Tampilkan postingan dengan label Surat Gembala. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Surat Gembala. Tampilkan semua postingan

Kamis, 09 Desember 2010

Seluruh Hidup Kita Hendaknya Menjadi Suatu "ADVEN"

Amanat Paus Yohanes Paulus II
Audiensi Umum, Rabu 18 Desember 2002


Saudara dan Saudari terkasih,

1. Dalam Masa Adven ini, seruan Nabi Yesaya menyertai kita, “Katakanlah kepada orang-orang yang tawar hati: `Kuatkanlah hati, janganlah takut! Lihatlah, Allahmu …. Ia sendiri datang menyelamatkan kamu!'” (Yesaya 35:4). Seruan ini menjadi terlebih mendesak lagi sementara Natal menjelang, disertai dengan dorongan untuk mempersiapkan hati kita dalam menyambut Mesias. Ia yang dinanti-nantikan, pasti akan datang dan keselamatan-Nya adalah bagi semua orang.

Pada Malam yang Kudus, kita akan mengenangkan kembali kelahiran-Nya di Betlehem, dalam arti tertentu, kita akan menghidupkan kembali perasaan-perasaan para gembala, sukacita dan rasa takjub mereka. Bersama Maria dan Yosef, kita akan merenungkan kemulian Sabda yang menjadi manusia demi penebusan kita. Kita akan berdoa agar segenap umat manusia dapat menerima kehidupan baru yang didatangkan Putra Manusia ke dalam dunia dengan mengenakan kodrat manusiawi kita.

2. Liturgi Adven, yang penuh dengan seruan terus-menerus akan sukacita pengharapan datangnya Mesias, membantu kita memahami kepenuhan nilai dan makna misteri Natal. Natal bukan hanya sekedar mengenangkan peristiwa bersejarah yang terjadi lebih dari 2000 tahun yang lalu di suatu kota kecil di Yudea. Melainkan, haruslah kita pahami bahwa seluruh hidup kita hendaknya menjadi suatu “Adven”, dalam pengharapan yang siaga akan kedatangan Kristus yang terakhir. Untuk mempersiapkan hati kita menyambut Tuhan yang, seperti kita maklumkan dalam Syahadat, akan datang suatu hari kelak untuk mengadili orang yang hidup dan yang mati; kita wajib belajar mengenali kehadiran-Nya dalam peristiwa-peristiwa hidup sehari-hari. Jadi, Adven adalah suatu masa pelatihan intensif yang mengarahkan kita secara pasti kepada Dia yang telah datang, yang akan datang dan yang senantiasa datang.

3. Dengan penghayatan-penghayatan ini, Gereja bersiap untuk mengkontemplasikan dalam ekstasi, misteri Inkarnasi. Injil mengisahkan perkandungan dan kelahiran Yesus, dan menceritakan banyak peristiwa-peristiwa penyelenggaraan ilahi yang mendahului maupun yang menyertai peristiwa yang begitu ajaib itu: kabar sukacita malaikat kepada Maria, kelahiran Yohanes Pembaptis, paduan suara para malaikat di Betlehem, kedatangan para Majus dari Timur, mimpi St Yosef. Semuanya ini adalah tanda-tanda dan kesaksian-kesaksian yang menggarisbawahi keilahian Kanak-kanak ini. Di Betlehem telah lahir Imanuel, Allah beserta kita.

Dalam liturgi pada hari-hari ini, Gereja menghadirkan di hadapan kita tiga “pembimbing” luar biasa yang akan menunjukkan kepada kita sikap yang pantas dalam menyongsong “tamu” ilahi umat manusia ini.

4. Pertama-tama, Yesaya, nabi penghiburan dan pengharapan. Ia memaklumkan Injil yang benar dan tepat bagi bangsa Israel yang diperbudak di Babel, dan mendesak mereka untuk tetap siaga dalam doa, untuk mengenali “tanda-tanda” kedatangan Mesias.

Kemudian ada Yohanes Pembaptis, bentara sang Mesias, yang dihadirkan sebagai “suara yang berseru-seru di padang gurun”, memaklumkan “pertobatan dan pembaptisn demi pengampunan dosa” (bdk Markus 1:3). Itulah satu-satunya prasyarat untuk dapat mengenali Mesias yang telah hadir di dunia.

Yang terakhir, Maria, yang dalam novena persiapan Natal ini, membimbing kita menuju Betlehem. Maria adalah Perempuan yang menjawab “ya” yang, berlawanan dengan Hawa, menjadikan rencana Allah sebagai rencananya sendiri dengan tanpa syarat. Dengan demikian, Maria menjadi suatu cahaya yang terang bagi langkah-langkah kita dan teladan tertinggi bagi inspirasi kita.

Saudara dan saudari terkasih, kiranya kita mengijinkan Santa Perawan menemani kita di jalan kita menuju Tuhan yang datang, dengan tinggal “siaga dalam doa dan sukacita dalam pujian.”

Saya berharap agar masing-masing kita melewatkan persiapan yang pantas demi menyambut perayaan Natal.

sumber : “General Audience of John Paul II, Wednesday 18 December 2002”; The Holy See; www.vatican.va

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”

baca selanjutnya...

Jumat, 05 November 2010

Pesan Bapa Suci Benedictus XVI Untuk Hari Orang Muda Sedunia Ke-26, Tahun 2011 Di Madrid

"Berakar dan dibangun dalam Yesus Kristus, berteguh dalam iman" (bdk. Kol 2:7)

Sahabat muda terkasih,

Saya sering mengingat kembali Hari Orang Muda Sedunia di Sidney pada tahun 2008 silam. Di sana, kita merayakan pesta iman, saat Roh Allah secara giat bekerja di tengah-tengah kita semua, dan membangun komunitas rohani yang secara sungguh-sungguh dapat saling berbagi dalam satu iman, di antara para peserta yang datang dari berbagai belahan dunia. Pertemuan tersebut, seperti perjumpaan-perjumpaan sebelumnya, berbuah lebat dalam hidup banyak orang muda dan hidup Gereja. Sekarang kita menuju Hari Orang Muda Sedunia berikutnya, yang akan terselenggara di Madrid pada bulan Agustus 2011. Mengingat kembali masa pada tahun 1989, beberapa bulan sebelum hari bersejarah keruntuhan tembok Berlin, peziarahan orang muda seperti ini pernah dilakukan di Spanyol pula, waktu itu di Santiago de Compostela. Sekarang, saat masyarakat Eropa sedang dalam kebutuhan besar untuk menemukan kembali akar Kekristenan mereka, pertemuan kita akan mengambil tempat di Madrid, dengan tema : "Berakar dan dibangun dalam Yesus Kristus, berteguh dalam iman" (bdk. Kol 2:7). Saya menyemangati Anda untuk mengambil bagian dalam peristiwa ini, yang merupakan peristiwa penting bagi Gereja di Eropa dan bagi Gereja sedunia. Saya mengajak kalian semua orang muda, baik yang saling berbagi iman dalam Yesus Kristus, maupun kalian yang ragu dalam ketidakpastian, atau kalian yang tidak percaya akan Dia, untuk berbagi pengalaman ini, yang akan membuktikan kepastian hidup kalian. Inilah pengalaman akan Tuhan Yesus yang bangkit dan hidup, dan pengalaman akan kasihNya bagi kita masing-masing.

1. Pada sumber Keinginanmu yang terdalam

Dalam setiap periode sejarah kehidupan, termasuk periode kita, banyak orang muda memiliki kerinduan yang mendalam akan relasi pribadi, yang ditandai oleh kebenaran dan solidaritas. Banyak dari mereka membangun hubungan persahabatan yang tulus, untuk mengenal cinta sejati, untuk memulai hidup berkeluarga yang diharapkan manunggal bersatu, untuk mencapai kepenuhan pribadi dan kemapanan hidup yang nyata, serta semua hal yang menjamin masa depan yang bahagia dan tenang. Ketika mengenangkan masa muda saya sendiri, saya tersadar bahwa kemapanan dan perasaan aman nyaman bukanlah pertanyaan yang memenuhi pemikiran generasi muda. Memang cukup benar, bahwa pentinglah memiliki pekerjaan agar dengan itu memiliki pijakan yang kokoh. Namun selain itu, tahun-tahun masa muda merupakan juga waktu, saat kita mencari yang terbaik dari hidup kita. Ketika saya membayangkan kembali masa muda itu, saya ingat semua bahwa kita tidak ingin hidup nyaman demi kehidupan dalam kelas menengah yang mapan. Kita menginginkan sesuatu yang besar, sesuatu yang baru. Kita ingin menjelajahi kehidupan itu sendiri, dalam semua keagungan dan keindahannya. Secara alamiah, tahap itu merupakan bagian dari kehidupan yang kita alami. Selama kediktatoran Nazi dan peperangan, dapat dikatakan pada masa itu, semua orang terkungkung oleh segala peraturan dan batasan yang diciptakan oleh struktur yang sedang berkuasa. Maka, semua orang saat itu ingin mendobrak segala batasan: menginginkan adanya kebebasan, keterbukaan yang memungkinkan kita meraih peluang sebagai manusia. Saya berpikir, bahwa dorongan untuk mendobrak segala batasan yang ada, pada jangkauan tertentu, selalu menandai jiwa orang muda dari masa ke masa. Bagian dari menjadi muda, ialah hasrat akan sesuatu di balik hidup harian dan pekerjaan yang mapan, suatu kerinduan untuk sesuatu yang sungguh-sungguh lebih besar.

Apakah ini hanya mimpi yang akan memudar dan akhirnya menghilang jika kita menua? Tidak! Pria maupun perempuan, diciptakan untuk sesuatu yang besar, untuk sebuah keabadian. Tiada pernah cukup. Santo Agustinus benar ketika ia mengatakan: "Hati kami belum tenang, sampai menemukan istirahat di dalam Engkau".

Hasrat untuk mencari kehidupan yang lebih bermakna merupakan tanda bahwa Tuhan menciptakan kita, agar mengemban citra diri-Nya. Tuhan adalah Sang Kehidupan, dan itulah sebabnya kita ciptaanNya selalu berusaha untuk menggapai dan menggenggam kehidupan. Karena manusia diciptakan dengan citra Allah, maka kita menggapai kehidupan dengan cara yang unik dan istimewa. Kita selalu berusaha untuk menggapai cinta, suka cita, dan damai. Jadi dapatlah kita lihat, betapa mustahil apabila kita berpikir bahwa kita dapat sungguh-sungguh hidup dengan menyingkirkan Allah dari gambar hidup kita! Tuhan adalah sumber kehidupan. Mengenyampingkan Allah berarti kita telah memisahkan diri kita dari sumber kehidupan, dan berarti kita telah memisahkan diri dari sumber sejati kebahagiaan, suka cita, dan damai. "Tanpa Sang Pencipta, makhluk ciptaan hilang melenyap" (Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes, 36). Di beberapa belahan dunia, terutama kehidupan di belahan dunia Barat, budaya mereka saat ini cenderung menyingkirkan Tuhan dari segala aspek dan segi kehidupan, dan memandang bahwa iman kepercayaan adalah urusan pribadi, tanpa memiliki hubungan dan relevansi apapun dengan kehidupan. Sekalipun segugus nilai-nilai yang mendasari kehidupan masyarakat berasal dari Injil, seperti nilai martabat pribadi, nilai solidaritas, nilai kerja, dan nilai berkeluarga, namun kita menyaksikan suatu "gerhana Tuhan" yang pasti, semacam amnesia (penyakit lupa) akan sejarah, sebuah penolakan Kristianitas, pengingkaran khasanah iman Kristen, sebuah pengingkaran yang bisa membawa kita pada hilangnya jati diri kita yang paling dalam.

Untuk alasan inilah, para sahabat, saya mendorong kalian untuk memperkuat iman kalian akan Allah, Bapa Tuhan kita Yesus Kristus. Kalian adalah masa depan masyarakat dan Gereja. Seperti Rasul Paulus telah menulis untuk umat di Kolose : Pentinglah memiliki akar, dasar yang kokoh. Perkara ini secara sebagian, benar untuk zaman kita sekarang. Banyak orang tidak memiliki titik acuan yang kokoh, tempat mereka membangun hidup, dan karena nya mereka sungguh merasa tidak aman. Saat ini ada mentalitas relativisme yang berpaham bahwa alasan adanya setiap hal cukup kuat dari dirinya sendiri, serta bahwa suatu kebenaran dan titik acuan yang mutlak, tidak pernah ada. Namun, jalan pikiran seperti ini tidak akan pernah mengarahkan kita kepada kebebasan sejati, tetapi lebih mengacu kepada ketidakstabilan, kebingungan, kompromi buta terhadap keisengan zaman ini. Sebagai orang muda, kalian berhak untuk mewarisi dari generasi pendahulu, titik acuan yang kokoh bagi kalian untuk menolong kalian membuat pilihan, dan membangun hidup di atasnya, bagaikan tunas muda yang membutuhkan dorongan yang mantap hingga bisa membenamkan akar tunggangnya dalam-dalam, tumbuh menjadi pohon kuat yang mampu menghasilkan buah lebat.

2. Berakar dan dibangun dalam Yesus Kristus

Untuk menekankan betapa pentingnya iman bagi hidup umat Allah, kepada kalian saya ingin menyampaikan renungan saya, perihal tiga kata yang digunakan oleh St. Paulus dalam ungkapan : "Berakar dan dibangun dalam Yesus Kristus, berteguh dalam iman" (bdk. Kol 2:7). Kita dapat membedakan tiga buah gambaran berikut ini: "Berakar" mengingatkan kita pada pohon dan akar yang memberi makan pohon itu. "Dibangun" mengacu pada susunan sebuah rumah; "Berteguh" menunjukkan pertumbuhan fisik dan susila. Ketiga gambaran ini sangat tepat. Sebelum memberi ulasan mengenai ketiga kata tersebut, saya tunjukkan bahwa menurut tata bahasa, ketiga kata itu dalam teks aslinya berbentuk kata kerja pasif. Berarti, Kristus sendirilah yang berkehendak untuk menanam, membangun, dan menguatkan kaum beriman.

Gambaran pertama ialah mengenai sebuah pohon yang dengan kokoh ditanam, yang berterima kasih kepada akar yang telah menopang dan memberi makanan kepadanya. Tanpa akar-akar itu, pohon akan roboh ditiup angin dan mati. Apakah akar kita? Secara alamiah, orangtua, keluarga dan kebudayaan negara kita merupakan unsur-unsur penting dari jati diri pribadi kita. Namun Kitab Suci mewahyukan unsur yang lebih lagi. Nabi Yeremia menuliskan: "Diberkatilah orang yang mengandalkan Tuhan, yang menaruh harapannya pada Tuhan! Ia akan seperti pohon yang ditanam di tepi air, yang merambatkan akar-akarnya ke tepi batang air, dan yang tidak mengalami datangnya panas terik, yang daunnya tetap hijau, yang tidak kuatir dalam tahun kering, dan yang tidak berhenti menghasilkan buah" (Yer 17:7-8). Bagi Nabi Yeremia, berakar dalam Tuhan berarti menyerahkan kepercayaan kepada Tuhan. Dari Dia, kita melukis hidup kita. Tanpa Dia, kita tidak bisa benar-benar hidup. "Allah telah mengaruniakan hidup yang kekal kepada kita dan hidup itu ada di dalam anak-Nya" (1 Yoh 5:11). Yesus sendiri menyatakan kepada kita, bahwa Dia sendirilah kehidupan kita (bdk. Yoh 14:6). Sebagai akibatnya, iman Kristen bukanlah hanya suatu kepercayaan bahwa suatu hal tertentu merupakan kebenaran, melainkan lebih dari itu, iman Kristen merupakan suatu hubungan pribadi dengan Yesus Kristus. Iman kita ialah suatu perjumpaan dengan Sang Putra Allah yang memberikan tenaga pada seluruh keberadaan kita. Ketika kita memasuki hubungan pribadi dengan Dia, Kristus menyingkapkan jati diri kita yang asli, dan dalam persahabatan denganNya, hidup kita bertumbuh menuju kepenuhan yang lengkap. Ada saatnya ketika kita mengalami masa muda, ketika bertanya: Apa makna hidup saya? Manakah tujuan dan arah yang harus kuberikan pada hidup saya? Saat itu merupakan saat penting, dan pertanyaan-pertanyaan itu mungkin bisa membuat kita cemas untuk beberapa lama. Kita mulai mempertanyakan mengenai jenis pekerjaan yang harus kita pilih, pola hubungan-hubungan yang harus kita bangun, persahabatan yang harus kita pelihara.

Di sinilah, suatu saat, saya melihat kembali masa muda saya. Saya agak cukup dini menyadari, mengenai kenyataan bahwa Tuhan menghendaki saya menjadi imam. Kemudian setelah masa peperangan berakhir, saat saya di seminari dan universitas dalam jalur menuju tujuan imamat itu, saya harus melihat kembali kepastian cita-cita saya itu. Saya harus bertanya diri: sungguhkan ini jalur yang harus saya jalani? Apakah benar jalan ini merupakan kehendak Tuhan bagi saya? Apakah saya akan mampu bertahan setia bagiNya dan sepenuhnya melayani Dia? Keputusan seperti ini menuntut perjuangan tertentu. Hal ini tidak bisa tidak, harus dilakukan. Namun kemudian tibalah kepastian itu: inilah keputusan yang tepat! Ya, Tuhan menginginkan saya, dan ia akan memberi saya kekuatan. Jika saya mendengarkan Dia dan berjalan bersamaNya, maka saya pasti menjadi diri saya yang asli. Yang diperhitungkan bukanlah pemenuhan hasrat hati saya sendiri, namun kehendak Dia. Dengan cara ini, hidup menjadi sejati.

Serupa dengan akar yang menopang kuat pohon untuk tetap berada dalam tanah dan kehidupannya, maka pondasi sebuah rumah memberikan jaminan kekokohan jangka panjang. Melalui iman, kita telah dibangun dalam Yesus Kristus (bdk. Kol 2:7), seperti rumah dibangun di atas pondasinya. Sejarah Kekudusan telah menyediakan bagi kita banyak contoh Santo-Santa yang membangun hidupnya pada Sabda Tuhan itu. Yang pertama ialah Abraham, bapa iman kita, yang taat pada Tuhan, ketika Tuhan memerintahkan dia meninggalkan tanah leluhurnya untuk menuju tanah yang tidak ia kenal. "Percayalah Abraham kepada Allah, maka Allah memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran. Karena itu Abraham disebut "Sahabat Allah" (Yak 2:23). Dibangun dalam Yesus Kristus berarti menanggapi secara positif panggilan Tuhan, mempercayaiNya, dan menaruh SabdaNya dalam tindakan. Yesus sendiri mengingatkan para murid, "Mengapa engkau berseru kepadaku: Tuhan, Tuhan, padahal kamu tidak melakukan apa yang Aku katakan?" (Luk 6:46). Dia lalu memakai gambaran pembangunan sebuah rumah: "Setiap orang yang datang kepadaKu dan mendengarkan serta melakukannya - aku akan menyatakan kepadamu - dengan siapa ia dapat disamakan. Ia sama dengan seorang yang mendirikan rumah. Orang itu menggali dalam-dalam dan meletakkan dasarnya di atas batu. Ketika datang air bah dan banjir melanda rumah itu, rumah itu tidak dapat digoyahkan, karena rumah itu kokoh dibangun" (Luk 6:47-48).

Para Sahabat terkasih.

Bangunlah rumah kalian sendiri di atas batu karang seperti orang yang menggali dalam-dalam untuk membuat pondasi. Cobalah setiap hari untuk mengikuti sabda Kristus. Dengan keberadaan-Nya disamping kalian, kalian akan menemukan keberanian dan pengharapan untuk menghadapi berbagai kesulitan dan masalah, bahkan untuk mengatasi kekecewaan dan kemunduran. Kepada kalian, secara terus menerus ditawarkan pilihan-pilihan yang lebih mudah, namun kalian sendiri tahu, bahwa segala tawaran itu bersifat menipu dan tidak akan pernah mampu memberikan damai dan suka cita. Hanya Sabda Allah saja yang mampu memperlihatkan kepada kita jalan yang sejati dan hanya iman yang kita terima-lah yang menjadi cahaya dalam jalan kehidupan kita. Dengan penuh syukur, terimalah hadiah rohani ini yang telah kalian warisi dari keluarga kalian; Berusahalah untuk menanggapi panggilan Tuhan dengan penuh kesadaran, dan bertumbuhlah dalam iman. Janganlah percaya para mereka yang memberitahu kalian bahwa kalian tidak memerlukan orang lain untuk membangun hidup kalian! Temukanlah dukungan dalam iman, pada orang-orang yang mengasihi kalian, temukanlah dukungan dari iman Gereja, dan bersyukurlah pada Tuhan bahwa kalian telah menerima iman itu dan telah membuatnya menjadi milik kalian sendiri!

3. Berteguhlah dalam iman

Hendalah kamu "berakar dan dibangun dalam Yesus Kristus, berteguh dalam iman." (Kol 2:7). Surat dari mana kata-kata tersebut dikutip, ditulis oleh Santo Paulus untuk menanggapi kebutuhan khusus umat Kristen di kota Kolose. Waktu itu, komunitas umat di Kolose terancam oleh pengaruh kecenderungan budaya tertentu yang memalingkan kaum beriman dari Injil. Ruang lingkup budaya kita sekarang, para sahabat, bukanlah seperti keadaan umat kuno di Kolose. Namun saat ini, terdapat arus kuat pikiran kaum sekular serupa, yang bertujuan untuk meminggirkan Tuhan dari kehidupan masyarakat dengan menekankan dan menciptakan "surga" tanpa kehadiran-Nya. Sebenarnyalah, pengalaman memberikan bukti nyata kepada kita semua, bahwa dunia tanpa Tuhan selalu menjadi "neraka" : dipenuhi oleh keakuan, keluarga berantakan, kebencian antar-pribadi dan antar-bangsa, dan kekurangan yang besar akan kasih, suka cita, dan harapan. Di lain pihak, di manap ada pribadi dan bangsa menerima kehadiran Allah di tengah-tengah mereka, memujiNya dalam kebenaran serta mendengarkan suara-Nya, maka peradaban cinta kasih sedang dibangun, yaitu sebuah peradaban di mana martabat semua orang dihormati, dan persekutuan paguyuban meningkat, dengan segala kebaikannya. Namun demikian tetap saja, beberapa umat Kristen tergoda oleh sekularisme dan arus kepercayaan yang menjauhkan mereka dari iman akan Yesus Kristus. Ada pula beberapa orang Kristen, sekalipun tidak terpengaruh oleh godaan itu, namun telah dengan sembrono membiarkan iman mereka tumbuh seadanya, yang berakibat buruk pada hidup kesusilaan mereka.

Kepada orang-orang Kristen yang dipengaruhi oleh gagasan-gagasan yang jauhb dari nilai Injil, Rasul Paulus memberitakan mengenai kekuatan wafat dan kebangkitan Kristus. Misteri wafat dan kebangkitan Kristus merupakan dasar hidup kita serta pusat iman Kristen. Dengan tetap menghormati pertanyaan-pertanyaan besar yang terbenam dalam-dalam di hati manusia, menurut saya semua filsafat yang mengabaikan misteri salib serta menganggapnya "kebodohan" (1Kor 1:23), justru menyingkapkan keterbatasan mereka sendiri. Sebagai penerus Rasul Petrus, saya juga ingin menguatkan kalian dalam iman (bdk. Luk 22:32). Kita dengan teguh percaya bahwa Yesus Kristus menyerahkan diriNya sendiri di kayu salib untuk memberikan kasih-Nya kepada kita. Dalam penderitaanNya, Dia memikul penderitaan kita, menanggung dalam diri-Nya dosa -dosa kita, memberikan pengampunan bagi kita dan mendamaikan kita dengan Allah Bapa, membukakan bagi kita jalan menuju hidup abadi. Jadi, kita dibebaskan dari hal yang paling membelenggu hidup kita yaitu perbudakan dosa. Kita bisa mengasihi setiap orang, bahkan musuh kita, dan kita bisa membagikan kasih ini untuk yang termiskin dari saudara-saudari kita, dan bagi semua orang yang sedang dalam dalam kesukaran hidup.

Para Sahabat terkasih;

Salib sering menggentarkan kita karena salib tampak sebagai penolakan hidup. Pada kenyataannya, sebaliknyalah yang benar. Salib adalah pernyataan ‘Ya' dari Allah kepada umat manusia, yang merupakan ungkapan tertinggi dari cinta-Nya dan sumber dari mana kehidupan kekal mengalir. Sesungguhnyalah, pernyataan ini berasal dari hati Yesus, yang dihancurkan di salib, yang justru dari hati yang hancur itu hidup ilahi mengalir, yang bisa ditampung oleh semua yang mengangkat mata mereka kepada Sang Tersalib.

Saya hanya dapat mendesak kalian untuk memeluk Salib Yesus Kristus, tanda cinta kasih Tuhan, sebagai sumber hidup baru.

4. Mengimani Yesus Kristus tanpa melihat langsung

Dalam Injil kita menemukan paparan mengenai pengalaman iman Rasul Thomas ketika ia menerima misteri Salib dan kebangkitan Kristus. Thomas merupakan salah satu dari kedua belas rasul. Dia mengikuti Yesus, dan menjadi saksi mata dari penyembuhan dan mukjizat yang dibuat Yesus. Thomas mendengarkan sabda-Nya, dan dia mengalami ketakutan pada saat wafat Yesus. Malam pada hari Paskah itu, ketika Tuhan menampakkan diri pada para murid, Thomas tidak hadir. Ketika ia diberitahu bahwa Yesus hidup dan memperlihatkan diriNya, Thomas menjawab: "Sebelum aku melihat bekas paku pada tangannya, dan mencucukkan jariku pada bekas paku itu dan mencucukkan tanganku pada lambungNya, sekali-kali aku tidak akan percaya" (Yoh 20:25).

Kita juga, ingin mampu melihat Yesus, berbicara denganNya dan merasakan kehadiranNya bahkan secara lebih penuh kuasa. Bagi banyak orang dewasa ini, menjadi sukar untuk mendekati Yesus. Ada terlalu banyak gambaran mengenai Yesus yang beredar, yang dinyatakan sebagai ilmiah, yang malahan membuat kabur keagungan dan keunikan pribadiNya. Itulah sebabnya, setelah bertahun-tahun belajar dan merenung, saya memikirkan untuk membagikan sesuatu dari perjumpaan pribadi saya bersama Yesus dengan menuliskannya menjadi sebuah buku. Ini merupakan sebuah cara untuk membantu orang lain melihat, mendengar, dan menyentuh Tuhan kepada siapa Ia datang supaya diri-Nya dikenal. Yesus sendiri ketika seminggu kemudian menampakkan diri lagi kepada para murid berkata kepada Thomas: "Taruhlah jarimu di sini dan lihatlah tanganKu, ulurkanlah tanganmu dan cucukkanlah ke dalam lambung-Ku dan jangan engkau tidak percaya lagi melainkan percayalah." (Yoh 20:27). Kita juga, bisa memiliki kontak yang tampak dengan Yesus dan menaruh tangan kita, juga berbicara padaNya, atas tanda-tanda penderitaan-Nya, tanda-tanda cinta kasih-Nya. Dalam sakramen-sakramen, Dia secara khusus dekat dengan kita, dan memberikan diriNya untuk kita. Orang muda terkasih, belajarlah untuk "melihat" dan "menjumpai" Yesus dalam Ekaristi, di mana Dia hadir dan dekat dengan kita, dan bahkan menjadi santapan bagi perjalanan kita. Dalam Sakramen Tobat, Tuhan memperlihatkan kerahimanNya dan selalu memberikan pengampunanNya untuk kita. Kenalilah, dan layanilah Yesus dalam diri orang miskin, orang sakit, dan dalam diri saudara-saudari yang sedang dalam kesulitan dan membutuhkan pertolongan.

Masuklah dalam percakapan pribadi dengan Yesus Kristus dan peliharalah hal itu dalam iman. Kenalilah Dia lebih baik lagi dengan membaca Kitab Suci dan buku Katekismus Gereja Katolik (KGK). Berbincanglah dengan-Nya dalam doa kalian, dan letakkan kepercayaan kalian dalam Dia. Dia tidak pernah mengkhianati kepercayaan kalian itu! "Iman pertama-tama ialah ikatan pribadi manusia dengan Allah. Sekaligus tak terpisahkan dari itu, ialah persetujuan bebas terhadap seluruh kebenaran yang diwahyukan Tuhan" (KGK, 150). Dengan demikian, kalian akan menuai iman yang matang dan mantap, yaitu iman yang tak hanya didasarkan kepada rasa-perasaan keagamaan, atau hanya mengandalkan ingatan samar-samar akan katekismus pelajaran agama Katolik yang kamu terima dulu saat kanak-kanak. Kalian mau datang untuk mengenal Allah, dan hidup secara sejati dalam kesatuan dengan Dia, sebagaimana Rasul Thomas yang memperlihatkan imannya yang teguh dalam Yesus, dengan berkata: "Tuhanku dan Allahku!".

5. Ditopang oleh iman Gereja untuk menjadi saksi.

Yesus berkata kepada Thomas: "Karena engkau telah melihat Aku, maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat namun percaya." (Yoh 20:29). Yesus saat itu sedang memikirkan jalur iman Gereja yang harus diikuti yang didasarkan pada para saksi mata wafat dan kebangkitan Kristus yaitu para Rasul. Dengan demikian, kita melihat, bahwa iman pribadi kita pada Kristus, yang menjumpai kita dalam percakapan pribadi denganNya, diikat dalam iman Gereja. Kita tidak beriman sebagai individu yang terpisah dari yang lain, namun melalui Baptis, kita ialah anggota keluarga besar Gereja. Iman yang diakui oleh Gereja selalu menguatkan kembali iman pribadi kita masing-masing. Kredo "Aku Percaya" yang kita doakan setiap misa hari Minggu melindungi kita dari bahaya kepercayaan terhadap "allah lain" yang tidak diwahyukan oleh Yesus Kristus: "Setiap orang beriman adalah anggota dalam jalinan rantai besar orang-orang beriman. Saya tidak dapat menjadi orang beriman kalau saya tidak didukung oleh iman orang lain. Dan oleh iman saya, saya pun mendukung iman orang lain" (KGK 166). Marilah selalu bersyukur kepada Tuhan atas anugerah Gereja, karena Gereja menolong kita untuk maju dengan aman, dalam iman yang memberi kita hidup sejati (bdk. Yoh 20:31).

Dalam sejarah Gereja, para orang kudus dan para martir selalu bergerak dari kemuliaan Salib Kristus - daya kesetiaan kepada Tuhan - menuju Allah, hingga pada titik mereka harus menyerahkan nyawa. Dalam iman, mereka menemukan kekuatan untuk mengatasi kelemahan, dan menang atas setiap kesulitan. Benarlah Rasul Yohanes mengatakan: "Siapakah yang mengalahkan dunia selain dari pada dia yang percaya bahwa Yesus adalah Anak Allah?" (1Yoh 5:5). Kemenangan yang lahir dari iman adalah cinta kasih. Masih ada dan tetap ada, banyak umat Kristen yang menghayati kesaksian nyata dari daya iman yang diwujudkan dengan pelayanan karya amal kasih. Merekalah para juru perdamaian, promotor keadilan dan pekerja-pekerja demi dunia yang lebih manusiawi, dunia yang sesuai dengan rencana Tuhan. Dengan kompetensi dan sikap profesional, mereka bekerja penuh tanggung jawab dalam sektor-sektor hidup masyarakat yang beraneka ragam, menyumbangkan secara tepat guna, kesejahteraan bagi semua. Karya amal kasih yang berasal dari iman membawa mereka kepada kesaksian nyata dengan kata dan perbuatan. Kristus bukanlah harta milik yang ditujukan untuk diri kita saja. Dia, harta paling berharga yang kita miliki, ialah Dia yang ditujukan dan dibagikan untuk sesama yang lain. Pada masa globalisasi ini, jadilah saksi harapan Kristiani di seluruh dunia. Betapa banyaknya orang yang telah menanti untuk menerima harapan ini! Ketika berdiri di depan batu makam sahabat-Nya Lazarus, yang mati empat hari sebelumnya, sebelum Ia menghidupkan kembali si mati itu, Yesus berkata kepada saudari Lazarus, Martha: "Jika engkau percaya, engkau akan melihat kemuliaan Allah" (bdk Yoh 11:40). Dengan cara yang sama, jika kalian percaya, dan jika kalian mampu menghayati iman dan menjadi saksi atas iman setiap hari, kalian akan menjadi sumber yang membantu orang muda lainnya seperti diri kalian, untuk menemukan makna dan kegembiraan hidup, yang terlahir dari perjumpaan dengan Kristus!

6. Menuju Hari Orang Muda Sedunia di Madrid

Para Sahabat terkasih,

Sekali lagi, saya mengundang kalian semua untuk menghadiri Hari Orang Muda Sedunia di Madrid. Saya menunggu kalian masing-masing dengan sukacita yang besar. Yesus Kristus ingin menguatkan iman kalian melalui Gereja. Keputusan untuk percaya kepada Yesus dan mengikuti-Nya bukanlah perkara yang mudah. Iman padaNya sering terhalangi oleh kegagalan pribadi, dan oleh banyak keriuhan yang menawarkan jalur-jalur perjalanan yang lebih mudah. Jangan lemah semangat. Namun, temukanlah dukungan dari komunitas seiman, temukanlah dukungan dari Gereja! Selama tahun ini, persiapkanlah secara cermat untuk pertemuan di Madrid, bersama uskup-uskup, para imam, para pembimbing orang muda di keuskupan, komunitas-komunitas paroki, dan berbagai serikat serta perkumpulan kalian.

Mutu pertemuan kita mendatang akan seluruhnya bergantung pada : Persiapan rohani kita, doa-doa kita, kebersamaan kita dalam mendengarkan sabda Allah, dan dukungan satu sama lain.

Para muda terkasih, Gereja bergantung kepada kalian! Dia membutuhkan iman kalian yang bersemangat, amal kasih kalian yang kreatif, dan energi dari pengharapan kalian. Kehadiran kalian memperbaharui, meremajakan,dan memberikan energi baru bagi Gereja. Karena itulah, maka Hari Orang Muda Sedunia adalah rahmat, bukan saja untuk kalian orang muda, tapi juga untuk keseluruhan umat Allah.

Gereja Spanyol sedang bersiap diri secara aktif untuk menyambut kedatangan kalian sekaligus untuk berbagi pengalaman iman yang menggembirakan ini bersama kalian. Saya mengucapkan terima kasih kepada keuskupan-keuskupan, paroki-paroki, tempat-tempat ziarah, komunitas-komunitas religius, asosiasi-asosiasi dan perkumpulan-perkumpulan gerejawi, serta semua yang bekerja keras untuk mempersiapkan peristiwa ini. Allah menganugerahkan berkat-Nya untuk mereka semua. Semoga Bunda Perawan Maria menyertai kalian selama persiapan ini. Ketika menerima kabar gembira, Bunda Maria menerima Sang Sabda dengan imannya. Dalam iman, ia menyetujui rencana kepenuhan janji Allah yang terlaksana dalam dan melalui dirinya. Dengan menyerukan "fiat", "terjadilah padaku menurut perkataanMu", Bunda Maria menerima anugerah cinta kasih yang sedalam-dalamnya, yang membuat dia memberikan diri seutuhnya kepada Allah. Semoga doanya campur tangan dalam diri kalian, sehingga pada Hari Orang Muda Sedunia mendatang ini, kalian bertumbuh dalam iman dan kasih. Saya meyakinkan kalian bahwa saya dengan kasih kebapaan, mengingat kalian dalam doa-doa saya, dan saya memberikan kepada kalian berkat dari lubuk hati saya yang paling dalam.

Dari Vatikan, 6 Agustus 2010
pada Pesta Penampakan Kemuliaan Tuhan
Benedictus PP. XVI

baca selanjutnya...

Senin, 25 Oktober 2010

PESAN BAPA SUCI BENEDIKTUS XVI untuk HARI MINGGU MISI (EVANGELISASI) 24 Oktober 2010

MEMBANGUN PERSEKUTUAN GEREJANI ADALAH KUNCI MISI

Saudara-Saudari terkasih,
Bulan Oktober dengan perayaan Hari Minggu Evangelisasi, memberi kesempatan kepada keuskupan-keuskupan, paroki-paroki, tarekat-tarekat hidup bakti, serikat-serikat gerejani dan kepada seluruh umat untuk membarui komitmen mereka terhadap pewartaan Injil dan kegiatan pastoral dengan semangat misioner yang lebih besar.

Peristiwa tahunan ini mengajak kita untuk menghayati liturgi, katekese, karya sosio-karitatif-kultural secara lebih intensif yang semuanya merupakan ajakan Tuhan Yesus agar kita berhimpun pada meja Sabda-Nya dan Ekaristi, sebab Ia menghendaki kita merasakan kehadiran-Nya, bimbingan-Nya, supaya kita semakin bersatu dengan Dia sebagai Guru dan Tuhan.

Yesus menyatakan,"Barangsiapa mengasihi Aku, ia akan dikasihi oleh Bapa-Ku dan Aku pun akan mengasihi dia dan akan menyatakan diri-Ku kepadanya." (Yoh 14:21). Hanya berpangkal pada perjumpaan dengan kasih Allah ini - yang berdaya mengubah seluruh eksistensi kita - kita bisa hidup bersatu dengan Dia dan rukun di antara kita serta memberi kesaksian yang meyakinkan "kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kita tentang pengharapan yang ada pada kita" (1Ptr 3:15). Hanya iman yang dewasa - yang berpegang pada Allah seperti anak terhadap bapanya, yang dihidupi oleh doa, oleh renungan atas sabda Allah dan dengan memperlajari tentang kebenaran-kebenaran iman - akan mampu membangun masyarakat baru berdasarkan Injil Yesus Kristus.

Juga pada bulan Oktober, banyak negara melakukan berbagai aktivitas gerejani setelah masa liburan musim panas. Gereja mengajak kita semua untuk belajar dari Bunda Maria memperhatikan rencana kasih Allah Bapa atas umat manusia, sehingga kita pun mencintai umat manusia seperti Bapa mencintai mereka. Dan ini bukan lain dari pada tujuan misi Gereja.

Allah Bapa memanggil kita menjadi anak-anak-Nya dalam diri Anak-Nya yang terkasih Yesus Kristus dan memanggil kita hidup sebagai saudara satu sama lain. Yesus dikaruniakan oleh Bapa untuk menyelamatkan umat manusia yang terpecah belah oleh pertengkaran dan dosa, dan untuk menghadirkan wajah Allah yang benar "yang begitu besar kasih-Nya akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal." (Yoh 3:16).

Dalam injilnya, Yohanes mencatat bahwa di antara masyarakat yang naik ke Yerusalem untuk merayakan Paskah terdapat beberapa orang Yunani. Mereka pergi kepada Filipus dan minta,"Tuan, kami ingin bertemu dengan Yesus." (Yoh 12:21). Permintaan mereka bergema juga dalam hati kita di bulan Oktober ini, untuk mengingatkan bahwa tanggung jawab dan tugas perutusan mewartakan Injil, yaitu membantu manusia bertemu dengan Yesus, merupakan tugas utama perutusan seluruh Gereja. (Ad gentes, 2).

Di tengah-tengah masyarakat multi-etnik zaman ini yang mengalami kekosongan batin dan ketakpedulian terhadap sesama yang memrihatinkan, murid-murid Yesus terpanggil menampilkan tanda-tanda harapan dan menjalin suatu persaudaraan yang universal (=Katolik) dengan menerapkan nilai-nilai luhur yang membarui sejarah. Selain itu, secara nyata dan dengan berani, mereka terpanggil menjadikan bumi ini rumah semua orang.

Manusia zaman ini, seperti peziarah-peziarah Yunani 2000 tahun yang lalu, mungkin tanpa menyadarinya, meminta supaya umat beriman jangan hanya ‘berbicara' tentang Yesus, melainkan supaya ‘memperlihatkan' Yesus, wajah Sang Penyelamat, di setiap penjuru dunia kepada generasi millennium ini, terutama kepada kaum muda di masing-masing benua, sebab merekalah pendengar dan pewarta injil yang terpilih. Manusia zaman ini harus mengalami bahwa kaum Kristiani mewartakan Sabda Kristus sebab Dialah kebenaran, sebab dalam Dialah orang-orang Kristiani telah menemukan jawaban dan makna bagi hidup mereka.

Pengarahan saya ini bermaksud memfokuskan tugas perutusan yang dilimpahkan kepada seluruh Gereja dan kepada masing-masing anggotanya. Tugas perutusan Gereja akan menyentuh hati manusia hanya kalau mekar dari pertobatan pribadi, komuniter dan pastoral yang sejati.

Tugas perutusan mewartakan Injil mendesak setiap murid Yesus, semua keuskupan dan paroki untuk menjalankan suatu pembaruan diri yang mendalam dan membuka hati pada kerja sama antar Gereja-gereja lokal agar pesan Injil sampai pada hati setiap orang, setiap bangsa, budaya, suku di seantero dunia.

Kerja sama antar Gereja-gereja lokal menjadi nyata dan berkembang melalui karya Imam-imam Fidei donum, serikat-serikat misioner, para biarawan-biarawati, awam-awam misioner yang mengarah pada suatu persatuan gerejani yang semakin mantap di mana pluralitas budaya pun menemukan keharmonisan. Dalam pluralitas budaya, Injil berpeluang bekerja sebagai ragi bagi berkembangnya kebebasan dan kesejahteraan, serta sebagai sumber persaudaraan, kerendahan hati dan damai (Ad gentes 8). Dalam Kristus, Gereja menjadi sakramen, yaitu tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia. (Lumen gentium, 1)

Kesatuan Gereja lahir dari perjumpaan dengan Yesus Kristus, Putra Allah. Melalui pewartaan Gereja, Kristus menjangkau semua orang dan menciptakan kesatuan dengan diri-Nya, dengan Bapa dan Roh Kudus (1Yoh 1:3). Kristus menciptakan hubungan yang baru antara manusia dengan Allah. Ia mewahyukan bahwa "Allah adalah kasih" (1Yoh 4:8) dan sekaligus Ia menetapkan ‘perintah baru cinta kasih' sebagai hukum utama bagi kesempurnaan manusiawi - dan karena itu - untuk pembaruan dunia. Dan Kristus menjamin kepada semua orang yang percaya akan kasih sayang ilahi," bahwa jalan cinta kasih terbuka bagi semua orang, dan bahwa usaha untuk membangun persaudaraan universal tidak akan percuma. (Gaudium et spes, 38).

Gereja dibentuk menjadi ‘Persekutuan' oleh Ekaristi, di mana Kristus, yang hadir dalam roti dan anggur, berkat kurban cinta kasih-Nya mendirikan Gereja sebagai tubuh-Nya, dengan menyatukan kita dengan Allah Tritunggal dan menyatukan kita satu sama lain. (1Kor 10:1dst). Sebagaimana sudah saya tulis dalam Anjuran apostolik Sacramentum Caritatis,"Kita tidak bisa menyimpan bagi diri kita saja cinta kasih yang kita rayakan dalam sakramen, karena hakekatnya cinta itu dibagikan kepada semua orang. Apa yang dibutuhkan dunia adalah cinta kasih Allah, adalah perjumpaan dengan Kristus dan percaya kepada-Nya."(n.84). Oleh karena itu Ekaristi bukan hanya sumber dan tujuan kehidupan Gereja, tetapi juga sumber dan tujuan misi Gereja, Gereja yang ekaristis sejatinya adalah Gereja yang misioner, Gereja yang mampu mewartakan secara meyakinkan bahwa, "Apa yang telah kami lihat dan yang telah kami dengar itu, kami beritakan kepada kamu juga, supaya kamu pun beroleh persekutuan dengan kami." (1Yoh 1:3)

Saudara sekalian yang terkasih,

pada hari Minggu Misi ini di mana mata hati kita terbuka untuk menjangkau luasnya tugas misi, hendaknya kita memastikan diri sebagai pelaku dalam melaksanan tugas Gereja mewartakan Injil. Semangat misioner tetap merupakan tanda vitalitas Gereja-Gereja Lokal kita (R.M, 2) dan kerjasama antar Gereja-Gereja Lokal menjadi bukti kokoh kesatuhan, persaudaraan dan solidaritas. Ciri-ciri ini merupakan jaminan bagi dunia bahwa pewartaan Kasih Yang Menyelamatkan sungguh dapat dipercaya!

Sekali lagi saya ajak saudara sekalian untuk berdoa dan - kendati dunia dilanda krisis ekonomi - membantu juga secara konkrit Gereja-Gereja muda. Bantuan tanda kasih ini akan diserahkan kepada Karya Kepausan untuk Evangelisasi (kepadanya saya haturkan terima kasih saya), yang kemudian akan diteruskan untuk membantu pembinaan para imam, seminaris-seminaris, katekis-katekis di daerah-daerah misi dan untuk mendukung komunitas-komunitas Gereja muda.

Sebagai penutup pesan tahunan ini untuk Hari Misi (Evanglisasi) sedunia, saya ingin menyatakan cinta kasih dan pengharaan saya bagi semua misionaris, laki-laki dan perempuan, yang menjadi saksi Kerajaan Allah di daerah terpencil dan sulit yang kadangkala menuntut penyerahan hidup. Bagi merekalah persaudaraan dan dukungan dari seluruh kaum beriman! Semoga Allah "yang mengasihi orang yang memberi dengan sukacita" (2Kor 9:7) menganugerahi mereka semangat dan kebahagiaan yang mendalam.

Sebagaimana Maria, demikian pula setiap komunitas gerejani yang mengakatan "ya' kepada panggilan Ilahi untuk melayani sesama dalam kasih, akan menjadi suatu komunitas dengan corak keibuan dan rasuli (Gal 4 : 4. 19.26), yang karena terpesona oleh misteri kasih Allah - "yang setelah genap waktunya, mengutus Anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan" (Gal 4 : 4) - ia akan melahirkan rasul-rasul baru yang penuh semangat dan berani. Tanggapan akan kasih Allah itu akan menjadikan komunitas Kristiani "bersukacita dalam pengharapan" untuk membangun rencana Allah yang menghendaki "agar segenap umat manusia mewujudkan satu Umat Allah, bersatu-padu menjadi satu Tubuh Kristus serta dibangun menjadi satu kenisah Roh Kudus" (Ad gentes, 7).

Dari Vatikan, 6 Februari 2010
BENEDIKTUS PP. XVI

Pengalih dari bahasa Italia:
P. Otello Pancani, s.x.

baca selanjutnya...

Senin, 10 Mei 2010

PESAN BAPA SUCI BENEDIKTUS XVI PADA HARI KOMUNIKASI SEDUNIA ke-44 16 MEI 2010

Imam dan Pelayanan Pastoral di Dunia Digital:
Media Baru demi Pelayanan Sabda

Saudara dan Saudariku Terkasih,

1. Tema Hari Komunikasi Sedunia tahun ini - Imam dan Pelayanan Pastoral di Dunia Digital: Media Baru demi Pelayanan Sabda- disampaikan bertepatan dengan perayaan Gereja tentang Tahun Imam. Tema ini memusatkan perhatian pada komunikasi digital, suatu bidang pastoral yang peka dan penting, yang memberikan kemungkinan baru bagi para imam dalam menunaikan pelayanan kegembalaannya demi dan untuk Sabda. Berbagai komunitas Gereja sebenarnya telah menggunakan media modern untuk mengembangkan komunikasi, melibatkan diri dalam masyarakat serta mendorong dialog pada tingkat yang lebih luas. Akan tetapi penyebarannya yang tak terbendung serta dampak sosial yang besar pada jaman kini, media itu semakin menjadi penting bagi pelayanan imam yang berhasilguna.

2. Tugas utama semua imam adalah mewartakan Yesus Kristus, Sabda Allah yang inkarnasi dan mengkomunikasi rahmat penyelamatan- Nya melalui sakramen-sakramen. Dihimpun dan dipanggil oleh Sabda, Gereja menjadi tanda dan sarana persekutuan Allah dengan semua orang. Setiap imam dipanggil untuk membangun persekutuan dalam Kristus dan bersama Kristus. Disinilah terletak martabat yang luhur dan indah perutusan seorang imam yang secara istimewa menjawabi tantangan yang ditampilkan oleh Rasul Paulus: 'Barangsiapa yang percaya kepada Dia, tidak akan dipermalukan. '... Sebab barangsiapa yang berseru kepada nama Tuhan, akan diselamatkan. Tetapi bagaimana mereka dapat berseru kepada-Nya jika mereka tidak percaya kepada Dia? Dan bagaimana mereka dapat percaya kepada Dia jika mereka tidak mendengarkan tentang Dia? Bagaimana mereka mendengarkan tentang Dia jika tidak ada yang memberitakan- Nya? Dan bagaimana mereka dapat memberitakan- Nya jika mereka tidak diutus? (Rom 10:11, 13-15).

3. Menggunakan teknologi komunikasi baru merupakan hal yang perlu dalam menjawab secara tepat tantangan-tantangan yang dirasakan kaum muda di tengah pergeseran budaya masa kini. Dunia komunikasi digital dengan daya ekspresi yang nyaris tak terbatas mendorong kita untuk mengakui apa yang disampaikan oleh St.Paulus:'celakala h aku jika aku tidak mewartakan Injil (1Kor 9:16). Kemudahan mendapatkan teknologi baru yang kian berkembang menuntut tanggungjawab yang lebih besar dari orang-orang terpanggil untuk mewartakan Injil serta termotivasi, terarah dan efisien menunaikan usaha-usaha mereka. Para imam berada di ambang 'era baru': karena semakin intensifnya relasi lintas batas yang dibentuk oleh pengaruh media komunikasi, demikian pula para imam dipanggil untuk memberikan jawaban pastoral dengan menempatkan media secara berdaya guna demi pelayanan Sabda.

4. Penyebaran komunikasi multimedia dengan ragam 'menu pilihan' tidak dimaksudkan untuk sekadar menghadirkan para imam di internet atau sekadar menjadikan internet ruang untuk diisi. Para imam diharapkan menjadi saksi setia terhadap Injil di dalam dunia komunikasi digital dengan menunaikan perannya sebagai pemimpin-pemimpin komunitas yang terus menerus mengungkapkan dirinya dengan 'suara yang berbeda' yang dihadirkan oleh pasaraya digital. Dengan demikian, para imam ditantang untuk mewartakan Injil dengan menggunakan generasi teknologi audiovisual yang paling mutakhir (gambar, video, fitur animasi,blog dan website) yang seiiring dengan media tradisional dapat membuka wawasan baru dan luas demi dialog, evangelisasi dan katekese.

5. Dengan menggunakan teknologi komunikasi baru, para imam dapat memperkenalkan kehidupan menggereja kepada umat dan membantu orang-orang jaman sekarang menemukan wajah Kristus. Hal ini akan dicapai dengan baik apabila mereka belajar -sejak dari masa pembinaan mereka- bagaimana memanfaatkan teknologi komunikasi secara kompeten dan selaras dengan pemahaman teologis yang mendalam dan spiritualitas imam yang kokoh, berakar pada dialog terus menerus dengan Tuhan. Dalam dunia komunikasi digital, para imam -lebih dari sekadar sebagai ahli media- seharusnya mengungkapkan kedekatannya dengan Kristus untuk memberikan 'jiwa' baik bagi pelayanan pastoralnya maupun bagi aliran komunikasi internet yang tak terbendung.

6. Kasih Allah kepada semua orang dalam Kristus mesti diungkapkan dalam dunia digital bukan sekadar sebagai benda kadaluwarsa atau teori orang terpelajar tetapi sebagai sesuatu yang sungguh nyata, hadir dan melibatkan diri. Oleh karena itu, kehadiran pastoral kita di dalam dunia seperti itu harus bermanfaat untuk memperkenalkan orang-orang jaman sekarang teristimewa mereka yang mengalami ketidakpastian dan kebingungan, 'bahwa Allah itu dekat, bahwa di dalam Kristus kita semua saling memiliki' (Benediktus XVI, Untuk Curia Romana,21 Desember 2009)

7. Siapakah yang lebih baik dari seorang imam, yang sebagai abdi Allah dan melalui kemampuan­nya di bidang teknologi digital dapat mengembangkan dan menunaikan pelayanan pastoralnya, menghadirkan Allah secara nyata di dunia jaman sekarang dan menampakkan kebijaksanaan rohani masa lampau sebagai harta yang mengilhami usaha kita untuk hidup layak dimasa kini sambil membangun masa depan yang lebih baik? Kaum laki-laki dan perempuan religius yang bekerja di bidang media komunikasi memiliki tangggjawab istimewa untuk membuka pintu bagi berbagai pendekatan baru, mempertahankan mutu interaksi manusia, menunjukkan perhatiannya bagi individu serta kebutuhan rohaninya yang sejati. Dengan demikian, mereka dapat menolong kaum laki-laki dan perempuan di jaman digital ini merasakan kehadiran Tuhan, menum­buhkan kerinduan dan harapan serta mendekatkan diri pada Sabda Allah yang menganu­gerahkan keselamatan dan membangun manusia secara utuh. Dengan demikian, Sabda Allah dapat berjalan melintasi berbagai persimpangan yang tercipta oleh simpangsiurnya aneka ragam 'jalan tol' yang membentuk 'ruang maya' dan menunjukkan bahwa Allah memiliki tempat-Nya yang tepat pada setiap jaman, termasuk di jaman kita ini. Berkat media komunikasi baru, Tuhan dapat menapaki jalan-jalan perkotaan kita sambil berhenti di depan ambang rumah dan hati kita dan mengatakan lagi: "Lihatlah, Aku berdiri de depan pintu dan mengetuk, Jika ada yang mendengar suara-Ku dan membukakan pintu, Aku akan masuk ke dalam rumahnya dan makan bersama dia dan dia bersama Aku" (Why.3:20)

8. Dalam Pesan tahun lalu, saya telah mendorong para pemimpin di dunia komunikasi untuk memajukan budaya menghormati demi nilai dan martabat manusia. Ini merupakan salah satu cara dimana Gereja dipanggil untuk menunaikan 'palayanan terhadap budaya-budaya' di 'benua digital' jaman sekarang. Dengan Injil di tangan dan di hati, kita mesti menegaskan lagi tentang perlunya mempersiapkan cara mengantar orang kepada Sabda Allah sambil memberikan perhatian kepada mereka untuk terus mencari bahkan kita harus mendorong pencarian mereka sebagai langkah awal evangelisasi. Kehadiran pastoral di dunia komunikasi digital justru mengantar kita untuk berkontak dengan penganut agama lain, dengan orang-orang tak beriman dan orang-orang dari berbagai budaya, menuntut kepekaan terhadap orang yang tidak percaya, putus asa dan yang memiliki kerinduan mendalam dan tak terungkapkan akan kebenaran abadi dan mutlak, Demikianlah seperti yang diramalkan oleh Nabi Yesaya tentang sebuah rumah doa bagi segala bangsa (bdk Yes 56:7), dapatkah kita tidak melihat internet sebagai ruang yang diberikan kepada kita - semacam 'pelataran bagi orang-orang bukan Yahudi' di Bait Allah Yerusalem- yakni mereka yang belum mengenal Allah?

9. Perkembangan dunia digital dan teknologi baru merupakan sumber daya yang besar bagi manusia secara keseluruhan dan setiap individu sebagai daya dorong untuk perjumpaan dan dialog. Perkembangan ini juga memberikan peluang besar bagi orang beriman. Tidak ada pintu yang dapat dan harus ditutup bagi setiap orang yang atas nama Kristus yang bangkit, memiliki komitmen untuk semakin mendekatkan diri kepada orang lain. Secara khusus bagi para imam, media baru ini memberikan kemungkinan pastoral yang baru dan kaya, mendorong mereka untuk melibatkan diri ke dalam universalitas perutusan Gereja, membangun persahabatan yang luas dan konkrit serta memberikan kesaksian di dunia jaman kini tentang hidup baru yang berasal dari mendengar Injil Yesus, Putra Abadi yang datang demi keselamatan kita. Seiring dengan itu, para imam mestinya mengingat bahwa keberhasilan utama dari pelayanan mereka datang dari Kristus sendiri, yang ditemukan dan didengar dalam doa, diwartakan dalam kotbah, dihidupi lewat kesaksian; dan diketahui, dicinta dan dirayakan dalam sakramen-sakramen, khususnya sakramen ekaristi dan rekonsiliasi.

Untuk para imamku yang terkasih, sekali lagi saya mendorong anda untuk memanfaatkan kesempatan-kesempat an unik yang disumbangkan oleh komunikasi modern. Semoga Tuhan menjadikan kalian bentara-bentara Injil yang bersemangat di 'ruang publik' baru media dewasa ini.

Dengan penuh keyakinan, saya memohonkan perlindungan Bunda Maria dan Santo Yohanes Maria Vianey (Pastor dari Ars, Pelindung para imam) dan dengan penuh kasih saya memberikan kepada anda sekalian berkat apostolikku.

Vatikan, 24 Januari 2010, Pesta Santo Fransiskus de Sales.

Paus Benediktus XVI

dikutip dari
http://www.mirifica .net/artDetail. php?aid=6090

baca selanjutnya...

Minggu, 14 Maret 2010

SURAT GEMBALA PRAPASKAH KEPAUSAN 2010

“Kebenaran[1] Allah telah dinyatakan karena iman dalam Yesus Kristus”
(lih. Rom. 3:21-22)

Saudara-saudari yang terkasih,
Setiap tahun, pada kesempatan Masa Prapaskah, Gereja mengundang kita untuk dengan tulus meninjau kembali hidup kita dalam cahaya Injil. Tahun ini, saya ingin menawarkan kepada Anda sekalian beberapa permenungan atas tema besar “keadilan”, dengan bertitik-tolak pada penegasan Paulus ini: “Kebenaran Allah telah dinyatakan karena iman dalam Yesus Kristus” (lih. Rom. 3:21-22).

Keadilah: “memberikan kepada yang berhak menerimanya”
Pertama-tama saya ingin melihat arti istilah “keadilan”, yang pada umumnya mengandung pengertian “memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya”, menurut rumusan kesohor dari Ulpianus, seorang ahli hukum dari kota Roma pada abad ketiga. Namun, pada kenyataannya, definisi klasik ini tidak menspesifikasi, “hak” manakah yang harus diberikan kepada setiap orang itu. Apa yang paling dibutuhkan orang, tidak dapat dijamin oleh hukum. Agar supaya orang dapat hidup dengan sepenuhnya, dibutuhkanlah sesuatu yang lebih mendalam, yang dapat diberikan kepadanya hanya sebagai suatu pemberian: kita dapat mengatakan, bahwa seseorang hidup dari cinta-kasih itu, yang hanya bisa disampaikan oleh Allah, sebab Dialah yang menciptakan pribadi manusia sesuai dengan citra dan gambaran-Nya. Barang-barang duniawi memang berguna dan sungguh dibutuhkan, ─ sesungguhnya Yesus sendiri memang menaruh keprihatinan untuk menyembuhkan mereka yang sakit, memberi makan kepada orang banyak yang mengikuti-Nya, dan pastilah Dia mengutuk sikap tidak-mau-tahu, yang bahkan pada jaman sekarangpun telah menyebabkan rutusan juta orang mengalami kematian karena kekurangan makanan, air dan obat-obatan,─ namun “keadilan distributif” itu tetap saja tidak bisa memberikan kepada manusia seluruh kepenuhan “haknya”. Sebagaimana manusia membutuhkan makanan, demikian pula dia, malah lebih lagi, membutuhkan Allah. Santo Agustinus mencatat: seandainya “keadailan adalah keutamaan untuk memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya … lalu di manakah keadilan seseorang, apabila dia meninggalkan Allah yang benar?” (De Civitate Dei, XIX, 21).

Apakah Penyebab Ketidakadilan
Penginjil Markus melaporkan kata-kata Yesus berikut ini, yang disisipkannya di dalam perdebatan pada waktu itu tentang apa yang mencemarkan dan tidak mencemarkan orang: "Kamu semua, dengarlah kepada-Ku dan camkanlah. Apa pun dari luar, yang masuk ke dalam seseorang, tidak dapat menajiskannya, tetapi apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya. " Kata-Nya lagi: "Apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya, sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat” (Mrk. 7:14-15.20-21) . Lebih jauh dari masalah yang secara langsung menyangkut makanan, kita dapat menemukan dalam reaksi orang-orang Farisi di sana, hadirnya godaan yang selalu ada pada diri manusia: yakni untuk menempatkan asal-usul kejahatan di dalam sesuatu yang ada di luar manusia. Juga kini pun, jauh di dalam lubuk pemikiran-pemikiran modern adalah pengandaian ini: karena ketidakadilan datang “dari luar”, maka agar supaya keadilan berjaya, cukuplah kita
menyingkirkan penyebab luaran yang menghalanginya itu. Yesus memperingatkan: cara berpikir yang seperti itu terlalu dangkal dan sempit. Ketidakadilan, sebagai buah dari yang jahat, tidak bersumber hanya pada yang luaran saja; asal-muasalnya terletak di dalam hati manusia itu sendiri, yang benih-benihnya berada secara tersembunyi di dalam kerja-sama manusia dengan yang jahat. Inilah juga yang dengan pahit diakui oleh si Pemazmur: “Sesungguhnya, dalam kesalahan aku diperanakkan, dalam dosa aku dikandung ibuku” (Mzm. 51:7). Memang benar, manusia sangat diperlemah oleh suatu pengaruh yang sangat besar, yang bahkan melukai kemampuannya untuk masuk ke dalam persekutuan dengan orang lain.
Sebenarnya pada dasarnya manusia memiliki keterbukaan untuk berbagi secara bebas dengan orang lain, namun didapatinya juga di dalam dirinya suatu kekuatan asing berupa suatu daya-tarik yang membuatnya berbalik kepada dirinya sendiri dan mengafirmasikannya di atas dan melawan orang lain: inilah egoism, buah dan akibat dari dosa asal. Adam dan Hawa, tergoda oleh dusta tipuan si Iblis, dengan memetik buah misterius itu yang bertentangan dengan perintah Allah, telah menggantikan cara berpikir logis untuk menaruh kepercayaan kepada Cintakasih dan menukarnya dengan pola pikir logis kecurigaan dan persaingan; menggantikan sikap menerima dan mengharapkan dengan penuh kepercayaan kepada Yang Lain itu, dan menukarnya dengan mengambil secara bernafsu dan bertindak dari dirinya sendiri (bdk Kej. 3:6), dan dengan demikian lalu mengalami perasaan kecemasan dan kegelisahan.
Bagaimana orang bisa melepaskan dirinya sendiri dari pengaruh egoism ini lalu membuka dirinya terhadap Kasih?

Keadailan dan Sedaqah
Di jantung kebijaksanaan Israel, kita mendapatkan kaitan yang mendalam antara iman kepercayaan kepada Allah yang “menegakkan orang yang hina dari dalam debu” (Mzm. 113:7) dan keadilan kepada sesamanya manusia. Kata bahasa Ibrani itu sendiri, sedaqah, yang menunjuk kepada keutamaan keadilan, juga mengungkapkan hal itu dengan sangat bagus. Pada kenyataannya, sedaqah, di satu pihak mengungkapkan penerimaan manusia pada kehendak Allah Israel, tetapi di pihak lain juga mengungkapkan kesetaraan hubungan seseorang dengan sesamanya (lih. Kel. 20:12-17), terutama orang miskin, orang asing, para yatim-piatu dan jada-janda (lih. Ul. 10:18-19). Kedua arti itu berkaitan satu sama lain, karena bagi orang Israel, memberi kepada orang miskin, tidak lain dan tidak bukan sama artinya dengan memberikan kembali kepada Allah apa yang telah mereka dapatkan dari Dia, yang dahulu telah menaruh belas-kasihan kepada kesengsaraan umat-Nya. Pastilah bukan suatu kebetulan, bahwa
penyerahan dua loh batu berisi hukum kepada Musa di Gunung Sinai itu terjadi sesudah mereka menyebrangi Laut Merah. Mendengarkan Hukum itu mengandaikan iman kepercayaan kepada Allah yang mula-mula “mendengar keluh-kesah” umat-Nya, dan lalu “turun untuk melepaskan mereka dari tangan orang Mesir” (lih. Kel. 3:8). Allah telah menaruh perhatian kepada seruan orang papa dan pada gilirannya Ia juga meminta supaya Dia didengarkan: dengan kata lain, Ia meminta sikap yang adil juga terhadap orang-orang papa (lih. Sir. 4:4-5, 8-9), terhadap orang-orang asing (lih. Kel. 22:20), terhadap budak-belian (lih. Ul. 15:12-18). Untuk dapat memasuki keadilan ini haruslah orang keluar dari dan meninggalkan rasa puas dirinya yang semu, yakni ketertutupannya yang mendalam, sebab justru itulah biang-keladi dari ketidakadilan. Dengan kata lain, yang sebenarnya dibutuhkan sekarang adalah suatu “exodus” yang lebih mendalam dari pada yang dahulu pernah dilakukan oleh
Allah dengan Musa, yakni suatu pembebasan hati, yang tidak akan dapat dilakukan oleh Hukum itu dengan kekuatannya sendiri.
Kalau demikian, masih adakah bagi manusia harapan akan adanya keadilan?

Kristus, Keadilan Allah
Kabar Gembira kekristenan dengan sangat positif menjawab kehausan manusia akan keadilan itu. Santo Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma menegaskan: “Tetapi sekarang, tanpa hukum Taurat kebenaran Allah telah dinyatakan … karena iman dalam Yesus Kristus bagi semua orang yang percaya. Sebab tidak ada perbedaan. Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah, dan oleh kasih karunia telah dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus Yesus. Kristus Yesus telah ditentukan Allah menjadi jalan pendamaian karena iman, dalam darah-Nya” (lih. Rom. 3:21-25).
Kalau demikian, apakah keadilan Kristus itu? Di atas semauanya, keadilan itu adalah yang keluar dari rakhmat, karena bukan manusia sendirilah yang telah mengadakan perbaikan yakni menyembuhkan diri sendiri dan orang lain. Pada kenyataannya, seperti dikatakan, bahwa “jalan pendamaian” itu mengalir dari darah Kristus, berarti, bahwa sebenarnya bukan kurban dari manusia itu sendiri yang telah membebaskannya dari beban dosa-dosanya, melainkan justru perbuatan kasih Allah, yang bahkan telah membuka Diri-Nya sampai sehabis-habisnya, bahkan sampai pada titik menerima dalam diri-Nya sendiri, “kutuk” yang sebenarnya harus dijatuhkan kepada manusia, sehingga dengan demikian manusia dapat menghaturkan “berkat” yang menjadi hak Allah (lih, Gal 3:13-14). Tetapi justru dari sini langsung muncul keberatan: keadilan macam apakah ini, di mana justru orang yang adil harus mati bagi mereka yang bersalah dan orang yang bersalah malah menerima berkat yang
sebenarnya menjadi hak orang yang adil? Apakah ini bukan berarti, bahwa masing-masing menerima apa yang sebenarnya bertentangan dengan yang menjadi “hak”-nya? Pada kenyataannya justru di sinilah kita mendapatkan keadilan Allah, yang begitu berbeda dengan keadilan menurut pemahaman manusia. Allah telah membayar uang tebusan bagi kita dalam diri Putra-Nya, suatu harga tebusan yang sungguh tak terhingga besarnya. Terhadap keadilan Salib seperti itu orang mungkin memberontak, tetapi itu justru menunjukkan betapa manusia adalah makhluk yang sama sekali tidak bisa mencukupi dirinya sendiri. Ia membutuhkan Seorang Lain untuk dapat membuka dirinya dengan sepenuh-penuhnya. Akhir-akhirnya, berbalik kepada Kristus, atau percaya kepada Injil, berarti ini saja: keluar dari kepercayaan- semu bahwa ia mampu mencukupi dirinya sendiri, sehingga ia mempu mendapatkan dan menerima apa yang menjadi kebutuhannya, ─yakni kebutuhan akan orang-orang lain dan Allah sendiri,
kebutuhan akan pengampunan dan persahabatan- Nya.
Dengan demikian kita dapat memahami, betapa sama sekali berbedanya iman kepercayaan dengan sekedar perasaan nyaman yang alami. Inilah fakta nyatanya: kerendahan hati sungguh dibutuhkan untuk dapat menerima, bahwa saya membutuhkan Yang Lain untuk dapat membebaskan diri saya dari “apa yang menjadi hak saya” dan untuk dapat menyerahkan diri saya dengan kerelaan sepenuhnya kepada “apa yang menjadi hak-Nya”. Dan hal ini terjadi terutama di dalam Sakramen Rekonsiliasi dan Ekaristi. Syukur kepada karya Kristus, sehingga kita dapat masuk ke dalam keadilannya yang “tertinggi” yang adalah karya kasih-Nya (lih. Rom. 13:8-10), yakni keadilan yang sungguh menyadarkan kita, bahwa, dalam segala-galanya, kita ini lebih merupakan “debitor” dari pada “kreditor”[2], justru karena kita telah menerima lebih dari pada yang kita harapkan.
Dikuatkan oleh pengalaman ini Umat Beriman digerakkan untuk berkontribusi menciptakan masyarakat yang adil, di mana setiap orang menerima apa yang dibutuhkannya untuk hidup sesuai dengan martabatnya yang khas sebagai manusia yang berkepribadian, dan di mana keadilan itu sungguh dihidupi oleh cintakasih.

Saudara dan saudari yang terkasih,
Masa Prapaskah ini akan mencapai puncaknya dalam Tri Hari Suci Paskah, di mana, dalam tahun ini juga, kita akan merayakan keadilan Allah, yakni kepenuhan kasih-Nya, anugerah-Nya dan juga karya penebusan-Nya. Semoga bagi seluruh Umat Beriman masa tobat ini akan merupakan masa pertobatan yang otentik dan masa untuk memupuk pengenalan kita akan misteri Kristus, yang telah datang untuk memenuhi setiap keadilan. Dengan harapan-harapan ini, Saya dengan setulus hati memberikan kepada Anda semua: Berkat Apostolik Saya.

Dikeluarkan di Vatikan, 30 Oktober 2009.

Benediktus XVI,
Paus

[1] Secara hurufiah Surat Gembala Kepausan ini berjudul: “Keadilan Allah telah dinyatakan karena iman dalam Yesus Kristus” (lih. Rom. 3:21-22). Akan tetapi Kata Yunani dikaiosynè (“keadilan”; Bahasa Latin: iustitia, Inggris justice) dalam Alkitab Perjanjian Baru kita diterjemahkan dengan kebenaran, kecuali dalam 2Kor. 6:7; 1Tim. 6:11; 2Tim. 2:22; Ibr. 1:9; 2Ptr. 1:1 kata itu diterjemahkan dengan keadilan. Dalam Mat. kata itu malah diterjemahkan dengan kehendak Allah (3:15) dan hidup keagamaan (5:20), sedang Tit. 3:5 menerjemahkannya dengan perbuatan baik. Dalam terjemahan ini kata “iustitia” (Lat.) atau “justice” (Ingg.) dipertahankan dengan ungkapan keadilan dalam teks Surat Gembala Prapaskah Kepausan, meskipun teks Alkitab yang direferensikannya, dipertahankan juga istilah alkitabiah Idonesianya, yakni kebenaran. Harap pembaca maklum adanya.

[2] Santo Bapa sengaja mempergunakan kedua istilah “debet” dan “kredit” ini, berkaitan dengan gagasan “penebusan” yang sering juga dikonsepkan sebagai “uang tebusan” yang harus dibayar seperti pembahasan dalam alinea sebelumnya.

Dikutip dari milis Apikatolik@yahoogroups.com kiriman dari Shirley Hadisandjaja

baca selanjutnya...

Minggu, 14 Februari 2010

SURAT GEMBALA PRAPASKAH Uskup Bogor 2010

Saudara-saudari umat beriman Keuskupan Bogor yang terkasih,

1. Kita akan memasuki masa Prapaskah. Masa ini sering disebut Retret Agung, saat persiapan diri untuk merayakan Paskah Kristus. Dalam masa Prapaskah ini, Gereja menyediakan bagi kita waktu selama 40 hari untuk pertobatan. Pertobatan merupakan isi perjalanan rohani kita. Khusus untuk tahun ini pertobatan kita akan diarahkan ke “akar rumput”, yaitu ke setiap keluarga yang adalah “Ecclesia domestica” (Gereja Rumah Tangga). Pertobatan dalam keluarga bermaksud untuk menata dan menumbuhkan kembali unsur cinta kasih, kesetiaan dan semangat saling mengabdi antara suami-istri, juga antara orangtua dan anak. Semua nilai ini sepertinya sudah mengendur karena perbedaan paham, juga karena tekanan yang mengancam keluarga dari pengaruh perkembangan zaman. Tujuan akhir dari pertobatan itu ialah bahwa cinta kasih mulai bersemi dalam keluarga, sehingga terciptalah keluarga yang bahagia, harmonis dan sejahtera (BAHTERA).

2. Oleh karena itu, Gereja telah mempersiapkan Tema Aksi Puasa Pembangunan 2010: “Keluarga Bertanggungjawab”. Gereja mengharapkan bahwa dalam masa Prapaskah setiap keluarga membuat perjalanan rohani menuju keluarga Kristiani yang ideal. Bagi keuskupan kita tema keluarga akan dicanangkan selama tiga tahun, mulai tahun 2010 sampai dengan 2012. Setiap tahun pokok kegiatannya berbeda. Tahun 2010 dikhususkan untuk orangtua, tahun 2011 untuk anak dan remaja, dan tahun 2012 untuk kaum muda.
Silahkan Download dan
3. Saudara-saudari yang terkasih, kita mungkin masih ingat, lebih dari satu dekade yang lalu - tepatnya tahun 1994, Perserikatan Bangsa-Bangsa memproklamasikan tahun itu sebagai “Tahun Keluarga”. Prakarsa dan aksi PBB tahun 1994 tersebut sungguh didukung oleh Pimpinan Gereja Katolik, yang juga memproklamasikan tahun yang sama sebagai “Tahun Keluarga”, yang dimulai dari hari Pesta Keluarga Kudus, 26 Desember 1993. Sebenarnya keprihatinan Gereja terhadap keluarga sudah jauh lebih dulu dari itu, ketika Paus Yohanes Paulus II mengeluarkan Ajakan Apostolik “Familiaris Consortio” tahun 1981.

Sementara itu Keuskupan kita kembali mencanangkan tahun ini sebagai Tahun Keluarga. Bahan-bahan renungan APP 2010 diharapkan dapat membantu keluarga Kristiani mengetahui berbagai tantangan dan masalah yang dihadapinya, dan sekaligus sadar akan tugas perutusan yang dipercayakan kepadanya. Kita juga perlu menyadari bahwa keselamatan pribadi maupun masyarakat manusiawi sangat erat berhubungan dengan kesejahteraan kerukunan perkawinan dan keluarga (lih: GS 47;bdk. GS 52). Karena adanya banyak tantangan dan masalah serius yang dapat menghancurkan persatuan suami dan istri, maka Gereja merasa perlu untuk memberi perhatian khusus dalam hal ini.

4. Dalam rangka menyambut pelaksanaan Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia III (SAGKI) 2010, yang akan merefleksikan tema sekitar “Gereja dan Evangelisasi”, kita juga akan merefleksikan perwujudan Evangelisasi ke setiap keluarga. Kita mengharapkan lewat Kebangunan Rohani Keluarga Kristiani (Rekoleksi dan Retret Keluarga Kristiani) terbentuklah Gereja Rumah Tangga, yang siap melaksanakan tugas misioner, yang datang dari Yesus sendiri. Paus Yohanes Paulus II pernah menyatakan bahwa masa depan evangelisasi bergantung sebagian besar kepada “Ecclesia domestica”, Gereja Rumah Tangga/ Keluarga Umat Allah (lih. Familiaris Consortio 52; bdk. LG 11; AA 11; EN 71).

5. Saudara-saudari yang terkasih, suatu kenyataan yang dihadapi setiap keluarga Kristiani dewasa ini adalah terjadinya banyak perubahan akibat pesatnya perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Kita di Indonesia tidak luput dari perubahan itu karena adanya arus globalisasi dan penyebaran informasi lewat media komunikasi yang makin canggih. Kendati kita mensyukuri kemajuan dan perkembangan yang sangat positif, kita juga khawatir dengan dampak negatifnya. Perubahan zaman itu juga mempengaruhi tatanan hidup, nilai-nilai yang dihayati, hubungan interpersonal, dan aspek-aspek lain dari kehidupan manusia. Umat Katolik di Indonesia dan keluarga-keluarga Kristiani di Keuskupan Bogor juga tidak luput dari pengaruh negatif dari perubahan tersebut. Nilai-nilai keagamaan yang dianut dan dihayati berbenturan dengan gelombang perubahan yang kita hadapi. Hal yang amat dikhawatirkan ialah bahwa perkembangan teknologi di bidang medis atau kesehatan mulai menggerogoti nilai kehidupan keluarga Kristiani. Ada pelbagai percobaan teknologi di bidang medis sudah dirasakan kurang menghormati nilai hubungan suami-istri dan nilai kehidupan manusia.

6. Masalah pastoral Keluarga kapan saja tetap penting dan aktual. Kebahagiaan, keharmonisan, kesejahteraan, keutuhan dan peranan aktif keluarga merupakan hal yang penting, baik bagi Gereja maupun masyarakat. Kualitas hidup suatu masyarakat amat bergantung dari mutu kehidupan setiap keluarga; baik-buruknya mutu masyarakat bergantung dari baik-buruknya mutu kehidupan keluarga-keluarga yang membentuknya. Karena itu, Gereja Katolik selalu memprioritaskan pendampingan dan pembinaan keluarga mengingat keluarga Kristiani adalah Ecclesia domestica. Harapan kita, beberapa sub-tema Pendalaman Iman selama masa Prapaskah ini dapat menggerakkan kita untuk mulai membangun “Ecclesia domestica”. Dengan demikian, Iman Kristiani kita di dalam Gereja menyala kembali di dalam Keluarga.

7. Karena itu masa Prapaskah atau Retret Agung selama 40 hari ini harus kita manfaatkan sebaik-baiknya dengan:
* Meningkatkan semangat doa, ikut mengambil bagian dalam renungan saat Pendalaman Iman di lingkungan, mengikuti Jalan Salib di gereja paroki atau kapel.
* Membiasakan diri untuk membaca dan merenungkan Kitab Suci. Jadikan keluarga kita sebagai tempat berdoa, tempat mendengarkan dan melakukan Firman Allah itu.
* Menjadikan masa Prapaskah sebagai saat mengarahkan hati untuk membina hubungan baik dengan sesama anggota Keluarga, juga dengan warga Lingkungan. Karena kita semua adalah ciptaan Allah, maka kita perlu menghormati semua ciptaanNya, baik itu sesama manusia, maupun lingkungan hidup kita.
* Menjadikan masa retret agung ini sebagai saat beramal-kasih, dengan menyisihkan sebagian dari milik kita. Dengan penuh ketulusan hati dan semangat kasih kita perlu menolong sesama kita yang miskin, sakit, menderita dan berkekurangan, supaya terwujudlah “Keluarga Bahtera” yakni keluarga Bahagia, Harmonis dan Sejahtera.

8. Saudara-saudari umat Keuskupan Bogor yang terkasih. Marilah kita menyiapkan diri dan hati sebaik-baiknya dalam rangka merayakan hari Kebangkitan Tuhan kita Yesus Kristus. Selama masa Prapaskah ini kita doakan secara khusus bagi persiapan dan pelaksanaan SAGKI III 2010. Semoga keluarga kita mengalami pertobatan dan pembaruan hidup, serta mengambil bagian dalam kemenangan Kristus atas dosa dan maut.

SALAM DAN BERKAT APOSTOLIK!

Diberikan di Bogor, 28 Januari 2010
Pada Peringatan Santo Thomas Aquinas
Imam dan Pujangga Gereja


Mgr. Michael Cosmas Angkur, OFM
Uskup Keuskupan Bogor

baca selanjutnya...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP