Sejarah Paroki St. Yohanes Penginjil Bondowoso
Bondowoso Selayang Pandang
Bondowoso dikenal luas ketika orang menyebut Kawah Ijen dan Tape Legi. Kawah Ijen adalah satu kawasan wisata di daerah Sempol yang dikenal secara internasional karena keindahannya. Tape legi merupakan makanan khas daerah dari ketela pohon yang disebut fermented of cassava oleh pelancong asing. Lebih dalam lagi, Bondowoso ternyata amat dikenal dalam percaturan sejarah terutama karena peninggalan-peninggalan purba dan peninggalan dari jaman Hindia Belanda yang jejaknya masih membekas hingga sekarang. Pembicaraan tentang Paroki Yohanes Penginjil Bondowoso tidak akan utuh tanpa menyebut kekayaan itu. Lahir dan perkembangannya tak pernah dapat dilepaskan dari geliat kehidupan yang berkembang di sini, dari masa ke masa.
Bondowoso udaranya sejuk, dengan suhu rata-rata antara 15.40-25.10 o C., karena berada di antara Pegunungan Kendeng Utara di Timur; Pegunungan Hyang di Barat dan deretan Gunung Alas Sereh, Biser dan Mendusa di Utara, pada ketinggian 78 - 2.300 dpl. Sebagai satu kabupaten yang luasnya 1.560.10 km2, seluruh kawasan dapat dipilah menjadi tiga bagian. Kawasan barat berupa pegunungan. Kawasan tengah berupa dataran tinggi bergelombang dan kawasan timur berupa pegunungan bagian dari dataran tinggi Ijen. Karena posisi geografisnya, Bondowoso tidak punya batas laut. Juga tidak punya jalan negara penghubung antar propinsi. Jalan-jalan di kawasan ini termasuk dalam kategori jalan kolektor primer, lokal primer dan lokal sekunder saja.
Perkembangan terakhir, wilayah administrasinya meliputi 23 kecamatan : Pakem, Binakal, Wringin, Curahdami, Klabang, Grujugan, Maesan, Tamanan, Pujer, Tenggarang, Wonosari, Sukosari, Sempol, Tegalampel, Prajekan, Cerme, Bondowoso, Botolinggo, Jambesari Darus Sholah, Tlogosari, Sumber Wringin, Taman Krocok dan Tapen. Gereja induk Paroki St. Yohanes Penginjil terletak di Kecamatan Bondowoso, tepatnya di Jl. A. Yani 20, Kelurahan Badean. Satu-satunya kapel Stasi terdapat di Kecamatan Sumber Wringin, searah dengan lintasan menuju Kawah Ijen. Kapel diresmikan pada tanggal 19 Januari 2002 dengan nama pelindung St. Theresia. Digunakan untuk melayani umat Katolik dari daerah Wonosari, Wonosalam (Wonokusumo), Sukosari dan Sumber Wringin. Satu-satunya Biara Katolik berada di Jl. Letnan Sudiono 29 di Kecamatan Bondowoso, yakni Biara Suster St. Perawan Maria ( SPM ), berdiri sejak 1958. Sekolah-sekolah Katolik semua di Kecamatan Bondowoso. Sebuah kompleks makam Katolik bernama Makam Katolik Selokambang terletak di Kota Kulon, Kecamatan Bondowoso, berdampingan dengan kompleks makam Kristen dan makam Islam. Mayoritas umat Katolik umumnya berdomisili di Kecamatan Bondowoso juga.
Dalam kesatuannya dengan Pasuruan, Probolinggo dan Situbondo, Bondowoso disebut juga bagian dari kawasan tapal kuda, untuk menandai besarnya pengaruh Islam dan suku Madura sampai di pelosok-pelosoknya. Penandaan itu tak dapat dipungkiri mengingat nama besar Ki Ronggo sebagai cikal bakal Bondowoso yang identik dengan penyebaran Islam dan suku Madura di masa lalu. Sampai sekarang pengaruh itu tetap terasa kental, tampak dari jumlah pondok pesantren dan penggunaan nama-nama daerah pemekaran baru dengan identifikasi yang bernafaskan Islami, seperti Koncer Darul Alam, Jambesari Darus Sholah. Kendati demikian selama ini relasi antar umat beragama pada umumnya dapat berlangsung dengan baik.
Peninggalan-peninggalan purba yang tersebar di sini memperlihatkan geliat kehidupan megalitikum dan kerohanian Hindu yang pernah berkembang di masa yang lebih kuno. Terdapat 12 situs purba yang tersebar di Kecamatan Wringin, Maesan, Grujukan, Jambesari Darus Sholah, Tegal Ampel, Bondowoso, Prajekan, Tlogosari dan Sempol. Peninggalan-peninggalan yang ditemukan antara lain berupa Dolmen, Punden Berundak, Menhir, Sarkopagus, Kubur Batu, Batu Kenong, Pelinggih, Batu Ruang atau Stunchambers, Gua Bato, Ekopak, Abris Saus Roche dan Area Batu. Disebut dalam diskusi arkheologi, Bondowoso adalah Kerajaan Megalitikum. Selain menandai luas dan banyaknya warisan jaman batu dan Hindu, julukan itu juga berbicara tentang kenyamanan untuk membangun kehidupan bermasyarakat di tempat ini ketika itu. Warisan ini tampaknya memang tidak terkait dengan perkembangan Gereja Katolik Bondowoso, namun harus dilihat kemudian sebagai bagian dari kekayaan tak ternilai yang terdapat di wilayah Paroki. Ada tanggungjawab moral untuk menghormati, melindungi dan menjamin kelestariannya.
Pada abad 19 Hindia Belanda menguasai kawasan ini. Mereka membaca potensi Bondowoso dengan cermat dan merancang kelola kawasannya begitu rupa. Bondowoso pada jaman itu masuk wilayah Karesidenan Besuki, bersama Jember. Hindia Belanda membangun gedung Karesidenan Besuki di pusat kotanya, lengkap dengan alun-alun, gedung pengadilan, penjara, tangsi militer, masjid, Gereja Kristen, pusat pertokoan, kawasan pemukiman dan sekolah untuk anak-anak mereka. Pabrik Gula, bendungan sungai, sawah untuk tebu, perkebunan kopi di gunung-gunung, tempat rekreasi, stasiun kereta, jembatan, rel kereta api dan jalan-jalan semua dirancang dengan penataan yang elok seolah Bondowoso sungguh sebuah kota sentral dan kota harapan.
Permulaan yang tegas dari kehadiran Gereja di kawasan Bondowoso ditemukan dalam sejarah Gereja Kristen Jawi Wetan pada jaman Hindia Belanda ini. Tercatat dalam sejarah Gereja Kristen Jawi Wetan, pada tahun 1882 sudah terbentuk kelompok pertama jemaatnya di Pakem, pelosok selatan Bondowoso. Menyusul pada tahun 1896 terbentuk jemaat yang lebih stabil di Bondowoso. Mereka dilayani oleh utusan-utusan Java Comite yang menangani pekabaran Injil di Jawa Timur bagian timur. Pada jaman itu banyak orang-orang Eropah beragama Kristen yang bekerja untuk Hindia Belanda di sini. Bendungan Sungai Sampean, misalnya dibangun pada tahun 1876 oleh seorang arsitek dan politikus bernama Hendrikus Hubertus van Kol. Lintasan Kereta api yang menghubungkan Jember, Kalisat, Bondowoso dan Panarukan pada tahun 1897 dibangun oleh seorang pengusaha bernama George Bernie. Meskipun tak pasti, dapat diduga mereka dilayani Zending, karena ketika itu Zending lebih didukung Hindia Belanda daripada Misi. Namun tidak mustahil jika diantara orang-orang Eropa di Bondowoso ketika itu terdapat juga orang-orang yang beragama Katolik. Bagi mereka itu Misi memberikan pelayanan dengan kunjungan-kunjungan berkala oleh para pastor dalam perjalanan dinas yang diatur oleh Perfektur Apostolik Batavia, sejak 1807.
Catatan Misi Katolik yang jelas dapat ditemukan di Malang. Prasasti di Gereja Hati Kudus Kayutangan Malang menyebutkan, kawasan pojok Jawa Timur ini, sejak 2 Juli 1896 sampai dengan 1 Agustus 1923 dilayani oleh misionarisGereja Hati Kudus Kayutangan di Malang menjadi pusat misi mereka. Mulai tanggal 1 Agustus 1923 pelayanannya dilanjutkan oleh Misionaris Ordo Karmel, yang diserahi tugas oleh Kongregasi Suci Penyebaran Iman menggantikan Misionaris Yesuit itu karena mereka akan pindah ke Jawa Tengah dan Jawa Barat. Tidak tampak jejak-jejak yang pasti dari karya misionaris Yesuit di Bondowoso. Satu laporan dari mereka menyebutkan dalam kunjungan ke Besuki dan sekitarnya, mereka menjumpai banyak orang-orang Eropa hidup bersama dengan wanita setempat tanpa ikatan nikah. Mereka menjangkau daerah Besuki dan sekitarnya, namun tampaknya sebatas perjalanan dinas. Jejak-jejak yang pasti menyingkapkan, paroki Bondowoso termasuk buah-buah dari karya Ordo Karmel selama satu dekade pertama di pojok timur pulau Jawa ini.
Periode Sebelum Menjadi Paroki
Misionaris dari Ordo Karmel yang datang pada bulan Agustus tahun 1923 itu ialah Pater Clemens van der Pas O.Carm, Pater Paschalis Breukel O.Carm dan Pater Linus Kenckens O.Carm. Pusat misi pertama Ordo Karmel tetap di Gereja Hati Kudus Yesus Kayutangan di Malang dan pelayanan ke daerah-daerah dilakukan dengan perjalanan dinas. Adapun daerah Misi bagian timur Jawa Timur yang diserahkan kepada Ordo Karmel meliputi wilayah Karesidenan Malang dan Besuki serta Pulau Madura. Luas keseluruhannya sekitar 24.409 km2, dengan jumlah penduduk kira-kira tujuh juta. Diperkirakan ada 2800 orang Katolik bangsa Eropa yang tersebar di berbagai tempat dan sejumlah orang Katolik bumi putera. Misionaris Yesuit mewariskan tiga gereja di tiga kota, yaitu Gereja St. Antonius Padua di Pasuruan ( 1895 ), Gereja Hati Kudus Yesus di Kayutangan ( 1906 ) dan Gereja di Lawang ( 1916 ).
Tahun 1924 Pater Linus Kenckens O.Carm merintis pusat misi kedua di Probolinggo untuk melayani daerah-daerah sekitarnya. Rintisan ini diperkuat dengan kehadiran para suster SPM pada tahun 1926 di sana dan Pater Emmanuel Stultiens O.Carm. yang kemudian akan banyak disebut sebagai perintis beberapa paroki di pojok timur Jawa ini. Dari perjalanan dinas yang dilakukan selama dua tahun buahnya dapat dipetik di Jember. Tanggal 4 Juni 1928 Stasi Jember diangkat menjadi Paroki oleh Mgr. Clemnes van der Pas O.Carm sebagai Perfek Apostolik pertama di Malang. Pelayanan umat di wilayah timur yang semula dilakukan dari Probolinggo dan Malang kini lebih banyak ditangani dari paroki ini. Sejak masa itu pula Paroki Jember membidani lahirnya sejumlah paroki di wilayah sekitarnya: Jember , 4 Juni 1928; Bondowoso, 18 Oktober 1936; Glagah Agung 20 Maret 1940 kemudian pindah ke Curah Jati 1 Agustus 1956; Banyuwangi, 20 September 1945; Situbondo, 1 April 1953; Genteng, 1970; Tanggul, 15 Desember 1996, Ambulu, 2006
Masa Persiapan dan Hari Jadi Paroki, 1932-1936
Sejak Jember menjadi Paroki, umat Katolik di Bondowoso dilayani dari sini dalam status sebagai Stasi. Sumber-sumber lisan di paroki menuturkan di Bondowoso ketika itu terdapat sekitar 20 keluarga Katolik Eropa yang bekerja di kantor Karesidenan, pabrik gula, perdagangan, kesehatan dan transportasi. Dikenal ada keluarga Katolik pribumi juga. Disebut nama keluarga FX Brodjo Marsono, seorang Guru SR yang dikenal sebagai Katolik Pribumi di Bondowoso sejak 1929. Zending ketika itu lebih berpengaruh. Pelayanan bagi orang Katolik dilakukan dengan kunjungan-kunjungan dan perayaan sakramen oleh Pastor-pastor dari Jember, diantaranya Pater Linus Hencken O.Carm, Pater Emmanuel Stultiens O.Carm, Pater Lucas van der Linden O.Carm, Pater Xaverius Vloet O.Carm dan Pastor Methodius Hendriks O.Carm. Sementara belum memiliki gedung Gereja, perayaan Ekaristi dilakukan di gedung Europe School di sebelah utara alun-alun Bondowoso atau di Gedung Pengadilan di sebelah timurnya.
Sekitar tahun 1932 dimulai pembicaraan untuk mendirikan gedung Gereja Katolik dan pencarian lahan untuk keperluan itu. Disebut nama sejumlah tokoh Katolik Eropa dan tokoh Katolik pribumi yang berperan, yaitu Tuan Refuge seorang pengusaha dari Belgia, Tuan Old Heuten dari Belanda, dokter Caselughe dari Cekoslovakia dan Bapak FX. Brodjo Marsono, yang rumahnya sering digunakan untuk merundingkan rencana itu. Tahun 1933 perencanaan dimantapkan dengan kehadiran seorang Residen Besuki yang beragama Katolik di Bondowoso. Lahan untuk gedung Gereja akhirnya diperoleh dari hibah keluarga Ny. A.L. Luyten. Terletak di pinggir jalan raya Bondowoso-Jember, dengan kondisi bergelombang dan banyak genangan airnya. Setelah diratakan, pembangunan dimulai tahun 1935 dengan arsitektur seorang Belanda. Bahan untuk pembangunan didatangkan dari Jember dan Malang. Bahkan ada yang khusus didatangkan dari Belanda, yaitu konstruksi kuda-kudanya. Pembangunan berlangsung kurang lebih setahun. Kapasitasnya untuk 200 orang. Pada tanggal 18 Oktober 1936 Gereja diresmikan oleh Mgr. A. Albers O.Carm., menandai sekaligus pengangkatan Stasi Bondowoso menjadi sebuah Paroki baru dengan nama Santo Yohanes Penginjil. Mgr. Albers menugaskan Pater Methodius Hendriks O.Carm menjadi pastor paroki pertama. Beliau tinggal di satu ruang bagian belakang Gereja, yang sekaligus berfungsi sebagai Sakristi. Tidak diketahui berapa jumlah umat ketika itu. Juga tidak dapat diperoleh informasi lebih rinci tentang upacara peresmian itu.
Dalam catatan sejarah Perfektur Apostolik Malang, selama tahun 1936 Mgr. A. Albers O.Carm secara berurutan telah menetapkan tiga stasi menjadi paroki, yaitu Blimbing, Lumajang dan Bondowoso. Pertimbangannya tentu saja menyangkut jumlah umat, potensi wilayah, tenaga pelayanan dan harapan untuk perkembangannya di kemudian hari. Ketika itu Mgr. Albers O.Carm telah setahun menjadi Perfek Apostolik kedua di Perfektur Apostolik Malang, menggantikan Mgr. Clemens van der Pas. O.Carm yang wafat tahun 1933. Berdasarkan catatan ini, tampaklah berdirinya paroki Bondowoso dipertimbangkan sebagai rencana misi Perfektur Apostolik Malang dan mencerminkan kebijakan pastoral yang penuh harapan dan gelora ketika itu.
Periode Awal Karya, 1936-1945
Pater Math. Hendriks, menjadi Pastor Paroki Bondowoso hanya setahun. Sesudahnya dilayani oleh Pater St. Mulder O.Carm selama beberapa waktu, Pater Petrus Staarman O.Carm juga untuk waktu yang tak lama. Perayaan Natal 1939 dilayani Mgr. A. Albers, membantu Pater Ch. H.W. Viester O.Carm pastor Paroki antara 1939-1942. Agaknya pada waktu itu cukup sering dilakukan rotasi para imam mengingat banyaknya tempat yang perlu dilayani dengan jumlah tenaga yang terbatas. Ada pastor yang diberi tugas menetap, namun ada juga yang diperbantukan untuk beberapa waktu.
Pada tahun 1937 disebut nama baru dari Katolik pribumi, yaitu Bp. Moeljodihardjo yang masuk ke Bondowoso membantu Paroki sebagai koster dan sekaligus Katekis. Kehadiran Bp. Moeljodiharjdo memperkuat barisan umat pribumi yang sejak 1929 sudah banyak berperan, yaitu keluarga Bp. FX. Brodjo Marsono. Selama tiga tahun Bp. Morljodihardjo membantu dalam bidang katekese sampai beliau pindah pada tahun 1940. Tidak banyak data yang tersedia tentang beliau, karena sesudah pindah tak diketahui lagi keberadaannya. Namun ada dua hal penting yang dapat diperoleh sebagai data sekitar tahun 1940. Dikisahkan pada tahun 1940 ada pengusaha beras dari keluarga Tionghoa yang dibaptis dan segera berperan dalam pemekaran karya Paroki. Pada tahun 1940 pula Pater Viester sebagai pastor Paroki merintis karya dalam bidang pendidikan dengan mendirikan TKK di kompleks Gereja dengan cara yang unik. Beliau menyekat Gedung gereja menjadi dua bagian. Bagian depan untuk pelayanan Ekaristi. Bagian belakang digunakan untuk ruang Taman Kanak-kanak. Namun belum sampai setahun lamanya, TKK harus ditutup karena datangnya Kanpetei, tentara Jepang yang melarang kegiatan persekolahan itu.
Tidak dapat diperoleh gambaran jelas mengenai jumlah umat selama periode ini. Juga jangkauan karya pastor paroki dan para katekis. Agaknya paroki masih didominasi oleh orang-orang Katolik Eropa. Sedikit keluarga pribumi mampu berbaur dengan mereka. Namun mayoritas mungkin masih mengambil jarak. Seorang narasumber lisan dari jaman itu menuturkan beliau memilih ikut Zending karena sulit berbaur dengan orang-orang Eropa di Gereja Katolik. Baru kemudian hari beliau pindah masuk Katolik. Istimewanya, tidak sampai terjadi pemisahan Gereja pribumi dan non pribumi seperti yang terjadi di beberapa tempat lain.
Usaha Pater Viester mendirikan TKK tampaknya merupakan strategi untuk menjaring umat. Dengan mengundang anak-anak ke kompleks Gereja, otomatis juga menjangkau dan mengundang orang tuanya untuk mulai mengenal iman Katolik. Namun upaya cerdas ini terhambat karena kedatangan tentara Jepang, yang selama tiga tahun menimbulkan penderitaan parah. Memang Jaman Jepang dikenal sebagai masa sulit untuk semua. Meskipun singkat, penderitaan rakyat lebih besar dibanding Hindia Belanda yang ratusan tahun berkuasa. Patut diduga ketika itu terjadi penyusutan umat dalam jumlah besar karena semua orang Eropa diinternir. Pelayanan bagi umat yang ada juga tidak terjamin. Agak mengherankan, tampaknya gedung Gereja tidak terusik hingga bentuk awalnya tetap lestari sampai sekarang. Banyak bangunan besar dan strategis pada waktu itu dibumi hanguskan supaya tidak digunakan untuk markas tentara Jepang.
Periode Pemekaran Karya 1945 - 1971
Setelah kesulitan selama jaman Jepang berlalu, fajar baru muncul seiring dengan perkembangan sosial politik jaman kemerdekaan. Meskipun ada peristiwa Agresi II sekitar tahun 1947-1948 agaknya perkembangan baru tidak banyak terpengaruh. Selain kedatangan kelompok umat baru, dalam periode ini paroki juga mulai pemekaran karya melalui pendidikan dan pembentukan organisasi-organisasi Katolik.
Pada tahun 1945 masuk sejumlah orang Katolik dari Jawa Timur bagian barat ke Bondowoso. Tampaknya mereka datang untuk perkebunan dan pabrik gula. Segera saja mereka berbaur dengan umat yang ada dan membentuk Ikatan Warga Katolik, yang disingkat IWK. Satu permulaan dominasi umat oleh orang katolik pribumi. IWK berperan penting menjadi semacam badan musyawarah umat dan gembala untuk mengurus pelayanan Liturgi, pewartaan, karya sosial dan kesaksian pada umumnya. Tokoh awal IWK tetap dipelopori oleh Bapak FX. Brodjo Marsono. Pastor paroki pada waktu itu sampai dengan 1947 adalah Pater Singgih.
Pastor yang berkarya di paroki setelah Pater Singgih adalah Pater Hutten, Pater Ten Kroode dan Pater Viester. Dalam beberapa periode, pelayanan dirangkap dari Jember secara bergantian oleh beberapa Romo. Pada tahun 1950 Pater Viester membuka kembali TKK yang pernah dirintis di kompleks Gereja, menggunakan gedung darurat yang dibangun di belakang Gereja. Beliau membuka dua kelas : Freubel dan Concerdanschool. Freubel untuk anak-anak bumi putera. Concerdan School untuk anak-anak peranakan. Tanpa menunggu waktu yang lama, tahun 1951 segera dibuka juga Sekolah Dasar di gedung darurat TKK, yang penggelolaannya ditangani oleh Yayasan Karmel. Rintisan untuk TKK dan Sekolah Dasar ini patut disebut istimewa karena sebagian pendidik yang direkrut tidak hanya aktivis Katolik, tetapi juga para aktivis dari organisasi-organisasi Islam. Gedung darurat itu dipergunakan sampai selesainya pembangunan gedung permanen di tempat yang sama pada tahun 1953. Dalam waktu yang singkat, masyarakat segera mengenalnya sebagai sekolah misi dan banyak diminati.
Karya pendidikan merupakan pilihan strategis dalam misi. Lewat pendidikan dibangun jembatan penghubung antara misi, orang tua dan masyarakat. Dengan pendidikan ini pula Gereja dapat melunakkan kecurigaan masyarakat terhadap iman katolik, menyiapkan intelektual di kemudian hari dan tentu saja pembinaan kerohanian siswa. Secara langsung atau tidak para guru yang bekerja di lembaga ini pun akhirnya dapat berperan sebagai agen pembaharu dalam masyarakat. Mgr. Albers yang kemudian menjadi Uskup Malang menaruh perhatian istimewa atas perkara ini. Beliau berpendapat misi-lah yang harus membangun sekolah-sekolah, karena tidak akan ada yang membangunnya; sedang gedung gereja dengan sendirinya akan dibangun oleh umat beriman dan para gembalanya jika jumlah mereka sudah mencukupi. Pater Viester dan kemudian juga Pater Krammer yang berkarya di Bondowoso termasuk dua gembala yang gigih dalam pengembangan sekolah-sekolah seperti ini di setiap tempat karyanya.
Bondowoso cukup diuntungkan. Gedung Gerejanya sudah lebih dahulu dibangun, sehingga pengembangan misi melalui pendidikan langsung dilakukan di pusatnya. Terasa pula sejak dimulainya sekolah-sekolah ini suasana paroki sudah lebih terbuka dan memasyarakat. Suasananya sudah pribumi, meskipun Pater Viester dan Pater-Pater lain yang berkarya di sini pasti tetap disebut ” Romo Londo”.
Sementara bidang pendidikan mulai berjalan, pastoral umat di paroki pun mengalami perkembangan yang menjanjikan. Perkembangan itu terasa mencolok sejak akhir tahun 1953 dengan kehadiran keluarga RB. Soekadji di Bondowoso. Beliau dan isterinya adalah guru untuk SGAN Bondowoso. Dalam bidang lain beliau berdua juga aktif dalam Partai Katolik dan organisasi kemasyarakatan. Bersama Brojdo Marsono, RB. Soekadji melebarkan rentang tangan Gereja Katolik di tengah masyarakat terutama dalam dunia politik dan pengembangan ekonomi kerakyatan melalui koperasi. Selain pengabdian sehari-hari mereka sebagai pendidik di sekolah, perjuangan keduanya dalam bidang-bidang itu membawa nama harum Gereja di pemerintahan dan di masyarakat.
Atas permintaan Mgr. Albers, pada tahun 1957 Suster SPM masuk Bondowoso bersiap mengambil alih pengelolaan TKK dan SDK dari Yayasan Karmel. Serah terima pengelolaan TKK dan SDK dilakukan pada tanggal 1 Agustus 1957. TKK kemudian diberi nama Indra Rini, sedang SDK diberi nama Indra Siswa. Para suster membeli sebuah rumah dan pekarangan dari keluarga Liem Hong Biauw di Jl. Olah Raga yang sekarang dikenal sebagai Jl. Letnan Sudiono 29 Bondowoso untuk biaranya dan mulai ditempati 1958. Dua suster SPM pertama yang berkarya di sini ialah Sr. M. Chatarina SPM dan Sr. M. Placidia SPM. Seiring dengan kebutuhan pengelolaan sekolah, pada tahun 1958 datang tenaga pengajar baru, yaitu Ibu Odelia, Ibu C. Koo Dominggo dan J. Soenyoto. Bersama para suster SPM mereka memperjuangkan kemajuan TKK dan SDK sebagai sekolah misi yang terbuka dan memasyarakat. Pada waktu itu umat di paroki antara lain keluarga FX Brodjo Marsono, RB. Sukadji, E. Suprapto, Bibiana, FM. Bakri, P. Sardjono, Ie Bok Gian, T. Sucipto, Petrus Kasmadi, Joyo Hendro, Yohanes dan beberapa keluarga Eropa dari pabrik gula.
Masih dalam konteks pendidikan, Yayasan Karmel pada tahun 1959 mendirikan SMPK Indra Prastha di sebelah utara Gereja. Pendirian SMPK ini dimaksud untuk menampung lulusan SDK angkatan pertama yang memerlukan pendidikan lanjut dan lulusan dari sekolah-sekolah dasar lain di sekitarnya. Ramailah keseharian di kompleks Gereja karena TKK, SDK dan SMPK berada di satu lokasi. Namun tak sampai dua tahun lamanya hal itu berlangsung, pada bulan Agustus 1961 TKK dipindahkan dari kompleks Gereja ke kompleks susteran untuk mengurangi kesesakan di kompleks Gereja. Kemudian hari pada tahun 1984 juga SDK dipindahkan ke kompleks susteran setelah selesai pembangunan gedung baru di sana. Ketika itu SDK memiliki 12 kelas dengan jumlah siswa mencapai 600 anak.
Selain kiprah dari tokoh-tokoh katolik dalam partai dan koperasi, pemekaran karya berlanjut dengan pembentukan organisasi Wanita Katolik Repoblik Indonesia, WKRI Cabang Bondowoso, pada tahun 1960. Kepengurusan organisasi pertama dipegang oleh Ibu Brodjo Marsono dan Ibu Soekadji. Anggota yang terdaftar seluruhnya kurang lebih 20 orang. Tak lama setelah dibentuk, WKRI segera masuk dalam Gabungan Organisasi Wanita ( GOW ) Kabupaten Bondowoso. Ibu Soekadji direkrut sebagai pengurus di GOW selama beberapa periode.
Bekerjasama dengan organisasi wanita lain yang tergabung dalam GOW, WKRI merintis usaha-usaha untuk pemberdayaan perempuan dengan latihan dan pembekalan berbagai ketrampilan. Namun situasi selama tiga tahun kemudian agak sulit, terlebih ketika mulai genting karena peristiwa G 30 S / PKI pada tahun 1965. Latihan dan pembekalan agak terhambat karena WKRI lebih banyak bergerak dalam Front Pancasila menentang komunis bersama KAMI, KAPI, dan juga Pemuda Katolik yang dibentuk 1964. Setahun sebelum pecahnya peristiwa G 30 S / PKI, para pemuda memang sudah membaca gelagat perkembangan komunisme. Pemuda Katolik yang kemudian dikenal dengan julukan Banser Salib Kuning dibentuk untuk menyatukan para pemuda menentang perkembangan gerakan komunis. Pemuda Katolik aktif selama beberapa tahun dan mulai surut pada tahun 1970.
Dengan hadirnya WKRI, Pemuda Katolik dan gerakan koperasi, geliat perkembangan dalam paroki makin tampak. Pada tahun 1966 dibangun ruang seluas 5 x 12 m2 di sebelah selatan panti imam untuk sekretariat paroki. Pelayanan administrasi, kesatuan gerak dan perencanaan-perencanaan karya paroki dapat semakin efektif digalang dengan sarana sekretariat ini. Pastoran pun tidak sesak lagi dengan berkas-berkas administrasi Paroki. Pastor Paroki ketika itu ialah Romo Sosrowardoyo. Selain inspirator dalam pergerakan, Beliau boleh disebut sebagai pemula tradisi pastor paroki pribumi di Bondowoso. Setelah Pater Dammer yang berkarya sebelum Romo Sastrowardoyo, para pastor paroki Bondowoso selanjutnya terbaca bukan nama-nama “ Romo Londo “ lagi. Diluar catatan itu, tidak banyak data dari tahun-tahun berjalan sesudahnya, sampai pada tahun 1971 IWK yang terbentuk sejak 1945 dirubah namanya menjadi Dewan Gereja. Cukup disinggung saja bahwa dalam periode pemekaran karya paroki ini, status Vikariat Apostolik Malang yang ditetapkan Sri Paus sejak tahun 1939, telah ditingkatkan menjadi Keuskupan Malang, pada tahun 1961. Dan tinggal satu lagi yang sungguh penting dari data tahun-tahun sebelumnya, yang belum diungkap dalam kronologis di depan, yaitu kelahiran Paroki St. Maria Bintang Samodera yang dibidani oleh Paroki Bondowoso. Peristiwa itu terjadi tahun 1958, tepatnya pada tanggal 1 April. Oleh Mgr. Albers pada hari itu Paroki Bondowoso dimekarkan menjadi dua, dengan mengangkat Stasi Situbondo menjadi Paroki baru. Perintis dan persiapan untuk pemekaran dipelopori terutama oleh Pater Viester dan Krammer, sejak 1953. Sejauh dapat ditelusur jejaknya, langkah awal yang digunakan untuk merintis perkembangan Stasi Situbondo dimulai dari bidang pendidikan. Berbeda dari Bondowoso yang dari permulaannya sudah punya gedung Gereja. Wilayah yang termasuk bagian dari stasi pada waktu itu selain di sekitar kota Situbondo dan Panarukan, juga Besuki dan Asembagus. Jumlah umat diperkirakan 30 orang. Beberapa di antaranya peranakan Belanda. Sebagian lain orang Tionghoa dan Jawa. Berdasarkan pemekaran ini, dalam usianya yang ke 22 Paroki Bondowoso telah mengalami perkembangan tidak hanya pemekaran karya, namun juga pemekaran wilayah menjadi satu paroki baru yang diberi nama pelindung BMV Stella Maris atau Santa Perawan Maria Bintang Samudera. Ajaibnya, Bondowoso yang tidak memiliki batas laut, namun sebagai sebuah paroki telah membidani kelahiran “ Bintang Samudera. “ di tepian pantai Laut Jawa di utara. Hal yang tak mungkin bagi manusia, selalu mungkin bagi Allah. Periode Pendewasaan dan Kemandirian, 1971-2011 Setelah pemekaran karya mulai mantap sampai tahun 1971, periode sesudahnya pantas diberi judul Periode Pendewasaan dan Kemandirian, untuk menggambarkan proses tumbuh kembangnya paroki sejauh terungkap dari tonggak tonggak peristiwa penting dalam perjalannya dari tahun 1971 sampai sekarang. Seperti sudah disebut sekilas dalam penuturan terdahulu, pada tahun 1971 dilakukan perubahan nama untuk badan musyawarah umat yang semula bernama Ikatan Warga Katolik menjadi Dewan Gereja. Perubahan ini berlangsung ketika paroki dilayani oleh Romo Joyopustoko dan kemudian Romo Kahmadi. Dalam perubahan ini tampak pertama-tama tanda perkembangan partisipasi awam dalam pastoral Gereja. Selain itu menyingkap pula kebutuhan untuk pelayanan umat yang semakin kompleks yang memerlukan kerjasama dan keterlibatan banyak pihak. Terlihat pula, derap kemajuan dalam paroki makin seiring dengan derap kebersamaan paroki-paroki di Keuskupan Malang. Nama Dewan Gereja merupakan nama yang mulai dibiasakan untuk seluruh Keuskupan ketika itu. Peran utama yang diemban Dewan Gereja adalah membantu pastor paroki dalam mengelola karya pastoral di wilayah masing-masing. Nama Bapak RB. Soekadji dan Bp. Suyoto secara bergantian tercatat sebagai Ketua Dewan Gereja antara tahun 1971-1979. Setiap periode dua tahun lamanya. Ketua umum eks officio dipegang oleh Pastor Paroki. Masih ada dua nama lain yang tercatat sebagai Ketua Dewan Gereja, sebelum dirubah namanya menjadi Dewan Paroki pada tahun 1982, yaitu Bp. Siswadi dan Bp. Hartoyo, yang berkarya antara tahun 1979-1983. Dalam satu dasawarsa periode Dewan Gereja, terdapat sejumlah tonggak-tonggak penting yang mencerminkan kemajuan dalam dinamika paroki. Pada tahun 1971, bersama Romo Djojopustoko dan sesudahnya Romo Kahmadi, Dewan Gereja membagi wilayah paroki yang mencakup seluruh Kabupaten Bondowoso menjadi 4 Kring dan Stasi. Kring dibentuk untuk wilayah yang berada di sekitar Gereja Paroki, terutama di Kecamatan Bondowoso. Stasi dibentuk untuk wilayah dan paguyuban umat yang jaraknya jauh dari Paroki. Proses ini tampaknya terkait dengan keputusan dari Keuskupan Malang pada 1 Januari 1971 tentang pembagian wilayah Keuskupan menjadi 2 Regio, yaitu Regio Barat dan Regio Timur. Dengan pembentukan Kring makin jelas partisipasi awam makin berkembang. ( data perlu diperdalam. Nama Kring dan Stasi belum jelas. ) Mulai tahun 1971 juga diadakan pembicaraan untuk membangun pastoran, karena kamar Romo di ruang belakang Gereja tampaknya sudah tidak memadai lagi untuk memenuhi kebutuhan dalam pelayanan yang makin berkembang. Rencana itu dimatangkan bersama Romo Kahmadi dan diwujudkan pada tahun 1974-1975. Pastoran dibangun di sebelah kanan Gereja dengan beaya dari swadaya umat dan subsidi Keuskupan. Ruang untuk rapat dan pertemuan-pertemuan tersedia di bagian depan pastoran. Antara Tahun 1976-1978, terdapat tiga hal penting yang dilakukan oleh Dewan Gereja. Dua hal berkaitan dengan pembenahan dalam struktur organisasinya, menyangkut Seksi kematian dan pembinaan orang muda. Satu hal lain tentang perluasan gedung Gereja. Sejak paroki dibentuk, urusan kematian umat ditangani secara insidentil, mengandalkan persaudaraan dan semangat karitatif penggerak umat. Belum diatur begitu rupa, karena keterbatasan jumlah umat dan tenaga. Melihat perkembangan umat, dipandang perlu untuk menangani urusan ini agar lebih terorganisir. Pada tanggal 1 Juli 1977 dengan dukungan dari Romo Hardowidagdo disepakati pembentukan Pangrukti Loyo. Ditetapkan Pangrukti Loyo terpisah dari Dewan Gereja dan bersifat mandiri. Berlangsung sampai tahun 1988. Pada tahun itu Pangrukti Loyo ditarik dan dilebur sebagai sub seksi dalam Seksi Sosial Paroki di Dewan Gereja. Namun setelah berjalan beberapa waktu, dipandang perlu untuk meninjau kembali posisi itu. Selain karena alasan tumpang tindih kepengurusan, muncul persoalan juga terkait dengan pengelolaan anggaran. Maka pada tahun 1994 dilakukan penataan ulang yang ditangani Seksi Kematian dengan membuat Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Kendati berada dalam struktur Dewan Gereja, Pangrukti Loyo kembali diposisikan mandiri dan berdikari. Ditetapkan pada waktu itu iuran wajib Rp 500, dana sumpetan Rp. 500 dan santunan untuk umat yang meninggal Rp. 150.000,-. Perubahan iuran wajib dan santunan dilakukan lagi kemudian hari menjadi Rp. 750 untuk iuran wajib dan Rp. 250.000 untuk santunan. Bantuannya bagi keluarga yang berduka dalam bentuk perawatan, santunan, doa, dan pelayanan pemakaman, merupakan kesaksian unggul, karena secara terbuka dapat dilihat oleh siapa pun yang datang melawat setiap umat katolik yang meninggal. .............2007 ? ada perubahan menjadi Seksi DPP.........................................Dalam rangka peringatan 75 Tahun, Pangrukti Loyo melakukan pendataan ulang keanggotaan PL untuk memperjelas siapa saja yang didaftarkan untuk santunan. Terkait dengan pembinaan orang Muda, Dewan Gereja pada tahun 1978 memasukan Mudika sebagai seksi di dalam strukturnya. Dengan ini ditandai perhatian lebih serius untuk kaderisasi dan pendampingan orang muda dalam kebersamaan di paroki. Bagi paroki orang muda tidak pernah jauh. Sejak 1964 Pemuda Katolik telah menjadi wadah kreatifitas, gairah dan pengembangan diri mereka di bawah bendera Banser Salib Kuning. Namun karena posisinya sebagai Organisasi Massa, maka tidak otomatis masuk dalam struktur Dewan Gereja. Mudika merupakan wadah setempat untuk orang muda paroki. Ketua Mudika periode pertama 1978-1981 ialah FX. Suwiyadi. Dalam perkembangan selanjutnya tercatat nama-nama yang mewarisi estafet kepemimpinanya, ialah : R . Sri Pratikno ( 1981-1983 ), H. Winarno ( 1983-1984 ), Frans Harsono ( 1984-1987), Y. Sugeng Budi Raharji ( 1987-1980 ), Maria Fransiska Sudartiyani (1991-1997 ). Selama beberapa bulan pada tahun 1990-1991 sempat vakum, ketika Muji Hartono sebagai ketua terpilih pindah tugas ke Bandung. Dinamika gerak mereka sejak pembentukan pertama memperkokoh kebersamaan orang muda di paroki. ....Tahun 1985 tuan rumah Penlok Mudika se-keuskupan malang - 24 paroki (Rm Wignyo) ........Tahun 1987-1990, Mudika Bondowoso tampil sebagai tuan rumah Uskup Cup Regio Timur Keuskupan Malang. Lomba dan Pertandingan olah raga untuk memperebutkan Trophy Bapa Uskup ketika itu melibatkan Mudika dari 8 Paroki. Tahun 1991-1994 memberanikan diri menjadi penyelenggara Lomba Renang Piala Mudika tingkat Propinsi Jawa Timur, yang diselenggarakan di Kolam Renang Hotel Palm Bondowoso. Kegiatan yang skalanya lebih besar dari yang pertama. Terobosan yang tak kalah penting dirintis oleh Mudika ialah menjadi pemandu wisata bagi Mudika dari paroki lain ke Kawah Ijen atau obyek wisata sekitar Bondowoso. Dalam hubungan ini, Mudika berani mencatatkan diri sebagai perintis pertama yang memperkenalkan obyek wisata air terjun Tancak Kembar di daerah Pakem. Mudika menjadi kelompok pertama dalam jumlah besar yang mencapai tempat ini untuk tujuan wisata. Tancak kembar ketika itu belum dapat dicapai dengan kendaraan. Harus ditempuh dengan jalan kaki dari desa Kupang sejuah 10 km dengan pendakian yang terjal dan melelahkan. Pada tahun 1978 juga, Dewan Gereja bersama Romo Hadi Susanto melakukan renovasi Gedung Gereja untuk memperluas ruang duduk umat. Kamar pengakuan yang terletak di lorong pinggir kiri dan kanan dibongkar untuk perluasan masing-masing sekitar dua meter. Hasilnya cukup untuk 13 bangku tambahan di setiap sisi. Setiap bangku menampung 4 orang. Perluasan ditimbang perlu mengingat pertambahan jumlah umat yang makin meningkat pada waktu itu. Pada perayaan 60 Tahun paroki, dilakukan renovasi lagi untuk memperindah panti imam, perbaikan atap dan penambahan sayap di luar Gereja. ... HUT 70 th renovasi atap gereja dan interior gereja ....Diusulkan pula untuk menganti lantai Gereja namun tidak diijinkan oleh Uskup demi menjaga keaslian awal yang menyejarah. Sebelum nama Dewan Gereja diubah menjadi Dewan Paroki pada tahun 1982, masih ada dua riwayat penting yang patut dicatat, yaitu berdirinya Presidium Legio Maria dan pembentukan Koperasi Kredit Bina Sejahtera yang terjadi pada tahun 1979 dalam kurun yang hampir bersamaan. Dengan restu Romo Hadisusanto pastor paroki tahun 1979, sejumlah penggerak umat membentuk Presidium Legio Maria “ Maria Pintu Surga “. ... Putra Putri Maria .... Pada saat yang bersamaan juga dirintis Koperasi Kredit Bina Sejahtera yang diprakarsai oleh Delsos Keuskupan Malang. Legio Maria berkarya untuk pengudusan umat dan pemeliharaan jiwa-jiwa dengan teladan Bunda Maria. Koperasi kredit berkarya untuk peningkatan potensi usaha dan ekonomi umat. Legio Maria bertahan sampai 1986 setelah dua periode kepengurusan. Setelah vakum selama dua tahun, pada jaman Romo Irwanto, tahun 1988 dibentuk lagi sebuah presidium baru dengan nama presidium Maria Ratu Rosari yang dapat terus bertahan hingga sekarang. Koperasi kredit masih mengalami pasang surut perkembangan dan nyaris macet dalam beberapa tahun terakhir. Dua peristiwa itu memiliki arti penting sejauh dilihat sebagai proses pendewasaan dan kemandirian paroki. Berdirinya Legio Maria menyiratkan kesediaan umat untuk pelayanan membantu pastor paroki dalam pengudusan dan katekese. Selain dengan doa, pendalaman rohani dan rapat rutin setiap Sabtu, Legio juga mendapat tugas dari pastor paroki untuk melakukan kunjungan umat, membantu persiapan baptis para katekumen setiap Rabu dan menyemangati pertumbuhan stasi-stasi, terutama Stasi Pujer, Tamanan, Maesan dan Pra Stasi Pancoran dan Wringin. Buah-buah pekerjaan Legio cukup jelas. Selain menghantar sejumlah katekumen ke pembaptisan, Legio juga dapat membantu proses konvalidasi perkawinan dan pendampingan bagi yang sakit atau sedang berkesulitan melalui kunjungan-kunjungan keluarga. Dalam konteks yang lebih luas, perwira Legio Maria Bondowoso banyak andil menghidupkan kembali Kuria Maria Tak Bercela Jember yang kondisinya memprihatinkan. Dengan ketekunannya, perwira kuria tidak hanya berhasil mengaktifkan Kuria, tetapi juga berhasil mendirikan tiga presidium baru di paroki-paroki sekitar. Semuanya tidak segampang membalik tangan. Presidium Ratu Rosari beranjak dari 4 perwira dan dua anggota aktif. Pertambahan anggotanya sangat lamban. Tahun 1996 Presidium memiliki 4 perwira, 9 anggota tetap, 5 anggota percobaan, 8 anggota auxilier. Idealnya jumlah anggota auxilier harus tiga kali jumlah anggota aktif. Koperasi sebagai lembaga pemberdayaan perlu ditangani dengan sungguh-sungguh untuk dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Kemacetan yang timbul perlu ditangani sesuai prosedur yang dimiliki oleh Koperasi. Kecenderungan mencampurkan kewenangan paroki terhadap koperasi, tidak seiring dengan mekanisme internal koperasi. Tahun 1982 dilakukan perubahan nama dari Dewan Gereja menjadi Dewan Paroki. Perubahan ini sekaligus disertai penataan dalam struktur Dewan untuk meningkatkan kinerjanya. Tidak banyak catatan yang disebut berkenaan dengan perubahan ini. Dua tahun kemudian, pada tahun 1984 SDK Indra Siswa dipindahkan lokasinya dari kompleks Gereja ke Kompleks Susteran. Gedung baru yang akan digunakan telah mulai dibangun sejak dua tahun sebelumnya. Tidak ada banyak catatan juga yang dapat diperoleh dari kurun empat tahun, sampai 1988. Sekitar tahun 1988 tercatat tentang pembentukan paguyuban pegawai negeri, ABRI dan pensiunan. Paguyuban dibentuk untuk memenuhi kerinduan mereka dalam pengembangan iman. Pertemuan dijadwalkan setiap Jumat pertama di SMPK Indra Prastha. Permulaannya cukup aktif, namun seiring kesulitan yang timbul karena kesibukan, jarak tempat kerja dan perpindahan-perpindahan tugas anggota, lama kelamaan pertemuan tidak lancar. Usaha untuk membangkitkan lagi dengan pemilihan pengurus baru pada tahun 1991 belum mampu mengaktifkannya. Dalam perkembangan kemudian, paguyuban ini tetap diakomodir dalam kepengurusan Dewan Pastoral Paroki sebagai anggota pleno dengan nama Forum Medis, Forum Militer, dan Forum Guru. Sebuah peristiwa penting terjadi pada tahun 1993. Meskipun tidak dilakukan dalam satu upacara resmi, pada tahun ini dilakukan pengalihan Stasi Prajekan dari Paroki Bondowoso ke Paroki Situbondo. Stasi Prajekan mencakup wilayah di Kecamatan Tapen, Klabang, Prajekan, Botolinggo dan Cerme. Dari segi jarak tempuh, wilayah ini memang lebih dekat jika dijangkau dari Situbondo, kendari secara teritorial masuk di wilayah Kabupaten Bondowoso. Pada waktu pengalihan berlangsung jumlah umat di sini sekitar 15 KK. Selain terjadi pemangkasan luas wilayah paroki, dengan pengalihan ini juga membawa akibat pengurangan jumlah umat Paroki Bondowoso. Berlangsung pada waktu Romo Irwanto menjadi Pastor Paroki. Berdasarkan penetapan dari Kuria Keuskupan tentang pembentukan Dekenat, pada tahun 1994 Paroki masuk sebagai bagian dari Dekenat Jember bersama paroki Jember dan Situbondo. Menyusul kemudian paroki Ambulu setelah ditetapkan menjadi paroki pada tahun 2006. Dekenat mengutamakan kerjasama dan persaudaraan antar gembala paroki yang bertetangga. Dalam perkembangannya, kerjasama meningkat dalam hal kebijakan pastoral dan diperluas dengan kemitraan pengurus Dewan Paroki. Kendati masing-masing paroki tetap otonom namun dengan kerjasama di tingkat Dekenat dapat diupayakan penyelarasan berbagai reksa pastoral dan pembekalan-pembekalan bersama yang meringankan tugas masing-masing. Pada tahun 1995 Dewan Paroki mengambil keputusan untuk melepaskan Panggrukti Loyo dari struktur kepengurusan Dewan Paroki dan membuat AD-ART sebagai organisasi yang mandiri, karena berbagai alasan terkait dengan pembeayaan dan pelayanan. Perkembangan ini mencerminkan kebutuhan yang semakin kompleks dalam pelayanan seiring dengan pertambahan jumlah umat dan penyebaran umat di wilayah paroki. Perkembangan ini juga berbicara tentang upaya memandirikan umat untuk dapat saling membantu ketika ada yang mengalami kesusahan karena musibah kematian. Tidak dapat dipungkiri peran Pangrukti Loyo sebagai kesaksian luas kepada masyarakat. Semua dapat menyaksikan kebersamaan umat ketika melawat, mendoakan dan mendampingi keluarga yang berduka. NB. Belum tersedia data dari periode 1995 sampai 2010 Rekam Jejak Dinamika Persekutuan Teritorial dan Kategorial Penuturan kronologis terdahulu belum memberikan ulasan cukup untuk menggambarkan dinamika Wilayah, Lingkungan dan Stasi serta kelompok-kelompok kategorial yang ada di Paroki. Kekurangan itu hendak dijawab dengan menampilkan rekam jejak perkembangan kedua jenis persekutuan itu pada bagian ini. Dinamika Wilayah, Lingkungan dan Stasi. Pada waktu perayaan Ulang Tahun ke 75, Paroki baru saja melakukan tata ulang pembagian wilayah Lingkungan, yang sejak 1971 belum pernah dirombak. Beberapa Lingkungan ternyata wilayahnya sangat luas dan sudah gemuk. Pada tahap pertama tahun 2006 dilakukan pemekaran Lingkungan de Brito menjadi dua. Lingkungan yang baru diberi nama St. Anastasia. Tahap kedua pada tahun 2009 ditata kembali dengan dasar Anggaran Rumah Tangga Dewan Pastoral Paroki yang telah selesai disusun. Penataan yang baru, Paroki dibagi menjadi 4 Wilayah, 8 Lingkungan dan 4 Stasi. Keseluruhannya mencakup hampir sebagian besar Kabupaten Bondowoso, kecuali kecamatan Tapen, Klabang, Prajekan, Botolingo dan Cerme yang sejak tahun 1993 diserahkan sebagai stasi Situbondo. Selain untuk tujuan menghidupkan komunitas basis, pembagian secara teritorial ini juga merupakan pembagian tuntas untuk menampung setiap umat katolik dalam reksa pelayanan yang jelas. Dengan pembagian teritorial, tiada seorang umat pun yang tidak masuk dalam persekutuan. 1. Wilayah Matius Pesta Nama : 21 September Anggota : Lingkungan Baptista dan Elisabeth Lingkungan Baptista Pesta Nama : 24 Juni Riwayat : Dibentuk 1971. Semula bernama Yohanes Evangelista kemudian diganti menjadi St. Yohanes Baptista, atas usulan Romo Puspo, supaya jangan sama dengan nama pelindung paroki. Area : Kota Kulon, Sekarputih, Karanganyar, Tegalampel, Pejanten Ketua : RB. Soekadji (Alm), Ibu Mohani (Alm), FX. Suwiyadi (Alm ), Ibu Elly Hariyanto, Ibu Vinarsih Wignyo Bahari, Ibu MR. Darti, Bp. Gatot Suprihantono, Bp. Mulyadi. Potensi : PKMB, Makam dan Krematorium Sekarputih, Makam Ki Ronggo, RS Bayangkara, GKI, Gereja Batu Karang, Vihara Budha, Pendopo Pemkab, Radio Romantika, Radio Fiska Rama ?, Radio Mahardika. Statistik : .............KK, ........... Jiwa Lingkungan Elisabeth Pesta Nama : 31 Mei Riwayat : Hasil pemekaran dari Lingkungan Yohanes Baptista, 2009 Area : Blindungan Timur, Kademangan, Sebagian Pejanten, Tenggarang dan Bataan. Ketua : Dominico Savio Potensi : Asrama Brimob, Kampung Arab, Taman Krocok, Pondok Pesantren Statistik : ........... KK .............. Jiwa 2. Wilayah Markus Pesta Nama : 25 April Anggota : Lingkungan Theresia dan Antonius Lingkungan Theresia Pesta nama : 1 Oktober Riwayat : Dibentuk sejak 1971. Dimekarkan menjadi dua pada tahun 2009. Lingkungan baru diberi nama Antonius. Area : Sebagian dari Dabasah sekitar Jl. PB. Sudirman, Jl. RE Martadinata dan Barat Pasar Ketua : Ibu Giri, Bp. Mochtar, Bp. Winarso, Ibu Mulyono, Bp. Yoseph, Ibu Lukito, Bp. Irwanto, Bp. Johni Hidayat, Ibu Ling. Potensi : Kawasan Bisnis, Gedung Penjara, Pasar Induk, Lingkungan Antonius Pesta Nama : 13 Juni Riwayat : Hasil pemekaran dari Lingkungan Theresia, sejak 2009 Area : Sebagian dari Dabasah, Sebagian Tamansari, Sebagian Kademangan Ketua : Primus Segu Potensi : Susteran SPM, TKK Indra Rini, SDK Indra Siswa, Polres, Stasiun, Terminal Bus, RS Islam, GPIB, Pentakosta, Pastori GKI, Radio Rama FM 3. Wilayah Lukas Pesta Nama : 18 Oktober Anggota : Lingkungan de Brito dan Anastasia Lingkungan de Brito Pesta Nama : 4 Februari Riwayat : Dibentuk sejak 1971. Dimekarkan menjadi dua pada tahun 2009 Lingkungan yang baru diberi nama Anastasia Area : Sebagian dari Dabasah dan Tamansari Ketua : Emmanuel Suprapto, Seno Prayitno, Ibu Agustin, Ibu Amin Santoso, Antoni Balun Potensi : Pondok Pesantren, Lingkungan Anastasia Pesta Nama : ............. Riwayat : Hasil pemekaran dari Lingkungan de Brito, pada tahun 2009 Area : Sebagian Tamansari dan Koncer Kidul Ketua : Tedjo Santoso Potensi : Kantor Diknas, Pengadilan Agama 4. Wilayah Yoseph Pesta nama : 19 Maret Anggota : Lingkungan Yoakhim dan Anna Lingkungan Yoakhim Pesta Nama : 26 Juli Riwayat : Dibentuk sejak 1971 Dimekarkan menjadi dua pada tahun 2006. Lingkungan yang baru diberi nama Lingkungan Anna Area : Badean, Kota Kulon, Curah Dami. Ketua : Bp. Robertus Artanto, Ibu Titik Pramono, Bp. Fx. Suyadi Petrus Suhartoyo, Bp. P. Y. Sudarminto, Novan, Roni. Potensi : Gereja Paroki, Pastoran, SMPK Indra Prastha, Pemakaman Katolik Selokambang, RSUD dr. Kusnadi, RS Kusuma Bakti, Radio Citra, Lingkungan St. Anna Pesta Nama : 26 Juli Riwayat : Hasil pemekaran Lingkungan Yoakhim, tahun 2006 Area : Petung, Nangkaan, Sukawiryo, Kembang, Pancoran, Ketua : Bp. Hermanus Kau, Bp. J. Haryono Potensi : Asrama Yonif Reider 514, Kawasan Perumahan Baru 5. Stasi WWSS Pelindung : St. Theresia Pesta Nama : 1 Oktober Riwayat : 1975 terdapat 4 keluarga guru di Wonosari yang sering ditarik-tarik Gereja Kristen. Kemudian mulai dilayani oleh Romo. Berkembang ke Sukosari dan Sumber Wringin. Kristen. Kapel dibangun 2002 dari swadaya umat. HUT Kapel : 19 Januari 2002 Area : Wonosari, Wonokerto, Sukosari, Sumber Wringin Ketua : Hardianto, Laya, Yustinus, Ibu Hardianto. Potensi : Perkebunan Kopi, Polowijo, Jalur ke Ijen. 6. Stasi Pujer Pelindung : St. Paulus Pesta Nama : 29 Juni Area : Pujer, Pakisan, Kembang, Tlogosari Tempat Misa : Rumah umat bergiliran Ketua : 7. Stasi Tamanan Pelindung : St. Maria Ratu Rosari Pesta Nama : 7 Oktober Area : Grujugan, Tamanan, Tempat Misa : Rumah Umat Bergantian Ketua : 8. Stasi Maesan Pelindung : St. Yakobus Pesta Nama : 3 Mei Area : Maesan, Suger Lor, Dadapan Tempat Misa : Rumah Umat Bergantian Ketua : ..... Kelompok Kategorial Di Paroki 1. Legio Maria Presidium Legio Maria pertama di Bondowoso didirikan pada tahun 1979 atas bimbingan Romo Hadisusanto dengan nama Presidium Maria Pintu Surga. Setelah mengalami pergantian pengurus dua kali dan bertahan selama tujuh tahun, presidium beku pada tahun 1986. Berkat dukungan Romo Irwanto pada tahun 1988 dibentuk kembali presidium baru dengan nama Presidium Maria Ratu Rosari yang bertahan sampai saat ini. Presidium Maria Ratu Rosari mengawali langkah hanya dengan 4 perwira dan dua anggota aktif. Tambahan jumlah anggota lamban. Pada tahun 1996 Presidium memiliki 4 perwira, 9 anggota tetap, 5 anggota percobaan, 8 anggota auxilier. Idealnya jumlah anggota auxilier harus tiga kali jumlah anggota aktif. Kegiatan kerasulan presidium di paroki meliputi rapat rutin setiap Sabtu sore setelah misa kudus, kunjungan legioner kepada umat, pendampingan katekumen setiap Rabu dan kunjungan ke stasi. Dalam mengemban tugas-tugas itu, Presidium Ratu Rosari proses konvalidasi perkawinan, merintis pembentukan Stasi St. Paulus Pujer, Tamanan, Maesan, Pra Stasi Poncoran dan Wringin; serta memelopori kemajuan Kuria Maria Tak Bercela Jember yang kondisinya selama satu dasawarsa memprihatinkan. Bersama para perwira Presidium Maria Penolong Orang Kristen Jember, Presidium Maria Ratu Rosari Bondowoso diwakili dua perwiranya selama dua periode membangun kembali Kuria Jember dan berhasil membentuk tiga presidium di paroki-paroki sekitar. WKRI Cabang Santo Yohanes Penginjil Bondowoso Seperti telah disebut dalam kronologi, pada waktu dibentuk pertama kali tahun 1960 bersama Romo Kortink, WKRI memiliki 20 anggota. Ketua ibu Brojo Marsuto, Sekretaris Ibu Soekadji. Dari awal berdirinya, WKRI langsung bergabung dengan Gerakan Organisasi Wanita Kabupaten Bondowoso. Ibu Soekadji sebagai perwakilan WKRI beberapa periode aktif dalam kepengurusannya. Ketika timbul peristiwa G 30 S / PKI, WKRI bergabung dalam Front Pancasila menentang komunis. Peran aktif WKRI dalam GOW antara lain dalam bentuk partisipasi dalam setiap peringatan hari besar Nasional di Kabupaten Bondowoso, bakti sosial bencana alam, pembinaan hidup keluarga dan pemberdayaan perempuan dalam berbagai bidang. Dalam rangka pemberdayaan perempuan, selama satu dasawarsa lebih WKRI menyelenggarakan kursus ketrampilan menjahit setiap Selasa dan Kamis di aula SMPK Indra Prasta. Kursus diikuti peserta dari berbagai kalangan, baik yang beragama Katolik, Kristen maupun Muslimah. Kursus kemudian terhenti setelah beberapa periode pergantian pengurus. Daftar Ketua WKRI Cabang Bondowoso Sejak 1960 1960 - 1964 Ny. Brodjo Marsono 1964 - 1971 Ny. Soekadji 1971 - 1973 Ny. Yaya da Silva / Ny. Tahar 1973 - 1976 Ny. Robert 1976 - 1981 Ny. Soekadji 1981 - 1984 Ny. Hartono 1984 - 1987 Ny. Soekadji 1987 - 1993 Ny. Sony Sandra 1993 - 1996 Ny. Adi Triyogo Misdinar atau Putra Altar Misdinar bertugas membatu imam dalam perayaan Liturgi. Namun kelompok ini sekaligus juga menjadi ajang organisasi bagi remaja di paroki. Pendampingan bagi misdinar yang dilakukan di paroki selama ini menekankan beberapa aspek hidup iman yang penting dikembangkan di kalangan remaja. Pertama-tama berkaitan dengan penghayatan liturgi. Selain belajar memahami seluk beluk Liturgi, dalam kelompok misdinar juga diwujudkan penghayatan pelayanan altar yang menuntut kesesuaian sikap hati, sikap badan, busana dan tindakan-tindakan ritual yang khas dalam tradisi Katolik. Kedua dalam hal kepribadian. Misdinar memberi kesempatan kepada remaja untuk percaya diri dan berani tampil di depan umum dengan melaksanaan tugas-tugas pelayanan altar. Kesaksian yang dituntut dalam hal ini ialah kesesuaian antara perilaku sehari-hari dengan tugas mulia yang harus mereka laksanakan di depan umat yang hendak berdoa. Sebuah tanggungjawab besar yang tidak cukup tersedia dalam kegiatan lain. Ketiga dalam hal organisasi. Misdinar harus belajar disiplin dan mematuhi tugas-tugas yang dijadwalkan bagi dirinya. Tidak hanya perlu tepat waktu, tetapi juga mempersiapkan tugas dengan latihan-latihan yang memerlukan pengorbanan waktu dan tenaga. Di balik semua itu dalam misdinar tersimpan pula potensi-potensi untuk pertumbuhan benih panggilan menjadi imam, biarawan dan biarawati. Kita harus meyakini Roh Kudus bekerja dalam diri anak-anak remaja kita yang setia dan tekun mengemban tugas ini. Mudika Paroki Dalam penuturan kronologis telah disebutkan pada tahun 1978, Dewan Paroki telah mencantumkan pembinaan orang muda dalam struktur kepengurusan. Hal ini menandai harapan besar dari paroki terhadap orang muda untuk membangun hidup gereja sesuai dengan usia dan kemampuan yang ada pada mereka. Perkembangan yang terjadi selama ini tampaknya selalu terbentur dengan kesulitan untuk menghimpun mereka dan mempertahankan kesinambungan dalam proses pendampingan. Menghadapi persoalan ini kiranya kita harus terbuka dalam memandang dinamika orang muda. Selain menyangkut tahap perkembangan kepribadian, orang muda paroki akan selalu menyebar ke berbagai kota untuk menuntut ilmu. Orang muda sekarang juga lahir di tengah akar budaya global dan terserap dalam berbagai komunitas sebaya yang marak karena hobby, minat khusus dan berbagai nilai pemersatu lainnya. Paroki perlu mempersiapkan tenaga pendamping dalam bentuk tim dan menyiapkan perencanaan pendampingan yang kreatif, inspiratif dan edukatif. Dengan sendirinya orang muda akan berhimpun ketika menemukan lingkungan bertemu yang sesuai citarasa mereka. Orang muda memiliki potensi yang sangat besar berapa pun jumlahnya untuk membangun hidup gereja pada usia mereka dan untuk mempersiapkan mereka menjadi penggerak umat di kemudian hari. Sarana-sarana yang telah disediakan perlu dipelihara dengan baik agar dapat awet dan dapat diwariskan kepada generasi berikut. Satu solusi lain yang penting, mengupayakan pendampingan sejak usia dini dan remaja secara berkesinambungan, sehingga dapat tumbuh kesetiakawanan, kreativitas dan loyalitas di antara mereka. Ketika orang muda kita kemudian menyebar ke berbagai tempat, buahnya tetap dapat dipetik dengan melihat peran aktif mereka di tempat yang baru karena telah memiliki bekal cukup untuk menggerakkan paguyuban yang mereka miliki. TKK Indra Rini Perintisan TKK di Bondowoso oleh Pater Viester pada tahun 1940 menyimpan satu harapan agar pendidikan usia dini ini dapat menjadi jembatan yang mendekatkan misi pada orang tua dan masyarakat, disamping untuk tujuan edukasi, katekese dan pemberdayaan masyarakat. Setelah pengelolaan dialihkan dari Yayasan Karmel kepada para Suster SPM pada tahun 1957, bersama pembina TKK, para suster SPM berjuang untuk menyiapkan anak-anak memiliki keunggulan kompetitif dan semangat pelayanan prima. Semangat yang diutamakan ialah perhatian terhadap teman yang miskin, pengembangan kreativitas dan kemandirian, kedisiplinan, peduli lingkungan dan kesejahteraan mental spiritual. Bagi Gereja dan masyarakat, semangat dan perjuangan ini tentu menjadi berkat yang patut selalu disyukuri karena nilai-nilai diserap anak didik sekaligus menjadi nilai-nilai yang diharapkan dapat tumbuh dalam hidup iman Gereja. Adapun para suster dan kepala sekolah yang pernah berkarya di TKK Indra Rini antara lain : 1. Sr. M.Plasida SPM 1957 - 1970 2. Sr. M.Agusta SPM 1970 - 1974 3. Sr. M.Lusiana SPM 1974 - 1978 4. Sr. M.Martha SPM 1978 - 1982 5. Sr. M. Yustina SPM 1962 - 1986 6. Sr. M. Bernardine SPM 1986 - 1987 7. Sr. M. Helena SPM 1987 - 1993 8. Sr. M. Ignatia SPM 1993 - 1996 9. Sr. M. Serafine SPM 1996 - 2001 10. Sr. Martha SPM 2001 - 2004 11. Sr. M. Chrispina SPM 2004 - 2007 12. Sr. M. Patricia SPM 2007 - 2008 13. Ibu Theresia Susanti 2008 – 2011 SDK Indra Siswa Pendidikan dasar yang dipersembahkan oleh Para Suster SPM bagi siswa-siswi SDK Indra Siswa merupakan landasan penting bagi masa depan mereka sebagai pribadi dan warga masyarakat, termasuk juga sebagai umat beriman di paroki. Meskipun semakin berat mengelola pendidikan dasar yang makin kompetitif dalam perkembangan dewasa ini, namun berkat kesetiaan dan ketekunan para guru dan suster SPM, Gereja dapat memetik banyak buahnya, antara lain peran serta para guru dan suster dalam dinamika umat lingkungan dan paroki, peran anak-anak dalam misdinar dan tugas-tugas liturgi, serta kesaksian mereka sebagai anak-anak yang terdidik secara katolik di tengah keluarga dan kerabat serta masyarakat. SDK Indra Siswa pada mulai tahun 2007 mengemban tugas dari Pemerintah Propinsi Jawa Timur menjadi Sekolah Kader Adiwita karena memiliki lingkungan sekolah yang sehat dan peduli terhadap lingkungan hidup. Selain menjadi kesaksian nyata bagi masyarakat, peran duta ini selaras dengan harapan Gereja menanamkan nilai-nilai luhur Sabda Tuhan dalam keseharian setiap orang. Apresiasi terhadap potensi siswa terkait dengan peran kader adiwita diwujudkan dengan memberi kesempatan untuk pengembangan diri melalui kegiatan seni, olah raga, keunggulan komunikasi yang bernafaskan semangat kembali ke alam. Diharapkan dengan upaya ini setiap peserta didik dapat memperoleh pendampingan menjadi anak yang tumbuh secara utuh, cerdas dan trampil. Dalam perkembangan, perannya kemudian tidak terbatas hanya di lingkungan Sekolah, tetapi merambah kepada masyarakat di kelurahan Dabasah dan Badean dengan program pengelolaan kompos dan lingkungan hijau. SDK Indra Siswa berdiri di garis depan untuk menjawab tanda-tanda jaman yang menonjol dewasa ini. Seluruh kemajuan itu tak lepas dari kesinambungan karya dan peran serta pembina dan para suster yang pernah berkarya memimpin sekolah ini dari permulaan dahulu sampai sekarang. 1. Sr. M. Catarina 1957 - 1970 2. Sr. M. Serafine 1970 - 1971 3. Sr. M. Anna Maria 1971 - 1972 4. Sr. M. Catarina 1972 - 1975 5. Sr. M. Anastasia 1975 - 1977 6. Sr. M. Christine 1977 - 1983 7 Sr. M. Petra 1983 - 1984 8 Sr. M. Immaculata 1984 - 1985 9 Sr. M. Veronica 1985 - 1988 10 Sr. M. Stefany 1988 - 1991 11 Sr. M. Prisca 1991 - 1994 12 Sr. M. Theresiana 1994 - 1997 13. Sr. M. Edhita 1997 - 1999 14. Sr. M. Cornelia 1999 - 2001 15. Ibu Nanik Dwiarti 2001 - 2007 16. Sr. M. Marcella 2007 – 2011 Pastor Bondowoso 1936-2011 Mth. Hendrik, O.Carm Oktober 1936 - November 1937 Pastor Paroki St. Mulder, O.Carm November 1937 - Juli 1938 Ass. dr Jember Petrus Staarman, O.Carm Desember 1937 - September 1938 Pastor Paroki Ch. H. W. Viester, O.Carm Februari 1939 - November 1939 Pastor Paroki Mgr. Albers, O.carm November 1939 - Desember 1939 Ass. dr Malang Ch. H. W. Viester, O.Carm Januari 1940 - November 1942 Pastor Paroki TIDAK ADA PASTOR TETAP Desember 1942 - Maret 1943 Jaman Jepang T. V. D. Henk, O.Carm Maret 1943 - Mei 1943 Ass. dr Malang TIDAK ADA PASTOR TETAP Mei 1943 - September 1945 Jaman Jepang T. Singgih, O.Carm September 1945 - Maret 1947 Pastor Paroki TIDAK ADA PASTOR TETAP Maret 1947 - Agustus 1947 Arnoldus Van Hutten, O.Carm September 1947 - September 1948 Pastor Paroki Norbertus Ten Kroode, O.Carm September 1948 - Agustus 1950 Pastor Paroki Ch. H. W. Viester, O.Carm Oktober 1950 - September 1951 Pastor Paroki Benedictus Soegiartono,O.Carm September 1951 - Oktober 1951 Ass. dr Jember Ch. H. W. Viester, O.Carm September 1951 - Oktober 1951 Ass. dr Jember Cajetanus Borggreve, O.Carm Januari 1952 - April 1952 Ass. dr Malang Ch. H. W. Viester, O.Carm Mei 1952 - April 1953 Pastor Paroki G. J. Demmer, O.Carm April 1953 - Juni 1953 Ass. dr Jember Ch. H. W. Viester, O.Carm Juni 1953 - Oktober 1955 Pastor Paroki Quirinus Kramer, O.Carm Oktober 1955 - maret 1957 Ass. dr Malang TIDAK ADA PASTOR TETAP Maret 1957 - Mei 1957 Quirinus Kramer, O.Carm Juni 1957 - Desember 1957 Ass. dr Malang Norbertus Ten Kroode, O.Carm Januari 1958 - Desember 1958 Ass. dr Malang Quirinus Kramer, O.Carm Januari 1958 - Desember 1958 Pastor Paroki H. G. Kortink, O.Carm Mei 1959 - September 1960 Pastor Paroki G.J. Demmer, O.Carm September 1960 - Oktober 1960 Ass. dr Jember H. G. Kortink, O.Carm November 1960 - Mei 1963 Pastor Paroki Fr. CH. G. Orte, O.Carm Juni 1963 - Agustus 1963 Ass. dr Malang Quirinus Kramer, O.Carm Agustus 1963 - Desember 1963 Ass. dr Jember J. Mulder, O.Carm Desember 1963 - Januari 1964 Ass. dr Malang G. J. Demmer, O.Carm Januari 1964 - Juni 1965 Pastor Paroki H. G. Kortink, O.Carm Juli 1965 - september 1965 Ass. dr Jember J. Demmer, O.Carm Oktober 1965 - Juli 1966 G. Ass. dr Jember Yoh. Ig. Sosrowardojo, O.Carm Agustus 1966 - Oktober 1969 Pastor Paroki R. S. Djojopoestoko, O.Carm November 1966 - April 1971 Pastor Paroki Yoseph Kachmadi, O.Carm Mei 1971 - Agustus 1976 Pastor Paroki Alb. Hardo Widagdo, O.Carm November 1976 - Februari 1978 Pastor Paroki R. A. Hadisusanto, O.Carm Maret 1978 - Maret 1983 Pastor Paroki ASP. Poespowardjojo, O.Carm Maret 1983 - Juli 1985 Pastor Paroki Vincentius Suharjana, O.Carm Juli 1985 - Juli 1988 Pastor Paroki I. C. Irwanto, Pr Juli 1988 - Juli 1993 Pastor Paroki Blasius Tira, Pr September1991-Juli1997,1993 Pastor Paroki Winuryanto, Pr Oktober 1992 - Oktober 1995 P. Pembantu A. Benny Susetyo, Pr Oktober 1995 - Oktober 1998 P. Pembantu B. Hudiono, Pr Agustus 1997 - Maret 1998 Pastor Paroki Paulus Suwito, Pr September 1998 - Maret 2003 Pastor Paroki D. Fadjar Tedjo Soekarno, Pr Sept 1998 -Feb 2006, 2003 Pastor Paroki B. Winuryanto, Pr Februari 2006 - April 2006 Ass. Situbondo M. Gunawan Wibisono, O.Carm April 2006 - Agustus 2007 Pastor Paroki Andreas Yudhi wiyadi, O.Carm Agustus 2007 - April 2008 Pastor Paroki Antonius Wahyu Anggono,O.Carm April 2008 - Desember 2010 Pastor Paroki Julius Agus Purnomo, Pr Desember 2010 - Sekarang Pastor Paroki Andreas Adi Prasetyo, Pr Desember 2010 – Sekarang P. Pembantu Rekap Jumlah Pastor 1. Mth. Hendrik, O.Carm Okt 1936 - Nov 1937 Pastor Paroki 2. St. Mulder, O.Carm Nov 1937 - Juli 1938 Ass. dr Jember 3. Petrus Staarman, O.Carm Des 1937 - Sep 1938 Pastor Paroki 4. Ch. H. W. Viester, O.Carm Feb 1939 – Nov 1939 Pastor Paroki Okt 1950 - Okt 1955 5. T. V. D. Henk, O.Carm Mar 1943 - Mei 1943 Ass. dr Malang 6. T. Singgih, O.Carm Sep 1945 – Mar 1947 Pastor Paroki 7. Arnoldus Van Hutten, O.Carm Sep 1947 - Sep 1948 Pastor Paroki 8. Norbertus Ten Kroode, O.Carm Sep 1948 - Agt 1950 Pastor Paroki Jan 1958 - Des 1958 9. Benedictus Soegiartono,O.Carm Sep 1951 - Okt 1951 Ass. dr Jember 10. Cajetanus Borggreve, O.Carm Jan 1952 - Apr 1952 Ass. dr Malang 11. G. J. Demmer, O.Carm Apr 1953 – Jun 1953 Ass. dr Jember Sep 1960 – Okt 1960 12. Quirinus Kramer, O.Carm Okt 1955 - Mar 1957 Ass. dr Malang Jan 1958 - Des 1958 Agt 1963 - Des 1963 13. H. G. Kortink, O.Carm Mei 1959 - Sep 1960 Pastor Paroki Jul 1965 - Sep 1965 14. Fr. CH. G. Orte, O.Carm Jun 1963 - Agt 1963 Ass. dr Malang 15. J. Mulder, O.Carm Des 1963 - Jan 1964 Ass. dr Malang 16. Yoh. Ig. Sosrowardojo, O.Carm Agt1966 - Okt1969 Pastor Paroki 17. R. S. Djojopoestoko, O.Carm Nov1966 - Apr1971 Pastor Paroki 18. Yoseph Kachmadi, O.Carm Mei 1971 - Agt 1976 Pastor Paroki 19. Alb. Hardo Widagdo, O.Carm Nov 1976 - Feb 1978 Pastor Paroki 20. R. A. Hadisusanto, O.Carm Mar 1978 - Mar 1983 Pastor Paroki 21. ASP. Poespowardjojo, O.Carm Mar 1983 - Jul 1985 Pastor Paroki 22. Vincentius Suharjana, O.Carm Jul 1985 - Jul 1988 Pastor Paroki 23. I. C. Irwanto, Pr Jul 1988 - Jul 1993 Pastor Paroki 24. Blasius Tira, Pr Sep1991-Jul1997,1993 Pastor Paroki 25. Winuryanto, Pr Okt 1992 - Okt 1995 P. Pembantu 26. A. Benny Susetyo, Pr Okt 1995 - Okt 1998 P. Pembantu 27. B. Hudiono, Pr Agt 1997 - Mar 1998 Pastor Paroki 28. Paulus Suwito, Pr Sep 1998 - Mar 2003 Pastor Paroki 29. D. Fadjar Tedjo Soekarno, Pr Sep1998-Feb2006, 2003 Pastor Paroki 30. M. Gunawan Wibisono, O.Carm Apr 2006 - Agt 2007 Pastor Paroki 31. Andreas Yudhi wiyadi, O.Carm Agt 2007 - Apr 2008 Pastor Paroki 32. Antonius Wahyu Anggono,O.Carm Apr 2008 - Des 2010 Pastor Paroki 33. Julius Agus Purnomo, Pr Des 2010 - Sekarang Pastor Paroki 34. Andreas Adi Prasetyo, Pr Des 2010 – Sekarang P. Pembantu Sumber : http://75sejarah.blogspot.com/ baca selanjutnya...