Sabtu, 31 Desember 2011

Jejak-jejak Misi Paroki Banyuwangi

Berikut ini riwayat perjalanan paroki Maria Ratu Damai Banyuwangi. Ditulis ulang dari buku asli (masih ejaan lama) akan tetapi dibahasakan kembali oleh penulis. Jika ada penambahan bisa ditulis di bawah artikel ini, dan jika ada ejaan atau penulisan yang salah, mari kita koreksi bersama.. semoga ini semakin membuka wawasan kita akan perjalanan iman kita sebagai orang katolik secara khusus di paroki Banyuwangi.. Berkah Dalem..

Sebelum tahun 1923 daerah Banyuwangi dipimpin oleh: Padri Jesuit. Nama-nama orang yang dipermandikan tertulis di buku baptis di Surabaya atau Malang. Yang terkenal pada waktu itu ialah Pastor Fischer S.J.

Tahun 1923 sampai awal tahun 1923, daerah Banyuwangi diserahkan kepada Padri-padri Carmeliten (pastor karmelit (red)): Kepala Pertama Pastor Cl.v.S Pas († 1933)

Tahun 1927 Di Jember didirikan Gereja dan Pastoran. Daerah Banyuwangi langsung dikelola dari Jember. Tahun 1929 Di Glagah Agung didirikan satu gereja, yang pada tahun 1940 dipindahkan ke Curah Jati. Bulan Agustus 1942, didirikan suatu Gereja di Banyuwangi (Regina Pacis=Maria Ratu Damai (red)). Sebulan sekali dikunjungi oleh Padri (Pastor) dari Jember.

Tahun 1942-1945 mulai bulan September 1942 hingga bulan September 1945 Gereja Banyuwangi dipakai Nippon untuk kantor kehutanan.

Tahun 1945-1947 Pada bulan Oktober 1945 Gereja sudah dikembalikan kepada Pastor. Tetapi pada bulan November pecahnya Pergerakan Kemerdekaan dan Gereja digunakan oleh tentara Angkatan Laut Indonesia.

Pada bulan Desember 1947 dari kedatangan tentara Belanda, gereja dikosongkan, dan dapat dipakai lagi untuk Kurban Suci (misa). Diwaktu itu banyak orang katolik dari sekitar kota berdiam di Kamp. Perjalanan dari Lumajang ke Banyuwangi mengalami banyak kesukaran karena banyak jembatan yang rusak, dan dijalan selalu ada tembakan. Maka pada bulan Januari 1948, di Banyuwangi ada Pastor yang tinggal tetap. Meskipun suasana genting masih ada dimana-mana, pada tanggal 25 desember 1947 sudah mungkin diadakan Missa Suci tengah malam di Banyuwangi. Gereja penuh, baik dari militer maupun dari orang preman (umat biasa).

Pada permulaan tahun 1948 ada 16 anak yang dipermandikan. Ada pertolongan dari orang-orang katolik untuk mengisi gereja. Gereja diberi loopers, kursi, tempat bunga. Isi perkakas rumah di pastoran mendapat pinjaman dari orang katolik. Anak –anak asal dari Banyuwangi dikirim untuk sekolah, 12 anak indo dikirim ke Probolinggo, 16 anak Indonesia dikirim ke Malang, 2 anak untuk sekolah guru, 2 anak perempuan indonesia ke Malang untuk rumah sakit. 2 Anak indonesia untuk sekolah menengah di Malang, 6 anak perempuan indonesia ke sekolah internasional Surabaya.

Pada tanggal 25 desember 1948 diadakan Misa Suci tengah malam. Banyak orang katolik dari desa-desa malam di pastoran. Mengadakan Kerst-Lableue dikunjungi oleh penduduk Banyuwangi yang bukan katolik.

Pada tanggal 25 April 1948 (Hari Raya Paskah), Gereja penuh. Pesta: paasch-eirens.Kedatangan 2 orang dari desa Bagurejo yang mau belajar agama katolik. Taggal 12 Mei 1948 pastor mengunjungi desa Bagurejo dan kasih pelajaran kepada 20 orang.

Pada tanggal 22 Agustus Pak Karsudirianna (Theodorus) dengan anak istri (sebanyak 10 orang) dipermandikan di Banyuwangi.

Tanggal 4 Oktober 1949 Mgr. A. E. J. Albers memberikan sakramen Krisma di Curahjati kepada 90 orang. Tanggal 11 Oktober 1949 di Banyuwangi kepada 50 orang. Harmonium dari Malang.

Tanggal 16 nov 1949 kedatangan P.J.M. Pater provinsial di Volte dan Pater Superior

Tanggal 25 Desember 1949 Misa Suci tengah malam. Tanggal 26 Desember diadakan wayang orang yang dimainkan oleh anak-anak Sekolah Guru Malang, yakni: Dawus dan Absalom.

Pada bulan April 1950 hari Raya Paskah diadakan dua misa suci. Tanggal 1 juli 1950 Rumah pastoran mulai diperbaiki. Tanggal 14 agustus 1950 sekolah rakyat dipimpin oleh para suster mulai dibuka. Tanggal 15 Oktober 1950 Sekolah Flobel (Sekolah Guru). Tanggal 5 November 1950 Gereja Bagureja selesai dan diberi nama: Mariae Assumtio. Suster-suster datang di desa dan diadakan pertunjukan Wayang kulit.

Tanggal 27 desember 1950 Pertunjukan Kerst-Lableau di gedung Tiong-Hwa Klampok, mendapat banyak perhatian.

Tanggal 15 agustus 1951 Dibuka Sekolah katolik S.M. Tanggal 9 Oktober 1951 Vormsel di Banyuwangi. Tanggal 6 Desember 1951 Dibuka sekolah SMA Katolik

Sumber : http://parokimariaratudamai.wordpress.com/2011/12/13/jejak-jejak-misi-paroki-banyuwangi/#more-530

baca selanjutnya...

Jumat, 30 Desember 2011

Sejarah Singkat Paroki Santo Stepanus Cilacap

Tulisan ini diambil dari buku “Sejarah Keuskupan Purwokerto 1927 – 1992, Tim Penyusun, Penerbitan Keuskupan Purwokerto – Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 2003”. Dalam buku itu, sejarah Paroki Cilacap dibagi dalam empat masa sebagai berikut :

I. MISI KRISTUS RAJA PURWOKERTO (1927 – 1932)

Cilacap sebagai bagian dari Karesidenan Banyumas, sampai tahun 1927 menjadi bagian tugas dari para pastor yang bertugas di Paroki Magelang, yang pada saat itu dipimpin oleh Pater B. Th.L. Hagdorn, S.J. Cilacap memperoleh kunjungan 2 – 4 kali setahun. Dengan diserahkannya wilayah gerejani yang mencakup Karesidenan Kedu Selatan, Karesidenan Banyumas dan Karesidenan Pekalongan dari Sarekat Jesus ke Sarekat Hati Kudus Yesus dengan pusat sementara di Purworejo pada tanggal 25 Oktober 1927, maka dengan sendirinya Cilacap tidak lagi menjadi bagian kunjungan dari Paroki Magelang.

Pada tanggal 17 Nopember 1927, Pater B.J.J. Visser, M.S.C. berangkat dari Tegal menuju Kroya, untuk bergabung dengan Pater L.Th. Schutman, S.J. yang datang dari Purworejo menuju Cilacap. Keduanya mengadakan pertemuan dengan Asisten Residen A.R. March dan pemilik hotel Belleview (aktifis setempat). Cilacap sudah mempunyai gereja kecil yang dibangun di atas tanah seluas 4.910 m². Jumlah umat sebanyak 400 orang, terdiri dari golongan Belanda yang tinggal di Cilacap, Kroya dan Maos. Umat pribumi sebanyak 30 orang dan beberapa orang keturunan Cina. Asisten Residen A.R. March me-nyerahkan gereja dan perlengkapannya dan minta penempatan seorang pastor di Cilacap. Sejak bulan Desember 1927 – Juli 1928 diadakan empat kali kunjungan ke Cilacap. Ketika Purwokerto ditetapkan sebagai paroki pada tanggal 3 Desember 1928, Cilacap mendapatkan pelayanan dari Pater J.J.H. Schenkels, M.S.C.

Ketika A.R. March menjadi Residen Banyumas, perhatiannya terhadap perkembangan misi di Cilacap tetap besar. Ia menghadiri konferensi yang diselenggarakan pada tanggal 19 April 1929. Pokok pembicaraan adalah karya misi di bidang pendidikan dan kesehatan. A.R. March mengusulkan agar usaha-usaha itu diadakan juga di Cilacap. Selama dua tahun J.J.H. Schenkels, M.S.C. mempersiapkan diri untuk berkarya di kalangan pribumi. Pada tanggal 24 April 1931, Provinsial M.S.C., Z.A. Zandvliet, M.S.C. dan Pater B.J.J. Visser, M.S.C. berkunjung ke Cilacap. Sore harinya datang Ir. Phoa, karyawan perusahaan listrik EMB. Pada pertemuan itu dibahas perkembangan Misi di bidang pendidikan. Ir. Phoa atas nama masyarakat Cina di Cilacap menawarkan sekolah HCS yang sudah ada dan dikelola oleh Masyarakat Cina. Disepakati Misi M.S.C. mempersiapkan diri untuk berkarya di kalangan pribumi.

Pada tanggal 24 April 1931, Provinsial M.S.C., Z.A. Zandvliet, M.S.C. dan Pater B.J.J. Visser, M.S.C. berkunjung ke Cilacap. Sore harinya datang Ir. Phoa, karyawan perusahaan listrik EMB. Pada per-temuan itu dibahas perkembangan Misi di bidang pendidikan. Ir. Phoa atas nama masyarakat Cina di Cilacap menawarkan sekolah HCS yang sudah ada dan dikelola oleh Masyarakat Cina. Disepakati Misi mengambil alih HCS dengan memberi imbalan sebesar ƒl. 450 untuk membayar hutang-hutang pengelola. Mulai tanggal 25 Juni 1931 Pater J.J.H. Schenkels, M.S.C. enetap di Cilacap dan Paroki Cilacap resmi berdiri dengan nama Hati Kudus Yesus. Karya pendidikan mulai di-tangani pada tahun ajaran baru, yaitu bulan Juli 1931. Sekolah HCS dikembangkan menjadi empat kelas, ditambah satu Voorklas. Untuk mengelolanya didatangkan tiga suster PBHK dibantu seorang ibu guru dari Belanda dan seorang lagi suku Jawa. Tahun pertama siswanya sebanyak 137 orang.

Pada tanggal 7 Oktober 1931 Suster-suster PBHK dipindah ke Tegal, diganti tiga Suster Dominikanes, yaitu Priorin Angelina, Hildegardis, Clara. Dan pada tanggal 24 Desember 1931, Cilacap men-dapat tambahan tiga suster lagi, yaitu Alphonsa, Hubertin dan Virginie.

II. PREFEKTUR APOSTOLIK PURWOKERTO (1932-1942)

Gereja

Mgr. B.J.J. Visser, M.S.C. menerimakan Sakramen Penguatan kepada 20 orang di Cilacap pada ahun 1933. Usaha Pater J. Schenkels, M.S.C., di kalangan orang Cina belum menunjukkan hasil, sekalipun sudah fasih berbahasa Melayu dan dibantu umat Cina. Kendala utamanya adalah aktivitas bisnis. Di kalangan orang Jawa per-kembangannya cukup bagus. Dalam hal ini ada dua orang yang mem-punyai andil yang sangat berarti, yaitu Bapak Sadat Hardjosumarto dan Bapak Sarman.

Bapak Sadat Hardjosumarto adalah Mantri Guru kelahiran tahun 1900, lulusan Xaverius Muntilan tahun 1921. Dari Wonosobo ia dipindah ke Standarschool di desa Lebeng, Asistenan Sugihan. Beliau sebagai orang Katolik menarik orang-orang di sekitarnya, sebab ramah dan rendah hati, sehingga orang-orang tidak segan-segan mendekatinya. Bapak Sadat Hardjosumarto mempunyai sawah dan ladang yang cukup luas. Dengan miliknya itu dapat dipakainya untuk memberikan lapangan pekerjaan kepada orang-orang di sekitarnya yang pada awalnya bekerja di kebun tebu milik Belanda yang sudah bangkrut. Urusan pertanian ini ditangani adik Bapak Sadat Hardjosumarto yaitu Bapak Y. Saptadi. Selain mengurusi sawah dan kebun, Bapak Sadat Hardjosumarto diserahi tugas sebagai Katekis. Setiap sore anak-anak muda dan para buruh tani memperoleh pelajaran agama dari Bapak Sadat Hardjosumarto. Desa Lebeng jaraknya dari Cilacap kurang lebih 18 km. Kendati demikian Bapak Sadat Hardjo-sumarto dianggap sebagai sesepuh umat Katolik di Cilacap.

Sementara itu ada pendatang baru, yaitu Bapak R.L. Sarman, lulusan RKKS Muntilan tahun 1917 dan melanjutkan ke Middelbare Landbouw (Sekolah Menengah Pertanian) bekerja sebagai Landbouw Konsulent Cilacap (Dinas Pertanian). Kedua orang di atas, yaitu Bapak Sadat Hardjosumarto dan Bapak R.L. Sarman sangat membantu dalam hal pengembangan umat dengan Cara :

- menciptakan suasana bersahabat antara pimpinan Gereja dengan penguasa setempat.
- mempersatukan umat: Belanda, Cina dan Jawa.
- memperkuat ketahanan hidup Gerejani di bidang rohani, sosial, ekonomi dan politik lewat organisasi, yaitu Partai Katolik, Katolik Wandawa dan Wanita Katolik.

Masih berkaitan dengan Bapak Sadat Hardjo-sumarto, dua orang dari 12 puteranya menjadi Suster (Sr. Gabriella PBHK dan Sr. Theodora PBHK) dan seorang iman yang se-lanjutnya menjadi Uskup Purwokerto, yaitu Mgr. Paskalis Hardjosumarto, M.S.C. Sedangkan putera dari Bapak R.L. Sarman, seorang iman, yaitu Ign. Hadi Suprobo, Pr. dan dua orang puterinya menjadi suster. Sehubungan dengan keadaan di Eropa yang genting pada tahun 1939 Mgr. B.J.J. Visser, M.S.C. menganjurkan agar para pengambil prakarsa kegiatan karya Misi dapat menggunakan dana sendiri. Subsidi keuangan Misi diatur seringan-ringannya. Menanggapi anjuran itu Paroki Cilacap menggalakkan partisipasi dari seluruh umat. Kegentingan politik tidak berarti harus menghentikan kegiatan Gereja. Hal ini nampak dari penerimaan Sakramen Penguatan buat 19 orang umat pada tanggal 30 April 1940 di gereja St. Bernardus Kawunganten.

Awal tahun 1942, suasana di Cilacap makin menjadi genting. Untuk menyelamatkan para misionaris dan inventaris Gereja, empat kali Mgr. B.J.J. Visser, M.S.C. datang ke Cilacap. Kepentingan ibadat dan sarana kegiatan makin terdesak oleh kepentingan-kepentingan peperangan. Pada bulan Pebruari Mgr. B.J.J. Visser, M.S.C. kembali lagi ke Cilacap untuk mengatur evakuasi para pater dan suster setelah mendapat informasi bahwa serangan Jepang akan dimulai dari Cilacap.

Sarana

Pada tahun 1932 suster dapat menempati rumah biara sendiri pada tanggal 30 September. Luas tanah biara itu 60 x 100 meter yang dibeli dengan biaya dari Dominikanes yang berpusat di Neerbosch, Nederland seharga ƒ.12.500,- Neerbosch juga membantu sarana-sarana, termasuk rencana pembangunan kapel yang dikerjakan oleh Ir. van Rijn dari Purworejo. Karena suster belum mempunyai yayasan, maka rumah biara itu masih menggunakan Prefektur Purwokerto. Pada bidang pendidikan suster sudah memiliki satu Voorklas (TK) satu HCS dan satu Meisjes Vakschool. Sementara itu untuk pelaksanaan tugas rutin Pater J.J.H. Schenkels, M.S.C. telah menempati rumah pastorang baru. Kapel biara susteran diberkati pada tanggal 25 Januari 1933. Pada tanggal 29 Mei 1934 Firma Fermon Cuypers diserahi tugas untuk membangun HIS di halaman susteran Cilacap seharga ƒ.12.000,-. Sedangkan pada tahun 1938 TK sudah dilengkapi dengan tempat bermain yang tertutup, SD enam kelas lengkap, SKP empat tahun beserta asramanya. Gedung sekolah diperluas dengan membeli tanah milik Tuan Reil, sedang pembangunannya dikerjakan oleh Tuan Abels. Sarana ibadah di Stasi Kawunganten: Gereja St. Bernardus dibangun atas bantuan Mg. Worner dan diberkati pada tanggal 20 Oktober 1938. Di Lebeng di-bangun Gereja St. Dominikus. Di samping itu pada tahun 1938 diadakan Novisiat Suster-suster Dominikanes. Panti Asuhan anak-anak: “Theresia Kindertehnis”. Sarana phisik dan non phisik mencakup: tiga buah gereja, satu asrama dan satu panti asuhan; pastor ada dua orang dan suster ada 12 orang, satu diantaranya adalah orang Jawa, sedang umat ada sebanyak 712 orang (300 orang Belanda, 299 Jawa, 70 Cina dan 38 permandian).

Pimpinan gereja Purwokerto telah membuahkan hasil nyata, seperti pemberkatan bangunan susteran yang baru pada tanggal 19 Maret yang dihadiri Algemene Overste dan Sesia; Sekolah Dasar di Bojong, Kawunganten dan Cileumuh, Majenang diberkati dan diresmikan oleh Pater Th. Tangelder, M.S.C. pada tanggal 1 Agustus. Meletusnya Perang Dunia II di Eropa belum begitu terasa buat kegiatan Gereja se-perti terlihat dari Novisiat Dominikanes melangsungkan kaul profesi dua orang suster Jawa, pada tanggal 10 Nopember, sehingga jumlah Suster menjadi 14 orang dan pada tanggal 2 Desember 1939 pastoran beserta tanahnya dijual seharga ƒ.2.300,-, dibeli oleh Tuan B.A.M. Karhof. Uang hasil penjualan itu digunakan untuk membeli tanah yang strategis letaknya. Memasuki tahun 1942 kondisi Pemerintah Hindia Belanda makin terdesak oleh tentara Dai Nippon. Karena itu para suster yang semula akan dipindah ke Karanganyar oleh Kantor Pengajaran Daerah dianjurkan untuk mendampingi para siswa yang dipindah ke Perkebunan Kawung, Majenang, sedang sekolah dan rumah biara dipakai untuk keperluan militer. Pastoran digunakan untuk KPM, di halaman gereja dibuat bangunan darurat untuk karyawan KPM. Pater V. Hochtenbach, M.S.C. menempati ruangan HCS, susteran dan kelas digunakan untuk Javasche Bank, ELS, HIS Gubernemen dan HIS Zending.

Sumber Daya Manusia

Partisipasi para Katekis dalam meningkatkan jumlah umat terlihat hasilnya seperti dengan adanya permandian empat orang pada tahun 1932, 9 orang pada tahun 1933, 19 orang pada tahun 1934, 53 orang pada tahun 1935 dan 75 orang pada tahun 1936. Sementara itu terjadi mutasi para pastor paroki. Pater J.J.H. Schenkels, M.S.C. dipindah ke Paroki Tegal (21 Juni 1934), Pater B. Kockelkoren, M.S.C. dari Kutoarjo. Tugas Pater B. Kockelkoren, M.S.C. adalah membina umat Cina, muda-mudi, sedang Pater H. Dekker, M.S.C. bertugas untuk melayani umat Jawa. Pada tanggal 25 Pebruari 1939 Pater J.V. Rooijen, M.S.C. karena alasan kesehatan kembali ke Negeri Belanda. Selanjutnya pada tanggal 18 April Pater Th. Tangelder, M.S.C. ditugaskan untuk memimpin Sekolah Katekis di Cilacap. Para imam yang baru datang dari Negeri Belanda adalah Pater van Bielsen, M.S.C., Pater Switsar, M.S.C. dan Pater van Langen, M.S.C. dan Pater V. Hochstenbach, M.S.C. yang selanjutnya ditempatkan di Paroki Cilacap. Pater yang baru saja bertugas ini tidak canggung dalam menjalankan tugasnya sebab beliau telah mempelajari bahasa dan budaya Jawa pada Bapak Sadat Hardjosumarto. Kemudian pada tanggal 2 Agustus 1940 Pater V. Hochstenbach, M.S.C. menggantikan Pater Th. Tangelder, M.S.C. sebagai pastor paroki dan sebagai pastor pembantunya adalah Pater Zwitsar, M.S.C.

Menjelang datangnya Jepang umat paroki Cilacap berjumlah 803 orang (248 Belanda, 499 Jawa dan 56 Cina), pastor ada dua orang dan 15 suster.

Persekolahan

Pengembangan karya ilmiah pendidikan ditempuh dengan mendirikan Meisjes Vakschool (SKP) 2 tahun untuk umum pada tanggal 1 Oktober 1932, sehingga pada akhir tahun 1932 suster telah memiliki: Voorklas (TK), HCS dan Meisjes Vakschool. Bapak Sadat Hardjosumarto mengusulkan didirikannya HIS oleh Misi kepada Prefektur Apostolik. Kepercayaan masyarakat terhadap sekolah Katolik cukup positif, karenanya kelengkapannya perlu selalu disesuaikan dengan perkembangan yang ada.

III. VIKARIS APOSTOLIK KRISTUS RAJA PURWOKERTO (1942 – 1961)

Gereja


Menjelang masuknya Tentara Pendudukan Jepang Cilacap dipenuhi berbagai kesibukan dari pemerintah kolonial Belanda dalam kaitannya dengan usaha evakuasi. Dalam periode antara 1942-1961 perkembangan Paroki Cilacap sempat diwarnai oleh hadirnya Tentara Pendudukan Jepang dan masa-masa menegakkan RI Proklamasi. Karenanya perlu mencermati berbagai perkembangan dari kelangsungan hidup paroki ini.

Setelah menyerahnya Pemerintah Hindia Belanda kepada Jepang tanggal 8 Maret 1942, Cilacap menjadi tidak aman. Terjadi banyak perampokan. Sarana liturgi gereja banyak yang hilang (stola, piala, tempat lilin, jubah), tetapi barang-barang itu ditemukan oleh Ny. Oei Kim Seng (ibu kandung Oei Peng On = Ongko Kusumo) di pasar dan kemudian dibelinya untuk diamankan di rumahnya. Pada tanggal 18 Maret Mgr. B.J.J. Visser, M.S.C. berkunjung ke Cilacap untuk menemui Pater V. Hochstenbach, M.S.C. yang untuk sementara tinggal di hotel. Mgr. B.J.J. Visser, M.S.C. dapat menemui para tawanan perang keturunan Belanda yang beragama Katolik karena beliau memiliki paspor atas nama Vatikan.

Bruder Yokanetus meninggal dunia pada tanggal 15 Maret 1942 di rumah sakit Cilacap sebagai tawanan perang. Pastor, Bruder dan Suster yang berkebangsaan Belanda ditawan oleh Jepang. Selama pendudukkan Jepang tugas pelayanan umat dilakukan oleh para pastor pribumi. Untuk wilayah Vikariat Purwokerto dilayani oleh Pater Th. Padmowidjojo, M.S.C. Karena gedung gereja dikuasai oleh tentara Jepang, maka Misa Kudus yang diadakan 1-2 bulan sekali diselenggarakan di rumah umat misal di rumah R.L. Sarman, Jl. Martadinata atau di rumah Ny. Oei Kim Seng. Umat yang hadir mengikuti Misa Kudus berkisar antara 20-30 orang, terdiri dari keturunan Cina dan Jawa yang tinggal di kota.

Kondisi para misionaris (pater, bruder, suster) sesudah ke luar dari tahanan sangat buruk, sehingga banyak yang kembali ke negeri Belanda untuk memulihkan kesehatan. Karena itu sekalipun bangunan gereja sudah dibenahi oleh umat, tetapi belum ada pastor yang menetap di Cilacap, sehingga untuk pelayanan umat masih dibantu oleh para pastor dari Purwokerto. Kondisi umat pada tahun 1946 dan 1947, begitu juga keamanan belum stabil, sekalipun pasukan Belanda sudah menduduki Cilacap. Penduduk banyak yang mengungsi, termasuk di dalamnya orang-orang Katolik. Tetapi bagi mereka yang tidak mengungsi, yaitu orang Katolik Belanda, Cina dan Jawa, dilayani oleh Pater P. Bonke, S.J., pastor militer.

Sebelum Belanda kembali untuk menduduki Cilacap banyak bangunan yang dibumihanguskan dengan tujuan agar tidak dapat digunakan lagi oleh Belanda, misalnya sekolah Katolik milik susteran, kendati demikian sebagian besar dari bangunan itu masih utuh. Pada tahun 1949 tentara Belanda di Cilacap membantu penyerangan ke timur sampai Gombong. Setelah tentara Belanda meninggalkan Indonesia dan Republik Indonesia Serikat terbentuk para misionaris Hati Kudus mulai menghimpun kembali tenaga dan mendata milik gereja, sekolah dan peralatannya. Hal itu dilakukan oleh Pater K.J. Veeger, M.S.C. dan Pater C.J. Brouwers, M.S.C. Selanjutnya dalam penyelenggaraan liturgi dibentuk wadah bernama Konggregasi Maria untuk membantu imam. Para pemudi dan ibu-ibu menghimpun diri untuk mengikuti Misa Kudus dengan koor, menyiapkan peralatan Misa Kudus, merangkai bunga.

Sementara itu Pater V. Hochtenbach, M.S.C. kembali ke Cilacap pada tahun 1951. Kegiatan-kegiatan umat tersalur lewat organisasi-organisasi Katolik. Selanjutnya pastoran dipindah dari Tugu Pahlawan No. 5 ke No. 54. Bangunannya terdiri atas pendopo berbentuk limasan, rumah tembok kap bambu dan sebuah pavilyun dengan tiga kamar dan dapur. Bangunan itu digunakan untuk pastoran dan untuk asrama anak-anak laki-laki di bawah asuhan pastor paroki. Untuk asrama yatim piatu putri diasuh suster PBHK di susteran. Adapun kegiatan pastoral mencakup Misa Harian, Pengakuan Dosa, Misa Minggu, Salve (Pujian) pada hari Jumat dan Minggu sore (untuk pengakuan dosa pada hari Sabtu sore); pelayanan agama bagi keluarga yang memerlukan, Misa di Stasi, Lebeng, Jeruklegi, Kawunganten satu kali satu bulan.

Persekolahan

Keadaan gereja dan aktivitasnya masih labil sejalan dengan keadaan pemerintahan yang juga masih labil. Muder Philomena dan beberapa suster menempati SR Pius, sementara rumah biara masih digunakan sebagai Kantor Penerangan Pemerintah. SR Pius mulai difungsikan.

Tokoh-tokoh umat seperti: Bapak Hardjosumarto, Bapak Hardjosubroto dan Bapak Sarman membentuk Madjelis Aksi Katolik (MADJAKKAT) sebagai embrio dari Dewan Paroki. Pada pertengahan tahun 1950 mereka itu mendirikan SMP MADJAKKAT yang diketuai oleh Bapak Hardjosubroto. Sebagian besar dari guru-gurunya diambil dari guru-guru Katolik di sekolah negeri dan berkerja sebagai tenaga honorer.

Organisasi

Suasana politik berpengaruh besar terhadap umat Katolik di Cilacap. Hal ini dapat dilihat dari berbagai kegiatan umat. Para ibu mendirikan organisasi Wanita Katolik Republik Indonesia. Dalam naungan organisasi itu mereka giat mengadakan pendalaman iman dan membahas masalah rumah tangga pastoran. Untuk kegiatan keluar dibentuk unit Drumband WKRI.

Putra-putri keluarga Katolik dihimpun dalam kegiatan kepanduan dengan nama Pandu Katolik Don Bosco. Sedangkan guru-guru Katolik yang bekerja di berbagai sekolah: Pius, MADJAKKAT dan Negeri, menghimpun diri dalam organisasi “Persatuan Guru Katolik” (PGK).

Guna menghadapi Pemilihan Umum tahun 1955, umat Katolik membentuk Partai Katolik Cabang Kabupaten Cilacap. Ketuanya Bapak Hardjosubroto dibantu Bapak Ongko Kusumo dan Bapak J. Gondojudrasono. Para pemudanya membentuk Organisasi Pemuda Katolik, sebagai onderbouw Partai Katolik. Dalam Pemilihan Umum tahun 1955, Partai Katolik gagal memperoleh kursi di Parlemen. Patai Komunis Indonesia yang menang pada Pemilihan Umum itu menguasai posisi-posisi penting dalam pemerintahan, misalnya posisi Bupati Cilacap, dalam hal ini yang menempati adalah Bapak D.A. Santoso. Meskipun kalah dalam Pemilihan Umum, umat Muda Katolik Indonesia (MKI), Partai Katolik Indonesia, Kepanduan Katolik (Don Bosco) dan Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI) tetap berjalan terus dalam berbagai kegiatan mereka.

Setelah mencermati uraian di atas dapat dikatakan bahwa kehidupan paroki Cilacap pada masa pendudukan Jepang dapat dikatakan terhenti. Setelah adanya Proklamasi perkembangannya diwarnai oleh berbagai usaha untuk pemulihan berbagai sarana peribadatan dan pendidikan. Menghadapi pemilu tahun 1955 umat Katolik Paroki Cilacap terlibat secara aktif terbukti dari berdirinya berbagai organisasi Katolik seperti : Partai Katolik Indonesia, Wanita Katolik Indonesia, Muda Katolik Indonesia.

IV. KEUSKUPAN DIOSIS PURWOKERTO (1961 – 1992)

Beberapa hal yang perlu dicatat menjelang tahun 1961 antara lain 1) gangguan gerombolan Darul Islam menyebabkan kegiatankegiatan di Cilacap Barat: Majenang, Sidareja, Gandrungmangu, Kawunganten, Jeruk Legi, Kesugihan/Lebeng menjadi tidak aman; 2) Pater van Bielsen, M.S.C. berusaha meningkatkan kemampuan umat berdasar pada sarana yang ada untuk merenovasi pastoran dan gedung gereja, melengkapi sarana-sarana ibadat dan mencetak buku tuntunan doa dan nyanyian, mengajar agama-agama di sekolah, untuk memenuhi kebutuhan tenaga paroki menyelenggarakan kursus katekis sukarela; 3) Romo Hadisuprobo, Pr. membina Muda Katolik Indonesia (muda-mudi) dengan aktifis seperti: C.H. Wismo Utoyo, Y. Kadara, Y. Saptadi, Y. Sukir, putera-puteri altar dan kunjungan keluarga mendapat prioritas dari Pater J.A. Bosse, M.S.C.; 4) Guna TRIKORA juga terasa di Cilacap.

Jumlah umat mencapai 1.000 jiwa dan baptisan baru setiap mencapai 80-90 orang. Selanjutnya untuk melihat tumbuh dan berkembangnya Paroki Cilacap mengacu pada pergantian-pergantian pastor paroki dengan mempertimbangkan hal-hal khusus yang menjadi ciri khas perkembangannya. Untuk lebih jelasnya sebagai berikut:

PERIODE 1961-1974

Gereja


Pater Louis Maria Bertazzi, M.S.C. (asal Brazil) diperbantukan di Cilacap. Dalam melaksanakan tugasnya beliau sangat ramah dan merakyat, rajin mengadakan kunjungan keluarga. Untuk memperlancar tugas-tugas pastoralnya dibentuk:

- Presidium Legio Maria “Bunda Hati Kudus” sebagai wadah kerasulan awam.
- Pasukan Ekaristi Kudus sebagai wadah bagi anak-anak Katolik dalam memperdalam iman lewat kegiatan menyanyi, bermain, mengikuti Misa Kudus dan menghormati Ekaristi Kudus.

Pada tahun 1965 Pater J.A. Bosse, M.S.C. menggantikan Pater L.M. Bertazzi, M.S.C. dan Pater P.C. van Bilsen, M.S.C. pulang ke negeri Belanda. Untuk memperlancar tugasnya, Pater J.A. Bosse, M.S.C. membentuk kelompok-kelompok umat di kota menjadi enam kelompok dan menunjuk salah seorang umat untuk memimpin ibadat dalam kelompok-kelompok itu. Begitu juga pelayanan umat di stasistasi ditingkatkan. Pastor Paroki sering bermalam di stasi-stasi untuk memberikan dorongan kepada pimpinan stasi agar lebih besar peranannya.

Peran umat sebagai anggota Persekutuan Umat Allah yang Kudus merupakan perwujudan gereja, Tubuh Mistik Kristus (realisasi hasil Konsili Vatika II). Dampak dari peristiwa G.30 S/PKI adalah pertumbuhan umat yang meningkat, pada tahun 1966 tercatat jumlah permandian 311 orang dan tahun 1967: 262 orang.

Pada tahun 1967 Pater E. Somohardjono, M.S.C. kembali lagi ke Cilacap. Pewartaan dan pelayanan para pendahulunya dilanjutkan. Madjakkat (Dewan Paroki) diketahui Ir. Sarwadi. Peranan umat dalam kelompok-kelompok diintensifkan dikembangkan. Peluang untuk menjadi rasul-rasul awam banyak diberikan kepada umat. Karena jumlah umat di Kota ± 2.000 orang tidak mungkin tertampung di gereja pada Misa hari Minggu, dengan restu dan dukungan Keuskupan, Pater E. Somohardjono, M.S.C. merencanakan membangun gereja di Jl. A. Yani No. 23. Secara teknis pembangunan ini ditangani oleh Petrus Ong Hian Kie, Ketua Kelompok V ketika itu (Lingkungan St. Petrus sekarang), arsitekturnya dirancang oleh seorang petugas suka relawan dari Purwokerto.

Pater P.J.C. Netto, M.S.C. pada awal tahun 1967 menggantikan Pater E. Somohardjono, M.S.C. sebagai pastor Paroki. Pater baru ini berasal dari Brazil. Inisiatifnya adalah dalam kegiatan : Wanita Katolik, olah raga Mudika, Pasukan Ekaristi Kudus, Legio Maria dan Putra Altar. Legio Maria dan Putra Altar merupakan prioritas utamanya. Putra Altar sering diajak rekreasi. Kegembiraan dan keakraban sangat kelihatan antara putra altar, legioner dan pastor paroki. Kegiatan Muda Mudi Katolik (Mudika) cukup dikenal baik di lingkungan gereja maupun di luarnya lewat kesenian Katolik yang dipimpin oleh Narposaroso, karyawan BNI yang masih muda. Drama, tarian, koor Mudika sering diundang untuk pentas di Pendopo Kabupaten atau di tempattempat umum lainnya.

Pembangunan umum gereja yang berkapasitas lebih kurang 6.500 orang dilengkapi pastoran di belakang gereja dilanjutkan. Pembangunan itu selesai pada tahun 1969. Pada tanggal 26 Desember 1969 bangunan baru yang sudah selesai itu diberkati dan diresmikan oleh Mgr. W. Schoemaker, M.S.C. dihadiri oleh Bupati Cilacap, S. Kartabrata dan para pejabat lainnya. Adapun nama pelindung gereja yang baru itu adalah Santo Stephanus.

Awal tahun 1970-an kondisi keamanan di Cilacap sudah stabil dan pemerintah melaksanakan Pelita I. Kondisi yang aman memungkinkan lancarnya pelayanan kepada umat paroki, lebih-lebih ke stasi-stasi. Hal ini dikarenakan sarana jalan mulai dibangun, terutama jalan antara Cilacap dan Majenang. Hubungan antara Gereja dan Pemerintah terjalin dengan baik. Untuk pertama kalinya Pemerintah Orde Baru melaksanakan Pemilihan Umum I pada tahun 1971. Umat Katolik menyalurkan aspirasi politiknya lewat Golkar dan PDI. Paroki Hati Kudus Yesus Cilacap setelah dibangunnya gereja yang baru dan mengambil perlindungan kepada Santo Stephanus, nama parokinya juga dirubah selaras nama pelindung gerejanya, yaitu Paroki Santo Stephanus Cilacap. Saat ini yang menjabat sebagai Pastor Paroki adalah Pater P.J.C. Netto, M.S.C. asal Brazilia. Beliau sangat aktif mengadakan kunjungan keluarga. Mula-mula beliau sendirian di Cilacap, selanjutnya dibantu oleh Pater R. Mortens, O.S.C.. Pertambahan jumlah permandian cukup besar, pada tahun 1970 sebanyak 150, tahun 1971 : 188 dan tahuun 1972: 255 orang. Karena jumlah imam masih terbatas, lagi pula keadaan transportasi yang masih sulit maka pelayanan umat untuk stasi Majenang, Wanareja dan Dayeuhluhur dilayani para imam dari Paroki Tasikmalaya. Para imam dari Cilacap melayani umat di kota dan stasi: Kawunganten, Sidareja dan Lebeng.

Pada tahun 1972 terjadi peralihan penggembalaan Paroki Cilacap dari Misionaris M.S.C. ke Misionaris O.M.I. Peralihan ini diawali oleh adanya kunjungan Mgr. W. Schoemaker, M.S.C. ke Australia. Ketika itu Mgr. W. Schoemaker, M.S.C. bertemu dengan Provinsial O.M.I. untuk wilayah Australia dan mengundang Misionaris O.M.I. untuk berkarya di Indonesia. Disepakati bahwa Bapak Uskup akan mengadakan satu paroki yang terletak di pantai dan paroki lain yang berdekatan.

Pada awal tahun 1972 Pater Yohanes Kelvin Casey, O.M.I. menuju ke Purwokerto. Mula-mula ditawari Paroki Tegal, tetapi dengan beberapa pertimbangan akhirnya memilih pantai selatan Jawa, yaitu Paroki Santo Stephanus Cilacap dan Paroki Santo Yosef Purwokerto Timur. Pengalaman awal Pater Yohanes Kelvin Cassey, O.M.I. adalah pastoral dan misioner di Afrika, masa mudanya adalah atlit rugby, tinju dan perenang. Kendati olah raga yang menjadi kesenangannya adalah olah raga keras, tetapi sikapnya lembut, tutur katanya halus dan punya sifat kebapakan. Kotbahnya menarik umat. Frater David Shelton, O.M.I dikirim oleh Provinsial O.M.I. Australia untuk membantu Pater Yohanes Kelvin Casey, O.M.I., sebab jumlah umat sudah cukup banyak dan tersebar di wilayah yang cukup luas dan medan yang sulit. Adanya dua imam di Cilacap menyebabkan pelayanan umat di Stasi Majenang tidak dilayani lagi oleh imam dari Paroki Tasikmalaya, tetapi diserahkan kembali kepada para imam di Cilacap.

O.M.I. (Oblate Maria Immaculata) yang didirikan oleh Eugenius de Mazenod di Perancis (1816) bersemboyan: “Ia telah mengutus aku untuk menyampaikan kabar baik kepada kaum miskin”. Dengan semboyan Pater O.M.I. pertama di Indonesia, sebab para pater O.M.I. dari Perancis yang berkarya di Kalimantan Barat dan para pater O.M.I. dari Italia yang berkarya di Kalimantan Timur baru mulai pada tahun 1976.

Pada bulan September 1973 Pater Chalie Patrick Burrows, O.M.I. dari Australia asal Selandia datang di Cilacap. Di paroki Pater David Shelton, O.M.I. di Australia, Pater Charlie Patrick Burrows, O.M.I. dikenal sebagai seorang misionaris yang kreatif dan bersemangat.

Program-program Paroki Santo Stephanus yang sudah dirintis oleh Pater Yohanes Kelvin Casey, O.M.I. dengan adanya tambahan tenaga baru dapat dilaksanakan dengan lancar.

Persekolahan dan Organisasi

Pada tahun 1962 untuk kegiatan ekstrakurikuler SD dan SMP Pius membentuk Gugus Depan Pramuka sebagai wadah kegiatan kepanduan yang baru. Para perintis gerakan ini antara lain Y. Saptadi, Y. Kadara untuk Gugus 10 dan 11.

Pada tahun 1963 dan 1964 kondisi ekonomi memburuk setelah Irian Barat berhasil direbut dari tangan Belanda dan selanjutnya dilancarkan konfrontasi mengganyang Malaysia. Kegiatan politik makin meningkat di kalangan partai-partai : PNI, PKI dan NU. Di kalangan Paratai Katolik yang dipimpin oleh Y. Gondoyudrasono, Ongkokusumo, didukung Pemuda Katolik asuhan Ch. Wismoutoyo, aktif mengadakan kaegiatan intern dan ekstern.

Pada akhir tahun 1964 dibentuk S.S.V. (Serikat Santo Vincentius) yang bertempat di salah satu ruang di samping pastoran. Dalam melaksanakan kegiatan Pater P.C. van Bilsen, M.S.C. dibantu oleh Y. Gondroyudrasono, Ign. Soewignyo dan bidan Karni (puteri pendeta Daruadi). S.S.V. melayani kesehatan, membantu membuat rumah bagi orang yang tidak mampu di atas tanah eigendom yang letaknya ada di belakang pastoran.

Ketika terjadi pemberontakan G.30 S/PKI, situasi di Cilacap menjadi tegang Pemuda Katolik mengadakan piket untuk menjaga keamanan para tokoh Gereja secara bergantian di bawah koordinasi Ch. Wismoutoyo.

PERIODE 1974 SAMPAI SEKARANG

Gereja


Pada periode ini perkembangan gereja lebih difokuskan pada usaha-usaha sosial karitatif dan pendidikan. Perkembangan iman ditandai oleh pertumbuhan jumlah stasi. Di Cilacap barat, Stasi Majenang berkembang ke wilayah Wanareja, Mergo dan Dayeuhluhur. Stasi Sidareja berkembang ke Cipari, Kedungreja, Gandrungmangu, Cisumur, Patinan. Stasi Kawunganten berkembang ke daerah Bringkeng, Gregu, Ujungmanik, Kampung Laut, Mentasan dan Stasi Lebeng berkembang ke daerah Maos, Adipala, Doplang dan Adiraja. Bila jumlah umat pada awal tahun 1970 tercatat kurang lebih 3.000 jiwa maka pada awal tahun 1980 tercatat 7.869 jiwa.

Antara tahun 1970-1980 wilayah Kabupaten Cilacap dipimpin oleh Bupati S. Kartabrata, kemudian digantikan oleh R.Y.K. Mukmin. Hubungan gereja dengan pemerintah daerah terjalin cukup baik. Periode ini ditutup dan ditandai dengan digiatkannya gerakan-gerakan kegerejaan. Dan sebagai hadiah buat anggota Dewan Paroki, mereka sebagai pasangan suami isteri dikirim untuk mengikuti Acara Akhir Pekan ME (Week End Marriage Ecounter).

Pada awal tahun 1980 jumlah umat Katolik Paroki Santo Stephanus Cilacap kurang lebih 8.000 orang dengan dua orang imam, yaitu Pater Kelvin Cassey, O.M.I. dan Pater Charlie Patrick Burrows, O.M.I. Pada saat Bupati Kepala Daerah Tingkat II Cilacap dipegang oleh Pudjono Pranyoto hubungan gereja dengan pemerintah daerah sangat baik, usaha-usaha YSBS di bidang pembangunan dengan sistem padat karya dapat berjalan lancar berkat dukungan pemerintah. Pembangunan jalan dari desa Bojong-Bringkang-Gruya-Ujungmanik sampai medekati desa Panikel dapat diselesaikan. Kampung laut mulai tampak menjadi daerah pertanian dan peternakan di samping sebagai daerah perikanan.

Dalam awal periode ini Ketua Dewan Paroki dijabat oleh Slamet, pegawai pertambangan pasir besi, yang kemudian karena pindah ke Jakarta, jabatannya dilanjutkan oleh Anton Soepratomo, karyawan PJKA sampai 1982. Peranan umat Katolik Paroki Stephanus Cilacap mulai tampak dalam keikutsertaan mereka guna mewartakan kabar gembira sesuai dengan hasil Konsili Vatikan II yang memberikan kesempatan yang luas kepada seluruh anggota gereja. Ini kelihatan pada aktivitas umat dalam karya-karya pelayanan gereja. Usaha-usaha inkulturasi Gereja Katolik Indonesia mendapat prioritas dalam mewujudkan persekutuan umat Allah yang Kudus.

Untuk pertama kalinya pada tahun 1982 Paroki Santo Stephanus Cilacap digunakan untuk tahbisan imam. Romo Susanto Adi, Pr. ditahbiskan menjadi imam oleh Mgr. P.S. Hardjosoemarto, M.S.C. dalam suatu Misa Konselebrasi dengan iringan gending-gending Jawa yang anggun. Romo Susanto Adi, Pr. yang dekat dan akrab dengan Mudika ini, tidak lama kemudian ditugaskan di Paroki Tegal, Purbalingga dan sekarang di Paroki Santo Yosef, Purwokerto Timur.

Pada periode antara tahun 1982-1985 untuk kedua kalinya Ir. Y. Sarwadi menjabat sebagai Ketua Dewan Paroki Santo Stephanus, Cilacap. Pastor parokinya masih Kelvin Johanes Cassey, O.M.I. dibantu oleh Pater Charlie Patrick Burrows, O.M.I. Lingkungan/kelompok dikembangkan dari enam menjadi dua belas lingkungan/kelompok.

Pada periode antara tahun 1985-1988 yang menjadi Ketua Dewan Paroki Santo Stephanus Cilacap adalah Ign. Soewignyo, Pastor Parokinya adalah Pater Charlie Patrick Burrows, O.M.I. dibantu oleh Pater Pat Mac Anally, O.M.I. karena Pater Kelvin Johanes Casey, O.M.I. pindah ke Paroki Santo Yosef, Purwokerto Timur.

Pada tahun 1985 untuk kedua kalinya Gereja Paroki Santo Stephanus Cilacap digunakan untuk tahbisan tiga imam baru oleh Mgr. P.S. Hardjosoemarto, M.S.C. Keistimewaan tahbisan ini adalah salah seorang imam baru yang ditahbiskan itu adalah imam O.M.I. pribumi pertama, yang menyelesaikan pendidikannya di Seminari O.M.I., Condongcatur, Depok, Sleman, Yogyakarta. Tahbisannya dengan Misa Konselebrasi dan diikuti para imam dari paroki-paroki di Keuskupan Purwokerto dan para imam O.M.I. di Indonesia serta beberapa imam dari Australia. Selain Pater G. Basir Karimanto, O.M.I. yang ditahbiskan adalah Pater Sugun, M.S.C. dan Pater Yatno Yuwono, M.S.C. Misalnya dengan inkulturasi gaya Jawa yang megah dilanjutkan dengan resepsi meriah di Aula SMA Yos Sudarso, mengungkapkan rasa syukur dan kegembiraan umat atas tahbisan para imam baru itu, terutama lahirnya seorang imam baru O.M.I. pribumi pertama di Indonesia.

Untuk menampung jumlah umat yang selalu bertambah dibangun tempat ibadah sesuai dengan meningkatnya kebutuhan umat. Pada tahun 1983 jumlah umat Katolik di Paroki Santo Stephanus Cilacap sebanyak 9.430 orang. Dari jumlah itu sekitar 4.500 orang tinggal di kota, sedang gedung gereja yang ada hanya berkapasitas sekitar 650 orang. Karena jumlah imam hanya ada dua orang, yang satu melayani Misa di Paroki pada Sabtu sore dan Minggu pagi dan satu lagi melayani di Stasi-stasi. Gedung gereja kemudian direhab, dengan kapasitas lantai bawah 1.300 orang, dan bila dengan balkon dan teras depan mampu memuat 2.000 orang. Usaha pembangunan dilaksanakan secara bertahap dan sampai saat ini sudah berjalan selama sepuluh tahun dan belum selesai. Dana yang digunakan berasal dari umat lewat sumbangan dan kolekte ke-2 setiap Misa Sabtu dan Minggu, serta bantuan dari para donatur.

Di stasi-stasi juga dibangun gereja-gereja dan kapel-kapel seperti di Kawunganten, Sidareja, dan beberapa stasi kecil lainnya yang membangun kapel secara swadaya. Selain perkembangan kegiatan pelayanan umat dalam hidup menggereja, pembangunan gedung gereja dan karya-karya misioner dari O.M.I. dan PBHK, Paroki Santo Stephanus Cilacap juga mengembangkan wilayahnya. Pada tahun 1986 Stasi Maos, Adipala, Doplang mulai berkembang. Di desa Bunton, Adipala dibangun sebuah kapel untuk stasi itu. Beberapa tahun kemudian wilayah Kroya yang semula merupakan wilayah Paroki Gombong, dijadikan bagian dari wilayah Paroki Santo Stephanus Cilacap, menyusul wilayah Sampang, sehingga wilayah Paroki Santo Stephanus Cilacap meliputi seluruh wilayah Kabupaten Cilacap.

Pada tahun 1988 F.X. Soemarsono menggantikan Ign. Soewignyo menjadi Ketua Dewan Paroki Santo Stephanus Cilacap. Pada tahun 1989/1990 Gema Sinode Diocesan bergema di seluruh Paroki Santo Stephanus Cilacap. Persiapan-persiapan untuk menyongsong Sinode yang akan diselenggarakan oleh Keuskupan Purwokerto telah melibatkan seluruh umat di Paroki Santo Stephanus, baik dalam pertemuan umat lingkungan, sub stasi dan di tingkat paroki.

Masukan yang diperoleh dari berbagai pertemuan untuk Pastor Paroki dan Dewan Paroki dibawa ke Sinode dan hasil dari Sinode itu selanjutnya disampaikan kembali kepada seluruh umat paroki. Pastor dan Dewan Paroki secara bertahap melibatkan umat untuk melaksanakan karya misioner. Pembangkitan semangat misioner di kalangan umat dapat ditempuh dengan menggunakan berbagai wadah yang sudah ada.

Pada pertengahan tahun 1990 Paroki Santo Stephanus digunakan lagi untuk pentahbisan imam dari Kongregasi O.M.I., yaitu Pater Nicolas Setyawijaya, O.M.I., kelahiran Surakarta, dan tempat pentahbisannya di Gereja Santo Bernardus, Kawunganten. Upacara pentahbisan pada perayaan Misa Kudus, dipimpin oleh Mgr. P.S. Hardjosoemarto, M.S.C. dihadiri oleh para imam dari Kongregasi O.M.I. dan para imam dari paroki-paroki tetangga di sekitar Cilacap. Umat yang menghadiri pentahbisan itu terdiri dari utusan Dewan Paroki tetangga, umat dari Paroki Santo Stephanus, stasi-stasi, utamanya umat dari Stasi Kawunganten memenuhi gedung dan halaman Gereja Santo Bernardus Kawunganten. Umat Stasi Kawunganten sudah mengenal Pater Nicolas Setyawijaya ketika melaksanakan Tahun Orientasi Pastoralnya di situ. Umat tampak senang pada acara makan bersama Bapak Uskup dan seluruh undangan sebelum upacara resmi berlangsung. Rangkaian acara pentahbisan ini menjadi kebanggaan khusus dan memberikan suatu kenangan indah yang belum pernah dialami sebelumnya, khususnya umat Stasi Kawunganten yang sebagian besar dari mereka hidup secara sederhana.

Mulai tahun 1991 Yon Pw. Ponto’an menjadi Ketua Dewan Paroki. Kemampuannya dalam bidang pastoral, liturgi dan masalah-masalah kegerejaan lainnya sangat baik. Ia berusaha meningkatkan kemampuan umat dan para rasul awam untuk dapat mengikuti perkembangan, memperluas pengetahuan dan wawasan, dan cara kerja menurut Konsili Vatikan II secara benar. Nama-nama para santo dan santa mulai dibudayakan untuk menjadi nama pelindung lingkungan, stasi dan sub-sub stasi agar keteladanan para santo dan santa itu dikenal dan yang lebih penting: dihayati oleh umat. Program kerja Dewan Paroki dan seksi-seksinya dikongkritkan. Dengan gigih Ketua Dewan Paroki memperjuangkan terwujudnya ide-ide, meskipun dalam pelaksanaannya masih memerlukan ketekunan, waktu dan kerja keras.

Dalam waktu kurang lebih delapan tahun terakhir Kongregasi O.M.I. telah melahirkan para imam pribumi. Berturut-turut setelah Pater Gregorius Basir Karimanto, O.M.I., Pater Franciscus Asisi Rumiyanto Goa Seputra, O.M.I., Pater Franciscus Xaverius Sudirman, O.M.I., Pater Nicolas Setyawijaya, O.M.I. dan pada tanggal 5 Oktober 1992 ditahbiskan tiga orang imam baik di Gereja Santo Stephanus, Cilacap oleh Mgr. P.S. Hardjosoemarto, M.S.C. Dua dari tiga imam baru itu kakak beradik, yaitu Pater Blasius Sukardjo, O.M.I. dan Pater Lazarus, O.F.M.. Seorang lagi adalah putra asli Cilacap, Robertus Boedhy Prihatma, O.M.I. (putra dari Bapak dan Ibu Mac. Sutarjono).

Dalam rangkaian yubileum 25 tahun Gereja Santo Stephanus Cilacap, tanggal 26 Desember 1994 dan yubelium 25 Tahun imamat Pater Charlie Patrick Burrows, O.M.I., Dewan Paroki telah melaksanakan kegiatan yang melibatkan seluruh umat, mulai dari kanak-kanak, remaja, mudika, pasangan suami isteri, Santa Monica, Kelompok Persekutuan Doa, umat lingkungan dan stasi-stasi serta penerbitan buku. Untuk keperluan tersebut di muka, usulan yang rinci menyangkut tata pelaksanaan, waktu dan petugasnya lebih dulu sudah disebarluaskan, sehingga pelaksanaannya dapat dikontrol dengan baik. Di dalam usulan itu juga sudah dicantumkan penghayatan akan makna Tahun Keluarga 1994, Mgr. P.S. Hardjosoemarto, M.S.C. pada tahun 1994 memberkati dan melantik 72 orang prodiakon Paroki dan stasi di Gereja Stasi Santo Yosef Sidareja.

Pada tahun 1994 terjadi tiga peristiwa yang sangat menggembirakan umat Paroki Santo Stephanus :

1) adanya imam baru, Pater Dominicus Pareta, O.M.I., kelahiran Flores Timur, yang ditahbiskan di Cengkareng Jakarta;

2) Berkat kepausan yang diberikan oleh Bapa Suci, Paus Yohanes Paulus II, kepada para imam, dewan paroki, dan seluruh keluarga umat Katolik Paroki Santo Stephanus, Cilacap, bertepatan dengan Penutupan Novena Bunda Maria yang diselenggarakan selama sembilan bulan berturut-turut pada setiap tanggal delapan. Novena itu dibuka pada tanggal 8 April 1994 dan ditutup pada tanggal 7 Desember petang dengan Misa Konselebrasi dipimpin oleh Pater Yohanes Kelvin Casey, O.M.I. dan diawali dengan prosesi lilin oleh peserta dan SMP Pius ke gereja;

3) Tetap sehari sesudah perayaan Hari Natal 1994, 26 Desember 1994 diselenggarakan Misa Konselebrasi dilanjutkan dengan Resepsi Umat dalam rangka menyambut Yubelium 25 tahun Gereja Santo Stephanus dan sekaligus Yubelium 25 tahun imamat Pater Chalie Patrick Burrows, O.M.I. yang telah berkarya selama 21 tahun di Paroki Santo Stephanus.

Persekolahan

Usaha gereja di bidang pendidikan lewat YSBS (Yayasan Sosial Bina Sejahtera) mulai dikembangkan. Bangunan pastoran lama yang mempunyai halaman luas di Jl. A. Yani No. 54, direhab dan dibangun sebuah SMA dengan nama SMA Yos Sudarso pada tahun 1977, kemudian diperluas dengan membeli tanah di samping dan belakangnya.

Pada tahun 1979 Drs. Budidharmakusuma pindah ke Semarang dan untuk memimpin SMA Yos Sudarso, Cilacap dipercayakan kepada Ir. J. Sarwadi sebagai Kepala Sekolah. Sementara itu Perguruan Pius yang dikelola suster-suster PBHK berjalan makin mantap dan mutunya baik. TK, SD, SMP menjadi sekolah favorit masyarakat, dan tidak sedikit pejabat yang menyekolahkan putera-puterinya di sekolah Pius itu. Perkumpulan Santa Monica adalah wadah kegiatan bagi para janda Katolik yang sudah mulai sejak tahun 1982 diresmikan pada tahun 1985.

Pater Charlie Patrick Burrows, O.M.I. juga mengembangkan pendidikan dan kesehatan. Di stasi-stasi mulai didirikan sekolah dan Balai Pengobatan. Di stasi Majenang didirikan Balai Pengobatan, SMP, SMEA, dan kemudaan SMA dengan nama Yos Sudarso. Di Stasi Sidareja didirikan TK, SD, SMP dan SPMA (Sekolah Pertanian Menengah Atas). Di Stasi Gandrungmangu di desa Cisumur didirikan TK dan SMP. Di Stasi Kawunganten didirikan TK, SMP dan SMEA. Di Jeruk Legi : SMP dan SMA, sedang di Kroya TK. Untuk di kota Cilacap sendiri didirikan TK, SD, SMP dengan nama Maria Immaculata, SMA Yos Sudarso dan Akademik Maritim Nasional (AMN) yang bernaung di bawah Yayasan yang dipimpin oleh Mgr. P.S. Hardjosoemarto, M.S.C.

Organisasi-organisasi Sosial

Tahun 1974 adalah awal keikutsertaan Paroki Santo Stephanus Cilacap dalam membangun daerah-daerah miskin di daerah terisolir dan transportasinya sulit bersama-sama dengan pemerintah. Slogan yang digunakan adalah Promotio Yustitiae (Menegakkan Keadilan).

Benih firman dan iman memang mempunyai bukti nyata dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya dalam bidang sosial ekonomi. Menegakkan keadilan dapat mencakup seluruh aspek kehidupan. Gereja tidak hanya melayani kaum beriman saja, tetapi juga semua dan siapa saja tanpa membedakan agama dan keyakinannya, semua orang berhak memperoleh perlakuan secara adil demi tegaknya keadilan itu sendiri.

Dengan makin luasnya usaha-usaha bantuan gereja kepada masyarakat maka pada tahun 1976 dibentuklah Yayasan Sosial Bina Sejahtera (YSBS) dengan susunan pengurus:

Ketua : Drs. Budidharmakusuma
Ketua I : Ir. J. Sarwadi
Ketua Pelaksana : Pater Charlie Patrick Burrows, O.M.I.
Sekretaris : Y. Saptadi
Bendahara : Ny. Siem Siang Thien
Anggota : Ign. Widi Suwarno

Dengan dibentuknya YSBS hubungan formal dengan pemerintahan dan donatur dari dalam dan luar negeri dapat berjalan lebih lancar. Untuk meningkatkan dan memperlancar pelayanannya, YSBS memperbanyak jumlah sarana yang diperlukan seperti sarana transportasi, gudang, kantor dan sebagainya. Bekas bangunan gereja lama digunakan untuk kantor, dan di belakang gereja dibangun gudang. Banyak tenaga kerja yang diserap oleh YSBS baik dari kalangan orang Katolik maupun bukan Katolik.

Usaha-usaha yang ditangani YSBS makin berkembang, misal pembuatan jalan-jalan untuk membuka daerah terpencil, pembangunan jembatan, sarana air bersih, tambak, tanggul penahan banjir, rumah-rumah untuk membantu orang-orang miskin dan lain-lainnya yang dikerjakan dengan padat karya, dapat berjalan lancar dan hasilnya dapat dirasakan secara langsung.

Di bidang kesehatan juga terjadi perkembangan yang cukup berarti. Poliklinik Santo Yusup yang berdiri sejak tanggal 8 September 1966, pada tahun 1972 dipindah ke ruang tamu susteran dan dikelola oleh Suster Godeliva. Pada tahun 1974 Poliklinik Santo Yusup membuka pos baru di desa Ujunggagak, Kampung Laut.

Klinik bersalin Santa Maria yang berdiri pada tanggal 25 Maret 1969 dan dipimpin oleh Suster Theresia, pada tahun 1976 dipindah ke bangunan baru di sebelah kiri belakang susteran. Bangunan yang cukup bagus itu dikerjakan oleh seorang pejabat Pemda, warga Katolik, Drs. R. Soejoto yang sekarang berdomisili di Yogyakarta. Sebagai pengawas teknis medis, Poliklinik St. Yusuf dan Klinik Bersalin Santa Maria adalah dr. Nugroho yang sekarang berkarya di Rumah Sakit Santo Carolus, Jakarta.

Untuk pelayanan kesehatan sejak tahun 1976 dirintis usaha Keluarga Berencana Alamiah (KBA) yang diprakarsai oleh Pater Petrus, O.M.I. Dengan dibantu oleh tenaga-tenaga yang terdidik secara khusus, propaganda pelayanan KBA yang direstui Vatikan disebarluaskan ke wilayah Cilacap, terutama stasi-stasi termasuk warga bukan Katolik.

Untuk meningkatkan pendapatan masyarakat YSBS membentuk kelompok-kelompok usaha bersama yang biasa disebut UP2K (Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga). Bimbingan teknis tentang koperasi diberikan kepada mereka untuk melaksanakan usaha koperasi. Bagi yang memerlukan modal diberi pinjaman oleh YSBS dan dikembalikan secara mengangsur.

Sejak tahun 1980 pengiriman pasangan suami-isteri untuk mengikuti Acara Akhir Pekan (Week End) ke Girisonta-Semarang; Sangkal Putung-Klaten dan Hening Griya-Baturaden selalu meningkat, rata-rata setiap tahunnya tidak kurang dari 50 pasang. Sekembalinya dari mengikuti Week End ME, pada umumnya mereka makin bersemangat untuk menjadi rasul-rasul awam dalam kegiatan kegiatan. Selain lewat Gerakan ME, pembinaan umat di Paroki Santo Stephanus, Cilacap berkembang lewat gerakan-gerakan seperti :

1) Gerakan Choice

Gerakan ini dimulai sejak tahun 1984, untuk membina muda-mudi yang belum menikah/single adulty. Rata-rata setiap tahun diadakan sebanyak empat kali Week End dengan mengambil tempat di SMP/SMA Yos Sudarso Jeruk Legi. Tim pembimbingnya adalah Pater Charlie Patrick Burrows, O.M.I. dibina oleh para pesutri, tim dan muda-mudi tim yang telah dipersiapkan. Banyak Pasutri dan muda-mudi Katolik aktif melibatkan diri dalam pelayanan Gerakan Choice ini. Peserta Choice tidak hanya khusus dari Paroki Cilacap saja, tetapi juga mereka yang datang dari berbagai paroki yang berasal di wilayah Keuskupan Purwokerto, bahkan ada juga peserta yang berasal dari Jakarta, Semarang dan Yogyakarta, serta beberapa tempat lainnya. Setiap angkatan peserta Week End Choice di Cilacap berkisar antara 100-200 orang. Ini berbeda dari penyelenggaraan Week End Choice di tempat lain yang pesertanya dibatasi maksimal 45 orang.

2) Persekutuan Doa Kharismatik

Atas dorongan Pastor Paroki dan diprakarsai oleh A.F. Bambang Riyanto dan M. Hardiyanto, pada pertengahan tahn 1984 di Paroki Santo Stephanus Cilacap diadakan retret awal Kharismatik, dibimbing oleh Romo Noto Budyo, Pr. dan anggota tim lainnya dari Semarang. Bersamaan dengan retret awal ini Dewan Paroki mengirimkan tujuh orang tokoh umat lainnya untuk mengikuti retret awal di Ngadiroso, Malang. Sejak saat itu Persekutuan Doa Kharismatik mulai setiap hari Selasa sore di gereja, bagi para umat yang mengikuti retret awal di Malang, Semarang, Klaten, Cilacap dan mengadakan kegiatan pelayanan lainnya.

Selain kegiatan-kegiatan yang sudah disebutkan di atas, masih ada beberapa kegiatan pembinaan umat dan kerasulan lain, seperti: Week End Antiokia, pembinaan untuk remaja usia SLTA; Week End Roses, pembinaan bagi remaja usia SLTP; Sehabat Iman, usaha pendampingan oleh muda-mudi bagi anak-anak calon penrima komuni pertama; Perkumpulan Santa Monica, wadah kegiatan bagi para janda Katolik yang sudah dimulai sejak tahun 1982 dan diresmikan pada tahun 1985; Kegiatan Legio Maria kendati mengalami pasang surut tetapi tetap berjalan terus; Organisasi Asosiasi Maria Immaculata (AMMI) mulai dikembangkan pada tahun 1985. Gerakan ini mengadakan kegiatan doa dan mencari dana untuk mendukung usaha-usaha Misionaris O.M.I.

Sementara itu YSBS yang direktur pelaksanaannya adalah Pater Charlie Patrick Burrows, O.M.I. terus meningkatkan pelayanannya. Pater yang telah berpengalaman menangani karya-karya misioner lewat usaha peternakan, pertanian, UP2K, Padat Karya dan Perbaikan Gizi, mengembangkan usahanya di bidang pendidikan dan kesehatan.

Sumber : http://uniokecilpwkt.wordpress.com/mengenal-keuskupan-purwokerto/dekenat-selatan/paroki-cilacap-2/
Gambar : http://omkcilacap.co.cc

baca selanjutnya...

Kamis, 29 Desember 2011

Paroki Pandu dalam Lintasan Sejarah

Gereja Pandu mulai dibangun pada tahun 1935, tepatnya pada tanggal 10 Mei 1935, ditandai dengan upacara peletakan batu pertama oleh Mgr. J. Goumans OSC. Detik-detik bersejarah itu diabadikan pada prasasti yang kini terpancang pada dinding pintu utama Gereja Pandu.

Sebelumnya umat katolik di daerah Pandu hanya memiliki sebuah gereja darurat yang terletak di Burgermeester Coopweg No 23 ( sekarang jalan Pajajaran ). Sejak tanggal 3 Juli 1934 Pastor J. de Rooij OSC menetap di sana. Beliau pula yang mempersembahkan misa yang pertama di sana pada tanggal 5 Agustus 1934.

Pembangunan Gereja Pandu terus dilaksanakan dengan mendahulukan pembangunan aula dan pastoran sehingga beberapa waktu kemudian, pastor sudah dapat tinggal di pastoran. Akhirnya, pada tanggal 17 November 1935 Gereja Pandu diresmikan dan diberkati oleh Mgr. J. Goumans OSC. Sampai sekarang Gereja Pandu tetap berdiri dengan megah dan anggun serta menjadi salah satu bangunan yang dilindungi (heritage).

PERKEMBANGAN PAROKI PANDU DARI MASA KE MASA

1. 1935 – 1942 : Masa jabatan Pastor J. de Rooij OSC
Pada masa ini yang menjabat Pastor Paroki adalah Pastor J.de Rooij OSC. Pada tahun 1938 datang Pastor J. Scharf OSC dan Pastor Th. Scheerder OSC. Pada tahun 1940 kedua pastor itu diganti oleh Pastor A. Vermeulen OSC dan Pastor C. Mooy OSC.

Ketika itu sudah ada pendidikan misdinar dan kelompok koor untuk mengisi misa. Jumlah umat katolik pada tanggal 30 Juni 1941 tercatat 1.640 jiwa, sebagian besar terdiri dari orang Eropa.

Pada saat Pastor J. de Rooij OSC cuti, Gereja Pandu dibimbing oleh Pastor A. v. Dijk OSC, Pastor C. v. Dal OSC dan Pastor J. v. De Pol OSC.

2. 1942 – 1945 : Jaman Jepang
Pada masa tersebut Indonesia sedang berperang melawan Jepang. Keadaan ini mempengaruhi kehidupan gereja. Pastor – pastor masuk Kamp Tawanan Jepang dan hanya Pastor H. Reichert OSC yang bebas. Beliaulah yang melayani umat katolik di Keuskupan Bandung seorang diri.

Selama masa pendudukan Jepang, Suster Hildegard OSU bersama dua orang rekannya dari Ursulin menjaga dan merawat Gereja Pandu agar tidak dirusak oleh Jepang. Selain itu pastoran dijadikan asrama anak yatim piatu putri.

3. 1945 – 1950 : Masa jabatan ke dua Pastor J. de Rooij OSC
Sesudah Indonesia merdeka, Pastor J. de Rooij OSC, Pastor A. Vermeulen OSC, Pastor C. Mooy OSC dan Pastor J. v. De Pol OSC kembali ke Pandu. Situasi belum stabil, banyak pastor datang dan pergi silih berganti, diantaranya Pastor H. Wentholt OSC, Pastor B. J. Leenders OSC dan Pastor C. v. Schaik OSC.

Suatu saat Pastor J. de Rooij OSC mempunyai gagasan untuk membuka sekolah dasar dekat gereja. Setelah dua kali dicoba, ternyata gagal karena kurang tenaga yang profesional.

4. 1951 – 1958 : Masa Jabatan Pastor C. V. Schaik OSC
Pastor J. de Rooij OSC dan Pastor J. Lamers OSC diganti oleh Pastor C. V. Schaik OSC. Beliau pula yang melanjutkan usaha Pastor J. de Rooij OSC untuk mendirian sekolah. Pada tahun 1951 Taman Kanak Kanak mulai dirintis, dilanjutkan dengan Sekolah Dasar pada tanggal 1 Juli 1952. Usaha tersebut dibantu oleh Yayasan Salib Suci. Gedung sekolah ini diresmikan pada tanggal 17 Agustus 1955. selain itu, pada masa ini juga dibentuk Badan Hukum KERK EN ARM BESTUUR ( Badan Gereja Dan Amal ) yang mengurus harta milik gereja dan amal.

Sejak tanggal 27 Desember 1957 Pastoran Pandu mulai dijadikan biara dan rumah pendidikan calon pastor dan bruder OSC ( Seminari Tinggi ). Untuk itu, dibangunlah gedung dua lantai yang diberkati oleh Mgr Petrus Arntz pada tanggal 2 Januari 1962. Di biara Pandu inilah para calon imam OSC dibentuk secara intelektual, spiritual, sosial dan pastoral. Dengan diintegrasikannya rumah pendidikan para calon imam biarawan OSC di Paroki Pandu maka diharapkan pada calon imam OSC dapat belajar bukan hanya teori, tetapi juga melalui praktek dan interaksi dengan kehidupan umat sehingga pada saatnya mereka dapat menjadi imam-imam biarawan OSC yang siap melayani umat dijiwai oleh Spiritualitas Salib, hospitalitas, hidup komunitas dan kecintaan pada liturgi.

5. 1958 – 1963 : Masa jabatan Pastor B. J. Leenders OSC
Setelah masa jabatan Pastor C. V. Schaik OSC berakhir, Gereja Pandu dibimbing oleh Pastor B. J. Leenders OSC dibantu oleh Pastor Dohne OSC, Pastor Th. Kooster OSC dan Pastor A. v. Santvoort OSC.

Pastor B. J. Leenders OSC berinisiatif mendirikan Legio Maria, maka pada tanggal 14 Agustus 1958 didirikan Legio Maria presidium Bunda Berduka Cita yang anggotanya terdiri dari kaum bapak dan ibu. Kaum muda pun tidak mau ketinggalan, maka didirikan lagi presidium Bunda Kerahiman pada tanggal 26 Agustus 1959.

Pada tanggal 26 Februari 1959, Pastor J. de Rooij OSC meninggal dunia sebagai pastor Gereja Santo Paulus – Mohamad Toha. Pastor Dohne pun pindah dari Pandu dan diganti oleh Pastor H. Reichert OSC yang merintis pembentukan Badan Kesejahteraan Sosial untuk melayani mereka yang memerlukan bantuan dari gereja.

Tahun 1962, Gereja Pandu mendapat tambahan tenaga Pastor, yakni Pastor M. Sommers OSC dan Pastor J. Verhoeven OSC yang mendirikan Organisasi Wanita Katolik pada tahun 1962. Pada tahun ini, Paroki Pandu mulai dibagi menjadi 6 blok (leider), agar warga paroki mendapatkan pelayanan dan perhatian yang lebih intensif. Setiap blok (leider) dipimpin oleh seorang ketua yang berfungsi sebagai penghubung antara pastor dan umat.

Pastor B. J. Leenders OSC dipindahkan, maka Gereja Pandu kemudian dibimbing oleh Pastor H. Reichert OSC, Pastor J. Verhoeven OSC dan Pastor M. Sommers OSC.

6. 1964 – 1977 : Masa Jabatan Pastor H. Reichert OSC
Jabatan Pastor B. J. Leenders OSC diserahkan kepada Pastor H. Reichert OSC, yang dibantu oleh Pastor J. Hehenkamp OSC, Pastor C. Mooy OSC dan Pastor M. Sommers OSC.

Pada masa ini lahir lagi presidium Bunda Penebus (muda-mudi), Presidium Presidium Ratu Pecinta Damai (untuk remaja putri), Presidium Benteng Gading untuk remaja putra dan Presidium Rosa Mystica.

Umat merasakan perlu adanya Sekolah Lanjutan di Paroki Pandu. Oleh karena itu, dengan kerjasama Pihak Pangurus Yayasan Salib Suci, yang pada saat itu dipimpin oleh Bapak J. Mamusung dan Bapak A. Koesdarminta, didirikanlah Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang mulai berjalan pada tanggal 1 Januari 1967.

Pada masa ini, dibentuklah sebuah organisasi kerohanian yaitu Maria Congegasi (M ) di bawah bimbingan Pastor H. Reichert OSC. Kelompok – kelompok lain yang lahir pada masa ini :

- Team Misa Muda Mudi ( TM3 ) yang dibentuk oleh Pemuda Katolik Pandu merupakan kelompok koor.
- Dewan Paroki Pandu, yaitu badan yang membantu pastor dalam memajukan dan mengembangkan paroki.
- Kredit Union (CU), merupakan koperasi simpan pinjam untuk membantu umat di Paroki Pandu.
- Dana Santunan Kematian Paroki Pandu ( DSKPP ) adalah oganisasi yang dibentuk untuk membantu keluarga orang yang meninggal dengan memberi santunan kematian.
- Kelompok Tata Tertib Gereja yang bertugas menjaga ketertiban selama perayaan ekaristi di Gereja.
- Koor muda mudi SMP Pandu yang ditugaskan untuk mengisi acara misa.
- Koor Gita Remaja yang sebagian besar beranggotakan siswa-siswi SMA.

Pastor yang datang di Paroki Pandu masa ini adalah Pastor J. Schellekens OSC, Pastor H. Leemakers OSC, Pastor Leo Van Beurden OSC, Pastor Hans Van Doorn OSC, sementara pastor yang pergi dari Paroki Pandu ialah Pastor J. Verhoeven OSC, Pastor J. Hehenkamp OSC dan Pastor C. Mooy OSC.

Pastor Leo Van Beurden OSC mengubah sistem pembagian wilayah paroki Pandu dari 6 blok (leider) menjadi 27 lingkungan masing-masing diketuai oleh ketua lingkungan. Setiap lingkungan wajib mengadakan pertemuan rutin bulanan.

7. 1978 – 1982 : Masa Jabatan Pastor Hans Van Doorn OSC
Pastor H. Reichert OSC dipindah tugaskan ke Katedral sehingga jabatan kepala paroki diserahkan kepada Pastor Hans Van Doorn OSC dibantu oleh Pastor Leo Van Beurden OSC. Disamping itu ada dua pastor lain yang tinggal di Paroki Pandu yaitu Pastor Mari Rooijakkers OSC dan Pastor M. A. W. Brouwer OFM. Jumlah umat katolik pada tahun 1979 tercatat 3.991 jiwa. Kegiatan-kegiatan lain yang ada pada masa ini :

- Long March by Night yang ditujukan bagi muda mudi, bertujuan untuk menggali tema “Panggilan” . Kegiatan ini dirintis oleh Pastor Leo Van Beurden OSC.
- Aksi Donor Darah yang dilaksanakan oleh Pemuda Katolik Komisariat Pandu bekerja sama dengan Palang Merah Indonesia.
- Pekan Olah Raga Antar Lingkungan (PORAL) diprakarsai oleh Pastor Leo Van Beurden OSC, yang bertujuan untuk meningkatkan kekompakan umat Paroki Pandu melalui olah raga.
- Pagelaran Cantata, dipimpin oleh Bapak Ida Bagus Gede dalam rangka memperingati Santa Caecilia tahun 1982. Gereja Pandu adalah yang pertama mengadakan kegiatan Cantata.

Organisasi yang lahir pada masa ini adalah Presidium Penghibur Orang Berduka Cita dan organisasi bapak-bapak dengan namaPria Katolik Roh Kudus.

Bulan Oktober 1982, Pastor Hans Van Dorn OSC terpilih menjadi penasihat Magister General OSC sehingga beliau harus meninggalkan Paroki Pandu menuju Roma.

8. 1982 – 1983 : Masa Jabatan Pastor Leo Van Beurden OSC
Pastor Leo Van Beurden OSC memiliki banyak gagasan untuk mengembangkan Paroki Pandu, diantaranya adalah membentuk Badan Gereja dan Amal secara resmi dan menambah misa pada hari Minggu menjadi 5 kali termasuk misa Sabtu sore. Beliau juga menyarankan agar setiap lingkungan membentuk kelompok koor untuk mengisi misa.

Bulan Juli 1983 Pastor J. Souw Hong Goan OSC mulai membantu di Paroki Pandu, sementara Pastor Leo Van Beurden OSC cuti.

Pada tahun ini pula lahir presidium baru yaitu Presidium Bunda Rendah Hati untuk muda mudi di lingkungan Sukaraja – Komplek Husen Sastranegara. Kemudian dibentuk pula presidium khusus bagi para karyawan dengan pelindung Bejana Rohani.

9. 1984 – : Masa Jabatan Pastor J. Souw Hong Goan OSC
Kembali dari cutinya Pastor Leo Van Beurden OSC dipindahkan ke Katedral. Penggantinya adalah Pastor J. Souw Hong Goan OSC dibantu oleh Pastor Mari Rooijakkers OSC.

Disamping kesibukannya mengurus paroki, Pastor J. Souw Hong Goan OSC bertugas pula sebagai moderator Marriage Encounter Keuskupan Bandung dan sebagai ketua Panitia Kateketik Keuskupan Bandung.

Pastor J. Souw Hong Goan OSC berusaha melibatkan para anggota ME untuk berperan dalam gereja. Pada bulan Juli 1985 Pastor Herman Yoedianto OSC menjadi moderator Pemuda Katolik Cabang Bandung Komisariat Pandu serta membimbing organisasi kaum muda lain yang ada di Paroki Pandu. Sejak bulan September 1985 Pastor Agus Rahmat Widiyanto OSC datang membantu Paroki Pandu. Selain membantu Paroki Pandu, beliau bekerja sebagai dosen di Fakultas Filsafat & Teologi Unika Parahyangan.

10. Periode 1985-2009
Sejak tahun 1985-2009 para pastor yang melayani Paroki Pandu adalah Pastor Yosep Souw Hong Guan, Pastor Mari Roojakjers, Pastor Maman Suharman, Pastor Pastor Herman Judianto, Pastor Yosep Gandhi, Pastor Leo van Beurden, Pastor Y.C. Abu Kasman, Pastor Edwin Latumeten, Pastor FX. Rudiyanto Subagio. Sejak tahun 1999 Pastor Paroki dijabat oleh Pastor Agustinus Sudarno dan dibantu oleh Pastor Heri Kartono, Pastor Setevanus Budi Saptono, Pastor Rosaryanto, Pastor Laurentius Tarpin, Pastor Crispinus Budiman, Pastor Ignatius Purwo Suranto, Pastor Tarcisius Warhadi, Pastor Rob Stigter.

Pada akhir tahun 2008 umat paroki Pandu berjumlah 6308 orang yang terdiri dari 1514 kepala keluarga. Pada saat ini Paroki Pandu dibagi ke dalam 8 wilayah dan 41 lingkungan. Melalui pembagian ke dalam lingkungan-lingkungan, diharapkan umat dapat lebih merasakan persaudaraan dalam komunitas basis.

STASI – STASI

a. Gereja Caritas Wyata Guna
Di dalam kompleks Wyata Guna ada sebuah gedung gereja yaitu Gereja Caritas yang boleh digunakan oleh umat katolik dan Protestan. Gereja ini milik Wyata Guna dan didirikan dengan bantuan organisasi Christofel Blenden Mission – Jerman.

Sejak bulan Maret 1980, di Gereja Caritas diadakan misa terutama untuk umat katolik tuna netra yang tinggal di dalam kompleks Wyata Guna. Selain itu beberapa lingkungan yang dekat dengan Gereja Caritas dianjurkan untuk mengikuti misa di sana agar mengurangi kepadatan Gereja Pandu.

b. Gereja Santo Theodorus- Sukawarna
Bulan Agustus 1983 diperoleh izin pembangunan Gedung Serba Guna Sukawarna, yang sudah mulai direncanakan pada Januari 1980. Gedung Serbaguna di Sukawarna – Komplek Husen Sastranegara akan digunakan pula sebagai gereja bagi umat katolik di kompleks tersebut.

Gedung Serba Guna yang digunakan sebagai Gereja ini berkapasitas kurang lebih 350 orang. Pada awalnya Gereja Sukawarna merupakan stasi dari Gereja Pandu yang merupakan gabungan dari dua lingkungan yaitu Lingkungan Sukasari dan Sukaraja. Dewan Stasi Sukawarna dibentuk pada bulan Februari 1984. Gereja Sukawarna ini secara resmi diserahkan oleh Dewan Stasi Gereja Sukawarna kepada Paroki Pandu pada tanggal 16 Agustus 1985 serta diberkati oleh Bapak Uskup Mgr. A. Djajasiswaja Pr.

Pada saat ini stasi Sukawarna terdiri dari 12 lingkungan, yakni lingkungan Sukaraja, Cimindi Raya, Gunung Batu, Koprima-Boromeus, Maranatha, Cibogo, Mustang, Babakan Jeruk, Sukamulya, Mulyasari-Suka Damai, Resumi. Mulai tahun 2009, di Stasi Sukawarna dilayani misa harian pada tiap hari selasa dan kamis pagi.

Dinamika Pelayanan Pastoral Paroki Pandu

Paroki Pandu selalu berupaya untuk meningkatkan pelayanan pastoralnya baik pelayanan pastoral internal maupun pelayanan kepada masyarakat. Berkaitan dengan bidang pelayanan pastoral intenal, seperti Liturgi, Pewartaan, BIA/BIAR/ Kepemudaan dan Keluarga, dan kelompok basis, Paroki Pandu berusaha membuat liturgi yang menarik dan menyapa kehidupan umat. Dalam bidang liturgi, Paroki Pandu memiliki keunikan yakni memiliki Tim Misa Muda-Mudi (TM3) yang biasa melayani misa ketiga setiap bulan dengan menampilkan lagu-lagu liturgi dengan nuansa anak muda.

Mengingat jumlah frater Skolastikat OSC semakin berkurang dan pada tahun 2005 pendidikan para frater dipusatkan di Jalan sultan Agung 2, maka sejak tahun 2000 atas inisiatif Pastor Agustinus Sudarno OSC dibentuklah Pro Diakon Paroki Pandu yang bertugas membantu Pastor dalam membagi komuni kudus pada saat perayaan Ekaristi, (yang sebelumnya dilayani oleh para frater), membawa komuni kudus kepada orang-orang sakit dan melayani penguburan orang meninggal. Pada saat dibentuk ada sekitar 30 pro diakon yang dilantik oleh Bapak Uskup Bandung, Mgr. Alexander Djajasiswaja, Pr.

Sejak tahun 2007, setiap hari Senin, Rabu dan Jum’at di perayaan ekaristi dilaksanakan dengan konselebrasi 3 imam. Hal ini menjadi daya tarik bagi umat dan sekaligus memberi kesaksian tentang persaudaraan dalam presbiterat. Sejak tahun 2007 di Paroki Pandu setiap Jum’at pertama diadakan adorasi Sakramen Maha Kudus dari jam 07.00 pagi sampai jam 17.00. Sejak tanggal 8 September 2009 di Paroki Pandu ada Adorasi Abadi sakramen Maha Kudus. Banyak umat yang datang beradorasi setiap harinya. hal ini menunjukan kecintaan umat pada Ekaristi.

Dalam bidang kemasyarakatan, pelayanan pastoral dikoordinir dibawah bidang Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kesehatan dan Pendidikan. Di dalamnya mencakup Balai Pengobatan, Koperasi, Bantuan sosial, baik yang sifatnya karitatif maupun pemberdayaan. Dalam upaya memberdayakan masyarakat ekonomi lemah, Koperasi Kredit Pelangi Kasih memegang peranan penting. Pada saat ini Koperasi Pelangi Kasih sudah memiliki anggota 375 orang dengan aset sekitar 1 M.

Dalam rangka membantu pengobatan kepada umat paroki Pandu yang kurang mampu dan sekaligus sebagai pelayanan kepada masyarakat kelurahan Pamoyanan, Paroki Pandu membuka Balai Pengobatan sejak tahun 2002. Pada tahun 2007 jumlah pasien yang datang berobat ke BP Pandu sekitar 11.973 orang. Pasien yang disubsidi berjumlah 984 orang. Selain pengobatan modern, Paroki Pandu juga menyelenggarakan pengobatan alternatif bersama Romo Loogman. Dalam rangka membantu meningkatkan kesehatan anak-anak, PSE membantu 5 Posyandu dan memberi tambahan gizi bagi anak-anak, serta memberi pelayanan kesehatan gratis setiap tahun bekerjasama dengan Kelurahan Pamoyanan.

Dalam rangka membantu mencerdaskan anak bangsa, Paroki Pandu dibawah PSE memberi bantuan beasiswa bagi anak-anak yang kurang mampu. Mereka terdiri dari anak-anak yang beragama Katolik dan non Katolik. Pada tahun 2008, anak-anak yang dibantu biaya studinya berjumlah 231 orang. Selain itu, Paroki Pandu juga membantu anak-anak usia dini melalui PAUD yang bertempat di Stasi Sukawarna.

Dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan, sejak kepemimpinan Romo Agustinus Sudarno, setiap tahun diadakan Rapat Kerja tahunan yang diikuti oleh Dewan Pastoral Paroki beserta seksi-seksinya. Melalui Raker ini DPP dan tiap seksi membuat rencana kegiatan dan sekaligus mengevaluasi kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan.

Dengan berkembangnya umat dan kegiatan pastoral, maka kebutuhan akan ruangpun bertambah. Oleh karena itu, pada tahun 2008 dimulai pembangunan gedung pastoral yang diharapkan akan semakin meningkatkan jumlah dan mutu pelayanan pastoral. Pembangunan dilakukan dengan swadaya umat paroki Pandu, Ordo Salib Suci, dan donatur. Semoga dengan adanya tambahan fasilitas pelayanan pastoral, Umat Paroki semakin dapat menjadi Gereja yang hidup, mengakar, mekar dan berbuah, serta semakin dikenal dan dicintai oleh masyarakat sekitar. Dengan demikian, kehadiran Umat Paroki Pandu dilihat bukan sebagai sosok asing, tetapi menjadi bagian integral masyarakat Bandung yang ikut peduli terhadap persoalan sosial kemasyarakatan di lingkungan sekitar mencontoh Orang Samaria yang baik hati.

Dengan menyadari tantangan jaman kita sebagai umat Paroki Keuskupan Bandung dipanggil untuk membaca tanda-tanda jaman dan menginterpretasikannya dalam terang Injil sehingga pelayanan pastoral kita sungguh-sungguh dapat memenuhi kebutuhan umat dan dampaknya dapat dirasakan masyarakat sekitar. (disadur dan disarikan dari berbagai sumber oleh Laurentius Tarpin, OSC)

Sumber : http://pandu.katolik.or.id/about-pandu/lintasan-sejarah-paroki-pandu/

baca selanjutnya...

Rabu, 28 Desember 2011

Sejarah Singkat Keuskupan Agung Jakarta

Keuskupan Agung Jakarta adalah wilayah formal Gereja Katolik Roma yang tertua di Indonesia, dimulai dengan status Prefektur Apostolik tahun 1807. Secara resmi prefektur apostolik ditingkatkan menjadi Vikariat Apostolik Batavia pada tanggal 3 April 1842 yang meliputi seluruh wilayah Hindia Belanda dengan Vikaris Apostolik pertamanya Mgr. I. Groff. Pada periode 1855 hingga 1948 wilayah Vikariat Apostolik Batavia semakin menyempit dengan didirikannya berbagai vikariat apostolik yang baru di luar Jawa dan di pulau Jawa sendiri. Seiring kemerdekaan Indonesia, pada7 Februari1950nama Vikariat Apostolik Batavia diubah menjadi Vikariat Apostolik Djakarta. Status Vikariat Apostolik kemudian ditingkatkan menjadi Keuskupan Agung Djakarta pada tanggal 3 Januari1961 dengan 2 keuskupan sufragan yaitu: Keuskupan Bandung dan Keuskupan Bogor. Sesuai dengan perubahan ejaan bahasa, nama Keuskupan Agung Djakarta diubah menjadi Keuskupan Agung Jakarta pada tanggal 22 Agustus1973.

Di Museum Nasional Indonesia di Jakarta disimpan sebuah batu besar yang awalnya ditanam di pantai Sunda Kelapa. Batu berpahatkan tanda salib bertahunkan 1522 ini adalah peringatan hubungan antara pelayaran Portugis dan kerajaan Pajajaran. Ini adalah tanda awal hadirnya Katolik di Jakarta kini.

Kemudian saat VOC berkuasa, 1619 hingga 1792, semua kegiatan Katolik dilarang, dan para imam Katolik juga dilarang untuk berkarya di wilayah kekuasaan VOC di Batavia, bahkan seorang Jesuit Egidius d’Abreu, S.J. dibunuh pada tahun 1624. Kegiatan Katolik hanya diijinkan di luar tembokBatavia bagi orang-orang keturunan Portugis dengan didirikannya Gereja Portugis di luar kota pada tahun 1696, kini menjadi Gereja Sion di Jl. P. Jayakarta. Keturunan Portugis ini juga diberi lahan bertani di daerah yang kini disebut daerah Tugu. Pada abad ke-18 ini VOC membebaskan imam-imam Katolik untuk singgah di Batavia untuk melayani umat-umat, baik yang keturunan Portugis maupun juga pegawai VOC.Pada masa Daendelsbarulah umat Katolik diijinkan untuk merayakan misa secara terbuka, pada tahun 1808. Daendels juga memberikan Gereja Katolik resmi pertama di Batavia pada tahun 1810 bertempat di Gang Kenanga Utara, daerah Senen sekarang. Gereja perdana ini sudah dibongkar pada tahun 1989. Pada tahun 1830 Gubernur Jendral Du Bus de Ghisignies menghibahkan tempat kediaman komandan tentara dan wakil gubernur jendral kepada Prefektur Apostolik Batavia. Di lahan inilah kini berdiri Gereja Katedral Jakarta.

Pada tahun 1856 suster-suster Ursulin mendirikan biara susteran pertama ‘Groot Kloster’ di Batavia di Jl Juanda dilanjutkan biara keduanya ‘Klein Klooster’ di Jl Pos pada tahun 1859 diikuti biara-biara Ursulin lain di daerah Jatinegara dan Kramat. Suster-suster dari Carolus Borromeus membuka Rumah Sakit Sint Carolus pada tahun 1919. Saat-saat awal tersebut imam-imam Jesuitlah yang menyelenggarakan karya pastoral di wilayah Batavia baru kemudian dibantu oleh imam-imam Fransiskan pada tahun 1929 dan imam-imam dari Misionaris Hati Kudus (MSC]] tahun 1932. Dalam bidang pendidikan, imam-imam Yesuit mendirikan Perkumpulan Strada tahun 1924. Sekolah pertamanya dibuka tahun itu juga di daerah Gunung Sahari. Pada tahun 1927 Perkumpulan Strada mendirikan sekolah menengah berasrama di Menteng yang kemudian menjadi Kolese Kanisius pada tahun 1932.

Pada masa pendudukan Jepang, Vikaris Apostolik Batavia saat itu Mgr. P. Willekens S.J. mengusahakan agar rumah sakit dan sekolah-sekolah Katolik untuk tetap beroperasi dan tetap melayani umat Katolik di masa sulit tersebut.

Setelah Indonesia merdeka, Gereja Katolik mulai berkembang kembali. Jumlah umat semakin bertambah, demikian juga dengan jumlah paroki. Paroki Mangga Besar didirikan tahun 1946, paroki di Jl. Malang tahun 1948, paroki Tangerang tahun 1948. Bila pada 1950 baru ada 12 paroki, pada tahun 1960 sudah terdapat 16 paroki, pada tahun 1970 terdapat 23 paroki, pada tahun 1980 terdapat 34 paroki, pada tahun 1988 terdapat 39 paroki, pada tahun 1990 terdapat 40 paroki, dan pada 2002 sudah terdapat 53 paroki dengan 411.036 orang umat yang dilayani oleh 277 imam. Pada tahun 2007 diperingati 200 tahun Gereja Katolik di Jakarta. Saat itu sudah terdapat 60 paroki. Puncak Perayaan Agung 200 tahun Gereja Katolik di Jakarta diselenggarakan di Istora – Senayan pada tgl.26 Mei 2007, yang dihadiri pula oleh sebagian besar para uskup di Indonesia.

Karya Roh Kudus terus bertumbuh dalam wujud pertambahan jumlah umat hingga tahun 2011 telah mencapai lebih dari 466.638 jiwa dan pendirian paroki-paroki: berawal dari Katedral merambah ke seantero wilayah Ibu Kota Jakarta, Bekasi, dan Tangerang. Secara teritorial Keuskupan Agung Jakarta terbagi ke dalam 8 dekenat dengan 61 paroki dan stasi-stasi yang siap bertumbuh menjadi paroki-paroki baru.

Gerak Roh Kudus pun mewujudkan kekhasan Gereja metropolitan yang dinamis. Kelompok-kelompok Kategorial bertumbuh subur. Di tengah kesibukan, mereka berhimpun membentuk komunitas atas dasar kesamaan/ kedekatan perhatian, minat, bidang panggilan, atau profesi tertentu di antara anggota-anggotanya. Pastoral kategorial dikelompokkan ke dalam tiga kelompok besar: (1) Pemikat (Persaudaraan Mitra Kategorial, (2) Karismatik dan (3) PMKAJ (Pastoral Mahasiswa Keuskupan Agung Jakarta).

Sebagai Gereja, Keuskupan Agung Jakarta telah melintasi waktu lebih dari 200 tahun. Berhimpun dalam kesatuan umat Allah:

1. Mulai dari “umat bawah tanah” di abad ke-17 dan 18

2. Melalui masa-masa tiga Prefektur di kala Jakarta masih bernama Batavia

3. Melintasi zaman Lima Vikaris Apostolik.

4. Hingga berbuah menjadi Gereja particular Keuskupan Agung Jakarta dengan Uskup Agung pertama Mgr. A. Djajasepoetra.

5. Di tengah percepatan pertambahan jumlah umat, di era penggembalaan Mgr. Leo Soekoto, pada tahun 1990 Gereja Jakarta menyelenggarakan Sinode pertama. Visi masa depan pun ditetapkan untuk menjadi Gereja yang mandiri, missioner, berdaya pikat dan daya tahan.

6. Iman mengakar dan bertumbuh di dalam perjalanan sejarah Gereja Keuskupan Agung Jakarta. Tak lekang dalam pergolakan negara dan konflik politisi. Pada dasawarsa yang penuh pergolakan dan perubahan, Keuskupan Agung Jakarta di gembalakan oleh Mgr. Julius Kardinal Darmaatmadja. Di tengah sulitnya mendirikan gedung gereja, pada tgl. 6 Oktober 1996 tonggak sejarah Gereja Jakarta dikenang kembali dengan pemberkatan Gereja Santo Servatius, Paroki Kampung Sawah yang sebagian besar umatnya adalah warga Betawi. Pemberkatan yang menandai dan merayakan seratus tahun berdirinya umat pribumi pertama di Jakarta. Dan pada tahun 2006 dirayakanlah 200th Gereja Keuskupan Agung Jakarta

7. Dengan motto: Serviens Domino cum omni Humilitate, pada tanggal 28 Juni 2010, Mgr. Ignatius Suharyo resmi menjadi Uskup Agung Keuskupan Agung Jakarta. “Aku melayani Tuhan dengan segala kerendahan hati” (Kis. 20:19). Menuntun dan memberi kekuatan dalam pelayanan penggembalaan.

Sumber : http://www.kaj.or.id/keuskupan-agung-jakarta/sejarah-singkat-keuskupan-agung-jakarta

baca selanjutnya...

Selasa, 27 Desember 2011

Sejarah Singkat Keuskupan Agung Semarang

Pada tanggal 7 Agustus 1806 Raja Lodewijk Napoleon mengumumkan undang-undang kebebasan beragama. Akibatnya, Gereja Katolik di Indonesia, yang dilarang sejak tahun 1621, dapat berkembang lagi. Pada tahun 1807 mulailah lembaran baru dalam sejarah Gereja, ketika wilayah Hindia Belanda menjadi satu kesatuan dalam Gereja Katolik, yaitu Prefektur Apostolik Batavia. Dua imam sekulir dari Negeri Belanda tiba di Jakarta pada tanggal 4 April 1808 sebagai misionaris pertama. Pastor Jacobus Nelissen menjadi pemimpin pertama misi, yang meliputi seluruh Nusantara, dan beliau berkediaman di Jakarta.

Selama 50 tahun berikutnya, 31 imam sekulir mengikuti jejak langkah kelompok kecil misionaris pertama itu. Di antara mereka adalah Pastor C.J.H. Franssen yang ditugaskan di Ambarawa. Pada tahun 1859 dua imam Yesuit tiba di Jakarta untuk membantu para imam sekulir itu. Selama masa jabatan Mgr.A.C. Classens (1874-1893), hanya dua imam sekulir saja bertahan. Akan tetapi, sementara itu 57 imam Yesuit berdatangan. Dengan demikian, praktis seluruh karya pastoral Gereja ditangani oleh imam Yesuit. Pada tahun 1893, ketika pastor W.J. Staal, SJ ditugaskan menjadi Vikaris Apostolik, tanggungjawab evangelisasi di Indonesia secara kanonik dialihkan dari imam sekulir kepada Serikat Yesus.

Pada tahun 1842 Prefektur Apostolik Batavia ditingkatkan menjadi Vikariat. Pada tahun 1866 Vikariat Apostolik Batavia dibagi menjadi 8 stasi: Batavia, Semarang, Ambarawa, Yogyakarta, Surabaya, Larantuka, Maumere dan Padang.

Pada tahun 1903, seorang guru Kerasulan dan 4 orang kepala desa dari pegunungan wilayah Kalibawang berkunjung pada Rama van Lith. Empat orang ini dibaptis pada tanggal 20 Mei 1904. Dan kemudian, 171 orang menyusul dibaptis oleh Rama van Lith pada tanggal 14 Desember 1904 di Sendangsono. Peristiwa tersebut di luar harapan Rama van Lith. Mgr. Luypen dan pembesar SJ menafsirkan bahwa peristiwa pembaptisan tersebut sebagai tanda yang jelas bahwa metode Rama van Lith menghasilkan buah. Sementara itu pada tanggal 27 Mei 1899, Rama Hoevenaars SJ, teman seperjalanan Rama van Lith dari Eropa ditugaskan di Mendut. Ia berpendapat bahwa misi harus langsung mengarahkan kegiatan-kegiatannya pada rakyat kelas bawah. Ia berhasil juga. Dalam jangka waktu setengah tahun setibanya di Indonesia, telah dibaptis 62 orang Jawa. Pada akhir tahun 1903 jumlah orang Katolik di stasi Mendut lebih kurang 300 orang.

Kedua metode tersebut dipraktikkan dan dipertahankan oleh kedua misionaris pertama itu. Pada tanggal 27 Juni 1905 Rama Hovenaars dipindahkan ke Cirebon. Beberapa tahun sesudahnya, ketika ia ditugaskan di Surakarta, ia mengakui keunggulan kebijakan Rama van Lith dan mengikuti jejaknya.

Terutama wilayah sekitar Surakarta dan Yogyakarta terbukti menjadi tanah subur bagi benih-benih firman Allah. Sampai sekarang mayoritas umat Katolik Keuskupan Agung Semarang tinggal di wilayah tersebut. Di situlah terdapat pengaruh kuat dari keraton Surakarta dan Yogyakarta, bersamaan dengan nilai budaya tradisional yang telah berakar sangat dalam di hati dan sikap hidup masyarakat.

Nilai-nilai budaya tersebut tidak menjadi ancaman atau diganti dengan agama Katolik. Karena alasan itulah, proses inkulturasi, yang telah dirintis oleh Rama van Lith, mengutamakan perlunya bahasa Jawa. Bahasa tidaklah sekedar sarana komunikasi, tetapi juga kristalisasi jiwa masyarakat dalam memandang dunia dan manusia secara khas Jawa. Di Muntilan Rama van Lith adalah pastor pertama yang dapat berkomunikasi dengan masyarakat Jawa dalam bahasa Jawa. Ia menterjemahkan doa Bapa kami dalam bahasa Jawa.

Rama van Lith berhasrat memberi kaum muda Jawa, pria dan wanita, suatu pendidikan yang bermutu tinggi, yang membuat mereka mampu memiliki posisi penting dalam masyarakat. Maka diselenggarakan pendidikan Kristiani, agar mereka menjadi benih-benih kerasulan yang dapat tumbuh dan berbuah di kemudian hari. Pada tanggal 14 Januari 1908 Tarekat Suster Fransiskan mendirikan sekolah ketrampilan khusus untuk gadis-gadis Jawa di Mendut.

Peristiwa sangat penting di Keuskupan Agung Semarang adalah didirikannya Seminari Menengah. Tiga dari enam calon generasi pertama dari tahun 1911-1914 ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1926 dan 1928, yaitu Rama F.X.Satiman, SJ, A. Djajasepoetra, SJ, dan Alb. Soegijapranta, SJ.

Pada tahun 1915 Rama van Driessche, SJ (1875-1934) merintis karyanya di antara orang-orang Jawa di Yogyakarta dengan bantuan seorang katekis.

Karya misi sungguh didukung dan dikembangkan oleh Tarekat Bruder FIC. Lima Bruder pertama datang dari Negeri Belanda di Yogyakarta pada bulan September 1920. Langsung saja mereka ditugaskan untuk mengajar di HIS. Kedatangan Bruder-Bruder berikutnya mampu memekarkan karya mereka di kota-kota lain seperti Muntilan (1921), Surakarta (1926), Ambarawa (1928) dan Semarang (1934). Pada bulan Januari 1922, Percetakan Kanisius mulai beroperasi dan dipercayakan kepada Tarekat Bruder FIC.

Rama Strater, SJ mendirikan Perhimpunan Wanita Katolik pada tanggal 9 September 1923. Berdirinya Organisasi Partai Politik Katolik pada bulan Agustus 1923 menjadi bukti perkembangan Gereja dan keberanian orang-orang Katolik dengan pusatnya di Yogyakarta.

Disebabkan oleh perbedaan situasi antara Jawa Barat/Batavia dan Jawa Tengah, dan demi berkembangnya Gereja, pada tanggal 1 Agustus 1940 didirikanlah Vikariat Apostolik Semarang. Paus Pius XII menetapkan Rama Albertus Soegijapranata SJ menjadi Vikaris Apostolik. Ia menjadi uskup pribumi Indonesia pertama.

Peristiwa tragis menimpa dua orang hamba Tuhan, Rama Richardus Kardis Sandjaja, Pr. dan Frater Hermanus Bouwens, SJ. Pada tanggal 20 Desember 1948 mereka dibunuh di dusun Kembaran dekat Muntilan. Peristiwa itu berkaitan dengan penyerangan pasukan Belanda di Semarang yang berlanjut ke Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1948, yang biasa disebut dengan clash kedua.

Mgr. Albertus Soegijapranata SJ wafat pada tahun 1963, dan dimakamkan di makam Pahlawan Giri Tunggal, Semarang, sebagai Pahlawan Nasional. Mgr. Justinus Darmojuwono, Uskup kedua (1964-1981), diangkat menjadi Kardinal pertama di Indonesia (26 Juni 1967). Agar karya pastoral semakin berbuah, pada tahun 1967 Kardinal Justinus Darmajuwono mendirikan 4 Vikariat Episkopalis di Keuskupan Agung Semarang, yaitu Semarang, Kedu, Surakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Bapak Kardinal Justinus Darmojuwono wafat pada tanggal 3 Februari 1994, dan dimakamkan di Makam Muntilan.

Mgr. Julius Darmaatmadja, SJ, penggantinya memimpin Keuskupan Agung Semarang (29 Juni 1983-1996). Mgr Julius mengembangkan karya pastoral berdasarkan Arah Dasar Keuskupan untuk periode lima tahunan (1984-1990; 1990-1995; 1996-2000). Beliau kemudian juga diangkat menjadi Kardinal, dan kemudian dipindahtugaskan ke Jakarta menjadi Uskup Agung Jakarta.

Mgr Ignatius Suharyo meneruskan tahta Uskup Agung Semarang (22 Agustus 1997-2009). Ia kemudian mengembangkan karya pastoral dengan mengumatkan Arah Dasar Keuskupan Agung Semarang untuk periode 2001-2005. Berinspirasikan ajaran Konsili Vatikan II Mgr Suharyo mendorong Gereja Katolik mewujudkan diri menjadi persekutuan paguyuban-paguyuban yang hidup, tempat orang-orang beriman menghayati Gereja sebagai peristiwa iman. Per 25 Juli 2009 Mgr Suharyo menjadi Uskup Koajutor Keuskupan Agung Jakarta.

Dewan Konsultares Keuskupan selanjutnya menunjuk Rm Pius Riana Prapdi Pr sebagai Administrator Diosesan (28 Oktober 2009-2010).

Doa seluruh umat Keuskupan Agung Semarang yang memohon seorang Gembala akhirnya terjawab setelah satu tahun lebih. Tanggal 12 November 2010 sore, Duta Besar Vatikan untuk Indonesia, Mgr Leopordo Girelli, memberi kabar bahwa Paus Benediktus XVI mengangkat Mgr Johannes Pujasumarta Pr, Uskup Bandung, menjadi Uskup Agung Semarang. Dua bulan kemudian, 7 Januari 2011 Mgr Johannes Pujasumarta dilantik menjadi Uskup Agung Semarang oleh Bapa Kardinal Julis Darmaatmaja SJ. Motto penggembala Mgr Johannes adalah 'Duc in Altum', artinya 'Bertolaklah ke tempat yang lebih dalam'.

Selanjutnya, Mgr Johannes mengangkat personil Kuria sebagai berikut. Rm Pius Riana Prapdi Pr sebagai Vikariat Jendral KAS. Sebagai Sekretaris adalah Rm Yohanes Rohmadi Mulyono MSF; Ekonom adalah Rm Franciscus Assisi Sugiarta SJ. Dan Rm FX Sukendar Wignyosumarta Pr menjadi Delegatus Administrator Kevikepan Semarang.

Sumber : http://www.kas.or.id/

baca selanjutnya...

Sejarah Keuskupan Bogor

Keuskupan Bogor terletak di bagian barat Pulau Jawa. Sampai dengan tahun 2000, seluruh wilayah Keuskupan Bogor termasuk dalam wilayah Propinsi Jawa Barat. Namun sejak bulan Oktober 2000, wilayah eks Karasidenan Banten menjadi sebuah propinsi tersendiri yang terpisah dari Jawa Barat.

Wilayah Keuskupan Bogor kini meliputi: (1) tiga Kabupaten (Bogor, Cianjur, Sukabumi) dan tiga Kotamadya (Bogor, Sukabumi, Depok) di Propinsi Jawa Barat, serta (2) tiga Kabupaten (Serang, Lebak, Pandeglang) dan dua Kotamadya (Serang, Cilegon) di Propinsi Banten. Luas Keuskupan Bogor adalah 18.368,92 km2, dengan total penduduk sekitar 14 juta jiwa. Sebagian besar penduduknya adalah Suku Sunda (termasuk Banten dan Badui). Selain itu masih ada pendatang dari luar, seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan lain-lain. Badui merupakan suku asli yang masih dengan setia mempertahankan adat-istiadat nenek moyang dan sangat ekslusif. Suku Tionghoa kebanyakan terdapat di kota-kota. Menurut data statistik terakhir, jumlah orang Katolik yang tinggal di Propinsi Banten ada 6.410 jiwa. Di Kabupaten/Kodya Sukabumi 5.348 jiwa, Kab/Kodya Bogor 28.788 jiwa, Kabupaten Cianjur 2.395 jiwa, dan di Kodya Depok ada 18.473 jiwa. Sehingga total jumlah orang Katoliknya hanya 61.414 jiwa.

Bagian Utara merupakan daerah dataran rendah yang rata dengan sedikit pegunungan, sedangkan di bagian Selatan merupakan daerah pegunungan yang berbukit-bukit. Pada peta wilayah gereja katolik di Indonesia, Keuskupan ini bagian Timurnya berbatasan dengan Keuskupan Bandung di Kali Citarum. Sebelah Utara berbatasan dengan Keuskupan Agung Jakarta. Sedangkan bagian Barat dibatasi oleh Selat Sunda dan bagian Selaran oleh Samudera Hindia.

Sebagian wilayah Keuskupan Bogor merupakan bagian dari Megapolitan Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) dan merupakan kawasan penyangga yang amat penting artinya bagi Ibukota Jakarta. Wilayah-wilayah Bogor, Cianjur, Sukabumi, Serang dan Pandeglang memberikan kesejukan dan kenya-manan untuk beristirahat atau berekreasi. Bahkan Bogor saat ini merupakan tempat tinggal alternatif bagi sebagian penduduk Jakarta yang berduit. Letak geografis yang dekat dengan Ibukota Negara ini ternyata sangat menguntungkan masyarakat maupun karya pastoral gereja di Keuskupan Bogor. Jalan tol sepanjang 200 km dari Bogor-Jakarta-Merak maupun jalan-jalan negara dan propinsi yang dibangun untuk menghubungkan kota-kota di kawasan utara, sangat membantu mobilitas di segala bidang kehidupan. Namun masih banyak pula daerah-daerah di pedalaman dan di pesisir selatan yang belum terjangkau transportasi yang memadai, bahkan sangat memprihatinkan.

Pusat-pusat paroki dalam wilayah Keuskupan Bogor semua dihubungkan dengan jalur transportasi yang memadai. Mulai dari jalan desa sampai dengan jalan negara telah turut membantu membuka isolasi seluruh wilayah. Sarana transportasi yang juga sangat berperanan mempercepat perkembangan tersebut adalah jalan kereta api, yang dibangun pada akhir abad XIX, yang dapat menghubungkan sentra-sentra pemukiman di Rangkasbitung/Lebak, Serang, Jakarta, Bogor, Sukabumi, dan Cianjur.

Pembangunan Sebuah Gereja Lokal

Benih Iman Kristiani bersentuhan pertama kali dengan bumi nusantara pada awal abad ke-16. Banten, sebuah bandar-laut di ujung barat pulau Jawa, sejak tahun 1512 sudah disinggahi kapal-kapal dagang Portugis yang berlayar dari Eropa menuju Timur-Jauh. Pertemuan antara para pedagang Portugis (yang Katolik) dengan penduduk asli Sunda (yang Hindu) sangat sering terjadi di sini. Sedangkan pewartaan dalam arti yang sebenarnya, baru terjadi pada tahun 1534, ketika Gonsalves Veloso, seorang saudagar Portugis tiba di Morotai, Halmahera Utara. Oleh karena itulah tahun 1534 dianggap sebagai SAAT HADIRNYA AGAMA KATOLIK di bumi nusantara. Dari sejarah Paroki Serang ditulis bahwa daerah Banten pertama kali didatangi oleh beberapa pastor Yesuit pada tahun 1642, dalam pelayaran mereka menuju Maluku dan sekitarnya.

Masuknya VOC pada abad ke-17 mematikan karya misi yang telah dilakukan oleh para pedagang Portugis dan para misionaris di Kepulauan Nusantara. VOC mengusir orang-orang Portugis, melarang agama katolik, dan memasukkan agama Protestan sebagai agama resmi. Gerak-gerik orang katolik selalu dicurigai. Keberadaan VOC menandai ‘masa gelap’ karya misioner yang telah dirintis dengan susah payah.

Untuk mengetahui sejarah Keuskupan Bogor kita harus menengok kembali ke belakang, tahun-tahun sejarah awal Prefektura Apostolik (1807-1842) di wilayah yang dulu disebut Hindia Belanda. Dalam periode awal ini tercatat ada 3 orang Prefek Apostolik yang pernah memimpinnya. Prefektura Apostolik Hindia Belanda kemudian ditingkatkan statusnya menjadi Vikariat Apostolik pada 20 September 1842.

Perluasan Wilayah Menuju Pembentukan Keuskupan Bogor

Dalam bulan November 1957, Congregatio de Propaganda Fide mengeluarkan keputusan untuk memisahkan daerah kabupaten ketiga di Karesidenan Bogor (yaitu Kabupaten Bogor) dari Vikariat Apostolik Jakarta dan menggabungkannya dengan Prefektur Apostolik Sukabumi. Dengan demikian batas-batas wilayah gerejawi ini sekarang DISAMAKAN dengan batas-batas KARESIDENAN BOGOR dan KARESIDENAN BANTEN. Pusat Prefekturpun akhirnya dipindahkan ke kota Bogor.

Ketika pembentukan Hirarki Gereja Katolik di Indonesia pada tahun 1961, Prefektur Apostolik Sukabumi ditingkatkan menjadi KEUSKUPAN BOGOR, dengan Mgr. N. Geise OFM selaku Administrator Apostoliknya. Beliau diangkat menjadi Uskup Bogor pada 16 Oktober 1961 dan ditahbiskan Uskup pada tanggal 6 Januari 1962. Untuk lebih mengaktualkan dan mengkristalkan cita-cita penggembalaannya sesuai dengan situasi Keuskupan Bogor, maka beliau mengganti menjadi IN OCCURSUM DOMINI (Menyongsong kedatangan Tuhan).

Pater-pater Konventual, yang semenjak 1938 menyumbangkan tenaga mereka di Bogor dan sekitarnya, memutuskan untuk pergi berkarya di tempat lain (di Sumatera Utara). Seminari Menengah dipindahkan dari Cicurug ke Bogor, mula-mula di sebuah rumah besar yang baru dibeli di Jalan Siliwangi 50, kemudian pindah lagi ke gedung Vinsentius warisan Pastor M.Y.D. Claessens Pr di Jalan Kapten Muslihat 22 sekarang. Adapun rumah bekas seminari tadi dijadikan gereja kedua di kota Bogor, yaitu Gereja SANTO FRANSISKUS ASSISI, Sukasari. Seminari Menengah di Bogor ini menampung siswa-siswa yang berasal dari semua penjuru Indonesia.

Pater-pater Fransiskan bersama Seminari Tingginya di Cicurug pindah ke Jakarta untuk studi Filsafat, kemudian melanjutkan ke Yogyakarta untuk studi Teologi. Dengan demikian Cicurug sekarang sudah berlainan sekali keadaannya daripada dulu. Meskipun demikian tetaplah ia merupakan suatu contoh yang baik tentang bagaimana caranya karya misi harus dilaksanakan di tengah-tengah masyarakat yang beragama Islam: dengan sederhana memperlihatkan semangat mengabdi sesama dengan hati yang teguh dan tabah. Pastor Cicurug secara teratur mengunjungi CIBADAK, yang tak seberapa jauh letaknya dari Cicurug. Di sana terdapat sekelompok kecil umat dengan sebuah SMP yang cukup maju dan sebuah cabang SPG Mardi Yuana dari Sukabumi.

DEPOK dan MEGAMENDUNG, dua tempat kecil yang selama bertahun-tahun dikunjungi secara berkala, sekarang sudah mempunyai gereja sendiri. Tetapi hanya Depok yang sudah menjadi stasi tetap, dan sejak tahun 1960 dilayani oleh seorang pastor yang menetap di sana. Depok memiliki persekolahan Mardi Yuana, yang sedikit demi sedikit berkembang menjadi satu kompleks persekolahan yang lengkap dari jenjang TK sampai SMU.

Keuskupan Bogor memang terletak di suatu daerah yang terkenal sebagai daerah pertanian. Oleh karena itu misi tak dapat tidak, harus hadir juga di kalangan petani, di bidang kehidupan mereka sehari-hari. Dalam kerjasama dengan suatu perkebunan teh terbesar di Jawa Barat, yaitu PERKEBUNAN TEH PASIR NANGKA, didirikanlah sebuah sekolah kejuruan yang sangat sederhana, yaitu SEKOLAH USAHA TANI (SUT). Di sekolah ini murid-murid mendapat pelajaran teori sedikit saja, tetapi lebih banyak belajar dengan praktek dasar-dasar bertani yang lebih baik, secara mendalam dan luas. Untuk keperluan ini, perkebunan teh Pasir Nangka menyediakan areal tanah seluas kira-kira 25 hektar. Segala petunjuk mengenai usaha pertanian yang pernah ditulis secara sangat emosional oleh PAUS YOHANES XXIII, pembela para petani itu, diusahakan untuk dilaksanakan secermat-cermatnya di sekolah ini.

Usaha Gereja dalam bidang sosial ekonomi di Keuskupan Bogor kiranya lebih menggembirakan. Oleh YAN VAN BEEK OFM didirikanlah PUSAT PEMBINAAN SOSIAL-EKONOMI KEUSKUPAN BOGOR (PP Sosek KB). Dengan berbagai cara, lembaga ini mencoba membantu memberdayakan kemampuan ekonomi umat dan masyarakat di sekitarnya.

Pada tanggal 11 Januari 1971 para Suster KONGREGASI RGS secara resmi memulai SKKA di daerah Baranangsing, Bogor. Sebulan kemudian para Suster RGS meninggalkan biara di Bondongan, -yang keberadaannya dimulai 7 Juli 1956-, kemudian bergabung di Biara Maria Fatima, Baranangsiang. Biara dan Persekolah St. Maria Fatima di Bondongan diserahkan secara resmi kepada Suster-suster SFS pada 30 Nov 1971.

Berdirinya Sebuah Prefektura Baru

Sewaktu perang berkobar di Eropa, tetapi belum sampai menjalari wilayah Hindia Belanda, timbul perbedaan pendapat antara Ordo Yesuit dan Fransiskan mengenai kedudukan imam-imam Fransiskan di Jawa Barat. Para Fransiskan menginginkan suatu daerah pelayanan pastoral tersendiri. Hal itu disampaikan kepada Yang Mulia Mgr. Panico, Internuntius Apostolik Sidney, yang mengunjungi pulau Jawa pada tahun 1939. Mgr. Willekens selaku Vikarius Apostolik Batavia berpendapat bahwa amatlah berbahaya untuk berkarya dan mendirikan wilayah gerejawi di wilayah Banten yang terkenal fanatik. Menurut beliau akan ada reaksi hebat dari pihak umat Islam, dari pemerintah Hindia Belanda, maupun dari orang-orang Belanda di pulau Jawa. Sedangkan Pater Nicolaus Geise OFM, seorang antropolog yang mengadakan penyelidikan Linguistik dan Ethnografis di wilayah Banten, berpendapat lain.

Perbedaan pendapat itu dapat diselesaikan pada tahun 1941, dengan dibentuknya PREFEKTUR APOSTOLIK SUKABUMI, de facto, non de iure. Artinya: dalam hubungan ke luar, Prefektur Apostolik Sukabumi masih tetap di bawah Iurisdiksi Vikaris Apostolik Batavia. Tetapi ke dalam, di bidang urusan-urusan gerejawi, kekuasaan diserahkan kepada PATER ARIAENS OFM, yang ditunjuk dan bertugas sebagai Prefek Apostolik.

Wilayah Prefektur Apostolik Sukabumi itu meliputi KERESIDENAN BANTEN dan 2 Kabupaten di Keresidenan Bogor, yaitu KABUPATEN SUKABUMI dan KABUPATEN CIANJUR. Kabupaten Bogor tetap masuk wilayah Vikariat Batavia. Stasi-stasi tetap Prefektur Apostolik Sukabumi adalah SERANG, RANGKASBITUNG, SUKABUMI, CICURUG, SINDANGLAYA, CIANJUR dan SUKANEGARA.

Pada tanggal 9 Desember 1948 ditetapkanlah secara definitif oleh Propaganda Fide: PREFEKTUR APOSTOLIK SUKABUMI, yang sejak tahun 1941 bersifat sementara. Pada tanggal 17 Desember 1948, Pater NICOLAUS GEISE OFM diangkat sebagai Prefek Apostoliknya. Untuk menggambarkan betapa luas ladang penggembalaannya di tatar Sunda, — yang diperkaya oleh sawah-ladang di antara bukit-bukit, dan kebun teh nan hijau disela-sela gunung-gemunung, di tengah masyarakat Sunda yang ramah— Pater Geise sebagai Prefek Apostolik memilih semboyan LAUDATE MONTES (Pujilah Tuhan, hai Gunung-gemunung). Sungguh tepat, karena umatnya memang masih sedikit sekali.

Setengah tahun kemudian, tepatnya tanggal 31 Juli 1949, Yayasan Odorikus dibubarkan. Sekolah-sekolah Yayasan tersebut di wilayah Prefektur Apostolik Sukabumi diambil alih oleh PERGURUAN MARDI YUANA. Bangsa Indonesia yang sudah menjadi lebih sadar, merdeka, dan berdaulat menghendaki kemajuan melalui pendidikan di mana-mana, bahkan sampai ke pelosok-pelosok di daerah pedalaman. Rakyat membutuhkan pendidikan untuk mencapai kemajuan. Maka dalam bidang pendidikan inilah terbuka kesempatan bagus bagi misi untuk MEMPERLIHATKAN PENGABDIAN DAN CINTA KASIHNYA sebagai orang Kristiani. Berbagai jenis sekolah dibuka di Sukabumi dan di kota-kota kecil sekeliling Gunung Gede, Pangrango dan Salak. Tempat-tempat ini dapat dipandang sebagai titik-titik tumpu, seperti Cicurug, Cianjur, Pacet, Sindanglaya, sampai ke pelosok-pelosok pegunungan di selatan Sukabumi dan Cianjur. Begitu pula di Serang dan Rangkasbitung.

Pergolakan di bidang politik menimbulkan banyak perubahan dan juga kerugian di kalangan umat katolik. Jumlah umat katolik Prefektur Apostolik Sukabumi merosot dari sekitar 3000 menjadi hanya 600 jiwa. Tetapi di dalam negara Indonesia yang baru saja merdeka, kerugian ini justru bermanfaat bagi umat sendiri, karena dengan demikian umat di dalam Prefektur ini ‘lebih kentara sifat ke-Indonesiaannya’. Karya misi di kalangan dan untuk kepentingan umat Indonesia, yang dulunya begitu sulit dilaksanakan, kini berjalan dengan sendirinya. Di samping Yayasan Mardi Yuana didirikan pula YAYASAN YATNA YUANA untuk usaha-usaha sosial.

Gagasan untuk mendirikan rumah khalwat dan biara Suster-suster Klaris di Cicurug dibatalkan. Para suster Klaris pindah ke Pacet, sedangkan di sindanglaya didirikan sebuah asrama baru untuk anak-anak Indonesia, yaitu Asrama Putra Santo Yusuf. Rumah sakit Sukabumi, seperti halnya rumah sakit di tempat-tempat lain, diambilalih oleh pemerintah, tetapi para Suster Fransiskanes dari Bergen Op Zoom diperbolehkan tetap bekerja melayani rumah sakit itu.

Bruder-bruder Budi Mulia juga mengubah sekolah mereka menjadi sekolah Indonesia. Para Suster YMY terpaksa meninggalkan Sukabumi dan kembali ke Sulawesi untuk menyumbangkan tenaga mereka di sana bagi pembangunan kembali karya misi, yang banyak menderita kerusakan dan kehancuran akibat perang dan revolusi. Bertahun-tahun lamanya Cicurug menjadi pusat pendidikan calon-calon imam, tingkat menengah maupun tinggi. Di sana pulalah ditahbiskan sejumlah imam Fransiskan Indonesia dan seorang imam praja pertama untuk Keuskupan Bogor.

Di Serang kompleks persekolahan yang dipimpin oleh suster-suster FMM berkembang pesat. Dari Serang diadakan kunjungan-kunjungan tugas ke Cilegon (tempat yang sangat terkenal dan ditakuti orang di tahun 20-an), ke Merak, ke tempat kolonisasi di Teluk Lada (yang dulunya disebut Peperbaai), dan ke Labuan, suatu tempat mungil di pantai Barat, yang juga ada sekolah Mardi Yuananya. Tambang emas Cikotok yang terletak di Banten Selatan dikunjungi secara tetap dari Sukabumi. Di sana terdapat juga beberapa sekolah. Baik juga dicatat di sini bahwa beberapa orang pater Fransiskan dari Prefektur Apostolik Sukabumi turut serta mempersiapkan berdirinya UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN di Bandung.

Cianjur Dan Pedalaman Jawa Barat

Tempat ketiga, yaitu Cianjur, keadaannya agak lebih baik. Pater HOEVENAARS SJ menangani tempat itu melalui pola kerja dasar yang sudah dikenal di mana-mana. Dengan bantuan terbatas dari sekelompok kecil umat katolik yang hidupnya sangat sederhana, dan didukung oleh bantuan para pengusaha perkebunan setempat, pada tahun 1931 dibangunlah sebuah gereja kecil di Cianjur. Setelah Cianjur diserahkan kepada pater-pater Fransiskan, mereka lantas mendirikan sebuah pastoran, yang mulai didiami pada 1933 oleh pater Y. POSTMA OFM, mantan misionaris fransiskan di Tiongkok.

Pembukaan stasi-stasi tetap di pedalaman Jawa Barat merupakan ‘orde baru’ dalam karya misi, yang sampai waktu itu agak terbatas di kota-kota saja. Tokoh pendobraknya adalah Pastor TOON CREMERS, yang dengan ketajaman visi serta keberaniannya mengambil keputusan dan tindakan tepat terhadap masalah yang pada waktu itu memang sulit terpecahkan. Golongan Katolik Eropa meminta hampir seluruh perhatian dan tenaga para misionaris, sehingga golongan Timur, Asli, maupun Asing, boleh dikatakan kurang diperhatikan.

Banten: Rangkasbitung Dan Serang

Keadaan paroki-paroki kecil di daerah Banten pada permulaannya memang agak berlainan. Pada tanggal 12 Oktober 1933, PATER LUNTER ditunjuk untuk menetap di Rangkasbitung. Di sana sudah ada suster-suster FMM, yang sejak 19 Maret 1933 bekerjasama dengan ‘Persatuan Pengusaha Perkebunan Lebak’ menyelenggarakan sebuah rumah sakit kecil dan sederhana untuk melayani penduduk Rangkasbitung dan sekitarnya. Dibangun pula sebuah gereja kecil, yang kemudian diberkati oleh pater provinsial Caminada pada tanggal 19 Desember 1933, dua hari setelah peletakkan baru pertama biara Klaris di Cicurug.

Di Serang, baru dalam tahun 1939 PATER HEITKÖNIG menetap selaku Pastor Tetap yang pertama. Sebelumnya, tempat ini hanya dikunjungi secara berkala oleh pastor dari Batavia, yang rupanya telah menanganinya sungguh-sungguh. Jumlah umat katolik di sana berkisar antara 20-30 orang. Tetapi paroki ini, yang kemudian diberi gelar Kristus Raja, rupanya dipandang harus juga ‘bersemangat pamor kerajaan’. Maka pada tahun 1937, dibelilah sebuah rumah tua yang besar, yang terletak di dekat alun-alun. Rumah itu berdiri di samping rumah kediaman Residen Banten, penguasa tertinggi daerah Banten pada waktu itu. Rumah itu digunakan sekaligus sebagai pastoran, gereja, dan gedung pertemuan katolik. Bahkan pada tahun 1939 rumah itupun difungsikan sekaligus sebagai sekolah. Berkat usaha yang gigih dari dua orang suster FMM dan dua orang ibu protestan, sekolah yang sederhana itu masih dapat juga bernaung di sana.

Sukabumi Menyongsong Lahirnya Sebuah Prefektura Baru

Seperti halnya misi di kota Bogor, pekerjaan misi di daerah Sukabumi juga berkembang, meskipun dengan irama yang lamban. Gereja sederhana, yang dibangun (lokasinya tak jauh dari Mesjid Agung sekarang) oleh Pastor M.Y.D. Claessens tahun 1896 itu aslinya adalah sebuah rumah tinggal biasa.

Tigapuluh tahun kemudian pada tahun 1927, SUKABUMI MENJADI STASI TETAP. Pastor H. LOOYMANS SJ menempati pastoran baru yang terletak di jalan Selabatu. Sementara itu para suster Ursulin dari Jalan Pos di Batavia membuka sebuah sekolah rendah Belanda (EUROPESE LAGERE SCHOOL) dan Taman Kanak-kanak. Ruang-ruang kelas baru sekolah itu diberkati oleh Mgr. Ant. van Velsen, Vikaris Apostolik Batavia.

Tak lama kemudian dibuka sebuah sekolah rendah berbahasa Belanda untuk anak-anak golongan Tionghoa. Sekolah ini mula-mula berada di bawah pimpinan dan pengawasan misi, tetapi dalam tahun 1933 diserahkan kepada SUSTER-SUSTER YMY, yang datang dari Sulawesi untuk memperluas karya mereka di Jawa.

Di antara pater-pater Yesuit yang ditugaskan di Sukabumi, ada banyak yang menaruh perhatian besar terhadap penduduk Sunda. Sikap mereka itu didukung oleh para pembesarnya, antara lain Pater VAN KALKENS SJ, dan Pater M. KUSTERS SJ, yang di kalangan penduduk Sukabumi dikenal sebagai orang suci. Pada bulan Januari 1930, suster-suster Ursulin membuka HOLLANDS INLANDSE SCHOOL (HIS) untuk anak-anak pribumi, baik perempuan maupun laki-laki. Baru beberapa tahun kemudian terjadi pemisahan, setelah para bruder Budi Mulia membuka HIS di Sukabumi pada tahun 1936 untuk anak laki-laki.

Pada tahun 1932 Pastor C. LUCAS SJ menetap di Sukabumi, sebagai antisipasi atas rencana pemerintah Kotapraja Sukab-umi, yang akan menyerahkan pengurusan dan kepemimpinan rumah sakit umum kepada pihak swasta. Kegembiraannya memuncak, ketika pada 19 Desember 1932, Dewan Kotapraja Sukabumi memutuskan untuk menyerahkan RS Hamenta (Kemudian dinamai RS St. Lidwina) kepada para suster FRANSISKANES DARI BERGEN OP ZOOM. Para Suster BOZ ini mendarat di Jakarta pada tanggal 13 April 1933. Keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan ke selatan menuju kota berhawa sejuk, Sukabumi. Suster-suster inilah yang kemudian bersama Pastor Lucas meluaskan kegiatan dan usaha kemanusiaan mereka ke daerah pegunungan di selatan Sukabumi dan Cianjur. Mereka membuka sebuah poliklinik di Cibeber, mendirikan sebuah rumahsakit di Sukanegara. Di puncak bukit dekat rumah sakit itulah Pastor Lucas mendirikan juga sebuah pastoran.

Pada tahun 1936 didirikanlah YAYASAN CLAVER oleh para pater Yesuit. Selama 1936-1938, Yayasan ini mendirikan beberapa sekolah untuk anak-anak pribumi di perkebunan-perkebunan di daerah Sukabumi: satu buah STANDAARD SCHOOL di Sukabumi dan tujuh VOLKSSCHOOL, yaitu dua di Sukanegara dan satu di Limbangan, Cilangkap, Lengkong, Takokak, dan Cisarua. Kemudian pada 20 Februari 1939 didirikanlah YAYASAN ODORIKUS, yang mengambil alih sekolah-sekolah untuk anak-anak pribumi dari Yayasan Strada di Batavia dan dari Yayasan Claver di Sukabumi.
Kwartet pastor Wubbe (1938-1941), Kusters (1928-1941), Lucas (1932-1941), dan Wiegers (1938-1941) mengakhiri karya para pater Yesuit di Sukabumi pada tahun 1941.

Sementara itu, MGR. PETRUS WILLEKENS SJ yang sejak 1934 menjadi Vikaris Apostolik Batavia, menyatakan niatnya untuk mempekerjakan ordo-ordo dan kongregasi-kongregasi lain juga di dalam kevikariatannya yang dipercayakan kepada Serikat Yesus. Kelompok rohaniwan bukan-Yesuit pertama yang masuk Vikariat Batavia adalah pater-pater Fransiskan, yang telah tiba sejak 21 Desember 1929. Mereka diserahi reksa pastoral di paroki Kramat dan Meester Cornelis (Jatinegara), ditambah dengan panti asuhan Vincentius dan Stasi Kampung Sawah. Kemudian berturut-turut diserahkan pula stasi-stasi di luar kota Batavia, yaitu Serang, Rangkasbitung dan Cianjur, yang pada waktu itu belum menjadi stasi tetap.

Pater-pater Fransiskan yang tiba pertama itu membagi-bagi tugas sedemikian rupa. Pater BEEKMAN OFM, pemimpin regulir, menjadi pastor kepala dibantu oleh Pater A. DE KOK OFM dan HEITKÖNIG OFM sebagai pastor pembantu di paroki Kramat. Pater Heitkönig merangkap direktur Vincentius. Kedua pater yang lain, B. SCHNEIDER OFM dan LUNTER OFM menjadi pastor pembantu di paroki Meester Cornelis. Perjalanan tugas ke luar kota dilakukan oleh pater de Kok dan pater Lunter selama beberapa tahun, sampai stasi-stasi yang dikunjungi itu menjadi tempat tinggal pastor tetap.

Tempat pertama di luar kota yang didiami oleh para Fransiskan sejak 1934 adalah CICURUG. Pada 17 Desember 1933 pater CAMINADA OFM, provinsial Propinsi Fransiskan Belanda meletakkan batu pertama pembangunan sebuah biara suster-suster Klaris dengan sebuah kapela yang terbuka juga untuk upacara-upacara umum bagi umat katolik. Diberkati pada 10 Maret 1935 oleh Mgr. Willekens sendiri.

Bogor Pada Masa Vikariat Apostolik Batavia

Sejarah gereja di Bogor mulai tampil ketika pada tahun 1845 umat katolik bersama-sama umat protestan meresmikan sebuah gereja simultan yang mereka pakai sebagai tempat ibadah secara bergantian. Sekarang gedung ini telah menjadi gedung Kantor Pos Juanda. Saat itu tak ada seorang imam katolik pun yang diizinkan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk menetap di Bogor. Umat katolik yang tinggal di Karasidenan Bogor dan Karasidenan Banten masih tergabung dalam wilayah gerejani Vikariat Apostolik Batavia, yang waktu itu dipimpin oleh Yang Mulia Mgr. Jakobus Groof Pr (1842-1846).

Pada tahun 1881, Mgr. A.C. Claessens Pr, Vikarius Apostolik Batavia 1874-1893, membeli sebidang tanah berikut rumahnya di Bogor, yang kemudian dipakai sebagai gedung gereja untuk menggantikan gedung simultan. Peristiwa ini mengakhiri penggunaan gereja secara bersama antara umat katolik dan protestan di Bogor. Imam pertama yang diizinkan menetap di Bogor adalah Pastor M.Y.D. Claessens Pr pada tahun 1885. Ia, yang adalah keponakan Mgr. A.C. Claessens, menjadi perintis dan gembala gereja katolik di Bogor.

Pada tahun 1886 ia merintis berdirinya panti asuhan dengan 6 anak asuh pertama. Panti ini berkembang terus, kemudian resmi berstatus hukum sebagai Yayasan Vincentius pada tahun 1887.

Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1889, secara resmi mengakui Bogor sebagai STASI dari Vikariat Apostolik Batavia. Tujuh tahun kemudian, pada tahun 1896 sayap misi dikembangkan lebih jauh oleh Pastor MYD Claessens Pr dengan membuka sebuah gereja di Sukabumi. Setelah itu ia kembali lagi ke Bogor untuk mengerjakan ‘mahkota segala karya’-nya, yaitu membangun sebuah gereja besar bercorak Gotik, yang mulai dipakai pada tahun 1905. Gereja inilah yang kemudian dijadikan Gereja Katedral.

Para suster dari Ordo Ursulin berhasil dibujuk oleh Pastor Claessens untuk menetap di Bogor sejak tahun 1902 dan membuka TK dan SD untuk anak-anak orang Eropa. Pada tahun 1907 Pastor MYD Claessens kembali ke tanah airnya, Negeri Belanda, setelah 30 tahun lamanya bekerja keras membangun kebun anggur Tuhan di Bogor. Ia meninggal dunia dalam usia 82 tahun di Sittard, Belanda, pada tahun 1934. Karyanya dilanjutkan dengan lebih mantap oleh Pastor Antonius van Velsen SJ, seorang misionaris Yesuit, yang kemudian pada tahun 1924 diangkat oleh Tahta Suci menjadi Vikarius Apostolik Batavia keenam.

Pada tanggal 4 Juli 1926, tujuh orang bruder dari Kongregasi Santa Maria di Lourdes (BRUDER BUDI MULIA) mengambilalih pimpinan dan penyelenggaraan panti asuhan Vincentius berikut sekolahnya. Kedatangan para bruder Budi Mulia mengakhiri masa karya penuh jasa dari pater-pater Yesuit bagi Vincentius. Di dalam gedung Vincentius inilah pada pesta Kabar sukacita, 25 Maret 1934, kongregasi Budi Mulia menerima dua orang novisnya yang pertama, dua orang pemuda pribumi, yang lahir dan dibesarkan di negeri ini.

Dalam tahun 1926, Ibu Schmutzer-Hendrikse mendirikan YAYASAN JEUGDZORG untuk mengasuh dan mendidik anak-anak yang tidak menikmati asuhan ibu. Yayasan ini juga menyelenggarakan pendidikan bagi para gadis remaja dan mempersiapkan mereka untuk menjadi pengasuh anak-anak dan pengatur rumah tangga yang cakap di kemudian hari. Usaha ini pada tahun 1932 diambilalih oleh para suster kongregasi FRANCISCAINES MISSIONAIRES DE MARIE (FMM).

Kemudian pada tahun 1930 Ordo Ursulin membuka HOLLANDS CHINESE SCHOOL (HCS) di kompleks yang sekarang menjadi sekolah REGINA PACIS, yang setelah perang dunia II pengelolaannya diserahkan kepada suster-suster FMM.

Dalam bulan Januari 1938, paroki Bogor diserahkan oleh Serikat Yesus kepada ORDO KONVENTUAL. Para pater Konventual pertama adalah H. Th. Leenders dan L. van de Bergh. Kemudian pada bulan September 1938 diikuti oleh Y. van Vliet dan D. de Ridder.

Keuskupan Bogor Menuju Gereja Mandiri

Gagasan Mgr. N. Geise OFM untuk menjadikan gereja di Keuskupan Bogor lebih berwajah lokal bukanlah sekedar cita-cita. Cita-cita yang tidak didukung dengan usaha nyata untuk mewujudkannya adalah idealisme yang kosong. Salah satu kunci untuk mewarnai Keuskupan Bogor agar semakin berwajah lokal terletak pada peranan para gembalanya sendiri. Tanpa adanya para gembala yang lahir, tumbuh, dan berkembang dari dan di tengah-tengah budaya Indonesia, cita-cita luhur tersebut pasti akan lambat terwujud. Dalam rangka itulah, sejak tahun 1969 didirikanlah Seminari Tinggi Petrus-Paulus di Bandung, yang secara khusus mendidik dan menyiapkan calon-calon imam putra Indonesia untuk Keuskupan Bogor. Putra sulung Seminari Tinggi ini adalah Alm. Romo FELIX TEGUH SUWARNO PR, yang ditahbiskan menjadi imam pada bulan Januari 1975.

Usaha gigih Sang Perintis tersebut rupa-rupanya mendapat dukungan juga dari Vatikan. Hal itu terbukti dengan dikabulkannya permohonan mengundurkan diri Mgr. Geise OFM dari jabatan Uskup Bogor pada awal tahun 1974. Pada tanggal 1 Maret 1975, Sri Paus Paulus VI mengeluarkan BULLA VERBA NOBISCUM SEDULE No.1095, yang menunjuk Romo Ignatius Harsono Pr sebagai Uskup Bogor yang kedua. Dengan ditahbiskannya MGR. IGNATIUS HARSONO PR di Gereja Katedral Bogor sebagai Uskup pada hari raya kenaikan Tuhan, 8 Mei 1975, berarti ada hal baru tercatat dalam lembaran sejarah Keuskupan Bogor: seorang putra Indonesia ditahbiskan untuk menggembalakan sekitar 10.000 umat di Keuskupan ini. OMNES IN UNITATEM (Bersama Menuju Kesatuan) adalah semboyan tepat yang dipilih oleh Uskup kedua ini untuk menggambarkan betapa mulia tugas penggembalaan yang harus diembannya untuk mempersatukan seluruh umat yang terpencar-pencar di antara gunung-gemunung menjadi sebuah paguyuban/komunio.

Satu hal menarik sekitar pergantian Uskup ini yaitu adanya ‘tukar-guling’ dalam hal jabatan. Sebelum Mei 1975 Mgr. Geise OFM adalah Uskup Bogor, sedangkan Mgr. Harsono PR menjabat Rektor Seminari Tinggi Petrus-Paulus Bandung. Setelah Mei 1975 terjadi kebalikannya, di mana Mgr. Geise OFM menjadi Rektor Seminari Tinggi, sedangkan Mgr. Harsono Pr menjadi Uskup Bogor. Bahkan di Bandung, Mgr. Geise OFM masih merangkap pula sebagai Rektor Unpar yang diembannya sejak tahun 1955 sampai akhir tahun 1979.

Dalam masa penggembalaan Mgr. Harsono inilah terjadi perkembangan yang pesat dalam jumlah imam praja di Keuskupan Bogor. Boleh dikatakan hampir tiap tahun, pasti ada imam praja yang ditahbiskan untuk memperkuat jajaran pelayan pastoralnya sebagai Uskup Bogor. Untuk mendukung karya pastoral dan memperkuat persaudaraan di kalangan para imam praja, dibentuklah UNIO UNIT KEUSKUPAN BOGOR, yang anggotanya adalah semua imam praja di Keuskupan ini.

KEADAAN SOSIO-RELIGIUS

Umat katolik di Keuskupan Bogor hanya merupakan kawanan kecil di tengah-tengah mayoritas penduduk yang beragama Islam, bertempat tinggal menyebar dalam jumlah yang kecil. Dari data statistik terakhir di atas, dapat kita hitung prosentasenya hanya 0,4% dan itupun umumnya berasal dari suku-suku di luar suku Sunda dan Banten. Penduduk asli yang menjadi katolik hanya sedikit sekali. Di masa-masa yang lampau, pada waktu situasi masih sangat kondusif banyak umat katolik yang betah bertempat tinggal di daerah-daerah pedalaman. Perkebunan-perkebunan di Cianjur Selatan, Sukabumi Selatan dan pedalaman Banten menjadi saksi bisu atas semua peristiwa menawan itu. Kini banyak Anak muda dari daerah-daerah tersebut yang terpaksa pindah ke kota-kota untuk mencari kesempatan berkembang dengan lebih maksimal. Maka tidaklah mengherankan kalau banyak tempat-tempat yang dulu menjadi pusat pelayanan umat, kini sudah tidak ada lagi.

Hubungan antar pemeluk agama yang berbeda umumnya dapat berjalan dengan normal. Kesalah-pahaman kecil kadangkala terjadi juga dalam hubungan antar pemeluk agama di sini. Dalam pola hidup masyarakat pluralistik, apalagi yang berlandaskan Pancasila, semua pihak dituntut untuk melakukan dialog yang intensif atas dasar kesamaan martabat sebagai ‘insan Ilahi’. Sebab, tanpa adanya dialog terbuka antar pemeluk agama yang berbeda, maka yang timbul adalah ketidak-mengertian, yang ujung-ujungnya bermuara pada rasa khawatir dan curiga. Tidak mengherankan kalau dalam dekade-dekade terakhir ini, kecenderungan untuk mempersulit pendirian gereja sangat dirasakan oleh umat di Keuskupan Bogor. Apalagi segelintir oknum dalam masyarakat sering memelintir persoalan beribadah ke isu kristenisasi yang sangat peka.

Sangat patut dihargai pula di sini adalah berbagai upaya para pemuka berbagai agama untuk saling mempererat tali silaturahmi. Memang secara jujur kita akui bahwa hal tersebut masih pada taraf permukaan, belum terlalu mempengaruhi lapisan akar rumput dalam masyarakat agamis di kedua propinsi ini. Dalam lingkup intern kalangan kristen hubungan tersebut dijalin melalui semacam forum komunikasi, yang sering disebut sebagai BKSG (Badan Kerja Sama Gereja-gereja).
Dalam kesempatan sangat terbatas, kontak dengan suku asli Badui, terutama Badui Luar, terus berjalan dengan baik sejak dahulu kala, entah mereka dikunjungi ataupun mereka men-datangi pastoran.

KEADAAN SOSIO-EKONOMI

Masyarakat Sunda adalah masyarakat agraris, di mana bertani merupakan mata pencaharian pokok. Di daerah pantai juga ada nelayan-nelayan. Wilayah Keuskupan Bogor merupakan kawasan yang subur dan kaya akan sumber alam. Sudah sejak zaman kolonial dikembangkan perkebunan-perkebunan teh, karet, kelapa, dan kelapa sawit yang mendatangkan banyak devisa, walaupun sekarang banyak yang telah dialih-fungsikan.

Sebagai wilayah penyangga Ibu Kota Republik Indonesia, wilayah-wilayah di Keuskupan Bogor senantiasa mengikuti gerak pembangunan nasional sebagaimana nampak dalam pelbagai proyek pembangunan sosial ekonomi seperti pabrik-pabrik, industri-industri dan pemukiman-pemukiman baru. Pola hidup masyarakatpun turut berubah dengan cepatnya. Bahkan banyak tanah yang dijual kepada masyarakat-kota yang berduit demi keuntungan sesaat. Masyarakat asli yang sebelumnya merupakan petani pemilik tanah, kini banyak yang menjadi petani penggarap, buruh bangunan, atau tenaga harian lepas/musiman. Masuknya para pendatang baru yang lebih menguasai ilmu dan teknologi hampir di semua sektor kehidupan, telah menggeser kedudukan masyarakat Sunda karena kalah bersaing dengan para pendatang itu.

Krisis ekonomi nasional yang berkepanjangan juga turut memperparah kehidupan sosial-ekonomi sebagian besar masyarakat. Banyak pabrik yang ditutup, perusahaan yang bangkrut, dan industri yang gulung-tikar karena kekurangan modal kerja. Akibatnya, banyak terjadi pemutusan hubungan kerja dan banyak orang yang terpaksa kehilangan pekerjaannya. Hasil lulusan pendidikan tidak dapat disalurkan untuk bekerja karena ketiadaan lapangan kerja. Banyak anak putus sekolah karena orangtua tak sanggup membiayai sekolahnya. Akibatnya, jumlah pengangguran menjadi bertambah banyak dan hal ini berpotensi menimbulkan masalah-masalah sosial baru.

KEADAAN DAN PEMELIHARAAN LINGKUNGAN HIDUP

Dalam wilayah Keuskupan Bogor terdapat banyak obyek wisata, baik wisata pegunungan maupun wisata bahari, yang cocok untuk beristirahat dan berekreasi. Kota Bogor sendiri bahkan sejak zaman kolonial dinamai ‘Buitenzorg’. Nama yang mengingatkan kita pada kedudukan Bogor sebagai tempat beristirahat dan berekreasi. Di sekitar Bogor ada wisata pegunungan (Gunung Salak, Gede, dan Pangrango), maupun wisata alam (Kebun Raya Bogor, Kebun Teh Gunung Mas, Kebun Buah Mekarsari Jonggol, Taman Safari, dan Kawasan Puncak). Di Cianjur banyak obyek wisata menarik, seperti Kebun Teh, Taman Bunga Nasional, Kebun Raya Cibodas dan Cipanas. Di Sukabumi kita dapat menikmati panorama Gunung Pangrongo dari sisi yang lain ataupun panorama Pegunungan Pesisir Pantai Selatan dan Pelabuhan Ratu. Sedangkan ke arah barat di propinsi Banten dapat ditemui Taman Nasional Ujung Kulon dengan species badak bercula satunya, Wisata Gunung Krakatau, dan wisata pantai di sekitar Labuan, Anyer, dan Merak (Tanjung Lesung, Carita, Karang Bolong, dan Florida). Seharusnya, kekayaan wisata di atas dapat mengangkat taraf hidup masyarakat Sunda dan Banten, namun dalam kenyataan kita lihat betapa sedikitnya masyarakat setempat yang mendapat kesempatan dan manfaat untuk hidup baik.

Pembangunan fisik, seperti pemukiman-pemukiman baru dan industri yang demikian pesat dan tak terkendali telah membawa kerusakan lingkungan yang cukup parah dan mengancam kedudukan sebagian wilayah ini sebagai kawasan hijau dan daerah resapan air. Sawah-ladang hijau telah berubah menjadi ‘hutan-beton’ hanya dalam tiga dasawarsa. Ekosistem lingkungan menjadi rusak dan membahayakan kehidupan di masa yang akan datang. Selain itu. pembangunan fisik tersebut membawa pula perubahan dalam pola hidup masyarakat dari yang bersifat agraris ke pola hidup modern dengan akibat nilai-nilai tradisional pun ikut tergeser pula.

Pelayanan Kategorial

Bersamaan dengan berkembanganya paroki-paroki, pelayanan terhadap UMAT KELOMPOK KATEGORIAL juga mendapat perhatian istimewa. Kelompok GURU-GURU INPRES, yang sebagian besar berasal dari Maluku dan Jawa Tengah, mendapat pelayanan rutin dari Pater G.W.J. RUIJS OFM dan PP Sosek KB. Secara berkala mereka dikumpulkan di rumah retret Cibadak dalam acara bersama, yang tentunya sangat berguna untuk memperteguh iman mereka yang dengan setia turut menjadi tanda kehadiran Gereja dalam pelayanan terhadap sesama di pelosok-pelosok. Pendampingan guru-guru inpres ini berlangsung sampai paruh pertama dasawarsa delapanpuluhan. Beberapa frater Seminari Tinggi Praja di Bandungpun turut dilibatkan dalam pendampingan ini.

Kelompok buruh di sekitar Cibinong juga mendapat pembinaan pastoral dari pihak pimpinan Keuskupan, melalui PP Sosek KB, yang dalam era 70 dan 80-an sangat berperanan dalam usaha MENGEMBANGKAN SUMBER DAYA MANUSIA, di tempat-tempat tertentu dalam wilayah Keuskupan ini. Berkembangnya industri di sekitar Cibinong membawa dampak bagi perlunya pendampingan pastoral kategorial khusus. Mengapa? Karena di tempat-tempat seperti inilah ‘nasib’ kaum buruh, yang umumnya berasal dari daerah, sangat rentan terhadap kemungkinan mendapat perlakuan sewenang- wenang.

Kelompok MUDA MUDI KATOLIK dibangkitkan kembali setelah tertidur hampir satu dasawarsa lamanya. Organisasi PMKRI masih berjalan tertatih-tatih, namun Pemuda Katolik yang tampil gagah pada tahun 60-an di Bogor kini tinggal kenangan. Pater G.W.J. Ruijs OFM bersama beberapa pemuda dan mahasiswa mencoba menyadarkan kembali kaum muda katolik di Keuskupan Bogor ini tentang pentingnya belajar berorganisasi. Tonggak awal kebangkitan tersebut ditandai oleh peresmian berdirinya MUDIKA KEUSKUPAN BOGOR dalam Musyawarah Muda-mudi Katolik se Keuskupan Bogor di Sindanglaya pada tanggal 11-13 Desember 1977.

Begitu juga PMKRI diajak untuk bangkit kembali menjadi wadah para mahasiswa menggembleng ketajaman visinya terhadap kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Walaupun lambat, namun toh terasa ada denyut kehidupan yang dialirkan dari markas mereka di Marga Putra dan Marga Putri, Jalan Riau Bogor.

Dari Sadayana Ngahiji Menjadi Mekar

Dalam rangka menjalin komunikasi antar kelompok dan antar umat di Keuskupan Bogor, pada tahun 1979 Pater G.W.J. Ruijs OFM bersama PP Sosek Keuskupan Bogor menerbitkan sebuah Majalah yang diberi nama OMNES IN UNITATEM. Beberapa waktu kemudian namanya diubah menjadi SADAYANA NGAHIJI (arti: Semuanya Bersatu). Majalah ini sempat mengalami mati suri selama beberapa tahun karena ditinggal oleh pengelolanya yang mendapat tugas menjadi gembala di Keuskupan Jayapura, Papua.

Majalah ini bangkit kembali pada bulan Mei 1985 dengan nama baru, MEKAR, Media Komunikasi Antar Paroki, yang diterbitkan oleh Komisi Komsos Keuskupan Bogor, yang waktu itu diketuai oleh ROMO DOMINICUS SUTEDJO PR dan dibantu oleh P. KORNELIUS KEYRANS OFM. Namun lagi-lagi tak bertahan lama karena hambatan kekurangan tenaga profesional untuk mengelolanya dan utang biaya cetak yang menumpuk.

Baru pada awal tahun sembilan puluhan, beberapa umat Depok, yang dimotori oleh Bapak R.A.Y. SOESILO dan ROMO AGUSTINUS SUYATNO PR, berusaha menghidupkan kembali MEKAR. Bahkan pada masa ini mereka sempat mendapatkan subsidi dana dari Propaganda Fide, yang kemudian digunakan untuk membeli peralatan komputer untuk mengolah MEKAR. Krisis moneter berkepanjangan yang dimulai sejak medio 1997 turut menggoyang keberadaan MEKAR. Pada awal 1998 dengan berat hati MEKAR kembali menguncup, menunggu uluran tangan banyak pihak yang punya perhatian besar terhadap dunia penerbitan non komersial. MEKAR harus dijadikan sarana mengkomunikasikan informasi antar paroki/lembaga. Oleh karena itu, semua pihak harus mau bersama-sama mencari jalan ke luar yang paling tepat agar kelangsungan hidup MEKAR bisa terjaga kesinambungannya. Mungkin kunci utamanya adalah menyiapkan sumber daya manusia yang handal, yang diharapkan mampu menjamin bobot/mutu isi majalah dan mengurus pemasarannya dengan cara yang tepat.

Datangnya pergantian millenium, menjadi tanda awal kebangkitan ketiga majalah MEKAR. Ketua Komsos yang baru, Bapak DOMINICUS AGUS GUNAWAN, dengan beberapa orang stafnya mencoba untuk menerbitkan kembali sarana komunikasi kebanggaan Keuskupan Bogor ini. Tidak muluk-muluk, targetnya setahun bisa terbit 3-4 kali. Semua umat tentu menaruh harapan kepada tim kerja ini agar mampu menjaga MEKAR tetap terbit selamanya. Sebaliknya, tim kerja MEKAR pun pasti tak dapat berbuat banyak kalau tidak didukung oleh semua pihak di Keuskupan ini, mulai dari Kuria Keuskupan, para Pastor Paroki, para Romo dan Biarawan/biarawati, para Pengurus Paroki/Wilayah/lingkungan/rukun, dan semua umat beriman lainnya.

Semua pihak harus diajak untuk berperan serta secara aktif menggerakkan karya di bidang KOMSOS agar Keuskupan Bogor yang letaknya di jantung Republik Indonesia ini tidak ketinggalan menikmati perubahan dunia yang begitu cepat dan pesat. Ke depan, bahkan harus mulai dipikirkan untuk mengelola kerasulan di bidang KOMSOS secara profesional melalui sebuah Badan Penerbitan, yang mau dan sanggup memanfaatkan bidang TELEMATIKA untuk mewartakan Cinta Kasih kepada siapapun juga.

PENGORGANISASIAN KARYA PASTORAL

Gereja Keuskupan Bogor yang terus berkembang membutuhkan pengorganisasian yang lebih baik dalam pelayanan pastoralnya. Jumlah imam pada waktu itu yang hanya duapuluhan orang tidaklah memadai untuk melayani wilayah seluas Keuskupan Bogor. Uskup Harsono memandang bahwa umat perlu diajak menyadari peranannya dalam kehidupan menggereja di Keuskupan Bogor. Tiap umat harus merasa bahwa dirinya adalah bagian dari Gereja yang satu dengan tugas perutusan yang sama, di mana setiap orang tanpa kecuali, dipanggil untuk melibatkan diri secara nyata dalam kehidupan menggereja dan memasyarakat di Tatar Sunda ini.

Gagasan tadi menelurkan TAHUN PENYADARAN, yang puncaknya melahirkan ANGGARAN DASAR DEWAN PAROKI KEUSKUPAN BOGOR pada tahun 1982. Tiap paroki sedikit demi sedikit berusaha membereskan manajemen keorganisasian parokinya. Di tiap Paroki dibentuk Dewan Paroki dengan perangkat pelengkapnya masing-masing, yang akan membantu Pastor Paroki menggembalakan umatnya yang semakin bertambah. Pada bulan Juni 1987 diadakan TEMU KARYA PASTORAL KEUSKUPAN BOGOR, yang diikuti oleh wakil-wakil umat dan organisasi-organisasi.

Sementara itu, Stasi Megamendung yang selama ini menjadi bagian dari Paroki Santo Fransiskus Sukasari, pada tahun 1984 ditingkatkan statusnya menjadi Paroki Santo Yakobus Megamendung. Adapun Pastor BOB LEVEBVRE MM, satu-satunya imam dari Kongregasi Maryknoll Father yang berkarya di Keuskupan Bogor, ditunjuk sebagai pastor paroki pertamanya. Buku baptis Paroki Megamendung pertama kali digunakan pada tanggal 10 November 1985. Atas prakarsa umat, pada pertengahan dasawarsa sembilan puluhan gedung gereja yang berupa sebuah rumah kecil ini disulap menjadi gedung yang memadai untuk disebut gereja.

Paroki Cibinong, yang pelayanan pastoralnya selalu mendapat bantuan tenaga dari Katedral Bogor, kemudian mengalami kevakuman beberapa saat sejak tahun 1984 memiliki Pastor Paroki yang menetap di tengah-tengah umatnya sendiri dengan hadirnya Pater DIAZ VIERA SVD, mantan Direktur Nasional KKI di Jakarta. Paroki Cibinong memang unik. Sejak tanggal 5 Juli 1975 sebenarnya sudah ditingkatkan statusnya dari Stasi Philipus menjadi Paroki Keluarga Kudus oleh Mgr. Geise OFM. Dari sinilah gerakan pemekaran paroki-paroki KUB (Kawasan Utara Bogor) dimulai.

Salah satu tantangan baru yang dihadapi oleh pimpinan Keuskupan Bogor pada waktu itu adalah menangani pastoral mahasiswa. Sebagaimana kita ketahui bahwa sejak tahun 1987, sedikit demi sedikit UNIVERSITAS INDONESIA MEMINDAHKAN KAMPUSNYA ke Pondok Cina, Depok, yang berada dalam wilayah Keuskupan Bogor. Penanganan pembinaan pastoral maha-siswa katolik UI tetap dipercayakan kepada Pastor IGNATIUS ISMARTONO SJ, yang sebelumnya adalah Pastor Mahasiswa di Keuskupan Agung Jakarta. Sedangkan untuk pembinaan pastoral dan pendampingan mahasiswa katolik di kota Bogor ditangani oleh PATER YUSTINUS SEMIUN OFM, yang sekaligus merangkap tugas menjadi dosen agama katolik di beberapa Perguruan Tinggi di Bogor.

Kongregasi Suster-suster ABDI KRISTUS (dahulu ADSK) memulai komunitasnya pada tanggal 28 Juni 1988 dengan 4 orang suster. Sebelum memiliki rumah di Jalan Margonda Raya, mereka tinggal di rumah milik paroki di Jalan Bangau I, dekat gereja Herculanus. Mereka membantu kegiatan pastoral di paroki, mengelola asrama mahasiswi, dan bekerja di Komisi PSE-KWI. Sejak medio sembilanpuluhan mereka juga membantu mengelola persekolahan Mardi Yuana Depok.

Fransiskan Mengurangi Peranan

Ordo Fransiskan adalah pioner pertumbuhan gereja di Keuskupan Bogor. Ditandai dengan pembangunan rumah retret di Cicurug tahun 1933, pelayanan para fransiskan terus berkembang ke seluruh wilayah Keuskupan Bogor. Boleh dikatakan Cicurug telah menjadi pusat perkembangan awal fransiskan di Indonesia selama 30 tahun lamanya, sampai perpindahan pendidikan fransiskan ke Yogyakarta (1965 untuk studi teologi) dan Jakarta (1968 untuk mahasiswa filsafat). Setelah 20 tahun meninggalkan Keuskupan Bogor sebagai tempat pembenihan para fransiskan muda, dalam Kapitel tahun 1982 para fransiskan memutuskan untuk kembali ke Keuskupan Bogor, dengan memilih Depok sebagai novisiat. Pada tanggal 27 Desember 1983, Pater Michael Angkur OFM, MINISTER PROVINSI FRANSISKAN, mengajukan surat permohonan untuk membangun Wisma Novisiat Fransiskan di Depok. Setahun kemudian dimulailah pembenihan para fransiskan muda di Novisiat Transitus, Depok. Dengan demikian, keterikatan historis Fransiskan dengan Keuskupan Bogor dinyatakan kembali.

Sebagai pioner, tugas para fransiskan adalah membuka jalan bagi para imam praja untuk mulai berkarya di Keuskupan Bogor. Setelah jumlah imam praja cukup banyak untuk pelayanan di wilayah Keuskupan Bogor, para fransiskan dengan semangat misionernya memutuskan untuk memulai sesuatu yang baru. Pada tanggal 11 Maret 1988 mereka mengembangkan sayap pelayanan ke Timor Timur, dengan mengirim Pater Andre Hama OFM dan Bruder Willy Wetak OFM sebagai pioner ke Samei/Alas. Sejalan dengan semangat para fransiskan itu, maka dalam perjanjian kerja sama antara Mgr. Harsono Pr. dengan Pater Michael Angkur OFM yang kala itu menjabat provinsial OFM, ditegaskan bahwa pelayanan OFM di Keuskupan Bogor, hanya di 3 paroki, yaitu Cianjur, Cipanas, dan Depok Lama. Ditambah pelayanan dan pendampingan rohani untuk biara-biara di sekitar Cipanas, Novisiat Transitus, dan Panti Asuhan Santo Yusuf.

LAHIRNYA BANYAK GERAKAN AWAM

Sebagai seorang Sosiolog, Uskup Harsono melihat kehidupan sebagai hasil korelasi antara berbagai manusia. Setiap manusia bisa berkembang kalau terbina relasi yang baik antara yang satu dengan yang lain. Oleh karenanya, setiap orang, setiap pribadi, setiap komunitas/kelompok, setiap kongregasi yang berniat baik, diberikannya kesempatan untuk berkembang di Keuskupan Bogor ini. Beliau ingin mewarnai Keuskupan Bogor dengan pelangi yang indah di balik gunung-gemunung yang menjulang tinggi.

Kerasulan MARRIAGE ENCOUNTER sejak tahun 1979 diberi peluang untuk berkembang mendampingi para pasutri. Gerakan ini masuk Jakarta pada tahun 1975, ketika beberapa tokoh ME dari Belgia diundang oleh Mgr. Leo Soekoto SJ untuk mendampingi week-end para pasutri. Selain itu, ada Gerakan PERSEKUTUAN DOA KARISMATIK KATOLIK, yang diizinkan mengembangkan sayap di paroki-paroki sejak tahun 1980. Sebenarnya pada tahun 1975 gerakan Karismatik telah dirintis kelahirannya oleh Alm. Pater MA’MUN MUCHTAR OFM dan Sr. LAETITIA RGS. Di Jakarta pada bulan Mei 1976, Mgr. Leo mengundang Pastor J. O’Brien SJ dan Pastor H. Schneider SJ dari Manila untuk mengadakan Seminar Hidup Baru dalam Roh. Tak lama kemudian Bapak R. ABDISA bersama beberapa umat di Jakarta membentuk P-3-S, yang dengan cepat berkembang pula ke Keuskupan Bogor.

Pada awal dasawarsa sembilan puluhan, beberapa tokoh cendekiawan Katolik yang dimotori oleh BR. ADI BM mencoba menggerakkan kembali ISKA (Ikatan Sarjana Katolik). KELOMPOK BELADIRI THS/THM boleh tumbuh dan berkembang, bahkan ditawarkan untuk membuka sebuah padepokan untuk membina kaum muda di Keuskupan Bogor. Kelompok ini memulai kegiatannya DI SUKASARI pada tahun 1991, kemudian meluas ke paroki-paroki Sukabumi, Cianjur, Katedral, dan Depok.

Para suster dari INSTITUT SEKULAR ALMA dan ROSA MISTICA pun turut menyumbang tenaga di kota Bogor dan Serang. ROMO YOHANES INDRAKUSUMA O.CARM bersama 12 orang fraternya dari Malang mulai membuka komunitas biara baru: ‘Pertapaan CSE Shanti Bhuana’ di Cikanyere, Cipanas, mulai tanggal 14 Desember 1988. Bahkan dua tahun kemudian, tepatnya pada hari Pentakosta, 3 Juni 1990, kelompok CARMELITAE SANCTI ELIAE (CSE) ini diresmikan oleh Mgr. Ignatius Harsono Pr sebagai ASSOCIATIO. Beberapa tahun kemudian, pelayanan kelompok ini di Cikanyere dilengkapi dengan hadirnya para SUSTER PUTRI KARMEL, yang sejak 30 Desember 1995 diizinkan oleh Uskup Michael untuk menetap di Biara Santa Imelda, kompleks Pondok Remaja Lembah Karmel, Cikanyere.

Sumber : http://www.keuskupanbogor.org/sejarah/

baca selanjutnya...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP