Tampilkan postingan dengan label Keuskupan Ag Jakarta. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Keuskupan Ag Jakarta. Tampilkan semua postingan

Kamis, 05 Juli 2012

Gereja Katolik St. Yakobus, Kelapa Gading, Jakarta

Sekitar tahun 1985-an pertumbuhan penduduk di wilayah Kelapa Gading mulai bergerak dengan cepat. Laju pertumbuhan penduduk ini sangat berpengaruh pada pertumbuhan jumlah umat Paroki Santo Yakobus pada saat itu. Seiring laju pertumbuhan penduduk di wilayah ini hadir keluarga-keluarga muda yang berperan dalam pertumbuhan jumlah umat paroki. Realitas masyarakat umum dan umat paroki yang demikian menantang para pelayan gereja Paroki Santo Yakobus untuk memikirkan masa depan umatnya, teristimewa anak-anak dari keluarga muda yang ada di wilayah paroki dan masyarakat Kelapa Gading pada umumnya. Sehingga timbullah pertanyaan: Pelayanan pastoral apa yang perlu dilakukan untuk melayani masyarakat yang makin berkembang ini? Lebih khusus lagi “bagaimana bentuk pelayanan yang harus diberikan kepada umat paroki dengan keluarga-keluarga muda yang memiliki anak-anak usia pra sekolah dan usia sekolah?”

Tantangan-tantangan tersebut mengantar para pengurus Dewan Paroki Santo Yakobus pada suatu kesimpulan bahwa pelayanan pastoral yang mendesak adalah pelayanan kategorial di bidang pendidikan dan kesehatan. Pelayanan kategorial ini dapat dijalankan melalui suatu wadah institusi yaitu suatu yayasan. Maka pada tanggal 23 Agustus 1989 Yayasan Santo Yakobus berdiri. Pendirian yayasan ini dikukuhkan dengan Akte Notaris R. Sudibio Djojopranoto, SH nomor 88. Akte no.88 ini menegaskan bahwa Yayasan Santo Yakobus adalah yayasan yang melayani bidang pendidikan dan kesehatan.

Sebagai perwujudan niat mulia dari yayasan dalam pastoral pendidikan untuk umat paroki dan masyarakat sekitar, maka pada tahun pelajaran 1989/1990 Sekolah Dasar Santo Yakobus dimulai. Karena minat dan kebutuhan umat serta masyarakat akan pendidikan bagi anak-anak mereka, maka pada tahun palajaran 1990/1991 dimulai pendidikan pra sekolah yaitu TK Santo Yakobus dengan kelas TK-A dan TK-B. Untuk menjamin kelanjutan dari pendidikan jenjang SD maka pada tahun pelajaran 1995/1996 didirikan SMP Santo Yakobus dan pada tahun pelajaran 1998/1999 berdirilah SMA Santo Yakobus.

Untuk pelayanan pastoral di bidang kesehatan, Gereja St. Yakobus sejak tahun 1988 telah mendirikan suatu Balai Kesehatan Masyarakat (Balkesmas) dengan unit pelayanan: Poliklinik Umum, Poliklinik Gigi, pelayanan KB, Posyandu, dan kegiatan donor darah. Balkesmas ini diberi nama “Bina Kasih”. Balkesmas ini melayani pemeriksaan dan perawatan kesehatan para murid dan siswa/i Sekolah Santo Yakobus maupun umat dan warga masyarakat umum.

Gereja Santo Yakobus adalah sebuah gereja Katolik yang terletak di kawasan Kelapa Gading, Jakarta. Gereja ini didirikan pada tahun 1986.[2] Pastor kepala paroki saat ini adalah Pastor Antonius Gunardi Prayitna, MSF.

Gereja Yakobus saat ini telah selesai direnovasi dan memiliki beberapa fasilitas, antara lain:
* Kapasitas ± 2.000 umat
* 3 buah menara lonceng
* Kapel adorasi 24 jam (pertama kalinya di Jakarta)
* Goa Maria

Paroki Yakobus juga memperoleh rekor MURI dengan rekor kaca patri santo-santa terbanyak (72 buah).[3]

Para pastor yang saat ini bertugas di Paroki St.Yakobus Kelapa Gading:
* RP Antonius Gunardi Prayitna, MSF
* RD Stanislaus Sutopanitro
* RD Romanus Heri Santoso
* RD Antonius Suyadi

Pastor-pastor yang pernah menjabat sebagai Pastor Kepala Paroki St.Yakobus Kelapa Gading:
* RD Y. Wiyanto Harjopranoto
* RD P. Ekosusanto
* RD A. S. Gunawan
* RD Jacobus Tarigan
* RD Aloysius Yus Noron



Sumber : http://id.wikipedia.org/
Gambar : http://albertusgregory.blogspot.com/

baca selanjutnya...

Selasa, 12 Juni 2012

Sejarah Paroki St. Arnoldus Janssen Bekasi

Umat Dan Gembala Perdana

Sebagai daerah penyangga Jakarta, Bekasi berkembang sangat pesat seiring dengan lajunya pembangunan di Jakarta. Perkembangan jumlah penduduk maupun pembangunan fisik lainnya yang sedemikian cepat menjadikan Bekasi bertumbuh sebagai kota besar. Kondisi ini ternyata telah diprediksi oleh para Bapa gereja sejak akhir tahun 1950. Pada masa Uskup Agung Jakarta dijabat oleh Mgr. A. Djajaseputra, SJ dikeluarkan kebijakan untuk memperluas pelayanan Keuskupan Agung Jakarta kearah Bekasi. Untuk menunjang kebijakan tersebut pada tahun 1958 dibeli sebidang tanah di pinggir Jl. Ir. H. Juanda Bekasi dan pada tahun 1967 didirikan sekolah Strada Budi Luhur

Pada masa itu mulailah beberapa umat bergabung untuk saling melakukan komunikasi dan mengadakan kegiatan. Tahun 1966 tercatat 11 jiwa beragama Katolik yang terdiri dari 2 keluarga dan 3 orang bujangan. Diantara keluarga awam yang menjadi pelopor komunitas Katolik tersebut adalah keluarga P.Y. Maryoto. Keluarga ini dan keluarga lainnya dapat disebut sebagai umat perdana di paroki Bekasi.

Perayaan Natal pertama kali dilakukan pada tahun 1966 dan mulai tahun 1967 sampai tahun 1970 perayaan ekaristi dilakukan sebulan sekali mengambil tempat di sekolah Strada Budi Luhur. Dengan selesainya pembangunan Sekolah Strada Budi Luhur, berbagai kegiatan rohani semakin banyak dilaksanakan. Misa juga dilakukan di rumah-rumah umat Katolik perdana seperti di Keluarga Dr. Indranata, Keluarga Gouw Bian Hien, Keluarga P.Y. Maryoto, Keluarga Budi, dan keluarga lainnya yang telah bergabung.

Pada tahun 1970 Keuskupan Agung Jakarta menetapkan Bekasi sebagai sebuah stasi dengan nama Stasi Bekasi di bawah naungan Gereja Santa Maria Dipamarga-Klender Jakarta. mulai saat itu pelayanan dan kegiatan diintensifkan, perayaan ekaristi diadakan dua kali sebulan dan pelayanan bagi umat diperkuat oleh Frater Jesuit yang melayani setiap Sabtu dan Minggu. Demikian juga pembaptisan dan penerimaan Sakramen Krisma dilakukan di stasi ini. Stasi Bekasi mengalami kemajuan pesat sejak tahun 1975, seiring dengan dibangunnya berbagai perumahan. Umat yang mengikuti misa dapat mencapai jumlah 250 hingga 400 orang. Pada tahun 1978 stasi Bekasi memiliki 11 kring (sekarang lingkungan) meliputi: Cikarang, Tambun, Jalada Pura, Babelan, Kranji, Bekasi Tengah, Patal-Teluk Angsan, Teluk Buyung, Bekasi Barat, Bekasi Timur-Selatan dan kelompok lain yang tersebar agak jauh dari pusat stasi.

Pelayanan di stasi ini di bantu oleh Pastor Van Den Braak, SJ yang terhitung tanggal 20 Juni 1978 secara teratur datang untuk melakukan pelayanan sebulan 2-3 kali, membangun komunitas Mudika, Wanita Katolik dan lainnya. Rapat pleno stasi yang pertama diadakan tanggal 19 Desember 1978 dipimpin oleh Romo Van De Braak, SJ guna mengevaluasi, me-reorganisasi dan membuat program kerja tahun berikutnya. Pastor lain yang pernah ikut melayani Stasi Bekasi selama 14 tahun (1965-1979) antara lain: Pastor Nooy, SVD; Pastor K. Lonymans, SJ; Pastor Staudinger, SJ; Pastor Christ Verhaak, SJ; Pastor Van Den Putten, SJ; Pastor A. Suryawasita, SJ; Pastor Van Den Braak, SJ dibantu para frater setiap Sabtu dan Minggu diantaranya Frater Max Palaar, SJ; Frater D. Edfiwinarto,SJ; Frater J. Darminta, SJ; Frater Purnomo, SJ; Frater FX Muji Sutrisno, SJ; Frater A. Pujaharsana, SJ; Frater R. Sarto Pandoyo, SJ; Frater S. Ciptosuwarno, SJ; Frater Hadi Sutrisnanto, SJ Frater F.C. Purwanto, SJ.

Berdirinya Paroki St. Arnoldus Janssen

Pada tanggal 25 Februari 1979 Stasi Bekasi ditetapkan menjadi Paroki oleh Uskup Agung JakartaMgr. Leo Sukoto, SJ melalui surat nomor 213A/3.27.33/79 tanggal 25 Februari 1979 tentang Pernyataan Berdirinya Pengurus Gereja dan Dana Papa Roma Katolik (PGDP) Gereja Santo Arnoldus, Bekasi dengan nama pelindung Santo Arnoldus Janssen, pendiri Serikat Sabda Allah (SVD). Surat tersebut juga menetapkan personalia Badan PGDP Santo Arnoldus dengan susunan pengurus ketua Pastor Jan Lali, SVD (Pastor Kepala Paroki pertama); wakil ketua A.C. Soedharto SMS, BA; Sekretaris P.Y.Maryoto; Bendahara Pastor Jan Lali, SVD; anggota F.S. Suprapto MA dan St. Djoemadi. Disebutkan pula batas paroki Bekasi, yaitu Sebelah Utara Laut Jawa; Sebelah Timur Kabupaten Karawang (sungai Citarum); Sebelah Selatan Kabupaten Bogor; Sebelah Barat DKI Jakarta (kali Cakung). Paroki St.Arnoldus Janssen beralamat di Jl. Ir. H. Juanda No. 164, Kelurahan Margahayu, Kota Bekasi. Pada Saat berdirinya, paroki ini memiliki umat sejumlah sekitar 700 orang dalam 4 lingkungan, 3 wilayah. Baptisan pertama tercatat tanggal 23 Maret 1979, baptisan sebelumnya masih tercatat di Klender, Jakarta.

Penggunaan nama Pelindung paroki sehari-hari cukup dengan sebutan Paroki St. Arnoldus, adalah berdasarkan pertimbangan keyakinan dari P. Jan Lali SVD, bhw St. Arnoldus Janssen SVD tak lama lagi akan dikanonisasi menjadi Santo, dan paroki tak perlu mengadakan perubahan dari segi administratif.

St. Arnoldus sendiri (tanpa Janssen) adalah orang kudus abad ke 8 berkebangsaan Yunani, seorang pemain siter di istana Kaisar Karolus Agung (Jerman). Adapun hari pesta St. Arnoldus adl tgl 18 Juli. St. Arnoldus ini jg mjd pelindung atau nama baptis dr Janssen sang pendiri tarekat SVD th. 1875 di Steyl – Belanda, jg mendirikan kongregasi misi biarawati: SsPS dan SspSAP.
St. Arnoldus Janssen dulunya adalah seorang Imam Projo (Pr) yang lahir di kawasan Goch, Rheinland-Jerman Barat, pd tgl 05 Nov 1937 dari sebuah keluarga Kristiani yg taat. Sedangkan pesta peringatannya adalah tgl 15 Januari yg adalah tgl kematiannya, 15 Jn 1909. Beliau diangkat sebagai Beato oleh Paus Paulus VI pada tgl 19 Okt 1975 bertepatan dng hari Raya Minggu Misi sedunia. Selanjutnya tgl 5 Okt 2003 digelari Santo oleh Paus Yohanes Paulus II dan Paroki St. Arnoldus Bekasi juga mengadakan perayaan syukur atas kanonisasi itu pd tgl 10 Oktober 2003 dengan Misi Khusus yang antara lain dipersembahkan oleh Pastor Kepala Paroki St. Arnoldus , P. Lucius Sari Uran SVD dan tentunya bersama gembala Paroki yang pertama, alm.P. Jan Lali SVD.

Pemekaran dan Pertumbuhan Umat

Pesatnya pertumbuhan umat akibat semakin banyaknya perumahan dan pindahnya umat dari Jakarta ke Bekasi menjadikan Paroki St. Arnoldus Janssen sebagai gereja perdana di Bekasi yang melahirkan paroki-paroki baru seperti Paroki St. Mikael Kranji (tahun 1991); Paroki St. Bartolomeus Taman Galaxi (tahun 1995); Paroki St. Klara Bekasi Utara (tahun 1996); Paroki Ibu Teresa Cikarang (tahun 2004). Dengan adanya pemekaran ini, maka batas Paroki menjadi: Utara dengan Paroki St. Klara; Selatan dengan Paroki St. Bartolomeus, Taman Galaxi dan Keuskupan Bogor; Timur dengan Paroki Ibu Teresa, Cikarang; Barat dengan Paroki St. Mikael, Kranji.

Perkembangan jumlah umat dari tahun 2003-2010, sebagaimana laporan ke KAJ adalah sebagai berikut: tahun 2003:17.979; tahun 2004: 19.555; tahun 2005: 20.064; tahun 2006: 20.136; tahun 2007: 20.574; tahun 2008: 20.161; tahun 2009: 21.493; dan tahun 2010: 21.748 jiwa. Untuk melayani umat dengan lebih baik, Paroki St. Arnoldus Bekasi dibagi kedalam wilayah dan lingkungan. Pada kepengurusan Dewan Paroki periode tahun 2003-2006 terdiri atas 128 lingkungan dan 27 wilayah, tahun 2006-2009 terdiri atas 149 lingkungan, 33 wilayah dan 1 stasi St.Petrus Rasul Tambun Cibitung (terbentuk PGDP St. Petrus Tambun Cibitung) serta tahun 2009-2012 terdiri atas 174 lingkungan dan 39 wilayah dan 1 stasi St. Petrus Rasul Tambun Cibitung.

Gereja Sebelum Renovasi

Untuk mencukupi kebutuhan umat akan sarana ibadat, direncanakan pembangunan sebuah gedung gereja. Panitia pembangunan gereja diketuai oleh P.Y. Maryoto (periode 1982-1985), mereka bekerja keras mulai dari perencanaan, desain dan penggalangan dana. Penanggung jawab arsitek diserahkan kepada Bp. Michael dari PT. Griyantara Architec. Konsep bangunan gereja berbentuk Joglo dengan kapasitas tampung direncanakan 1500 umat. Seluruh umat bergotong royong bahu membahu, walaupun mereka adalah kelas ekonomi menengah ke bawah, namun patut mendapat pujian.

Karena kesungguhannya dalam menghimpun dana demi terwujudnya impian memiliki rumah ibadat.

Usaha keras panitia disertai doa seluruh umat paroki membuahkan hasil ketika Bupati Kepala Daerah Tingkat II Bekasi mengeluarkan rekomendasi (izin prinsip) pembangunan Gereja Katolik St. Arnoldus Janssen dengan nomor : 387/K.S.333/IX/1986 tertanggal 15 Juli 1986 yang di tanda tangani Bupati Bekasi H. Suko Martono. Salah satu butir rekomendasi menyebutkan alasan: Pengurus dan Jemaat Gereja St. Arnoldus Janssen Bekasi dapat menjaga kerukunan umat beragama di Kabupaten Bekasi.

Upaya-upaya terus dilakukan umat bersama Pastor Jan Lali, SVD melanjutkan usaha mendapatkan Izin Pelaksanaan Pembangunan Gereja. Akhirnya Izin Mendirikan Bangunan diterbitkan oleh Dinas Pekerjaan Umum Bekasi melalui Surat Izin Pelaksaan Mendirikan Bangunan (IMB) nomor 657/ PU.030/1-B/1986 ditanda tangani oleh H. Syawaludin sebagai Kepala dinas P.U. Pada tanggal 22 November 1987 bertepatan dengan Hari Raya Tuhan Kita Yesus Kristus, Bupati Kepala Daerah Bekasi H. Suko Martono berkenan meresmikan penggunaan gereja dan diberkati oleh Bapak Uskup Mgr. Leo Soekoto, SJ. Bangunan gereja setelah berumur 22 tahun ternyata tidak mampumenampung umat yang terus bertambah, maka dipandang perlu untuk melakukan renovasi.

Sumber : http://parokiarnoldus.net/
Gambar : http://albertusgregory.blogspot.com/

baca selanjutnya...

Sabtu, 02 Juni 2012

Sejarah Gereja St. Theresia Jakarta

Pada tahun 1930 kota Jakarta (Batavia) diperluas dengan mengembangkan kawasan Menteng dan Gondangdia. Umat Katolik yang mendiami kedua kawasan tersebut harus berjalan kaki cukup jauh bila akan mengikuti misa di gereja Katedral. Pengurus Gereja Katedral lalu mencari lahan sampai akhirnya ditemukan sebidang tanah di Jl. Soendaweg (sekarang Jl. Gereja Theresia) untuk dibangun gereja.

Tahun 1933, Pengurus Gereja Katedral Jakarta menugaskan arsitek J. Th. Van Oyen membangun gedung gereja St.Theresian yang dibangu tanpa tiang penyangga di tengah-tengah agar altar dapat terlihat dari segala arah. Pembangunan selesai pada tahun 1934, dan peresmiannya dilakukan oleh Pastor A. Th. Van Hoof SJ, provicaris Jakarta. Pastor Van Driel SJ kemudian ditetapkan sebagai pastor Paroki St.Theresia. Misa pertama di gereja St.Theresia dipersembahkan oleh Romo Van Hoof SJ dan dilanjutkan dengan pemberkatan lonceng baru oleh Uskup Jakarta Mgr.H.Leven SJ.

Gereja Theresia mempunyai 3 pintu, diatas setiap pintu terdapat jendela besar. Jendela besar diatas pintu utama menggambarkan St.Theresia, sedang yang diataspintu samping menggambarkan St.Ignatius de Loyola (pendiri Serikat Jesus) dan St. Fransiscus Xaverius (pelindung Misi). Dibelakang altar pun terdapat jendela yang ukurannya lebih kecil dari jendela-jendela yang disebutkan diatas, jendela-jendela ini berjumlah 13 dimana yang ditengah menggambarkan Yesus dan kanan kirinya menggambarkan keduabelas Rasul.

Tanggal 9 Januari 1936 didirikanlah Pengurus Gereja dan Dana Papa (PGDP) St. Theresia, dengan pembentukkan PGDP ini sempurnalah pendirian paroki baru St. Theresia. Pada tahun yang sama, Pastor F. Fleerakkers ditunjuk menjadi Pator Paroki, dimana beliau bertugas sampai tahun 1943. Pada tahun 1940 jumlah umat paroki sebanyak 2.512 orang, terdiri dari 2.450 orang Eropa, 32 Indonesia dan 30 orang Asia.

Setelah Indonesia merdeka, paroki Theresia semakin berkembang sehingga pada tahun 1946 dirasakan kebutuhan mendesak untuk membantu sebuah stasi di Jl. Malang. Maka dibelilah sebuah rumah biasa dimana srtiap hari minggu kurang lebih 100 orang dapat mengikuti misa. Stasi Jl. Malang ini di kemudian hari berdiri sendiri menjadi sebuah paroki. Pada tahun 1948 juga didirikan sebuah stasi di Jl. Cideng dan dibangun sebuah kapel. Dengan tambahan stasi diatas, jumlah total umat paroki St. Theresia seluruhnya menjadi 6.780 orang.

Tahun 1948 Pastor J. Awick SJ dari paroki Katedral pindah menjadi Pastor Paroki Theresia. Tugasnya dimulai dengan mengeluarkan semacam "Lonceng Paroki" dalam bentuk surat edaran yang dicetak. Isinya cukup pedas dan tegas, antara lain :

" Hubungan antara umat dan para pastor harus lebih ditingkatkan. Banyak anggota umat yang sama sekali tidak mempumyai hubungan dengan pastor karena jarang ke gereja sehingga jarang mendengar khotbahnya karena tidak pernah datang ke gereja, tidak diketahui alamatnya, tidak pernah mengaku dosa dan hanya beberapa puluh saja dari umat yang menjadi anggota organisasi Katolik ".

Selanjutnya pastor Awick menjelaskan organisasi-organisasi katolik yangada di gereja seperti Konggregasi Maria, Kerasulan Doa, Gerakan Kaum Muda, Paduan Suara, Kolektan dll. Selain itu dijelaskan pula tentang pelajaran agama khusus bagi anak-anak yang sekolah di sekolah non Katolik, pelajaran agama untuk orang dewasa, misa kanak-kanak dan lain-lain. Surat edaran tersebut ditutup dengan kata-kata :

"Jangan membaca selebaran ini dengan acuh tak acuh, jangan hanya senyum-senyum saja, tapi marilah para orang tua bersama anak-anak yang sudah dewasa memusyawarahkan apa yang bisa mereka perbuat dan bagaimana untuk bisa menggerakkan semua umat katolik di paroki".

Untuk menunjang seruan ini pastor Awick mendirikan sebuah gedung pertemuan paroki "Theresiahuis" yang terletak di Jl. Theresia No.11 gedung tersebut diresmikan pada tanggal 30 Juli 1950.

Paroki Theresia - St. Theresia
Jl.Gereja Theresia No.2, Jakarta 10350
Telp. (021) 391-7708
Fax. (021) 391-7709
E-mail : theresjkt@yahoo.com
Website: www.gerejatheresia.or.id
Misa Harian: 06.00, 07.00
Misa Sabtu Sore: 16.00 (Bhs. Inggris), 18.00
Misa Minggu: 06.30, 08.30, 11.00 (Bhs. Inggris), 17.00, 19.00

Sumber : http://www.gerejatheresia.or.id/sejarahgereja.html
Gambar : http://albertusgregory.blogspot.com/2011/12/gereja-katolik-st-theresia-menteng.html

baca selanjutnya...

Sabtu, 26 Mei 2012

Gereja Katolik St. Albertus, Harapan Indah, Bekasi

Peresmian Gereja Harapan Indah

Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik Antonius Semara Duran meresmikan Gereja Stasi Santo Albertus Harapan Indah, Bekasi, Jawa Barat, Sabtu, 25/6 di Gereja Stasi Harapan Indah.

Peresmian yang diikuti sekitar 400 orang ini dihadiri antara lain para tokoh masyarakat setempat, perwakilan gereja-gereja di Harapan Indah, warga Stasi Santo Albertus Harapan Indah, dan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik Antonius Semara Duran. Acara dimulai dengan doa yang dipimpin Pastor Yonas Manue Hunu SVD yang dilanjutkan dengan sambutan Ketua PPG Christina M.Rantetana.

Dalam sambutannya, Christina M.Rantetana mengatakan, perjuangan membangun gereja cukup panjang sekitar tiga tahun. “Tepatnya dimulai pada tanggal 11 Mei 2008 hingga hari ini karena memang dananya adalah swadaya umat, ada juga sumbangan dari Kementerian Agama melalui Dirjen Bimas Katolik,” tuturnya.

Sementara, keesokan harinya umat Stasi Santo Albertus Harapan Indah mengadakan pemberkatan gedung gereja oleh Uskup Agung Jakarta Mgr Ignatius Suharyo Pr. Sebelum Misa, diadakan penandatanganan prasasti gereja, pengguntingan pita, dan penyerahan kunci untuk membuka pintu gereja. Warga stasi yang hadir sekitar 4000 orang.

Setelah itu, Misa pemberkatan dimulai. Misa diadakan secara konselebrasi. Pastor Yoseph Jaga Dawan SVD, Pastor Alexander Nevi Mapu SVD, Pastor Yonas Manue Hunu SVD, Uskup Agung Emeritus Medan Mgr. A.G. Pius Datubara dan Provinsial SVD Pastor Felix Kadeks Sunartha SVD turut ambil bagian dalam Misa ini.

Dalam kotbahnya, Mgr Haryo berpesan, “Gereja ini tampak agung. Bukan suatu hal yang mudah dalam penyelesaiannya. Semoga gereja ini tidak hanya hadir bagi umat di stasi ini tapi juga hadir bagi masyarakat sekitar. Dan setelah pembangunan gereja ini selesai, masih ada tugas lain, yaitu membangun umat Tuhan.” Menurutnya, umat Katolik hendaknya mau berbagi kehidupan dan berbagi kebaikan. “Semakin kita mau berbagi kehidupan, maka masyarakat akan semakin menikmati buah-buah penebusan Kristus,” tuturnya.

Mgr Haryo berharap, agar segala usaha-usaha yang telah dilakukan menjadi suatu sekolah, pembelajaran untuk semakin berkembang di dalam iman, dalam persaudaraan yang semakin erat yang pada akhirnya akan menimbulkan pelayanan kasih yang semakin kreatif. “Dan semuanya sesuai dengan Arah Dasar Pastoral KAJ, yang telah dicanangkan sejak Paskah,” jelasnya.

Hal senada disampaikan Pastor Felix Kadeks Sunartha SVD. Dalam sambutannya, ia berkata, “Hidup semakin indah jika kita saling memberi, berbagi satu sama lain.” Gereja Stasi Harapan Indah adalah bagian dari Gereja Paroki Santo Mikael Kranji Bekasi, Jawa Barat.

Gereja Katolik Stasi St. Albertus, Harapan Indah- Paroki St. Mikael, Kranji:
Alamat: Jl. Boulevard Kav.23, Kota Mandiri Harapan Indah, Bekasi
Jadwal Perayaan Ekaristi:
Misa Harian (Senin, Rabu, Jumat): Pk. 06.00 WIB
Misa Jumat Pertama: Pk. 19.00 WIB
Misa Mingguan:
Sabtu: Pk. 17.30 WIB
Minggu: Pk. 06.00, 08.30 WIB

Sumber :
http://www.hidupkatolik.com/
http://albertusgregory.blogspot.com/

baca selanjutnya...

Senin, 30 Januari 2012

Paroki Santo Bartolomeus dalam Perjalanan Waktu

Pada tanggal 23 Agustus 1995, Uskup Agung Jakarta dalam surat pengangkatan no. 1270/4.4.12/95, menetapkan Pater Alexius Dato Lelangwayan, SVD menjadi Pastor kepala Gereja Santo Bartolomeus, Paroki Taman Galaksi, Bekasi Selatan.

Sebulan kemudian, tepatnya 20 September 1995, Uskup Agung Jakarta Mgr. Leo Sukoto dalam Surat Keputusan (SK) no. 1479/3.25.3/95 mengangkat Pengurus Gereja dan Dana Papa/Dewan Pengurus perdana Gereja St. Bartolomeus (PGDP/DP). Hal tersebut menandakan mulai saat itu Gereja St. Bartolomeus resmi menjadi paroki ke-50 di Keuskupan Agung Jakarta (KAJ). Di mana saat itu juga Republik Indonesia merayakan 50 tahun kemerdekaannya, dan Uskup Agung Jakarta Mgr. Leo Soekoto juga merayakan pesta perak (25 tahun) menjabat sebagai uskup KAJ. Hal tersebut menjadikan Gereja St. Bartolomeus sangat istimewa.

Ide Pendirian Gereja

Salah satu pertimbangan pembentukan Gereja Santo Bartolomeus, Taman Galaksi, Bekasi Selatan karena umat Gereja Santo Arnoldus Janssen, yang merupakan paroki induk telah mencapai 3.546 kepala keluarga (kk), atau 14.551 jiwa pada akhir 1993. Sementara itu, umat di kecamatan Bekasi Selatan dan Jati Asih sudah cukup besar ± 4000-5000 jiwa, yang menyebar di 35 lingkungan dan dikoordinasikan ke dalam 8 wilayah. Melihat data statistik tersebut maka diperlukan sebuah paroki baru.

Adalah seorang umat Gereja St. Arnoldus Janssen, Ph. Winarso, yang saat itu menjabat sebagai wakil ketua II urusan perangkat keras DP, prihatin dengan kondisi Gereja St. Arnoldus Janssen yang sudah sangat padat pada misa mingguan. Pelayanan pastoral juga sangat berat karena umat terlalu banyak dan wilayah pelayanan yang teramat luas, “Ada yang pergi ke Arnoldus. Tapi ada juga yang Gereja pindah-pindah. Pokoknya cari yang tidak umpeg-umpegan (berdesak-desakan). Mencari suasana yang masih membuat mereka bisa berdoa. Tapi harapan ini pun masih susah payah mereka dapatkan, karena selalu dihadang kemacetan lalu lintas. Kalau dulu ke Gereja Arnoldus butuh waktu 15 sampai 30 menit, sekarang bisa sampai satu jam,” ungkap Winarso.

Dari situlah muncul ide mendirikan Gereja di Bekasi Selatan tahun 1992, “Ide itu kemudian saya sampaikan kepada 35 pemuka umat. Mereka saya undang ke rumah. Undangan sayapun disambut dengan penuh harapan,” tambahnya.

Gagasan tersebut ia sampaikan kepada PGDP/DP St. Arnoldus Janssen periode 1991-1994. Gagasan tersebut terus dimatangkan dan akhirnya menjadi kebijakan DP. Rancangan tersebut pada kahirnya disetujui Uskup Agung Jakarta saat itu, alm. Mgr. Leo Soekoto.

Berkat dorongan alm. Mgr. Leo Soekoto, sejak tahun 1992 panitia inti mulai bergerak mencari lahan untuk paroki baru di kawasan Bekasi Selatan. Beberapa lokasi telah menjadi incaran. Namun tantangannya, pada waktu itu harga tanah sangat tinggi. Hal ini diungkapkan Toro, yang juga termasuk penggagas paroki baru,“Kita semangat, mas. Soalnya waktu itu, asumsi kita KAJ, bakal beli tanahnya. Sama seperti dilakukan pembangunan Gereja Santo Arnoldus. Lalu kita sendiri tinggal membangun gedung Gereja. Wis pokoke kita belingsatan kemana-mana cari lahan. Di sekitar Masnaga, Pekayon, Century Garden, pompa bensi Jati Asih, lahan Telkom, dll. Ada sekitar sepuluh lahan kita obog-obog (periksa).

Akhirnya sebuah tim kecil mengadakan pendekatan kepada pengembang Taman Galaksi Indah menjelang akhir tahun 1993. Hasilnya sama sekali tak terduga. Pengembang bersedia menyediakan tanah seluas 4000 m² sebagai lahan Gereja Katolik di lokasi pengembangan pemukiman di wilayah Kelurahan Jakasetia, Kecamatan Bekasi Selatan. Untuk menindaklanjuti peluang ini, dibentuklah panitia pendirian gereja.

Panitian pendirian Gereja Katolik di Bekasi Selatan diangkat melalui Surat Pengangkatan Pastor Kepala Gereja St. Arnoldus Janssen, Pater Ben Ujan, SVD no. 05/A-III-73/SK/II/94 tanggal 18 Februari 1994. Surat ini untuk menyempurnakan panitia karena pengukuhan personel inti panitian pendirian Gereja Katolik sudah dilakukan sejak 5 Oktober 1993.

Dalam SK itu disebutkan ketua umum, Ph. Winarso, Ketua I Y. Toro Prayitno, ketua II A. Sudiro Agung, sekretaris A. Prasetyo, dan H. Moerdianta Ps, Bendahara F. Dhono Indarto dan F. Metty herman. Selain itu dilengkapi komisi humas, komisi dana intern, komisi perizinan, dan komisi teknik.

Berdasarkan catatan pastor kepala pertama Gereja St. Bartolomeus, Alexius Dato L, paroki secara resmi dinyatakan berdiri tanggal 20 September 1995 melalui Surat Pernyataan Uskup Agung Jakarta, alm. Mgr. Leo Soekoto no. 1479/3.25.3/95.

Peran (Alm.) Mgr. Leo Soekoto

Peran Uskup Agung Jakarta, alm. Mgr. Leo Soekoto sangat besar dalam mendorong pendirian Gereja. Ketika beraudiensi 2 kali, beliau memberikan petuah kepada panitia,”Jika Pemda Bekasi saja sudah berbuat baik dengan memberikan banyak kemudahan, maka umat harus bersedia berbuat lebih baik lagi. Dan memberikan lebih banyak lagi buat Gereja.”

Oleh karena itu, alm. Mgr. Leo Soekoto memerintahkan panitia untuk membeli tanah dengan harga murah dari pengembang seluas 2 ribu-3 ribu m². Tanah tambahan itu dimaksudkan untuk mendirikan pastoran dan gedung serba guna. KAJ hanya memberikan bantuan yang sangat kecil untuk pembangunan komplek Gereja. Terdiri dari gedung Gereja, gedung serba guna. Almarhum juga menginstruksikan untuk membangun komplek Gereja secara serentak.

Perburuan Tanah

Sejak dicanangkannya kebijaksanaan pendirian gereja, para panitia berusaha gencar mancari tanah. Banyak lokasi disurvei dan beberapa penawaran lokasi strategis diteruskan ke alm. Mgr. Leo Soekoto. Namun karena harga penawaran dianggap terlalu tinggi, maka tidak ada satupun penawaran yang ditutup dan tidak ada satu lahan tanah untuk gereja yang bisa dibeli oleh KAJ. Situasi tersebut melemahkan semangat mencari lahan,” Gimana nggak putus asa. Harga tanah rata-rata Rp. 150.000 per meter persegi. Eee...KAJ Cuma sanggup Rp. 5.000 per meter persegi,” ungkap Toro, salah seorang tim pencari lahan gereja.

Semangat mencari tanah timbul kembali dan Ph. Winarso mempunyai ide terobosan, yaitu mencari tanah gratis dari Rumah Sakit St. Carolus dan Yayasan Marsudirini.

RS. St. Carolus memiliki tanah seluas 10 hektar di kelurahan Jakasetia, tetapi status tanah dalam sengketa. Dan pihak St. Carolus tidak mau mengurusnya. Dengan demikian ide mendapatkan tanah gratis dari St. Carolus tidak terlaksana. Tanah sengketa tersebut sekarang dimiliki dan dijadikan Perumahan Villa Jakasetia.

Yayasan Marsudirini memiliki lahan yang cukup luas dan bersedia memberikan tanah untuk gereja seluas 0,5 hektar. Namun, karena Marsudirini secara geografis terletak di kecamatan Bekasi Timur, maka kesediaan tersebut tidak dapat diproses lebih lanjut. Kesediaan ini hanya dipegang sebagai alternatif terakhir kalau tidak berhasil mendapatkan tanah di tempat lain,“Dua-duanya akhirnya nggak jadi kita urus. Tanah milik Carolus masih sengketa. Sementara lahan Marsudirini terletak di Kecamatan Bekasi Timur. Lbih dekat dengan Gereja Santo Arnoldus. Padahal kita di Kecamatan Bekasi Selatan,” ungkap Winarso.

Secara kebetulan dengan sikap coba-coba, 2 Oktober 1993, Ph. Winarso mendatangi pengembang Taman Galaksi ditemani Hoediono. Kebetulan sekali bisa bertemu Direktur Utama PT. Taman Puri Indah-pengembang Taman Galaksi, Wiryono Halim. Keduanya sama sekali belum pernah berkenalan. Beliau menyetujui permohonan agar disediakan tanah untuk Gereja Katolik bagi umat Katolik Taman Galaksi dan sekitarnya.

Gereja Katolik St. Bartolomeus boleh dikatakan beruntung, karena berdiri di atas lahan sarana sosial dalam pemukiman indah Taman Galaksi tanpa harus membeli tanah seluas 4 ribu m². Bahkan dalam waktu yang relatif singkat. Untuk pertama kalinya pula, Gereja Katolik, secara khusus KAJ menerima fasilitas lahan untuk tempat ibadah dari pemerintah. Luas tanah yang disediakan pemerintah daerah (pemda) Bekasi seluas 2 ribu m². Atas kebijakan pemda Bekasi, tanah 2 ribu m² lainnya diperuntukkan bagi Gereja Prostetan Batak Karo dan Gereja Eukumene Anugerah, masing-masing 1000 m².

Wiryono Halim, dalam suratnya no.199/TPI/X/93, antara lain menyatakan, “...pada prinsipnya kami tidak keberatan, namun demikian mengingat open space di lokasi kami terdahulu sudah habis dimanfaatkan, maka kami akan merencanakan di lokasi pengembangan yang mana izin lokasinya telah ada persetujuan dari Pemda Bekasi...”

Batas-batas Paroki Santo Bartolomeus: sebelah utara Paroki Kranji, Sebelah Barat Paroki Jatibening, sebelah selatan Paroki Kampung Swah/Paroki Kalvari Pondok Gede, dan sebelah timur Gereja St. Arnoldus Janssen Bekasi.

Roh Kudus Berkarya

Ketua umum panitia pendirian Gereja St. Bartolomeus, dalam surat laporannya tanggal 8 Oktober 1995, melukiskan tidak sulitnya upaya pendirian gereja sebagai “peristiwa penuh mukjizat yang digerakkan oleh tangan halus Roh Kudus.” Betapa tidak, tanpa dinyana-nyana, pada hari Sabtu, 2 Oktober 1993, Direktur Utama PT. Taman Puri Indah-pengembang Taman Galaksi, Wiryono Halim, bersedia menyediakan tanah untuk gereja St. Bartolomeus. Bahkan beliau memberikan petunjuk-petunjuk bagaimana memproses izin ke Pemda Bekasi.

“karya besar sudah diciptakan dan sesungguhnyalah tangan halus Roh Kudus sendiri yang menggerakkan karya besar tersebut melalui panitia pendirian Gereja Bekasi Selatan dengan kerja sama dan bantuan dari umat Paroki St. Arnoldus, umat St. Bartolomeus, dan kedermawanan umat paroki lain yang satu,” ungkap Winarso.

Motivasi dan Peran Seluruh Umat

Tanpa peran seluruh umat, barangkali Gereja St. Bartolomeus tak akan pernah berdiri. Itu pula yang yang disadari panitia pendirian gereja. Panitia mulai berani bergerak setelah mendapat respons dari umat berupa kesanggupan untuk menyumbang selama 24 bulan sejak Januari 1995-Desember 1996. Dari formulir kesanggupan yang diterima panitia hingga November 1996 misalnya, didapatkan realisasi sebesar 62% dari jumlah yang disanggupi umat. Hasil ini memang tidak terlalu jelek, namun inilah salah satu modal bagi panitia untuk lebih berani menggalang dana dari berbagai sumber dan dengan bermacam-macam cara.

Duta besar (Apostolic Nuncio) Vatikan untuk Indonesia, Mgr. Pietro Sambi, menyatakan bahwa membangun Rumah Allah yang baru adalah usaha yang melibatkan komunitas. Tiap anggota komunitas Katolik setempat boleh berbangga atas sumbangannya berupa satu batu, sesuai dengan kemungkinannya, kepada konstruksinya.

“jangan seorangpun tinggal pasif. Tiap orang dapat menemukan jalan untuk menjadi berguna. Hanya dengan demikian umat Katolik akan merasa bahwa Gereja St. Bartolomeus adalah milik mereka,” kata Pietro Sambi dalam sambutannya di malam dana (25/4/1996).

Gereja Transisi

Sebagai tempat ibadah sementara sebelum gedung gedung Gereja rampung, KAJ sempat menyarankan agar dibuat bedeng untuk tempat ibadah sementara. Namun panitia pendirian gereja beragumentasi bahwa membuat bedeng hanya akan membuang dana saja, selain merusak lingkungan pemukiman Taman Galaksi. Akhirnya, setelah menginvestigasi tiga lokasi, untuk sementara dipilih Ramanda Department Store (sekarang Naga Swalayan).

Ketika terjadi transisi antara Gereja St. Arnoldus yang dimekarkan menjadi St. Paroki Bartolomeus, sebagian umat Katolik masih mengikuti misa di gereja St. Arnoldus, yang tepat berada di belakang terminal Bekasi. Dan sebagaian lainnya memilih mengikuti perayaan ekaristi di Ramanda.

Misa perdana calon Gereja Bartolomeus diselenggarakan di Ramanda. Momen itu dipimpin langsung oleh alm. Mgr. Leo Soekoto (15/1/1995). Misa mingguan berikutnya dilaksanakan antara Oktober 1995-Agustus 1996.

Berburu Perizinan

Tidak seperti paroki-paroki lain yang kesulitan memperoleh izin pendirian Gereja, panitia pendirian Gereja St. Bartolomeus, tidak mendapat kesulitan berarti. Lurah Jakasetia, H. Abd. Rosyid, dalam surat rekomendasinya no. 453.1/188/XI/94, tanggal 9 November 1994 menyatakan, “Pada dasarnya kami Lurah Jakasetia tidak keberatan dengan mempertimbangkan warga di sekitarnya serta mendapat persetujuan.”

Camat Bekasi Selatan, Gani Nasuha, dalam suratnya no. 452.2/905/Kesra tanggal 21 November 1994 menyatakan, “...kami tidak keberatan didirikannya pembangunan gereja dimaksud (Gereja St. Bartolomeus Bekasi Selatan) selama yang bersangkutan memenuhi ketentuan yang berlaku.”

Walikota Bekasi, H. Kailani AR, dalam suratnya no. 452.2/810/Kesra tanggal 24 November 1994, antara lain menyatakan, “Kami beritahukan bahwa pada prinsipnya kami tidak berkeberatan atas permohonan Saudara (Panitia Pendirian Gereja bekasi Selatan) dengan ketentuan menyelesaikan rekomendasi dari Bupati Kepala Daerah Tingkat II Bekasi dan site plan dari Bappeda Tingkat II Kabupaten Bekasi.”

Atas kebijakan Pemda bekasi, akhirnya diperoleh persetujuan pendirian dan pembangunan Gereja St. Bartolomeus dari Bupati Bekasi 452.2/4499/Bappeda tanggal 14 Desember 1994. Dalam suratnya, Bupati Bekasi, Moch. Djamhari, antara lain menyatakan, “pada prinsipnya kami tidak berkeberatan dan dapat menyetujui penggunaan tanah sarana sosial di Perumahan Taman Galaksi Indah, Kelurahan Jakasetia, kecamatan Bekasi Selatan untuk pembangunan Gereja Katolik.” Surat Izin Pelaksanaan Mendirikan Bangunan no. 503/235/DTK. TB, akhirnya juga diperoleh 1 November 1995.

Dalam proposal permohonan dana pembangunan Gereja Katolik St. Bartolomeus Januari 1995, panitia pendirian Gereja menargetkan Gereja sudah berdiri tahun 1996. Panitia memperkirakan biaya yang diperlukan untuk pembangunan gedung Gereja sekita Rp. 1.250.000.000.

Gedung tersebut direncanakan berkapasitas sekitar 1.050 orang dengan luas bangunan sekita 1.050 m². Perincian anggaran tersebut sebagai berikut, biaya gedung Rp. 850 juta (termasuk struktur, arsitektur/finishing, dan mekanikal-elektrikal-sound system), perlengkapan Rp. 300 juta, halaman/pagar/taman/gardu jaga Rp. 100 juta.

Dalam rencana pembiayaan pembangunan gereja, panitia memperkirakan, umat calon Gereja St. Bartolomeus waktu itu ada 1.000, kalau setap keluarga dimohon kerelaannya memberikan sumbangan rata-rata Rp. 1.250.000 per kepala keluarga, maka biaya akan segera tertutup. Namun panitia memahami tidak semua keluarga bisa menyumbang uang sebesar itu, sebaliknya ada keluarga yang mampu menyumbang lebih. Oleh karena itu, panitia mengharapkan kepada keluarga yang mampu menyumbang lebih, sudi memberikan sumbangan lebih dari Rp. 1.250.000. Sumbangan tersebut bisa disalurkan sekaligus atau mencicil sejak Januari 1995 selama 24 bulan.

Selain sumbangan dari umat sendiri, panitia mengadakan malam dana untuk tujuan tersebut. Persiapannya dilakukan melalui rapat pleno panitia (10/12/1995). Rapat itu memutuskan pembentukan Tim Perumus yang diketuai oleh E. Th. Bambang Tridjoko, yang oleh tim sekaligus diberi mandat untuk menjadi ketua umum Panitia Malam Dana. Malam dana ini diadakan karena dari biaya 1.300.000.000, baru terkumpul sekitar Rp. 750.000.000. Penyelesaian gedung membutuhkan dana sekitar Rp. 550 juta, antara lain untuk pemasangan keramik, altar, bangku dengan tempat berlutut, peralatan gereja, interior, merapihkan halaman dan membuat pagar serta gardu jaga.

Malam dana yang bertajuk “Andrawina dalam Gita Kenangan” digelar di Puri Agung Hotel Sahid Jakarta tanggal 26 April 1996. Dengan dibantu oleh beberapa tenaga profesional dari Gereja Maria Bunda Karmel (MBK), Tomang dan melibatkan puluhan personil dari umat. Pendapatan dari malam dana Rp. 343.620.000. Setelah dikurangi pengeluaran untuk sekretariat/publikasi dan perjamuan sebesar Rp. 116.320.250, akhirnya diperoleh penerimaan bersih Rp. 226.299.750.

Pemancangan Tiang Pertama

Pemancangan tiang pancang utama Gereja St. Bartolomeus dilakukan Minggu (19/11/1995). Dalam buletin PPG St. Bartolomeus no. 4, desember 1995, disebutkan bahwa pemancangan tiang dikeluarkan dari lingkup pekerjaan kontraktor, karena segera dibutuhkan untuk upacara liturgi. Padahal proses penunjukkan kontraktor belum selesai.

Pemancangan dilakukan oleh PT. Indopile, sedangkan upacara liturgi dipimpin oleh Administrator Diosesan KAJ, Rm. M. Soenarwidjaja, SJ. Panitia juga mengundang seluruh umat, namun melalui perwakilan saja. Selain karena lahan tidak memungkinkan untuk itu, panitia ingin agar upacara ini dilaksanakan secara sederhana sebagaimana diharapkan Pemda Bekasi. Panitia bahkan tidak mengundang seorang pejabatpun, tetapi melaporkan pemancangan tiang pertama itu kepada Bupati Bekasi dan seluruh jajarannya. Dengan pemancangan itu tahap pembangunan fisik Gereja sudah dimulai.

Pembangunan fisik selesai hanya dalam waktu delapan bulan di bawah supervisor Ernawan dan Sudiro, yang didukung bantuan teknik dari Himawan. Gereja St. Bartolomeus akhirnya dapat dipakai tanggal 18 Agustus 1996, namun baru diberkati 5 April 1997. Kardinal Julius Darmaatmadja mengagumi bentuk gereja St. Bartolomeus, terutama dengan arsitektur atap yang bertrap tiga.

Rumah Pastor

Gedung gereja sudah berdiri megah, begitu pula dengan segala perlengkapannya. Namun, para gembala yang berkarya di Paroki St. Bartolomeus masih juga “dikontrakkan” di sebuah rumah. Selama 5 tahun para pastor tinggal di rumah itu. Baru pada usia paroki ke-5, menjelang pesta Lustrum I, dibentuklah panitia pembangunan gedung pastoran, dengan SK DP/PGDP no. 03/06/DPS.KEP/2000, tanggal 1 Juni 2000.

Panitia dikomandani oleh Kusnarno, telah mendapat izin prinsip oleh Uskup Agung Jakarta, Mgr. Julius Darmaatmadja, pada 26 Agustus 2000, melalui surat no. 1807/3. 25.4.50/2000. Berbekal keberanian dan setengah nekad panitia mulai bergerak, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Setelah semua perizinan diperoleh tanggal 24 September 2002, bertepatan dengan Pesta Lustrum I, dilaksanakan pemancangan tiang pertama pembangunan pastoran oleh Vikaris jendral (Vikjen) KAJ, Rm. Subagio. Tekad panitia pada saat itu, “tujuh bulan setelah tiang pancang ini berdiri, gedung pastoran harus sudah jadi.” Kini pastoran sudah berdiri megah, menjadi satu kesatuan dengan kompleks gedung Gereja.

Gedung karya Pastoral Plus Lonceng

Gedung yang belum sempurna itu hampir setiap saat dipakai untuk bermacam-macam kegiatan. Panitia Pembangunan Fisik Komplek Gereja (PPFKG) dibentuk (10/10/2002), setelah itu baru membeli tanah seluas 2000 m² dari pengembang Taman Galaksi. Di balik gedung yang kini berdiri menjulang megah tersirat perjuangan yang luar biasa dari kelompok manusia yang tak kenal lelah.

Setelah mendapat IPMB (10/6/2003) dari Pemda Bekasi sebulan kemudian dilaksanakan pemancangan tiang utama. Upacara ini bertepatan dengan Peringatan Sewindu paroki dan disesuaikan dengan pesta nama St. Bartolomeus (24/8). Mengenai lonceng Gereja yang telah dirindukan umat sejak lama baru terwujud pada akhir 2004. Lonceng seberat 406 kg dipesan dari Jerman. Diresmikan penggunaannya (23/12/2004), oleh Pastor Kepala Paroki, umat dan beberapa tokoh umat Muslim yang ada di sekitar Gereja, kemudian dengan membunyikan lonceng pengukuhan lonceng Gereja resmi digunakan.

Kini, semua sarana dan prasarana Gereja St. Bartolomeus sudah memadai. Namun, bukan berarti sudah selesai, pemeliharaan semuanya itu perlu kita jaga dan perhatikan. Dan lebih dari itu pembangunan “Gereja” yang sesungguhnya hari demi hari harus kita tingkatkan.

Mengapa Memilih Nama Santo Bartolomeus?

Mungkin tidak banyak yang mengetahui bahwa nama Gereja sekarang awalnya diusulkan dengan nama Sancta Maria Gratia Plena. Hal ini disebabkan karena Rahmat Ilahi benar-benar tampak saat pendirian Gereja bulan Oktober 1993. Bulan Oktober merupakan bulan Santa Maria Penuh Rahmat (Sancta maria Gratia Plena). Akan tetapi KAJ tidak menyetujui nama tersebut karena nama Latin tidak dimengerti banyak orang. Selain itu sudah terlalu banyak nama Maria sebagai pelindung di Gereja-Gereja lain. KAJ mengusulkan nama rasul. Setelah dicek, ternyata tinggal dua nama rasul yang belum dipakai, dan akhirnya dipilih nama Santo Bartolomeus.

Bartolomeus berarti ‘Anak Tolmai’. Ada semacam keragu–raguan tentang nama rasul ini; apakah itu nama sesungguhnya dari rasul Bartolomeus, ataukah sekedar dipakai sebagai nama tambahan untuk menunjukkan bahwa dia adalah anak Tolmai. Rasul Yohanes dalam Injilnya tidak mengatakan apa–apa tentang rasul yang disebut Bartolomeus itu. Yohanes hanya menulis tentang seseorang yang dinamakan Natanael, sahabat karib Filipus yang kemudian mengikuti (Yoh 1: 45–51). Atas dasar ini, banyak sejarahwan dan ahli Kitab Suci menyimpulkan bahwa kedua nama itu, Bartolomeus dan Natanael, menunjuk pada orang yang sama. Kemungkinan Bartolomeus pun adalah sahabat karib Yohanes. Dalam perjanjian baru, nama Bartolomeus ditemukan pada ketiga Injil Sinoptik: Matius 10:3, Markus 3:18 dan Lukas 6:14, dan didalam Kisah Para Rasul 1:13. Ia bukanlah seorang nelayan seperti empat rasul lainnya: Andreas, Yohanes, Simon dan Filipus, yang berasal dari Betsaida dan dikenal sebagai nelayan tasik Genesareth. Ia seorang petani, karena berasal dari Kana, sebuah kampung yang cukup jauh dari tasik Genesareth. lagipula nama ayahnya ‘Tolmai’ berarti ‘petani’. Dua alasan itu diperkuat lagi oleh peristiwa pertemuannya dengan Filipus di kebunnya di bawah pohon ara (Yoh 1:45–51).

Yohanes dalam injilnya menggambarkan Bartolomeus sebagai seorang yang jujur dan tulus, bahkan oleh Yesus dia disebut ‘Orang Israel sejati’, yang kemudian menjadi murid setiawan Yesus. Pada peristiwa penampakan Yesus kepada 7 orang rasul-Nya di tepi danau Tiberias, Natanael juga hadir menyaksikan peristiwa itu. Pada hari Pentekosta, oleh kekuatan Roh Kudus, Bartolomeus menjadi salah satu pendekar Gereja yang mewartakan Injil ke berbagai tempat. Eusebius, sejarahwan Gereja dari Kaesarea (260–340), dalam bukunya ‘Historia Ecclesiastica’, menceritakan bahwa Bartolomeus menjadi pewarta Injil Kristus dibelahan dunia timur. Santo Hieronimus (340–420), pelanjut karya Eusebius, mengisahkan bahwa Pantaenus Aleksandria, ketika mewartakan Injil di India pada awal abad ketiga, menemukan bukti–bukti kuat tentang karya misioner rasul Bartolomeus. Kepada Pantaenus, orang–orang India menunjukkan satu salinan Injil Mateus yang ditulis dalam bahasa Ibrani untuk membuktikan bahwa mereka (orang–orang India) telah diajar oleh Bartolomeus kira–kira satu setengah abad yang lalu. Hieronimus selanjutnya menjelaskan bahwa Pantaenus kemudian membawa salinan Injil Mateus itu ke Aleksandria. Catatan–catatan Gereja lainnya tentang periode ini berbicara tentang Bartolomeus yang mewartakan Injil di Hierapolis, Asia Kecil. Di sana Bartolomeus berkarya bersama–sama dengan Filipus. Sepeninggal Filipus dan pembebasannya dari penjara, Bartolomeus mewartakan Injil di provinsi Likaonia, Asia Kecil.Bangsa Armenia pun menyebut Bartolomeus sebagai rasul mereka. Mereka mengatakan bahwa Bartolomeus–lah orang yang pertama yang menobatkan mereka hingga mati sebagai martir Kristus di Albanopolis, tepi Laut Kaspia, pada masa pemerintahan Astyages, Raja Armenia. Selain berkarya diantara orang–orang Armenia, Bartolomeus juga berkarya di Mesopotamia, Mosul (Kurdi, Irak), Babilonia, Kaldea, Arab dan Persia.

Semoga umat Santo Bartolomeus dapat meneladani sikap dan keberanian Santo Bartolomeus, sebagai pelindung Gereja kita.

Sumber : http://mimbar.info/index.php?option=com_content&view=article&id=45&Itemid=27

baca selanjutnya...

Sabtu, 21 Januari 2012

Sejarah Gereja Katolik St. Servatius dan Sejarah Umat Kampung Sawah (12)


Pemberkatan Saung Maria oleh Monseigneur Julius Kardinal Darma Atmadja SJ

Kampung Sawah Emang Kagak Ada Matinya

Pastor pengganti Romo Kurris adalah Romo Y.E Heru Murcahyana SJ, imam muda yang dikenal juga dekat dengan umatnya. Ia banyak dibantu oleh Romo Antonius Soetanta SJ, pastor yang juga pemusik, pencinta anak, dan penggubah lagu.

Kemudian, Paroki Santo Servatius Kampung Sawah dikepalai oleh Romo Albertus Hani Rudi Hartoko, SJ, seorang imam muda. Catatan sejarah terbaru yang patut ditoreh adalah pada tanggal 15 Mei 2005, ketika diadakan peresmian dan pemberkatan Saung Maria Fatima oleh Bapa Kardinal Julius Darmaatmadja, SJ, bertepatan dengan pengumatan dimulainya “Perayaan Syukur 200 th Gereja Katolik di Jakarta”. . Perkembangan jumlah umat Katolik Kampung Sawah berdasarkan data statistik tahun 2005 adalah sekitar 6.500 orang. Paroki Kampung Sawah pun telah berkembang menjadi 8 wilayah dan 46 lingkungan.

Selain Saung Maria, Romo Hani banyak melakukan renovasi bangunan agar semakin dekat dengan budaya Betawi Kampung Sawah di antaranya, pagar depan gereja yang direnovasi dengan corak betawi, pembuatan Pusat Dokumentasi Betawi dan lumbung Betawi sebagai simbol budaya menabung. Budaya Betawi tak sekadar menjadi dasar sejarah Kampung Sawah, tapi budaya Betawi telah jalin-menjalin dengan kehidupan religi umat Kampung Sawah.

Saung di dekat pastoran untuk tempat ngobrol umat Lumbung sebagai simbol gerakan menabung

Perayaan akbar yang terkini adalah ketika pada tanggal 2 Juli 2006, umat Paroki Santo Servatius Kampung Sawah mengadakan Misa Syukur 200 tahun Gerja Katolik di Jakarta, di Buperta Cibubur, Jakarta Timur. Paroki Santo Servatius digembalakan oleh 3 romo, Romo Hani, S.J., Romo A.Sutanta, S.J dan Romo Irsan. Setelah era Romo Hani, pada tahun 2008, Romo Sarto Pandojo SJ memimpin paroki didampingi oleh Romo Rekan Dwi Kristanto SJ.

Perlu dicatat juga beberapa frater yang sempat berkarya di Kampung Sawah, yang kini telah menjadi Romo, yaitu Romo Dwiko SJ, Romo Windar Sj, Romo Michael Pr, dan masih banyak yang lain.

Mulai bulan Agustus 2009, Romo Kepala Paroki Santo Servatius adalah Romo Chris Purba SJ yang didampingi oleh Romo Rekan Agustinus Suharyadi SJ dan Romo Antonius Sutanta SJ. Mereka bertiga bergulat di Kampung Sawah yang "kagak ada matinya", menggembalakan 8.000 lebih umat yang terbagi menjadi 56 lingkungan.

Romo Johanes Fransiscus Chris Purba SJ

Memang, meski umat Paroki Servatius sangat beragam, terdiri dari etnis Jawa, Betawi, Flores, Tapanuli dan Batak, Tionghoa, Sunda dan etnis lainnya, namun tak dapat dipungkiri, perjalanan sejarah paroki sangat lekat dengan tanah dan manusia Betawi Kampung Sawah. Gereja Kampung Sawah. Gereja Allah.

(Selesai, untuk sementara)

“…darilah Kranggan ke Pasar Kecapi. Cik Abang mampir di Pondok Damai…Rajin sembahyang beramal bakti. Keluarga cik abang rukun dan damai..”[24]

Sumber utama: Terpencil di Pinggiran Jakarta karya R.Kurris, S.J. Wawancara dengan para tokoh/tetua di Paroki St.Servatius Kampung Sawah, dokumen-dokumen milik Paroki St.Servatius.

Sumber tambahan: Setajug Keriaan di Kampung Sawah, Gereja-Gereja Tua di Jakarta karya A. Heuken, S.J., Kontak, “Gereja Perintis Tertua”.

Tim Penyusun Sejarah Paroki:
Yosef Dwi Sulistiantoro
Barnabas Eddy Pepe
Christine Sutanto
Laurencia Yoanne
Yustus Saleh Samat
Aloisius Eko Praptanto

Pembuat pantun:
Alex Itjang, dkk.

Foto-foto:
Eddy Pepe,
Romo Kurris, S.J.

dan dokumentasi paroki.

Diolah kembali oleh:
Aloisius Eko Praptanto

Catatan Kaki:
[1] Sepangkeng: Pangkeng adalah tempat menyimpan beras,dan berbagai kebutuhan pokok yang penting. Pangkeng biasanya ada dalam bagian rumah dan tempatnya dianggap khusus.
[2] Karya Marsianus Balita.
[3] Sampai zaman Jepang para guru di daerah Kampung Sawah disapa dengan kata Engku, tapi kemudian kata itu diganti menjadi Bapak Guru.
[4] Maksudnya Roma Katolik.
[5] sejenis serangga kecil yang pada musim pohon rambutan berbunga suka mengitari kepala manusia
[6] Lentera minyak
[7] Dimuat dalam majalah Misi Fransiskan, Vrienden van Sint Antonius, 1935.
[8] topi laken ala Eropa
[9] Nantinya menjadi Poliklinik Melania
[10] Wak Boih kini menjadi aktivis di Krida Wibawa
[11] Ngelantur
[12] membendung sawah (rawa) menampung air bagai telaga kecil
[13] tempat ikan dari bambu bentuknya seperti bakul
[14] berjalan setengah berenang di air
[15] menanggok di kembengan sambil nguyur
[16] alat pancing yang ditancapkan di galengan.
[17] udang sawah dan ikan-ikan kecil yang dibersihkan lalu dicampur nasi dan garam dan difermentasikan. Biasanya digunakan sebagai campuran sayur seperti sayur cecek, sayur lompong, dan lain-lain.
[18] Eddy Pepe.
[19] Mantera ini kerap diucapkan oleh anak-anak Kampung Sawah saat memainkan gogolio.
[20] Pantun karya Alex Itjang dkk.
[21] Di sini saat ini berdiri Strada Nawar.
[22] Keranjang isi buah
[23] Pantun karya Bp Alex Itjang dkk.
[24] Lagu gerejawi bergaya Betawi berjudul Cik Abang Rajin Sembahyang karya Marsianus Balita.

baca selanjutnya...

Rabu, 18 Januari 2012

Sejarah Gereja Katolik St. Servatius dan Sejarah Umat Kampung Sawah (11)

Gereja Santo Antonius dibongkar untuk dibangun gereja megah Santo Servatius

Pembangunan Gereja Megah di Kampung Sawah

Geliat pembangunan mulai dicanangkan. Panitia pembangunan gereja yang diketuai oleh Bapak Yos Mutis bekerja giat. Pencarian dana digalang melibatkan seluruh umat. Orang muda ngamen dari satu paroki ke paroki lain di KAJ. Pastor berkeliling, berkotbah meminta sumbangan. Sebuah acara konser amal digelar dan banyak lagi. Untuk pembangunan gereja didatangkan arsitek hebat yaitu Bapak Gregorius Sidharta. Gereja dibangun bergaya Roman (corak arsitektur yang terkenal pada abad 11-13). Namun, karena iklim Kampung Sawah yang berbeda dengan Eropa, maka ada penyesuaian dalam membuat lubang ventilasi. Jendela-jendela berkaca timah dibuat dengan gambar riwayat hidup Santo Servatius. Pintu tabernakel dan salib gantung besar juga diarsiteki oleh Gregorius Sidharta.

Senin 27 Mei 1996, Gereja Servatius yang masih dibangun harus dipakai untuk upacara requiem. Bapak Yos Mutis, ketua panitia pembangunan gereja, meninggal dunia.

Menarik untuk dicatat, gereja megah Santo Servatius memiliki menara berlantai tujuh. Lantai 6 dan 7 menampung tiga lonceng gereja. Selain itu, pembangunan gereja yang memakan biaya Rp1.300.000.300,00 itu selama proses pembangunannya memakai: 100.000 buah batu bata, 450 kubik pasir beton, 200 ton atau 4.000 kantong semen, 90 kubik beton ready mix, 61 ton besi beton, 50 ton baja, 3.150 kilo paku, batu dan sekrup, 1.150 meter persegi genteng Jepang, 23 kubik kayu jati, 400 meter persegi batu alam temple, 1.100 meter persegi keramik, 350 meter persegi granit, 3.700 meter kabel listrik.

Salib di bagian atas panti imam dibuat oleh arsitek terkenal Gregorius Sidharta

Dua stasi di Selatan Kampung Sawah

Kampung Sawah memiliki 2 stasi yang juga menjadi wilayah pelayanannya, yaitu Stasi Cakung Payangan dan Stasi Kranggan. Stasi Cakung Payangan atau Wilayah Ignatius, pertama kali “diresmikan” 11 September 1996 lewat pemilihan ketua lingkungan, yang pada waktu itu masih terdiri dari 1 lingkungan. Menurut Pak Ignatius Bejo, “Kegiatannya meliputi arisan, koor ibu-ibu dan belajar kitab suci bersama Pak Sutrisno.” Perlu diketahui, bahwa Pak Sutrisno inilah yang diminta Romo Kurris untuk membentuk lingkungan di Cakung Payangan. Data terakhir (2004), stasi yang telah memiliki kapel ini memiliki 5 lingkungan dan 608 umat.

Sementara itu, Stasi Kranggan atau Wilayah Andreas, semula terdiri dari 5 lingkungan. Umat di wilayah ini sebetulnya pernah memiliki “kapel” untuk beribadat setiap hari Minggu. Namun, pada tahun 2003, terjadi “pengusiran secara paksa” dari masyarakat sekitar akibat isu-isu yang tidak dapat dipertangungjawabkan. Data terakhir (2004), Stasi Kranggan memiliki 8 lingkungan dan 953 umat. Kini tengah mengumpulkan dana untuk membangun paroki baru, Paroki Stanislaus.


Perkerabatan Santo Servatius

Sejarah Gereja Kampung Sawah adalah sejarah umat katolik Betawi Kampung Sawah. Romo Kurris ingin mengedepankan hal ini. Maka pada tanggal 13 Mei 1996, di hari peringatan Santo Servatus, enam pria dan enam wanita tampil ke depan altara di gereja darurat dilantik menjadi anggota Perkerabatan Santo Servatius. Kedua belas babe dan enya itu dipilih dari antara penduduk stempat yang aktif di tengah umat Katolik Kampung Sawah. Mereka adalah Gregorius Pepe, Maria Baiin Adam Noron, Sulaiman Kadiman, EsterKaiin Pepe, Johanes Surachmat Kaiin, SabinaSupinah Kadiman Tjiploen, Johanes Pepe, Johana Djaim Halim, Frans Napiun, Johana Nasiran Kapniel Oyan, Yosef Ismael Niman dan Elisabet Kaiin Kuding.

Perkerabatan St Servatius bersama Romo Hadi dan Romo Kuris

Pembentukan perkerabatan Santo Servatius merupakan penghidupan kembali dari suatu tradisi kuno dalam Gereja Katolik yang dalam ekspresi imannya yang suka menampilkan bentuk-bentuk lahiriah untuk nilai-nilai spiritual.

Bagi para babe, busana seragam bercorak Betawi terdiri dari celana komprang hitam, baju sadaria putih, sarung merah dan peci hitam yang dihiasi cap Servatius. Para enyak memakai sarung batik Pekalongan, kebaya putih dan kerudung dengan cap yang sama seperti para pria. Semua anggota memakai sepotong mantel hitam. Pesta pelantikan dimeriahkan oleh Korps Musik Tanjidor.

Kedatangan Relikwi Santo Servatius

Tanggal 30 September 1996, relikwi Santo Servatius, yaitu sepotong tulangnya dari abad keempat dibawa dari gereja induk Santo Servatius di Maastrich, Belanda. Perjalanan relikwi dari Belanda sempat terhambat, dicurigai, dan mengalami pelbagai kendala lain di bandara Jakarta. Namun, akhirnya Tuhan membimbing umat Kampung Sawah. Akhirnya, sampailah relikwi di Kampung Sawah. Kedatangannya disambut oleh seluruh warga paroki sepanjang jalan menuju gereja dengan nyanyian dan letupan mercon.

Dikawal oleh Perkerabatan Santo Servatius berseragam lengkap, paduan suara, tanjidor, relikwi diarak dengan mobil terbuka menuju gereja diiringi dentangan lonceng, nyanyian dan gamelan. Sesampai di gereja, relikwi ditempatkan di tempat khusus. Sejak saat itu, umat Paroki Kampung Sawah setiap tahun, pada tanggal 30 September, memperingati kedatangan relikikwi Santo Servatius dengan melakukan prosesi hening keliling kampung.

Relikwi Santo Servatius bersama relikwi santo-santo lain diletakkan di sisi selatan gedung gereja

Pemberkatan Gereja Santo Servatius

Peristiwa bersejarah itu terjadilah. Tanggal 6 Oktober 1996, Uskup Agung Jakarta, Monsigneur Yulius Kardinal Darmaatmadja, S.J datang memberi berkat untuk Gereja Santo Servatius yang baru sekaligus memberi berkat bagi umat paroki yang sudah berusia satu abad. Tentu saja peristiwa itu diperingati besar-besaran oleh 4.294 orang umat paroki dan tamu dengan perayaan ekaristi agung, pesta rakyat dan Wayang Kulit Betawi semalam suntuk!

Romo Kurris, Babe Pembangunan itu pun Pamit

Umat Kampung Sawah terus berkembang pesat. Dalam suasana itu, Romo Hadiwidjoyo meninggalkan Kampung Sawah untuk bertugas di Paroki Bojong Indah. Hal itu mengingatkan umat akan sebuah peristiwa perjalanan pastor bersama tiga orang mudika ke Timor Timur dengan mengendarai sepeda motor guna mewartakan kabar sukacita akan eksistensi umat Katolik Betawi kepada saudara-saudara seiman di seluruh Jawa, Bali, Nusa Tenggara dan Timor Timur. Penggantinya adalah Pastor Cipto Suwarno, S.J yang sempat bertugas selama 7 bulan dan Frater Gregorius Laststendy Pamungkas, S.J yang tak lama kemudian ditahbiskan menjadi pastor. Bersama Pastor Kurris, beliau bahu-membahu membangun umat.

Tak lama kemudian sebuah aula diresmikan. Gedung serbaguna yang dapat menampung segala kegiatan umat. Romo Kurris merasa, selesailah tugas pembangunannya. Paroki Kampung Sawah kini memiki gereja yang megah. Perkembangannya pun pesat. Paroki saat itu dibagi menjadi 7 wilayah dan 46 lingkungan. Di sekitar paroki juga telah tumbuh 2 TK Strada 3 SD Strada, 2 SLTP Strada dan 1 SMU Pangudi Luhur.

Tahun 2002, Pastor Kurris pergi meninggalkan Kampung Sawah menuju Tarutung, Sumatra Utara. Umat mengiringi kepergian “babe pembangunan” dengan kesedihan sekaligus kebanggaan. Romo Kurris pamit kepada 6.464 umatnya.

Elang[22] besar isinya manggis
Dijual delapan, tinggal tempatnya.
Emang besar, jasanya Romo Kurris
Semoga Tuhan yang membalasnya[23]


Sumber : http://www.servatius-kampungsawah.org/
(bersambung)

baca selanjutnya...

Jumat, 13 Januari 2012

Sejarah Gereja Katolik Santo Servatius & Sejarah Umat Kampung Sawah (10)

Romo Kurris, SJ, Modalnya Senter dan Tongkat
Romo Rudolf Kurris SJ dengan tongkatnya di sebuah jalanan becek di Kampung Sawah

Akhir tahun 1993, Romo Alex Dirdjasusanta dipindah ke Baturetno, Jawa Tengah. Beliau akan diganti oleh Romo Rudolf Kurris, SJ yang menurut isyu yang berhembus adalah romo yang galak, dan akan tinggal lagi di Cililitan. Tak mengherankan ketika ada warga yang ingin mengiri utusan Dewan Paroki kepada uskup untuk meminta agar rencana tersebut dibatalkan. Permintaan tersebut tak dikabulkan, dan Romo Kurris pun datang ke Kampung Sawah. Saat itu umat Paroki Kampung Sawah berjumlah 2.480 jiwa. Romo Kurris ditunjuk sebagai pastor kepala Paroki Santo Antonius Kampung Sawah pada 1 Juni 1993. Ia didampingi oleh Romo Martinus Hadiwijoyo, Pr. Ya, sejak 15 Desember 1994, Kampung Sawah mendapat 2 imam yang tinggal di tengah umatnya.

Romo Kurris dikenal rajin mengunjungi umatnya. Dengan senter di tangan kiri dan tongkat di tangan kanan ia secara rutin mengunjungi umat di seantero Kampung Sawah setiap malam, menebas semak, menghindar dari ular beludak seruni atau ular kadut yang kerap berkeliaran kala malam hari.

Saat kunjungan umat, ia kerap bertegur sapa dengan penduduk setempat.

Seperti suatu ketika saat hujan mengguyur, kilat sambar-menyambar. Pak Jabluk membantunya menyeberangi selokan yang terendam air. Dalam terang petir tampak ada orang telanjang nguyur sawah.

“Cari ikan lu?” Tanya Romo Kurris.
“Nggak Romo, kita sedang bokek, maka daripada kelantih, kita nyeger aja!”

Seorang aktivis gereja, Bapak Sutrisno, menceritakan pengalamannya dengan Romo Kurris seperti ini, “Beliau datang ke rumah saya, bicara bahasa Belanda dan ngomel ke saya. ‘Kamu penganggur, kenapa tidak ikut kegiatan gereja?’ Maka sejak itu saya terlibat di Dewan Paroki. Saya bersama teman-teman mengajak Romo Kurris untuk membuat AD/ART gereja Kampung Sawah. Romo boleh silih berganti, kata saya, tapi misi dan visi kita harus tercantum hitam atas putih. Khusus misi/visi memang saya yang menyusun, di mana budaya yang harus kita tumbuh kembangkan adalah budaya Betawi. Tapi tidak boleh eksklusif, jadi harus memperhatikan budaya-budaya dari suku bangsa lain yang datang!”

Umat Kampung Sawah yang Menggereja

Di Kampung Sawah memang telah hadir banyak penduduk baru dari pelbagai pelosok Indonesia. Lebih dari 12 suku bangsa telah menjadi warga paroki, didominasi oleh Suku Jawa, Betawi dan Flores.

Umat asli Kampung Sawah tak mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan para pendatang. Seperti diungkapkan oleh Bapak Untung Priyatna, “Saya putra asli Kampung Sawah. Saya hidup dan bergaul dengan saudara-saudara dai berbagai suku di lingkungan kami. Kami menanamkan adat-istiadat Kampung Sawah dalam kehidupan mereka. Hingga kini mereka menghormati kebiasaan yang ada di Kampung Sawah.” Pak Untung adalah aktivis lingkungan dan paroki. Ia 2 kali menjadi Ketua Lingkungan Maria Dolorosa di zaman penggembalaan Romo Kurris.

Contoh duplikat Buku Penguatan Paroki StAntonius Padua, Kampung Sawah tahun 1964

Kehandalan kehidupan menggereja umat Kampung Sawah semakin tampak menurut kesaksian Bapak J.F.X. Harbelubun, Wakil Ketua Dewan Paroki -2003), “Nama Kampung Sawah sudah saya kenal karena kebetulan seorang tante saya di Merauke sana, kami panggil Tante Jawa, ternyata asli Kampung Sawah. Saya sendiri yang sejak tahun 1966 mengajar di Strada, baru masuk Kampung Sawah tahun 1977, naik motor hujan-hujan. Orang yang pertama saya kenal adalah Pak Johannes Pepe dan Pak Boih. Pak Boih inilah yang memperkenalkan saya, mengundang saya ke Kampung Sawah. Akhirnya tahun 1977 saya beli tanah di Kampung Sawah dan pada tahun 1981 mulai tinggal di Kampung Sawah.”

Bapak J.F.X Harbelubun yang putra asli Kei, Maluku Tenggara, dalam kehidupan menggerejanya di Kampung Sawah, sempat mendirikan koperasi kredit Warna Jaya di “kampung”nya, yang termasuk Lingkungan Petrus Damianus.

Paroki Ganti Nama Pelindung

Derak pembangunan mulai bergaung. Dewan Paroki merencanakan pembangunan gedung gereja baru. Minggu 19 Desember 1995 diselenggarakan rapat pleno Dewan Paroki Antonius Padua di pastoran baru. Rapat pleno tersebut membuat keputusan penting, yaitu nama pelindung gereja lama, Santo Antonius dari Padua tidak akan dipergunakan lagi bagi gereja baru yang sedang direncanakan. Penggantian nama dibicarakan secara mendalam dengan melibatkan para sesepuh asli yang tergabung dalam Kumpulan Abba dan Hana.

Salah satu alasan penggantian nama adalah, bahwa nama pelindung tersebut sudah dipakai oleh Paroki Bidaracina. Nama Santo Servatius pun mengemuka. Santo Servatius, yang sering diperpendek menjadi Servas, adalah misionaris Asia asal Armenia (di Timur Tengah sebelah utara Suriah dan Turki) yang 17 abad lalu ikut mengkristenkan Eropa Barat.

Misa Inkulturasi Betawi

Ide awal misa bergaya Betawi dimunculkan pada rapat Dewan Paroki tahun 1995. Budaya Betawi dimufakatkan menjadi identitas Gereja di Kampung Sawah. Maka disusunlah berbagai kelengkapan misa yang bermuara pada budaya Betawi. Lagu-lagu diciptakan, mulai dari lagu pembukaan, ordinarium, persembahan, sampai lagu penutup. Lagu pertama yang selesai dan mulai dilatih oleh Paduan Suara “Suara Kampus” (Suara Kampung SAwah) – sebuah kelompok koor yang beranggotakan muda mudi Katolik paroki – adalah Lagu “Terimalah ya Tuhan”, yang aransemennya dibuat oleh Bapak Marsianus Balita. Pak Marsi inilah yang mengaransemen semua lagu-lagu bergaya Betawi untuk misa inkulturasi Betawi.

Selain lagu-lagu, atribut pakaian Betawi pun mewarnai misa inkulturasi Betawi. Para pelayan liturgi memakai pakaian Betawi. Tak heran, pada misa-misa hari Minggu biasa pun banyak umat yang memakai atribut Betawi, setidaknya berpeci di kala Misa. Tentang hal ini, Pak Nata Kuding berkomentar, “Menurut saya berpeci itu menandakan kita orang Betawi. Umat zaman dulu, seperti Pak Lewi Noron, Pak Sael Niman, Pak Gobeg, Pak Saiman, selalu berpeci. Itulah tandanya gereja Katolik Betawi Kampung Sawah. Inilah tradisi Kampung Sawah. Kalau nggak berpeci rasanya kurang sreg.”

Kedatangan Relikwi St Servatius diantar oleh 3 Romo

Misa Inkulturasi Betawi pertama kali diadakan sewaktu peristiwa penyambutan relikwi Santo Servatius dari Kota Maastrich, Belanda.

(bersambung)
Sumber : http://www.servatius-kampungsawah.org/

baca selanjutnya...

Selasa, 10 Januari 2012

Sejarah Gereja Katolik St. Servatius dan Sejarah Umat Kampung Sawah (9)

Bapak Mario Menjadi Pastor Mario
Bapak Mario yang dulu sudah mengikuti studi menjadi imam tapi gagal, pernah memohon kepada Monseigneur Djajaseputra agar boleh ditahbiskan sekalipun sudah lanjut usia. Permintaan itu ditolak. Pada tahun 1970, Monseigneur Leo Soekoto, SJ menjabat sebagai Uskup Agung Jakarta. Pak Mario, usianya sudah 60 tahun, mengajukan permohonan sekali lagi. Kali ini dikabulkan. Tanggal 12 September 1971, Bapa Marius Mariatmadja, ditahbiskan menjadi imam projo di tengah umatnya di Gereja Kampung Sawah, pada usia 60 tahun. Umat Katolik Kampung Sawah sungguh berbahagia menyambut gembala mereka yang selama ini telah mendampingi mereka selama 20 tahun.

Kehandalan Pastor Mario dirasakan oleh semua umatnya, termasuk anak-anak. Bapak Yepta Noron mengaku, “Waktu masih anak-anak saya sering diajak ayah untuk ikut menjaga gereja, maka saya sering bertemu dengan beliau. Saya diajari banyak hal. Pastor Mario sangat perhatian terhadap umatnya. Pastor Mario juga berani melayani umat Katolik Kampung Sawah yang pada waktu itu menghadapi situasi yang sangat membahayakan. “

Sebagai imam, Pastor Mario tak bisa berkarya terlalu lama. Pada tanggal 3 Oktober 1972, ia dipanggil Tuhan. Untuk mengenang kehandalannya menuntun dan membina umat Katolik Kampung Sawah, dibuatlah bangunan khusus di Pemakaman Katolik Kampung Sawah. Selain itu, berbeda dengan paroki lain yang memakai Yayasan Santo Yusuf untuk mengurusi kematian dan pemakaman umat, maka Kampung Sawah memakai namanya, Marius.

Setelah wafatnya, dua pastoran, Kampung Sawah dan Cililitan pun lowong. Sebagai tindakan darurat, pimpinan Serikat Yesus mengutus Romo Brotosoeganda, S.J. Namun, belum sampai 10 hari bertugas, ia pun dipanggil Tuhan pada 13 Oktober 1972.

Pastor Kembali Tinggal di Paroki yang Dibangun Umat Kampung Sawah
Setelah Pastor Mario meninggal, dari tahun 1972-1993, Paroki Kampung Sawah telah mempunyai enam pastor kepala yang semuanya bertempat tinggal di Pastoran Cililitan, 12 kilometer dari Kampung Sawah. Pertama, tentu saja Pastor Baker, S.J, yang mulai tahun 1973 dibantu oleh Pastor Wiyono Haryadi, S.J. yang secara khusus menangani paroki Cijantung. Lalu tahun 1974-1977 Pastor C.Looymans, S.J. yang dibantu oleh Pastor P.P.Polimann, S.J. Pada saat itu pastor juga memperluas gereja hingga menampung 300 umat. Tahun 1977 sampai 1978 Pastor F.de van der Schueren, S.J.

Tahun 1978 sampai 1985, Pastor Martinus Oei Goan Tjiang, S.J. (tahun 1984 membuka SMP Strada Nawar) yang mula-mula dibantu oleh Pastor Martosudjito, S.J. yang bertugas menyiapkan Paroki Cijantung, kemudian dibantu juga oleh Pastor Wiharjono, S.J.

Pada masa penggembalaan Pastor Oei Goan Tjiang, menurut Ibu Triany, “Misa hanya dilakukan hari Minggu. Anak-anak duduk di depan dan suami – istri duduknya terpisah.” Ibu Triany yang datang ke Kampung Sawah pad tanggal 14 Agustus 1977, tinggal di Lingkungan 6 dengan ketua lingkungannya Bapak William Kadiman. Beliau langsung menjadi aktivis paroki, antara lain katekis, lektris, seksi liturgi paroki dan pembimbing Pemuda Paroki.

Pada saat itu memang mudika masih bernama Pemuda Paroki. Kegiatannya dimulai lewat bidang olahraga seperti bola voli, mengunjungi teman-teman yang sakit, dan rosario bersama.

“Romo Oei adalah romo yang punya perhatian lebih kepada umat!” tambah Pak Sutrisno, mantan Dewan Paroki. “Beliau datang malam minggu dan menginap di sini. Saat menginap itulah ia mau datang ke lingkungan-lingkungan. Pendalaman iman ia hadiri dengan vespa tuanya!”

Pada masa ini, datanglah Suster Pauline, OSU yang kemudian mengepalai SMP Strada Kampung Sawah. Beliau juga menggagas terbentuknya P3K (Pertanian, Perikanan, Peternakan) atau Proyek Karang Kitri Kampung Sawah yang tujuannya membantu warga yang tidak mampu. Sore harinya, muai pukul 15.00 WIB sampai senja, sejumlah anak berkebun di bawah bimbingan Pak Yulius Sastra Noron yang telah selesai mengikuti Sekolah Pertanian di Jawa Tengah.

Pastor Mudji Santara, S.J, pengganti Pastor Oei, suka sekali memacul dan menanam di pekarangan gereja. Pernah sewaktu mencabut rumput, datang tamu yang bertanya, “Pak, apakah ada Romo?”

“Tunggu dulu, Pak, nanti ia akan datang.” Jawabnya sambil masuk ke pastoran, mencuci tangan dan muka, mengenakan jubah, lantas keluar lagi. “Ini Romonya!”

Sejarah Kampung Sawah yang begitu panjang dan penuh gejolak membuat Pastor Mudji Santara berminat untuk mendokumentasikannya. Maka pada tahun 1987-1988 beliau mengadakan sayembara untuk membuat sejarah paroki. Bapak Yulius Sastra Noron yang berhasil memenangkannya mendapat hadiah berupa uang sejumlah Rp150.000,-. “Uang itu, “ungkap Pak Sastra, “saya gunakan untuk membuat pagar gereja!”

Pastor Pertama Asli Kampung Sawah
Pada tahun 1988, Kampung Sawah pantas berbangga, karena akhirnya ada seorang putranya yang ditahbiskan menjadi imam untuk Keuskupan Agung Jakarta. Tanggal 15 Agustus, Romo Aloysius Yus Noron, Pr, dalam usia 29 tahun, alumnus SD dan SMP Strada, mantan putra altar, ditahbiskan di Katedral Jakarta. Seminggu kemudian, umat Kampung Sawah merayakan Ekaristi Kudus secara meriah untuk menyambutnya.

Pastor dan Frater pun Menetap di Kampung Sawah
Sewaktu Romo Arko menjabat sebagai pastor kepala, beliau minta izin agar 4 frater muda diosesan yang sedang mengikuti Tahun Rohani di Wisma Samadi Klender diperkenankan tinggal di Kampung Sawah bersama pembibingnya Romo Alex Didjasusanta, S.J. Permohonan ini dikabulkan Bapa Uskup. Maka gedung bekas SMP di bawah pastoran pun disesuaikan sedikit untuk penampungan para frater. Pada tanggal 1 Agustus, Romo Alex bersama para frater berjalan kaki dari Klender menuju Kampung Sawah. Semenjak itu, meski Romo Alex adalah romo pembantu, namun pada kenyataannya ia dianggap pastor Kampung Sawah oleh umat. Dan ia tinggal di Kampung Sawah. Romo Alex langsung menghidupkan suasana paroki. Dibangunlah 2 pendopo di depan pastoran. Lalu dibangun Saung Maria. Panti Imam dan sakristi dibangun kokoh.

“Tumbuh kembalinya iman umat Katolik Kampung Sawah adalah pada masa Romo Alex, “ungkap Bapak Yepta Noron. Semasa Romo Alex, yang sangat disukai oleh warga paroki, SD Strada Cakung Payangan nyaris dibakar oleh oknum beragama lain, sebab permintaan mereka, supaya ada pelajaran agama non-Katolik di sekolah Katolik ditolak.
(bersambung)

Sumber : http://www.servatius-kampungsawah.org/

baca selanjutnya...

Jumat, 06 Januari 2012

Sejarah Gereja Katolik Santo Servatius & Sejarah Umat Kampung Sawah (8)

Pastor Bakker dan Kesehatan

Klinik Melania yang telah ditutup pada zaman Jepang, beliau aktifkan kembali dengan membujuk Yayasan Melania dan Rumah Sakit St Carolus agar mengurus kegiatan pengobatan di sana. Seorang guru pensiunan Bidaracina, Ibu Sudibjo diminta mengelola klinik ini. Di samping itu, pada masa-masa paceklik pangan, melalui berbagai yayasan di luar negeri didatangkanlah bantuan pangan seperti susu bubuk dan bulgur. Namun kondisi perawatan kesehatan pada masa itu masih memprihatinkan. Bapak Yepta Noron yang pada waktu itu masih anak-anak menuturkan, “Pelayanan yang diberikan oleh Melania adalah poliklinik dan rumah bersalin. Yang ada cuma perawat dan mantra. Mantri yang sangat terkenal pada waktu itu adalah Mantri Teing (Sukirman). Kalau kita butuh dokter, biasanya dokter yang dibutuhkan harus dicari dulu di Jakarta.”

Di bidang pendidikan, beliau membangun dan memperluas TK dan SD Strada dengan dibantu oleh Bapak Gregorius Pepe sebagai kepala sekolah (1963-1965). Pak Pepe, sebagai kepala sekolah, lebih sibuk mencari, membeli, menebang dan menggergaji pohon-pohon daripada menangani murid di sekolah. Pastor Bakker membang membutuhkan kayu untuk membangun sekolah, memasang jebatan dan membuat peti mati.

Sebelum didirikan SMP, gedung sekolah Kampung Sawah membuka kelas Nol di tingkat SMP bagi anak yang tidak berhasil lulus di SD Kampung Sawah dan Cakung-Payangan (didirikan tahun 1959 di rumah Pak Saba). Setiap pagi ada pelajaran khusus, lalu mereka makan siang di rumah, mencuci pakaian, membantu di kebun, lalu pukul 16.30 kembali ke sekolah. Inilah Sekolah Penampungan calon siswa SMP. Baru setelah setahun, pada tanggal 1 Agustus 1965 SMP Strada diakui secara resmi.

Pastor Bakker juga berinisiatif memperbaiki jalan pintas antar Pondok Gede – Kampung Sawah lewat Pasar Kecapi. Ia berhasil membangun jembatan-jembatan borok di atas kali-kali kecil sepanjang Jalan Kecapi. Penduduk pun bergabung dalam kerja bakti memperbaiki jalan ini.

Strada Nawar, Bayarannya Sapu Lidi

Tanah tempat berdirinya Strada Nawar, sebelumnya adalah sawah tumpang tindih untuk ditanami padi dan diselingi palawija. Menurut Bapak Felix, tanah tersebut dibeli oleh Pastor Bakker pada tahun 1960 setelah ia menjual harta warisannya di Belanda. Luasnya sekitar 10.000 meter persegi.

Sementara itu sekolah Strada Nawar diawali dengan mendirikan sekolah dasar pada bulan Agustus 1965 di rumah Bapak Taip. SD Strada Nawar dibuka 3 kelas, kelas 1-3. Jumlah anak pada waktu itu 113 anak, 100% beragama Islam. Murid terbanyak berasal dari Pondok Rangon (Ganceng). Sekolah ini baru diberkati tahun 1967. “Pada saat itu ada juga tanggapan negatif dari masyarakat setempat karena guru-gurunya kebanyakan pendatang, “ ungkap Pak Felix.

“Saya tetap semangat untuk mengajar di sana, meski keadaannya sangat memprihatinkan. Saya ingat ucapan Pastor Bakker, ‘Sekolah ini didirikan untuk masyarakat kita di sini. Gunakanlah dan rawatlah sebaik-baiknya.’ Namun karena kondisi pada saat itu sulit, maka selain guru, saya pun harus merangkap jabatan sebagai dukun untuk melayani yang sakit dan menjadi artis pengamen untuk ikut kesenian, penyanyi dangdut, pemain sepakbola, pemain tunil, dan lain-lain. Maklum saja, pada waktu itu, bayaran sekolahnya bukan uang, tapi kadang sapu lidi, buah kelapa, rambutan atau beras setengah liter!” tutur Pak Felix.

Strada Cakung Payangan juga dimulai dengan kondisi yang memprihatinkan. Kegiatan belajar pertama berlangsung di emperan rumah Bapak Saba, hingga mendapatkan tanah seluas 500 meter persegi. Yang menarik adalah batu welas yang digunakan sebagai pondasi bangunan digali oleh warga non Katolik tanpa digaji.

Koperasi Bebek ala Pastor Bakker

Untuk meningkatkan penghasilan umat, Pastor Bakker merintis koperasi bebek. Setiap peminat dapat memperoleh 20 ekor bebek, sebuah kandang dan persediaan pakan. Utang mereka dianggap lunas dengan menyerahkan telur-telur seharga Rp 20,- kepada koperasi, dikurangi Rp1,- untuk transport ke RS St.Carolus dan Rp1,- untuk pengembangan pendidikan. Anggota koperasi yang bersungguh-sungguh akan bisa melunasi hutangnya dalam waktu 8 bulan. Pengelola koperasi Pastor Bakker adalah Bapak Adam Noron. Koperasi ini berhasil meningkatkan kehidupan warga Kampung Sawah. Pastor Bakker juga menangani bidang perkayuan, dengan spesialisasi membuat peti mati yang akan digunakan untuk Yayasan Kematian Santo Yusup.

Dari segi iman, Bapak Marius Mariaatmaja, yang lazim juga disapa Bapak Mario, giat mengajar agama di sekolah-sekolah dan berkeliling di seluruh wilayah paroki. “Pada masa ini, “kenang Bapak Yulius Sastra Noron, “Telah ada kegiatan sembahyangan di kring-kring (lingkungan).”

Bapak Marius, atau biasa dipanggil Bapak Mario juga dikenal terampil menghidupkan kegiatan ekonomi di Kampung Sawah.

“Beliau juga ikut merintis koperasi yang tak hanya diperuntukkan umat Katolik, namun juga umat beragama lain, “ungkap Bapak Yulius Sastra Noron. “Kegiatan ini kemudian dilanjutkan dengan adanya peketan, yaitu kegiatan permufakatan yang tidak pandang agama, yang wilayah kegiatannya melingkupi juga wilayah Pedurenan dan Rawa Bacang.”

Tahun 1969 datanglah para suster Ursulin membantu pastor menggembalakan umat Kampung Sawah. Mulai saat itu SMP Strada Kampung Sawah dikepalai oleh suster dari biara Ursulin itu.

(Bersambung)
Sumber : http://www.servatius-kampungsawah.org/

baca selanjutnya...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP