahkan filosofi dan cerita-cerita rakyat Mesir.

Yang sangat menonjol dari Surat Kepada Umat di Korintus adalah primasi yang diberikan kepada Gereja di Roma oleh umat Kristiani di akhir abad pertama. Dalam paragraf pembukaan, Santo Clement mengindikasikan bahwa umat di Korintus telah memohon kepadanya untuk menyelesaikan perselisihan di dalam tubuh Gereja disana. Gaya bahasanya menunjukkan bahwa dia sangat percaya diri dalam otoritas kebapaannya terhadap komunitas Gerejawi yang nun jauh lokasinya. Dia menyatakan bahwa suratnya mengandung kata-kata "yang ditulis oleh kami melalui Roh Kudus", dan dia dengan tegas mengharapkan agar keputusannya dipatuhi. Santo Clement tampaknya melengkapi misi perdamaian yang dimulai oleh Santo Paulus lebih dari satu generasi sebelumnya seperti tertera dalam dua Surat Paulus kepada Umat di Korintus. Surat penting oleh Uskup Roma adalah untuk menyembuhkan skisma Gereja di Korintus dan membawa kembali persatuan dan keharmonisan di dalam Gereja.

Surat Clement kepada umat di Korintus mendapat penghormatan yang selayaknya di Korintus, dimana pada tahun 170 Masehi, surat tersebut masih dibacakan selama liturgi bersama satu surat lainnya yang ditulis oleh Paus pada waktu itu, yaitu Paus Soter. Eusebius, sejarawan Gereja, menulis bahwa komunitas-komunitas Gereja di wilayah lain juga menghormati surat Santo Clement tersebut, dan beberapa diantara mereka bahkan memasukkannya dalam daftar Kitab-kitab Perjanjian Baru. Santo Polycarpus mengutip dari surat ini ketika ia menulis Surat Kepada Umat di Filipi. Santo Clement dari Alexandria adalah salah satu Bapa Gereja yang mendukung dimasukkannya surat Santo Clement dari Roma dalam kanonisasi Kitab Suci.

Salah satu pasal-pasal yang paling menyolok dalam surat tersebut adalah puji-pujian terhadap keseimbangan alam di bumi. Santo Clement, sebagai seorang Paus, seorang mistis, dan sekaligus seorang seniman dalam hatinya, menyaksikan dunia yang dipenuhi oleh kemuliaan Tuhan: hasil ciptaan yang mencerminkan persatuan dan keharmonisan Trinitas Maha Kudus, dan menunjukkan suatu model bagi persatuan dan harmoni dalam Gereja.

Santo Ignatius dari Antiokia

Santo Ignatius adalah Uskup Antiokia pada akhir abad pertama. Dia memakai nama keluarga Theophorus yang berarti "pembawa Allah". Dia hidup sesuai dengan namanya tersebut.

Menurut catatan biografinya, Santo Ignatius menjadi Kristen, dan adalah murid Santo Yohanes Penginjil. Cerita sejarah dari abad ke-empat menyatakan bahwa Santo Ignatius menjawab sebagai Uskup Antiokia selama empat puluh tahun, setelah diserahi jabatan oleh Rasul Petrus dan Paulus. Antiokia, salah satu komunitas Kristen pertama yang penting, mengaku bahwa Santo Petrus sebagai Uskup mereka yang pertama.

Sayangnya hanya sedikit yang kita ketahui tentang sepak-terjang Santo Ignatius semasa ia menjabat sebagai Uskup Antiokia. Karya-karya besarnya dilakukannya selama perjalanan panjangnya untuk menjalani hukuman mati di Roma, sebagaimana ia mewartakan firman Allah kepada umat dan gereja-gereja di Asia Kecil.

Santo Ignatius dihukum mati selama penindasan oleh kaisar Trajan (98-117) terhadap umat Kristen. Kaisar Trajan tidak dikenal sejarah sebagai penindas Kristen yang ambisius maupun habis-habisan, sehingga ahli sejarah menduga bahwa Santo Ignatius melakukan sesuatu hal yang memprovokasi otoritas penguasa, atau bahwa ia telah dikhianati oleh kaum penyeleweng ajaran Gereja. Akan tetapi kedudukannya saja sudah cukup untuk menjadikannya sebagai target penindasan. Antiokia adalah kota Romawi yang utama, dan pada waktu itu merupakan kota kedua setelah Roma. Gereja Antiokia dengan akar Apostoliknya, dihormati oleh umat Kristiani dimana saja. Sebagai Uskup Antiokia selama empat puluh tahun pada saat-saat penting pertumbuhan Gereja, Santo Ignatius jelas merupakan figur yang sangat menonjol.

Otoritas Romawi cenderung untuk mengarahkan penindasan mereka terutama kepada para Uskup-uskup Gereja. Otoritas Romawi berpikir bahwa jika mereka menangkapi, menyiksa dan menghukum mati para pemimpin-pemimpin Gereja, hal ini akan membuat umat Kristen takut dan mencerai-beraikan mereka. Keluwesan berbicara maupun kepandaian yang brilian dari Santo Clement, seperti terlihat dalam surat-surat yang ditulisnya, mungkin telah membawanya ke tingkat popularitas yang menjangkau jauh melebihi wilayah keuskupannya. Dalam dirinya, penguasa Romawi menemukan korban yang ideal bagi maksud mereka.

Sang uskup sendiri adalah korban yang sukarela. Keinginannya untuk mati demi Kristus adalah topik yang muncul berulang-ulang dalam surat-suratnya. Sebagai contohnya, dia meminta umat Kristen di Roma untuk tidak memohon kepada kaisar bagi keselamatan dirinya: "Aku memohon kepada kalian untuk tidak menunjukkan maksud baik yang tidak tepat terhadapku. Biarkanlah aku menjadi makanan binatang-binatang buas, melaluinya aku akan bertemu dengan Tuhan".

Santo Ignatius ditangkap dan diinterogasi di Antiokia. Menurut legenda, interogasi dilakukan oleh kaisar Trajan sendiri. Setelah dijatuhi hukuman mati, Santo Ignatius, seperti juga Santo Paulus, dipindahkan dibawah pengawalan militer menuju tempat eksekusi di Roma.

Sepanjang perhentian di perjalanannya, dia menerima kunjungan dari berbagai umat dari gereja-gereja setempat. Kemartiran yang sudah di depan mata malahan membawa ketenaran yang lebih besar lagi dan penghormatan kepada sang uskup dari Antiokia. Iring-iringan karavan yang membawanya, menjadi sasaran peziarahan umat Kristen. Berbagai uskup pergi untuk menemuinya dan menghormatinya.

Hukuman mati telah mengangkat otoritas Santo Ignatius di dalam Gereja Universal. Selama dua kali perhentiannya, yaitu di Smyrna dan Troas (dua-duanya berada di wilayah Turki sekarang ini), dia menulis enam surat kepada gereja-gereja di Asia Kecil dan Eropa, yaitu: Efesus, Magnesia, Troas, Roma, Filadelfia, dan Smyrna. Surat yang ketujuh ditujukan secara pribadi kepada Santo Polycarpus, Uskup Smyrna. Surat-suratnya ditulis secara pastoral, berisi tentang doktrin-doktrin, dan memberi semangat. Santo Ignatius bersaksi kepada ajaran Kristiani yang perdana menyangkut perkawinan, Trinitas, Inkarnasi, Kehadiran Sejati Yesus dalam Ekaristi, Primasi Gereja Roma dan otoritas imam dan para uskup. Dia sangat memperhatikan menyangkut berkembangnya heresi (penyelewengan ajaran Gereja) terutama paham docetisme, dan dengan berkurangnya secara berangsur-angsur umat Kristen yang memelihara kebiasaan Yahudi.

Sebagai seorang pengajar yang efektif, Santo Ignatius bisa merangkumkan kebenaran yang mendalam dengan imaginasi-imaginasi yang kuat. Dia juga adalah seorang master seni merangkum syahadat iman atau kredo.

Menurut legenda, Santo Ignatius tiba di Roma, pada hari terakhir pertunjukkan, mungkin di tahun 107. Dia diseret ke amphitheater, dimana tubuhnya dicabik-cabik oleh singa. Segera setelah kematiannya, surat-suratnya dihormati dimana-mana, dan bahkan dianggap sebagai bagian dari kanon Alkitab oleh beberapa komunitas gereja. Santo Polycarpus bersaksi dalam surat yang ditulisnya kepada umat di Filipi, bahwa surat-surat Santo Ignatius sangat dicari-cari di seluruh Gereja bahkan sebelum meninggalnya Santo Ignatius sebagai martir.

Surat Santo Ignatius kepada umat di Smyrna adalah catatan penting Gereja perdana menyangkut doktrin-doktrin seperti Ekaristi, jabatan imam, hirarki Gereja. Surat tersebut juga mengandung penggunaan terminologi Gereja Katolik untuk menggambarkan kesatuan tubuh umat Kristen.

Santo Polycarpus dari Smyrna

Santo Polycarpus (69 - 155 Masehi) bisa dianggap sebagai orang yang paling banyak koneksinya dalam Gereja perdana. Pada masa mudanya, ia adalah murid Santo Yohanes Penginjil. Menjelang setengah umur, dia adalah sahabat sesama-uskup dengan Santo Ignatius dari Antiokia. Sebagai seorang tua, dia adalah guru dari seorang anak laki-laki yang nantinya akan dikenal sebagai Santo Irenaeus dari Lyons. Lewat umurnya yang panjang, Santo Polycarpus bisa mengajar banyak orang bagaimana menjalani hidup ini, sama seperti para Rasul telah mengajarkan kepadanya sebelumnya. Lewat kematiannya sebagai martir, pada usia delapan puluh enam tahun, dia mengajarkan kepada generasi demi generasi Kristen yang tertindas bagaimana untuk mati demi Kristus.

Dari satu suratnya yang tersisa kita dapat melihat bahwa Santo Polycarpus, seperti juga gurunya Santo Yohanes Penginjil, sangat khawatir akan penindasan dan heresi (penyelewengan ajaran Gereja) dalam tubuh Gereja di Smyrna. Surat Santo Polycarpus secara spesifik menanggapi ajaran-ajaran docetisme dan kesulitan yang timbul akibat kemurtadan seorang imam yang bernama Valens. Dia juga menyinggung heresi-heresi yang lain tetapi tidak menyebutkan nama-namanya.

Lewat Santo Irenaeus kita tahu bahwa Santo Polycarpus menaruh perhatian besar dalam hal membasmi penyelewengan-penyelewengan ajaran iman oleh Marcion dan Valentinus. Santo Irenaeus menyebutkan tentang pertemuan Santo Polycarpus dengan Marcion. Bangga akan dirinya yang menjadi terkenal, Marcion bertanya jika sang uskup mengenali dirinya. Santo Polycarpus menjawab: "Tentu, aku mengenali anak keturunan Setan."

Santo Polycarpus mendesak umat di Filipi untuk setia kepada kebajikan. Dia juga menyinggung tentang nasihat-nasihat tertentu dan dorongan bagi pasangan-pasangan yang sudah menikah, pengantin baru, kaum biarawati, duda dan janda, imam-imam dan para deakon. "Bimbinglah istrimu untuk memelihara iman yang telah diberikan kepada mereka, dan dalam kasih dan kemurnian, dengan lembut mengasihi suami-suami mereka dalam segala kebenaran, dan mengasihi yang lain-lainnya dan untuk membesarkan anak-anak mereka untuk mengenal dan takut akan Allah. Bimbinglah para duda/janda untuk bersikap hati-hati dan menghormati iman kepada Tuhan kita, terus menerus memanjatkan doa, menjauhi segala hal-hal buruk, omongan jahat, saksi dusta, serakah uang, dan segala macam kejahatan; dan menyadari bahwa mereka adalah bait Allah. Semoga kaum muda tidak bercela dalam segala hal, terutama dalam hal menjaga kemurnian, dan menjaga diri mereka, seolah dengan sebuah tali kendali, dari segala macam kejahatan. Oleh karena baik jika mereka menjauh dari hawa nafsu yang ada di dunia ini."

Karena hubungan dekatnya dengan para Rasul, sang uskup agung dari Smyrna sangat disegani oleh umat Kristen dimana saja. Ketika isa berumur delapan puluh tahun, dia dipanggil untuk datang ke Roma oleh Paus Anicetus untuk membantu menyelesaikan perselisihan menyangkut tanggal perayaan Paskah umat Kristen. Santo Polycarpus mengaku dirinya mengikuti para Rasul yang merayakan Paskah pada tanggal yang tetap setiap tahunnya. Sri Paus Anicetus lebih menyukai tanggal perayaan yang dinamis yang selalu jatuh pada hari Minggu. Mereka berdua bertemu sebagai saudara dalam Kristus, tetapi gagal untuk membuat keputusan yang menentukan. Mereka setuju untuk berbeda pendapat, dan berpisah dengan penuh rasa persaudaraan.

Sekembalinya Santo Polycarpus ke Smyrna, penindasan kaisar Markus Aurelius terhadap umat Kristen baru saja dimulai. Karena menolak untuk menyembah kaisar, sang uskup dihukum mati dan dieksekusi pada sekitar tahun 155 Masehi.

Sumber : http://www.gerejakatolik.net/info/apostolik.htm

0 comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP