Tampilkan postingan dengan label Keuskupan Malang. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Keuskupan Malang. Tampilkan semua postingan

Rabu, 31 Oktober 2012

Sejarah Paroki St. Yohanes Penginjil Bondowoso

Naskah ini merupakan DRAFT dari Sejarah Paroki St. Yohanes Penginjil Bondowoso yang dipersiapkan untuk terbit menjelang peringatan puncak HUT Paroki pada bulan Oktober 2011. Data pokok dihimpun dari Buku Kenangan HUT Paroki ke 60, situs PemKab Bondowoso, Buku Sejarah Gereja Indonesia, dan sejumlah sumber tertulis lain. Saya publikasikan di sini supaya dapat dicermati, dikoreksi atau ditambah datanya. jap.

Bondowoso Selayang Pandang

Bondowoso dikenal luas ketika orang menyebut Kawah Ijen dan Tape Legi. Kawah Ijen adalah satu kawasan wisata di daerah Sempol yang dikenal secara internasional karena keindahannya. Tape legi merupakan makanan khas daerah dari ketela pohon yang disebut fermented of cassava oleh pelancong asing. Lebih dalam lagi, Bondowoso ternyata amat dikenal dalam percaturan sejarah terutama karena peninggalan-peninggalan purba dan peninggalan dari jaman Hindia Belanda yang jejaknya masih membekas hingga sekarang. Pembicaraan tentang Paroki Yohanes Penginjil Bondowoso tidak akan utuh tanpa menyebut kekayaan itu. Lahir dan perkembangannya tak pernah dapat dilepaskan dari geliat kehidupan yang berkembang di sini, dari masa ke masa.

Bondowoso udaranya sejuk, dengan suhu rata-rata antara 15.40-25.10 o C., karena berada di antara Pegunungan Kendeng Utara di Timur; Pegunungan Hyang di Barat dan deretan Gunung Alas Sereh, Biser dan Mendusa di Utara, pada ketinggian 78 - 2.300 dpl. Sebagai satu kabupaten yang luasnya 1.560.10 km2, seluruh kawasan dapat dipilah menjadi tiga bagian. Kawasan barat berupa pegunungan. Kawasan tengah berupa dataran tinggi bergelombang dan kawasan timur berupa pegunungan bagian dari dataran tinggi Ijen. Karena posisi geografisnya, Bondowoso tidak punya batas laut. Juga tidak punya jalan negara penghubung antar propinsi. Jalan-jalan di kawasan ini termasuk dalam kategori jalan kolektor primer, lokal primer dan lokal sekunder saja.

Perkembangan terakhir, wilayah administrasinya meliputi 23 kecamatan : Pakem, Binakal, Wringin, Curahdami, Klabang, Grujugan, Maesan, Tamanan, Pujer, Tenggarang, Wonosari, Sukosari, Sempol, Tegalampel, Prajekan, Cerme, Bondowoso, Botolinggo, Jambesari Darus Sholah, Tlogosari, Sumber Wringin, Taman Krocok dan Tapen. Gereja induk Paroki St. Yohanes Penginjil terletak di Kecamatan Bondowoso, tepatnya di Jl. A. Yani 20, Kelurahan Badean. Satu-satunya kapel Stasi terdapat di Kecamatan Sumber Wringin, searah dengan lintasan menuju Kawah Ijen. Kapel diresmikan pada tanggal 19 Januari 2002 dengan nama pelindung St. Theresia. Digunakan untuk melayani umat Katolik dari daerah Wonosari, Wonosalam (Wonokusumo), Sukosari dan Sumber Wringin. Satu-satunya Biara Katolik berada di Jl. Letnan Sudiono 29 di Kecamatan Bondowoso, yakni Biara Suster St. Perawan Maria ( SPM ), berdiri sejak 1958. Sekolah-sekolah Katolik semua di Kecamatan Bondowoso. Sebuah kompleks makam Katolik bernama Makam Katolik Selokambang terletak di Kota Kulon, Kecamatan Bondowoso, berdampingan dengan kompleks makam Kristen dan makam Islam. Mayoritas umat Katolik umumnya berdomisili di Kecamatan Bondowoso juga.

Dalam kesatuannya dengan Pasuruan, Probolinggo dan Situbondo, Bondowoso disebut juga bagian dari kawasan tapal kuda, untuk menandai besarnya pengaruh Islam dan suku Madura sampai di pelosok-pelosoknya. Penandaan itu tak dapat dipungkiri mengingat nama besar Ki Ronggo sebagai cikal bakal Bondowoso yang identik dengan penyebaran Islam dan suku Madura di masa lalu. Sampai sekarang pengaruh itu tetap terasa kental, tampak dari jumlah pondok pesantren dan penggunaan nama-nama daerah pemekaran baru dengan identifikasi yang bernafaskan Islami, seperti Koncer Darul Alam, Jambesari Darus Sholah. Kendati demikian selama ini relasi antar umat beragama pada umumnya dapat berlangsung dengan baik.

Peninggalan-peninggalan purba yang tersebar di sini memperlihatkan geliat kehidupan megalitikum dan kerohanian Hindu yang pernah berkembang di masa yang lebih kuno. Terdapat 12 situs purba yang tersebar di Kecamatan Wringin, Maesan, Grujukan, Jambesari Darus Sholah, Tegal Ampel, Bondowoso, Prajekan, Tlogosari dan Sempol. Peninggalan-peninggalan yang ditemukan antara lain berupa Dolmen, Punden Berundak, Menhir, Sarkopagus, Kubur Batu, Batu Kenong, Pelinggih, Batu Ruang atau Stunchambers, Gua Bato, Ekopak, Abris Saus Roche dan Area Batu. Disebut dalam diskusi arkheologi, Bondowoso adalah Kerajaan Megalitikum. Selain menandai luas dan banyaknya warisan jaman batu dan Hindu, julukan itu juga berbicara tentang kenyamanan untuk membangun kehidupan bermasyarakat di tempat ini ketika itu. Warisan ini tampaknya memang tidak terkait dengan perkembangan Gereja Katolik Bondowoso, namun harus dilihat kemudian sebagai bagian dari kekayaan tak ternilai yang terdapat di wilayah Paroki. Ada tanggungjawab moral untuk menghormati, melindungi dan menjamin kelestariannya.

Pada abad 19 Hindia Belanda menguasai kawasan ini. Mereka membaca potensi Bondowoso dengan cermat dan merancang kelola kawasannya begitu rupa. Bondowoso pada jaman itu masuk wilayah Karesidenan Besuki, bersama Jember. Hindia Belanda membangun gedung Karesidenan Besuki di pusat kotanya, lengkap dengan alun-alun, gedung pengadilan, penjara, tangsi militer, masjid, Gereja Kristen, pusat pertokoan, kawasan pemukiman dan sekolah untuk anak-anak mereka. Pabrik Gula, bendungan sungai, sawah untuk tebu, perkebunan kopi di gunung-gunung, tempat rekreasi, stasiun kereta, jembatan, rel kereta api dan jalan-jalan semua dirancang dengan penataan yang elok seolah Bondowoso sungguh sebuah kota sentral dan kota harapan.

Permulaan yang tegas dari kehadiran Gereja di kawasan Bondowoso ditemukan dalam sejarah Gereja Kristen Jawi Wetan pada jaman Hindia Belanda ini. Tercatat dalam sejarah Gereja Kristen Jawi Wetan, pada tahun 1882 sudah terbentuk kelompok pertama jemaatnya di Pakem, pelosok selatan Bondowoso. Menyusul pada tahun 1896 terbentuk jemaat yang lebih stabil di Bondowoso. Mereka dilayani oleh utusan-utusan Java Comite yang menangani pekabaran Injil di Jawa Timur bagian timur. Pada jaman itu banyak orang-orang Eropah beragama Kristen yang bekerja untuk Hindia Belanda di sini. Bendungan Sungai Sampean, misalnya dibangun pada tahun 1876 oleh seorang arsitek dan politikus bernama Hendrikus Hubertus van Kol. Lintasan Kereta api yang menghubungkan Jember, Kalisat, Bondowoso dan Panarukan pada tahun 1897 dibangun oleh seorang pengusaha bernama George Bernie. Meskipun tak pasti, dapat diduga mereka dilayani Zending, karena ketika itu Zending lebih didukung Hindia Belanda daripada Misi. Namun tidak mustahil jika diantara orang-orang Eropa di Bondowoso ketika itu terdapat juga orang-orang yang beragama Katolik. Bagi mereka itu Misi memberikan pelayanan dengan kunjungan-kunjungan berkala oleh para pastor dalam perjalanan dinas yang diatur oleh Perfektur Apostolik Batavia, sejak 1807.

Catatan Misi Katolik yang jelas dapat ditemukan di Malang. Prasasti di Gereja Hati Kudus Kayutangan Malang menyebutkan, kawasan pojok Jawa Timur ini, sejak 2 Juli 1896 sampai dengan 1 Agustus 1923 dilayani oleh misionarisGereja Hati Kudus Kayutangan di Malang menjadi pusat misi mereka. Mulai tanggal 1 Agustus 1923 pelayanannya dilanjutkan oleh Misionaris Ordo Karmel, yang diserahi tugas oleh Kongregasi Suci Penyebaran Iman menggantikan Misionaris Yesuit itu karena mereka akan pindah ke Jawa Tengah dan Jawa Barat. Tidak tampak jejak-jejak yang pasti dari karya misionaris Yesuit di Bondowoso. Satu laporan dari mereka menyebutkan dalam kunjungan ke Besuki dan sekitarnya, mereka menjumpai banyak orang-orang Eropa hidup bersama dengan wanita setempat tanpa ikatan nikah. Mereka menjangkau daerah Besuki dan sekitarnya, namun tampaknya sebatas perjalanan dinas. Jejak-jejak yang pasti menyingkapkan, paroki Bondowoso termasuk buah-buah dari karya Ordo Karmel selama satu dekade pertama di pojok timur pulau Jawa ini.

Periode Sebelum Menjadi Paroki

Misionaris dari Ordo Karmel yang datang pada bulan Agustus tahun 1923 itu ialah Pater Clemens van der Pas O.Carm, Pater Paschalis Breukel O.Carm dan Pater Linus Kenckens O.Carm. Pusat misi pertama Ordo Karmel tetap di Gereja Hati Kudus Yesus Kayutangan di Malang dan pelayanan ke daerah-daerah dilakukan dengan perjalanan dinas. Adapun daerah Misi bagian timur Jawa Timur yang diserahkan kepada Ordo Karmel meliputi wilayah Karesidenan Malang dan Besuki serta Pulau Madura. Luas keseluruhannya sekitar 24.409 km2, dengan jumlah penduduk kira-kira tujuh juta. Diperkirakan ada 2800 orang Katolik bangsa Eropa yang tersebar di berbagai tempat dan sejumlah orang Katolik bumi putera. Misionaris Yesuit mewariskan tiga gereja di tiga kota, yaitu Gereja St. Antonius Padua di Pasuruan ( 1895 ), Gereja Hati Kudus Yesus di Kayutangan ( 1906 ) dan Gereja di Lawang ( 1916 ).

Tahun 1924 Pater Linus Kenckens O.Carm merintis pusat misi kedua di Probolinggo untuk melayani daerah-daerah sekitarnya. Rintisan ini diperkuat dengan kehadiran para suster SPM pada tahun 1926 di sana dan Pater Emmanuel Stultiens O.Carm. yang kemudian akan banyak disebut sebagai perintis beberapa paroki di pojok timur Jawa ini. Dari perjalanan dinas yang dilakukan selama dua tahun buahnya dapat dipetik di Jember. Tanggal 4 Juni 1928 Stasi Jember diangkat menjadi Paroki oleh Mgr. Clemnes van der Pas O.Carm sebagai Perfek Apostolik pertama di Malang. Pelayanan umat di wilayah timur yang semula dilakukan dari Probolinggo dan Malang kini lebih banyak ditangani dari paroki ini. Sejak masa itu pula Paroki Jember membidani lahirnya sejumlah paroki di wilayah sekitarnya: Jember , 4 Juni 1928; Bondowoso, 18 Oktober 1936; Glagah Agung 20 Maret 1940 kemudian pindah ke Curah Jati 1 Agustus 1956; Banyuwangi, 20 September 1945; Situbondo, 1 April 1953; Genteng, 1970; Tanggul, 15 Desember 1996, Ambulu, 2006

Masa Persiapan dan Hari Jadi Paroki, 1932-1936

Sejak Jember menjadi Paroki, umat Katolik di Bondowoso dilayani dari sini dalam status sebagai Stasi. Sumber-sumber lisan di paroki menuturkan di Bondowoso ketika itu terdapat sekitar 20 keluarga Katolik Eropa yang bekerja di kantor Karesidenan, pabrik gula, perdagangan, kesehatan dan transportasi. Dikenal ada keluarga Katolik pribumi juga. Disebut nama keluarga FX Brodjo Marsono, seorang Guru SR yang dikenal sebagai Katolik Pribumi di Bondowoso sejak 1929. Zending ketika itu lebih berpengaruh. Pelayanan bagi orang Katolik dilakukan dengan kunjungan-kunjungan dan perayaan sakramen oleh Pastor-pastor dari Jember, diantaranya Pater Linus Hencken O.Carm, Pater Emmanuel Stultiens O.Carm, Pater Lucas van der Linden O.Carm, Pater Xaverius Vloet O.Carm dan Pastor Methodius Hendriks O.Carm. Sementara belum memiliki gedung Gereja, perayaan Ekaristi dilakukan di gedung Europe School di sebelah utara alun-alun Bondowoso atau di Gedung Pengadilan di sebelah timurnya.

Sekitar tahun 1932 dimulai pembicaraan untuk mendirikan gedung Gereja Katolik dan pencarian lahan untuk keperluan itu. Disebut nama sejumlah tokoh Katolik Eropa dan tokoh Katolik pribumi yang berperan, yaitu Tuan Refuge seorang pengusaha dari Belgia, Tuan Old Heuten dari Belanda, dokter Caselughe dari Cekoslovakia dan Bapak FX. Brodjo Marsono, yang rumahnya sering digunakan untuk merundingkan rencana itu. Tahun 1933 perencanaan dimantapkan dengan kehadiran seorang Residen Besuki yang beragama Katolik di Bondowoso. Lahan untuk gedung Gereja akhirnya diperoleh dari hibah keluarga Ny. A.L. Luyten. Terletak di pinggir jalan raya Bondowoso-Jember, dengan kondisi bergelombang dan banyak genangan airnya. Setelah diratakan, pembangunan dimulai tahun 1935 dengan arsitektur seorang Belanda. Bahan untuk pembangunan didatangkan dari Jember dan Malang. Bahkan ada yang khusus didatangkan dari Belanda, yaitu konstruksi kuda-kudanya. Pembangunan berlangsung kurang lebih setahun. Kapasitasnya untuk 200 orang. Pada tanggal 18 Oktober 1936 Gereja diresmikan oleh Mgr. A. Albers O.Carm., menandai sekaligus pengangkatan Stasi Bondowoso menjadi sebuah Paroki baru dengan nama Santo Yohanes Penginjil. Mgr. Albers menugaskan Pater Methodius Hendriks O.Carm menjadi pastor paroki pertama. Beliau tinggal di satu ruang bagian belakang Gereja, yang sekaligus berfungsi sebagai Sakristi. Tidak diketahui berapa jumlah umat ketika itu. Juga tidak dapat diperoleh informasi lebih rinci tentang upacara peresmian itu.

Dalam catatan sejarah Perfektur Apostolik Malang, selama tahun 1936 Mgr. A. Albers O.Carm secara berurutan telah menetapkan tiga stasi menjadi paroki, yaitu Blimbing, Lumajang dan Bondowoso. Pertimbangannya tentu saja menyangkut jumlah umat, potensi wilayah, tenaga pelayanan dan harapan untuk perkembangannya di kemudian hari. Ketika itu Mgr. Albers O.Carm telah setahun menjadi Perfek Apostolik kedua di Perfektur Apostolik Malang, menggantikan Mgr. Clemens van der Pas. O.Carm yang wafat tahun 1933. Berdasarkan catatan ini, tampaklah berdirinya paroki Bondowoso dipertimbangkan sebagai rencana misi Perfektur Apostolik Malang dan mencerminkan kebijakan pastoral yang penuh harapan dan gelora ketika itu.

Periode Awal Karya, 1936-1945

Pater Math. Hendriks, menjadi Pastor Paroki Bondowoso hanya setahun. Sesudahnya dilayani oleh Pater St. Mulder O.Carm selama beberapa waktu, Pater Petrus Staarman O.Carm juga untuk waktu yang tak lama. Perayaan Natal 1939 dilayani Mgr. A. Albers, membantu Pater Ch. H.W. Viester O.Carm pastor Paroki antara 1939-1942. Agaknya pada waktu itu cukup sering dilakukan rotasi para imam mengingat banyaknya tempat yang perlu dilayani dengan jumlah tenaga yang terbatas. Ada pastor yang diberi tugas menetap, namun ada juga yang diperbantukan untuk beberapa waktu.

Pada tahun 1937 disebut nama baru dari Katolik pribumi, yaitu Bp. Moeljodihardjo yang masuk ke Bondowoso membantu Paroki sebagai koster dan sekaligus Katekis. Kehadiran Bp. Moeljodiharjdo memperkuat barisan umat pribumi yang sejak 1929 sudah banyak berperan, yaitu keluarga Bp. FX. Brodjo Marsono. Selama tiga tahun Bp. Morljodihardjo membantu dalam bidang katekese sampai beliau pindah pada tahun 1940. Tidak banyak data yang tersedia tentang beliau, karena sesudah pindah tak diketahui lagi keberadaannya. Namun ada dua hal penting yang dapat diperoleh sebagai data sekitar tahun 1940. Dikisahkan pada tahun 1940 ada pengusaha beras dari keluarga Tionghoa yang dibaptis dan segera berperan dalam pemekaran karya Paroki. Pada tahun 1940 pula Pater Viester sebagai pastor Paroki merintis karya dalam bidang pendidikan dengan mendirikan TKK di kompleks Gereja dengan cara yang unik. Beliau menyekat Gedung gereja menjadi dua bagian. Bagian depan untuk pelayanan Ekaristi. Bagian belakang digunakan untuk ruang Taman Kanak-kanak. Namun belum sampai setahun lamanya, TKK harus ditutup karena datangnya Kanpetei, tentara Jepang yang melarang kegiatan persekolahan itu.

Tidak dapat diperoleh gambaran jelas mengenai jumlah umat selama periode ini. Juga jangkauan karya pastor paroki dan para katekis. Agaknya paroki masih didominasi oleh orang-orang Katolik Eropa. Sedikit keluarga pribumi mampu berbaur dengan mereka. Namun mayoritas mungkin masih mengambil jarak. Seorang narasumber lisan dari jaman itu menuturkan beliau memilih ikut Zending karena sulit berbaur dengan orang-orang Eropa di Gereja Katolik. Baru kemudian hari beliau pindah masuk Katolik. Istimewanya, tidak sampai terjadi pemisahan Gereja pribumi dan non pribumi seperti yang terjadi di beberapa tempat lain.

Usaha Pater Viester mendirikan TKK tampaknya merupakan strategi untuk menjaring umat. Dengan mengundang anak-anak ke kompleks Gereja, otomatis juga menjangkau dan mengundang orang tuanya untuk mulai mengenal iman Katolik. Namun upaya cerdas ini terhambat karena kedatangan tentara Jepang, yang selama tiga tahun menimbulkan penderitaan parah. Memang Jaman Jepang dikenal sebagai masa sulit untuk semua. Meskipun singkat, penderitaan rakyat lebih besar dibanding Hindia Belanda yang ratusan tahun berkuasa. Patut diduga ketika itu terjadi penyusutan umat dalam jumlah besar karena semua orang Eropa diinternir. Pelayanan bagi umat yang ada juga tidak terjamin. Agak mengherankan, tampaknya gedung Gereja tidak terusik hingga bentuk awalnya tetap lestari sampai sekarang. Banyak bangunan besar dan strategis pada waktu itu dibumi hanguskan supaya tidak digunakan untuk markas tentara Jepang.

Periode Pemekaran Karya 1945 - 1971

Setelah kesulitan selama jaman Jepang berlalu, fajar baru muncul seiring dengan perkembangan sosial politik jaman kemerdekaan. Meskipun ada peristiwa Agresi II sekitar tahun 1947-1948 agaknya perkembangan baru tidak banyak terpengaruh. Selain kedatangan kelompok umat baru, dalam periode ini paroki juga mulai pemekaran karya melalui pendidikan dan pembentukan organisasi-organisasi Katolik.

Pada tahun 1945 masuk sejumlah orang Katolik dari Jawa Timur bagian barat ke Bondowoso. Tampaknya mereka datang untuk perkebunan dan pabrik gula. Segera saja mereka berbaur dengan umat yang ada dan membentuk Ikatan Warga Katolik, yang disingkat IWK. Satu permulaan dominasi umat oleh orang katolik pribumi. IWK berperan penting menjadi semacam badan musyawarah umat dan gembala untuk mengurus pelayanan Liturgi, pewartaan, karya sosial dan kesaksian pada umumnya. Tokoh awal IWK tetap dipelopori oleh Bapak FX. Brodjo Marsono. Pastor paroki pada waktu itu sampai dengan 1947 adalah Pater Singgih.

Pastor yang berkarya di paroki setelah Pater Singgih adalah Pater Hutten, Pater Ten Kroode dan Pater Viester. Dalam beberapa periode, pelayanan dirangkap dari Jember secara bergantian oleh beberapa Romo. Pada tahun 1950 Pater Viester membuka kembali TKK yang pernah dirintis di kompleks Gereja, menggunakan gedung darurat yang dibangun di belakang Gereja. Beliau membuka dua kelas : Freubel dan Concerdanschool. Freubel untuk anak-anak bumi putera. Concerdan School untuk anak-anak peranakan. Tanpa menunggu waktu yang lama, tahun 1951 segera dibuka juga Sekolah Dasar di gedung darurat TKK, yang penggelolaannya ditangani oleh Yayasan Karmel. Rintisan untuk TKK dan Sekolah Dasar ini patut disebut istimewa karena sebagian pendidik yang direkrut tidak hanya aktivis Katolik, tetapi juga para aktivis dari organisasi-organisasi Islam. Gedung darurat itu dipergunakan sampai selesainya pembangunan gedung permanen di tempat yang sama pada tahun 1953. Dalam waktu yang singkat, masyarakat segera mengenalnya sebagai sekolah misi dan banyak diminati.

Karya pendidikan merupakan pilihan strategis dalam misi. Lewat pendidikan dibangun jembatan penghubung antara misi, orang tua dan masyarakat. Dengan pendidikan ini pula Gereja dapat melunakkan kecurigaan masyarakat terhadap iman katolik, menyiapkan intelektual di kemudian hari dan tentu saja pembinaan kerohanian siswa. Secara langsung atau tidak para guru yang bekerja di lembaga ini pun akhirnya dapat berperan sebagai agen pembaharu dalam masyarakat. Mgr. Albers yang kemudian menjadi Uskup Malang menaruh perhatian istimewa atas perkara ini. Beliau berpendapat misi-lah yang harus membangun sekolah-sekolah, karena tidak akan ada yang membangunnya; sedang gedung gereja dengan sendirinya akan dibangun oleh umat beriman dan para gembalanya jika jumlah mereka sudah mencukupi. Pater Viester dan kemudian juga Pater Krammer yang berkarya di Bondowoso termasuk dua gembala yang gigih dalam pengembangan sekolah-sekolah seperti ini di setiap tempat karyanya.

Bondowoso cukup diuntungkan. Gedung Gerejanya sudah lebih dahulu dibangun, sehingga pengembangan misi melalui pendidikan langsung dilakukan di pusatnya. Terasa pula sejak dimulainya sekolah-sekolah ini suasana paroki sudah lebih terbuka dan memasyarakat. Suasananya sudah pribumi, meskipun Pater Viester dan Pater-Pater lain yang berkarya di sini pasti tetap disebut ” Romo Londo”.

Sementara bidang pendidikan mulai berjalan, pastoral umat di paroki pun mengalami perkembangan yang menjanjikan. Perkembangan itu terasa mencolok sejak akhir tahun 1953 dengan kehadiran keluarga RB. Soekadji di Bondowoso. Beliau dan isterinya adalah guru untuk SGAN Bondowoso. Dalam bidang lain beliau berdua juga aktif dalam Partai Katolik dan organisasi kemasyarakatan. Bersama Brojdo Marsono, RB. Soekadji melebarkan rentang tangan Gereja Katolik di tengah masyarakat terutama dalam dunia politik dan pengembangan ekonomi kerakyatan melalui koperasi. Selain pengabdian sehari-hari mereka sebagai pendidik di sekolah, perjuangan keduanya dalam bidang-bidang itu membawa nama harum Gereja di pemerintahan dan di masyarakat.

Atas permintaan Mgr. Albers, pada tahun 1957 Suster SPM masuk Bondowoso bersiap mengambil alih pengelolaan TKK dan SDK dari Yayasan Karmel. Serah terima pengelolaan TKK dan SDK dilakukan pada tanggal 1 Agustus 1957. TKK kemudian diberi nama Indra Rini, sedang SDK diberi nama Indra Siswa. Para suster membeli sebuah rumah dan pekarangan dari keluarga Liem Hong Biauw di Jl. Olah Raga yang sekarang dikenal sebagai Jl. Letnan Sudiono 29 Bondowoso untuk biaranya dan mulai ditempati 1958. Dua suster SPM pertama yang berkarya di sini ialah Sr. M. Chatarina SPM dan Sr. M. Placidia SPM. Seiring dengan kebutuhan pengelolaan sekolah, pada tahun 1958 datang tenaga pengajar baru, yaitu Ibu Odelia, Ibu C. Koo Dominggo dan J. Soenyoto. Bersama para suster SPM mereka memperjuangkan kemajuan TKK dan SDK sebagai sekolah misi yang terbuka dan memasyarakat. Pada waktu itu umat di paroki antara lain keluarga FX Brodjo Marsono, RB. Sukadji, E. Suprapto, Bibiana, FM. Bakri, P. Sardjono, Ie Bok Gian, T. Sucipto, Petrus Kasmadi, Joyo Hendro, Yohanes dan beberapa keluarga Eropa dari pabrik gula.

Masih dalam konteks pendidikan, Yayasan Karmel pada tahun 1959 mendirikan SMPK Indra Prastha di sebelah utara Gereja. Pendirian SMPK ini dimaksud untuk menampung lulusan SDK angkatan pertama yang memerlukan pendidikan lanjut dan lulusan dari sekolah-sekolah dasar lain di sekitarnya. Ramailah keseharian di kompleks Gereja karena TKK, SDK dan SMPK berada di satu lokasi. Namun tak sampai dua tahun lamanya hal itu berlangsung, pada bulan Agustus 1961 TKK dipindahkan dari kompleks Gereja ke kompleks susteran untuk mengurangi kesesakan di kompleks Gereja. Kemudian hari pada tahun 1984 juga SDK dipindahkan ke kompleks susteran setelah selesai pembangunan gedung baru di sana. Ketika itu SDK memiliki 12 kelas dengan jumlah siswa mencapai 600 anak.

Selain kiprah dari tokoh-tokoh katolik dalam partai dan koperasi, pemekaran karya berlanjut dengan pembentukan organisasi Wanita Katolik Repoblik Indonesia, WKRI Cabang Bondowoso, pada tahun 1960. Kepengurusan organisasi pertama dipegang oleh Ibu Brodjo Marsono dan Ibu Soekadji. Anggota yang terdaftar seluruhnya kurang lebih 20 orang. Tak lama setelah dibentuk, WKRI segera masuk dalam Gabungan Organisasi Wanita ( GOW ) Kabupaten Bondowoso. Ibu Soekadji direkrut sebagai pengurus di GOW selama beberapa periode.

Bekerjasama dengan organisasi wanita lain yang tergabung dalam GOW, WKRI merintis usaha-usaha untuk pemberdayaan perempuan dengan latihan dan pembekalan berbagai ketrampilan. Namun situasi selama tiga tahun kemudian agak sulit, terlebih ketika mulai genting karena peristiwa G 30 S / PKI pada tahun 1965. Latihan dan pembekalan agak terhambat karena WKRI lebih banyak bergerak dalam Front Pancasila menentang komunis bersama KAMI, KAPI, dan juga Pemuda Katolik yang dibentuk 1964. Setahun sebelum pecahnya peristiwa G 30 S / PKI, para pemuda memang sudah membaca gelagat perkembangan komunisme. Pemuda Katolik yang kemudian dikenal dengan julukan Banser Salib Kuning dibentuk untuk menyatukan para pemuda menentang perkembangan gerakan komunis. Pemuda Katolik aktif selama beberapa tahun dan mulai surut pada tahun 1970.

Dengan hadirnya WKRI, Pemuda Katolik dan gerakan koperasi, geliat perkembangan dalam paroki makin tampak. Pada tahun 1966 dibangun ruang seluas 5 x 12 m2 di sebelah selatan panti imam untuk sekretariat paroki. Pelayanan administrasi, kesatuan gerak dan perencanaan-perencanaan karya paroki dapat semakin efektif digalang dengan sarana sekretariat ini. Pastoran pun tidak sesak lagi dengan berkas-berkas administrasi Paroki. Pastor Paroki ketika itu ialah Romo Sosrowardoyo. Selain inspirator dalam pergerakan, Beliau boleh disebut sebagai pemula tradisi pastor paroki pribumi di Bondowoso. Setelah Pater Dammer yang berkarya sebelum Romo Sastrowardoyo, para pastor paroki Bondowoso selanjutnya terbaca bukan nama-nama “ Romo Londo “ lagi. Diluar catatan itu, tidak banyak data dari tahun-tahun berjalan sesudahnya, sampai pada tahun 1971 IWK yang terbentuk sejak 1945 dirubah namanya menjadi Dewan Gereja. Cukup disinggung saja bahwa dalam periode pemekaran karya paroki ini, status Vikariat Apostolik Malang yang ditetapkan Sri Paus sejak tahun 1939, telah ditingkatkan menjadi Keuskupan Malang, pada tahun 1961. Dan tinggal satu lagi yang sungguh penting dari data tahun-tahun sebelumnya, yang belum diungkap dalam kronologis di depan, yaitu kelahiran Paroki St. Maria Bintang Samodera yang dibidani oleh Paroki Bondowoso. Peristiwa itu terjadi tahun 1958, tepatnya pada tanggal 1 April. Oleh Mgr. Albers pada hari itu Paroki Bondowoso dimekarkan menjadi dua, dengan mengangkat Stasi Situbondo menjadi Paroki baru. Perintis dan persiapan untuk pemekaran dipelopori terutama oleh Pater Viester dan Krammer, sejak 1953. Sejauh dapat ditelusur jejaknya, langkah awal yang digunakan untuk merintis perkembangan Stasi Situbondo dimulai dari bidang pendidikan. Berbeda dari Bondowoso yang dari permulaannya sudah punya gedung Gereja. Wilayah yang termasuk bagian dari stasi pada waktu itu selain di sekitar kota Situbondo dan Panarukan, juga Besuki dan Asembagus. Jumlah umat diperkirakan 30 orang. Beberapa di antaranya peranakan Belanda. Sebagian lain orang Tionghoa dan Jawa. Berdasarkan pemekaran ini, dalam usianya yang ke 22 Paroki Bondowoso telah mengalami perkembangan tidak hanya pemekaran karya, namun juga pemekaran wilayah menjadi satu paroki baru yang diberi nama pelindung BMV Stella Maris atau Santa Perawan Maria Bintang Samudera. Ajaibnya, Bondowoso yang tidak memiliki batas laut, namun sebagai sebuah paroki telah membidani kelahiran “ Bintang Samudera. “ di tepian pantai Laut Jawa di utara. Hal yang tak mungkin bagi manusia, selalu mungkin bagi Allah. Periode Pendewasaan dan Kemandirian, 1971-2011 Setelah pemekaran karya mulai mantap sampai tahun 1971, periode sesudahnya pantas diberi judul Periode Pendewasaan dan Kemandirian, untuk menggambarkan proses tumbuh kembangnya paroki sejauh terungkap dari tonggak tonggak peristiwa penting dalam perjalannya dari tahun 1971 sampai sekarang. Seperti sudah disebut sekilas dalam penuturan terdahulu, pada tahun 1971 dilakukan perubahan nama untuk badan musyawarah umat yang semula bernama Ikatan Warga Katolik menjadi Dewan Gereja. Perubahan ini berlangsung ketika paroki dilayani oleh Romo Joyopustoko dan kemudian Romo Kahmadi. Dalam perubahan ini tampak pertama-tama tanda perkembangan partisipasi awam dalam pastoral Gereja. Selain itu menyingkap pula kebutuhan untuk pelayanan umat yang semakin kompleks yang memerlukan kerjasama dan keterlibatan banyak pihak. Terlihat pula, derap kemajuan dalam paroki makin seiring dengan derap kebersamaan paroki-paroki di Keuskupan Malang. Nama Dewan Gereja merupakan nama yang mulai dibiasakan untuk seluruh Keuskupan ketika itu. Peran utama yang diemban Dewan Gereja adalah membantu pastor paroki dalam mengelola karya pastoral di wilayah masing-masing. Nama Bapak RB. Soekadji dan Bp. Suyoto secara bergantian tercatat sebagai Ketua Dewan Gereja antara tahun 1971-1979. Setiap periode dua tahun lamanya. Ketua umum eks officio dipegang oleh Pastor Paroki. Masih ada dua nama lain yang tercatat sebagai Ketua Dewan Gereja, sebelum dirubah namanya menjadi Dewan Paroki pada tahun 1982, yaitu Bp. Siswadi dan Bp. Hartoyo, yang berkarya antara tahun 1979-1983. Dalam satu dasawarsa periode Dewan Gereja, terdapat sejumlah tonggak-tonggak penting yang mencerminkan kemajuan dalam dinamika paroki. Pada tahun 1971, bersama Romo Djojopustoko dan sesudahnya Romo Kahmadi, Dewan Gereja membagi wilayah paroki yang mencakup seluruh Kabupaten Bondowoso menjadi 4 Kring dan Stasi. Kring dibentuk untuk wilayah yang berada di sekitar Gereja Paroki, terutama di Kecamatan Bondowoso. Stasi dibentuk untuk wilayah dan paguyuban umat yang jaraknya jauh dari Paroki. Proses ini tampaknya terkait dengan keputusan dari Keuskupan Malang pada 1 Januari 1971 tentang pembagian wilayah Keuskupan menjadi 2 Regio, yaitu Regio Barat dan Regio Timur. Dengan pembentukan Kring makin jelas partisipasi awam makin berkembang. ( data perlu diperdalam. Nama Kring dan Stasi belum jelas. ) Mulai tahun 1971 juga diadakan pembicaraan untuk membangun pastoran, karena kamar Romo di ruang belakang Gereja tampaknya sudah tidak memadai lagi untuk memenuhi kebutuhan dalam pelayanan yang makin berkembang. Rencana itu dimatangkan bersama Romo Kahmadi dan diwujudkan pada tahun 1974-1975. Pastoran dibangun di sebelah kanan Gereja dengan beaya dari swadaya umat dan subsidi Keuskupan. Ruang untuk rapat dan pertemuan-pertemuan tersedia di bagian depan pastoran. Antara Tahun 1976-1978, terdapat tiga hal penting yang dilakukan oleh Dewan Gereja. Dua hal berkaitan dengan pembenahan dalam struktur organisasinya, menyangkut Seksi kematian dan pembinaan orang muda. Satu hal lain tentang perluasan gedung Gereja. Sejak paroki dibentuk, urusan kematian umat ditangani secara insidentil, mengandalkan persaudaraan dan semangat karitatif penggerak umat. Belum diatur begitu rupa, karena keterbatasan jumlah umat dan tenaga. Melihat perkembangan umat, dipandang perlu untuk menangani urusan ini agar lebih terorganisir. Pada tanggal 1 Juli 1977 dengan dukungan dari Romo Hardowidagdo disepakati pembentukan Pangrukti Loyo. Ditetapkan Pangrukti Loyo terpisah dari Dewan Gereja dan bersifat mandiri. Berlangsung sampai tahun 1988. Pada tahun itu Pangrukti Loyo ditarik dan dilebur sebagai sub seksi dalam Seksi Sosial Paroki di Dewan Gereja. Namun setelah berjalan beberapa waktu, dipandang perlu untuk meninjau kembali posisi itu. Selain karena alasan tumpang tindih kepengurusan, muncul persoalan juga terkait dengan pengelolaan anggaran. Maka pada tahun 1994 dilakukan penataan ulang yang ditangani Seksi Kematian dengan membuat Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Kendati berada dalam struktur Dewan Gereja, Pangrukti Loyo kembali diposisikan mandiri dan berdikari. Ditetapkan pada waktu itu iuran wajib Rp 500, dana sumpetan Rp. 500 dan santunan untuk umat yang meninggal Rp. 150.000,-. Perubahan iuran wajib dan santunan dilakukan lagi kemudian hari menjadi Rp. 750 untuk iuran wajib dan Rp. 250.000 untuk santunan. Bantuannya bagi keluarga yang berduka dalam bentuk perawatan, santunan, doa, dan pelayanan pemakaman, merupakan kesaksian unggul, karena secara terbuka dapat dilihat oleh siapa pun yang datang melawat setiap umat katolik yang meninggal. .............2007 ? ada perubahan menjadi Seksi DPP.........................................Dalam rangka peringatan 75 Tahun, Pangrukti Loyo melakukan pendataan ulang keanggotaan PL untuk memperjelas siapa saja yang didaftarkan untuk santunan. Terkait dengan pembinaan orang Muda, Dewan Gereja pada tahun 1978 memasukan Mudika sebagai seksi di dalam strukturnya. Dengan ini ditandai perhatian lebih serius untuk kaderisasi dan pendampingan orang muda dalam kebersamaan di paroki. Bagi paroki orang muda tidak pernah jauh. Sejak 1964 Pemuda Katolik telah menjadi wadah kreatifitas, gairah dan pengembangan diri mereka di bawah bendera Banser Salib Kuning. Namun karena posisinya sebagai Organisasi Massa, maka tidak otomatis masuk dalam struktur Dewan Gereja. Mudika merupakan wadah setempat untuk orang muda paroki. Ketua Mudika periode pertama 1978-1981 ialah FX. Suwiyadi. Dalam perkembangan selanjutnya tercatat nama-nama yang mewarisi estafet kepemimpinanya, ialah : R . Sri Pratikno ( 1981-1983 ), H. Winarno ( 1983-1984 ), Frans Harsono ( 1984-1987), Y. Sugeng Budi Raharji ( 1987-1980 ), Maria Fransiska Sudartiyani (1991-1997 ). Selama beberapa bulan pada tahun 1990-1991 sempat vakum, ketika Muji Hartono sebagai ketua terpilih pindah tugas ke Bandung. Dinamika gerak mereka sejak pembentukan pertama memperkokoh kebersamaan orang muda di paroki. ....Tahun 1985 tuan rumah Penlok Mudika se-keuskupan malang - 24 paroki (Rm Wignyo) ........Tahun 1987-1990, Mudika Bondowoso tampil sebagai tuan rumah Uskup Cup Regio Timur Keuskupan Malang. Lomba dan Pertandingan olah raga untuk memperebutkan Trophy Bapa Uskup ketika itu melibatkan Mudika dari 8 Paroki. Tahun 1991-1994 memberanikan diri menjadi penyelenggara Lomba Renang Piala Mudika tingkat Propinsi Jawa Timur, yang diselenggarakan di Kolam Renang Hotel Palm Bondowoso. Kegiatan yang skalanya lebih besar dari yang pertama. Terobosan yang tak kalah penting dirintis oleh Mudika ialah menjadi pemandu wisata bagi Mudika dari paroki lain ke Kawah Ijen atau obyek wisata sekitar Bondowoso. Dalam hubungan ini, Mudika berani mencatatkan diri sebagai perintis pertama yang memperkenalkan obyek wisata air terjun Tancak Kembar di daerah Pakem. Mudika menjadi kelompok pertama dalam jumlah besar yang mencapai tempat ini untuk tujuan wisata. Tancak kembar ketika itu belum dapat dicapai dengan kendaraan. Harus ditempuh dengan jalan kaki dari desa Kupang sejuah 10 km dengan pendakian yang terjal dan melelahkan. Pada tahun 1978 juga, Dewan Gereja bersama Romo Hadi Susanto melakukan renovasi Gedung Gereja untuk memperluas ruang duduk umat. Kamar pengakuan yang terletak di lorong pinggir kiri dan kanan dibongkar untuk perluasan masing-masing sekitar dua meter. Hasilnya cukup untuk 13 bangku tambahan di setiap sisi. Setiap bangku menampung 4 orang. Perluasan ditimbang perlu mengingat pertambahan jumlah umat yang makin meningkat pada waktu itu. Pada perayaan 60 Tahun paroki, dilakukan renovasi lagi untuk memperindah panti imam, perbaikan atap dan penambahan sayap di luar Gereja. ... HUT 70 th renovasi atap gereja dan interior gereja ....Diusulkan pula untuk menganti lantai Gereja namun tidak diijinkan oleh Uskup demi menjaga keaslian awal yang menyejarah. Sebelum nama Dewan Gereja diubah menjadi Dewan Paroki pada tahun 1982, masih ada dua riwayat penting yang patut dicatat, yaitu berdirinya Presidium Legio Maria dan pembentukan Koperasi Kredit Bina Sejahtera yang terjadi pada tahun 1979 dalam kurun yang hampir bersamaan. Dengan restu Romo Hadisusanto pastor paroki tahun 1979, sejumlah penggerak umat membentuk Presidium Legio Maria “ Maria Pintu Surga “. ... Putra Putri Maria .... Pada saat yang bersamaan juga dirintis Koperasi Kredit Bina Sejahtera yang diprakarsai oleh Delsos Keuskupan Malang. Legio Maria berkarya untuk pengudusan umat dan pemeliharaan jiwa-jiwa dengan teladan Bunda Maria. Koperasi kredit berkarya untuk peningkatan potensi usaha dan ekonomi umat. Legio Maria bertahan sampai 1986 setelah dua periode kepengurusan. Setelah vakum selama dua tahun, pada jaman Romo Irwanto, tahun 1988 dibentuk lagi sebuah presidium baru dengan nama presidium Maria Ratu Rosari yang dapat terus bertahan hingga sekarang. Koperasi kredit masih mengalami pasang surut perkembangan dan nyaris macet dalam beberapa tahun terakhir. Dua peristiwa itu memiliki arti penting sejauh dilihat sebagai proses pendewasaan dan kemandirian paroki. Berdirinya Legio Maria menyiratkan kesediaan umat untuk pelayanan membantu pastor paroki dalam pengudusan dan katekese. Selain dengan doa, pendalaman rohani dan rapat rutin setiap Sabtu, Legio juga mendapat tugas dari pastor paroki untuk melakukan kunjungan umat, membantu persiapan baptis para katekumen setiap Rabu dan menyemangati pertumbuhan stasi-stasi, terutama Stasi Pujer, Tamanan, Maesan dan Pra Stasi Pancoran dan Wringin. Buah-buah pekerjaan Legio cukup jelas. Selain menghantar sejumlah katekumen ke pembaptisan, Legio juga dapat membantu proses konvalidasi perkawinan dan pendampingan bagi yang sakit atau sedang berkesulitan melalui kunjungan-kunjungan keluarga. Dalam konteks yang lebih luas, perwira Legio Maria Bondowoso banyak andil menghidupkan kembali Kuria Maria Tak Bercela Jember yang kondisinya memprihatinkan. Dengan ketekunannya, perwira kuria tidak hanya berhasil mengaktifkan Kuria, tetapi juga berhasil mendirikan tiga presidium baru di paroki-paroki sekitar. Semuanya tidak segampang membalik tangan. Presidium Ratu Rosari beranjak dari 4 perwira dan dua anggota aktif. Pertambahan anggotanya sangat lamban. Tahun 1996 Presidium memiliki 4 perwira, 9 anggota tetap, 5 anggota percobaan, 8 anggota auxilier. Idealnya jumlah anggota auxilier harus tiga kali jumlah anggota aktif. Koperasi sebagai lembaga pemberdayaan perlu ditangani dengan sungguh-sungguh untuk dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Kemacetan yang timbul perlu ditangani sesuai prosedur yang dimiliki oleh Koperasi. Kecenderungan mencampurkan kewenangan paroki terhadap koperasi, tidak seiring dengan mekanisme internal koperasi. Tahun 1982 dilakukan perubahan nama dari Dewan Gereja menjadi Dewan Paroki. Perubahan ini sekaligus disertai penataan dalam struktur Dewan untuk meningkatkan kinerjanya. Tidak banyak catatan yang disebut berkenaan dengan perubahan ini. Dua tahun kemudian, pada tahun 1984 SDK Indra Siswa dipindahkan lokasinya dari kompleks Gereja ke Kompleks Susteran. Gedung baru yang akan digunakan telah mulai dibangun sejak dua tahun sebelumnya. Tidak ada banyak catatan juga yang dapat diperoleh dari kurun empat tahun, sampai 1988. Sekitar tahun 1988 tercatat tentang pembentukan paguyuban pegawai negeri, ABRI dan pensiunan. Paguyuban dibentuk untuk memenuhi kerinduan mereka dalam pengembangan iman. Pertemuan dijadwalkan setiap Jumat pertama di SMPK Indra Prastha. Permulaannya cukup aktif, namun seiring kesulitan yang timbul karena kesibukan, jarak tempat kerja dan perpindahan-perpindahan tugas anggota, lama kelamaan pertemuan tidak lancar. Usaha untuk membangkitkan lagi dengan pemilihan pengurus baru pada tahun 1991 belum mampu mengaktifkannya. Dalam perkembangan kemudian, paguyuban ini tetap diakomodir dalam kepengurusan Dewan Pastoral Paroki sebagai anggota pleno dengan nama Forum Medis, Forum Militer, dan Forum Guru. Sebuah peristiwa penting terjadi pada tahun 1993. Meskipun tidak dilakukan dalam satu upacara resmi, pada tahun ini dilakukan pengalihan Stasi Prajekan dari Paroki Bondowoso ke Paroki Situbondo. Stasi Prajekan mencakup wilayah di Kecamatan Tapen, Klabang, Prajekan, Botolinggo dan Cerme. Dari segi jarak tempuh, wilayah ini memang lebih dekat jika dijangkau dari Situbondo, kendari secara teritorial masuk di wilayah Kabupaten Bondowoso. Pada waktu pengalihan berlangsung jumlah umat di sini sekitar 15 KK. Selain terjadi pemangkasan luas wilayah paroki, dengan pengalihan ini juga membawa akibat pengurangan jumlah umat Paroki Bondowoso. Berlangsung pada waktu Romo Irwanto menjadi Pastor Paroki. Berdasarkan penetapan dari Kuria Keuskupan tentang pembentukan Dekenat, pada tahun 1994 Paroki masuk sebagai bagian dari Dekenat Jember bersama paroki Jember dan Situbondo. Menyusul kemudian paroki Ambulu setelah ditetapkan menjadi paroki pada tahun 2006. Dekenat mengutamakan kerjasama dan persaudaraan antar gembala paroki yang bertetangga. Dalam perkembangannya, kerjasama meningkat dalam hal kebijakan pastoral dan diperluas dengan kemitraan pengurus Dewan Paroki. Kendati masing-masing paroki tetap otonom namun dengan kerjasama di tingkat Dekenat dapat diupayakan penyelarasan berbagai reksa pastoral dan pembekalan-pembekalan bersama yang meringankan tugas masing-masing. Pada tahun 1995 Dewan Paroki mengambil keputusan untuk melepaskan Panggrukti Loyo dari struktur kepengurusan Dewan Paroki dan membuat AD-ART sebagai organisasi yang mandiri, karena berbagai alasan terkait dengan pembeayaan dan pelayanan. Perkembangan ini mencerminkan kebutuhan yang semakin kompleks dalam pelayanan seiring dengan pertambahan jumlah umat dan penyebaran umat di wilayah paroki. Perkembangan ini juga berbicara tentang upaya memandirikan umat untuk dapat saling membantu ketika ada yang mengalami kesusahan karena musibah kematian. Tidak dapat dipungkiri peran Pangrukti Loyo sebagai kesaksian luas kepada masyarakat. Semua dapat menyaksikan kebersamaan umat ketika melawat, mendoakan dan mendampingi keluarga yang berduka. NB. Belum tersedia data dari periode 1995 sampai 2010 Rekam Jejak Dinamika Persekutuan Teritorial dan Kategorial Penuturan kronologis terdahulu belum memberikan ulasan cukup untuk menggambarkan dinamika Wilayah, Lingkungan dan Stasi serta kelompok-kelompok kategorial yang ada di Paroki. Kekurangan itu hendak dijawab dengan menampilkan rekam jejak perkembangan kedua jenis persekutuan itu pada bagian ini. Dinamika Wilayah, Lingkungan dan Stasi. Pada waktu perayaan Ulang Tahun ke 75, Paroki baru saja melakukan tata ulang pembagian wilayah Lingkungan, yang sejak 1971 belum pernah dirombak. Beberapa Lingkungan ternyata wilayahnya sangat luas dan sudah gemuk. Pada tahap pertama tahun 2006 dilakukan pemekaran Lingkungan de Brito menjadi dua. Lingkungan yang baru diberi nama St. Anastasia. Tahap kedua pada tahun 2009 ditata kembali dengan dasar Anggaran Rumah Tangga Dewan Pastoral Paroki yang telah selesai disusun. Penataan yang baru, Paroki dibagi menjadi 4 Wilayah, 8 Lingkungan dan 4 Stasi. Keseluruhannya mencakup hampir sebagian besar Kabupaten Bondowoso, kecuali kecamatan Tapen, Klabang, Prajekan, Botolingo dan Cerme yang sejak tahun 1993 diserahkan sebagai stasi Situbondo. Selain untuk tujuan menghidupkan komunitas basis, pembagian secara teritorial ini juga merupakan pembagian tuntas untuk menampung setiap umat katolik dalam reksa pelayanan yang jelas. Dengan pembagian teritorial, tiada seorang umat pun yang tidak masuk dalam persekutuan. 1. Wilayah Matius Pesta Nama : 21 September Anggota : Lingkungan Baptista dan Elisabeth Lingkungan Baptista Pesta Nama : 24 Juni Riwayat : Dibentuk 1971. Semula bernama Yohanes Evangelista kemudian diganti menjadi St. Yohanes Baptista, atas usulan Romo Puspo, supaya jangan sama dengan nama pelindung paroki. Area : Kota Kulon, Sekarputih, Karanganyar, Tegalampel, Pejanten Ketua : RB. Soekadji (Alm), Ibu Mohani (Alm), FX. Suwiyadi (Alm ), Ibu Elly Hariyanto, Ibu Vinarsih Wignyo Bahari, Ibu MR. Darti, Bp. Gatot Suprihantono, Bp. Mulyadi. Potensi : PKMB, Makam dan Krematorium Sekarputih, Makam Ki Ronggo, RS Bayangkara, GKI, Gereja Batu Karang, Vihara Budha, Pendopo Pemkab, Radio Romantika, Radio Fiska Rama ?, Radio Mahardika. Statistik : .............KK, ........... Jiwa Lingkungan Elisabeth Pesta Nama : 31 Mei Riwayat : Hasil pemekaran dari Lingkungan Yohanes Baptista, 2009 Area : Blindungan Timur, Kademangan, Sebagian Pejanten, Tenggarang dan Bataan. Ketua : Dominico Savio Potensi : Asrama Brimob, Kampung Arab, Taman Krocok, Pondok Pesantren Statistik : ........... KK .............. Jiwa 2. Wilayah Markus Pesta Nama : 25 April Anggota : Lingkungan Theresia dan Antonius Lingkungan Theresia Pesta nama : 1 Oktober Riwayat : Dibentuk sejak 1971. Dimekarkan menjadi dua pada tahun 2009. Lingkungan baru diberi nama Antonius. Area : Sebagian dari Dabasah sekitar Jl. PB. Sudirman, Jl. RE Martadinata dan Barat Pasar Ketua : Ibu Giri, Bp. Mochtar, Bp. Winarso, Ibu Mulyono, Bp. Yoseph, Ibu Lukito, Bp. Irwanto, Bp. Johni Hidayat, Ibu Ling. Potensi : Kawasan Bisnis, Gedung Penjara, Pasar Induk, Lingkungan Antonius Pesta Nama : 13 Juni Riwayat : Hasil pemekaran dari Lingkungan Theresia, sejak 2009 Area : Sebagian dari Dabasah, Sebagian Tamansari, Sebagian Kademangan Ketua : Primus Segu Potensi : Susteran SPM, TKK Indra Rini, SDK Indra Siswa, Polres, Stasiun, Terminal Bus, RS Islam, GPIB, Pentakosta, Pastori GKI, Radio Rama FM 3. Wilayah Lukas Pesta Nama : 18 Oktober Anggota : Lingkungan de Brito dan Anastasia Lingkungan de Brito Pesta Nama : 4 Februari Riwayat : Dibentuk sejak 1971. Dimekarkan menjadi dua pada tahun 2009 Lingkungan yang baru diberi nama Anastasia Area : Sebagian dari Dabasah dan Tamansari Ketua : Emmanuel Suprapto, Seno Prayitno, Ibu Agustin, Ibu Amin Santoso, Antoni Balun Potensi : Pondok Pesantren, Lingkungan Anastasia Pesta Nama : ............. Riwayat : Hasil pemekaran dari Lingkungan de Brito, pada tahun 2009 Area : Sebagian Tamansari dan Koncer Kidul Ketua : Tedjo Santoso Potensi : Kantor Diknas, Pengadilan Agama 4. Wilayah Yoseph Pesta nama : 19 Maret Anggota : Lingkungan Yoakhim dan Anna Lingkungan Yoakhim Pesta Nama : 26 Juli Riwayat : Dibentuk sejak 1971 Dimekarkan menjadi dua pada tahun 2006. Lingkungan yang baru diberi nama Lingkungan Anna Area : Badean, Kota Kulon, Curah Dami. Ketua : Bp. Robertus Artanto, Ibu Titik Pramono, Bp. Fx. Suyadi Petrus Suhartoyo, Bp. P. Y. Sudarminto, Novan, Roni. Potensi : Gereja Paroki, Pastoran, SMPK Indra Prastha, Pemakaman Katolik Selokambang, RSUD dr. Kusnadi, RS Kusuma Bakti, Radio Citra, Lingkungan St. Anna Pesta Nama : 26 Juli Riwayat : Hasil pemekaran Lingkungan Yoakhim, tahun 2006 Area : Petung, Nangkaan, Sukawiryo, Kembang, Pancoran, Ketua : Bp. Hermanus Kau, Bp. J. Haryono Potensi : Asrama Yonif Reider 514, Kawasan Perumahan Baru 5. Stasi WWSS Pelindung : St. Theresia Pesta Nama : 1 Oktober Riwayat : 1975 terdapat 4 keluarga guru di Wonosari yang sering ditarik-tarik Gereja Kristen. Kemudian mulai dilayani oleh Romo. Berkembang ke Sukosari dan Sumber Wringin. Kristen. Kapel dibangun 2002 dari swadaya umat. HUT Kapel : 19 Januari 2002 Area : Wonosari, Wonokerto, Sukosari, Sumber Wringin Ketua : Hardianto, Laya, Yustinus, Ibu Hardianto. Potensi : Perkebunan Kopi, Polowijo, Jalur ke Ijen. 6. Stasi Pujer Pelindung : St. Paulus Pesta Nama : 29 Juni Area : Pujer, Pakisan, Kembang, Tlogosari Tempat Misa : Rumah umat bergiliran Ketua : 7. Stasi Tamanan Pelindung : St. Maria Ratu Rosari Pesta Nama : 7 Oktober Area : Grujugan, Tamanan, Tempat Misa : Rumah Umat Bergantian Ketua : 8. Stasi Maesan Pelindung : St. Yakobus Pesta Nama : 3 Mei Area : Maesan, Suger Lor, Dadapan Tempat Misa : Rumah Umat Bergantian Ketua : ..... Kelompok Kategorial Di Paroki 1. Legio Maria Presidium Legio Maria pertama di Bondowoso didirikan pada tahun 1979 atas bimbingan Romo Hadisusanto dengan nama Presidium Maria Pintu Surga. Setelah mengalami pergantian pengurus dua kali dan bertahan selama tujuh tahun, presidium beku pada tahun 1986. Berkat dukungan Romo Irwanto pada tahun 1988 dibentuk kembali presidium baru dengan nama Presidium Maria Ratu Rosari yang bertahan sampai saat ini. Presidium Maria Ratu Rosari mengawali langkah hanya dengan 4 perwira dan dua anggota aktif. Tambahan jumlah anggota lamban. Pada tahun 1996 Presidium memiliki 4 perwira, 9 anggota tetap, 5 anggota percobaan, 8 anggota auxilier. Idealnya jumlah anggota auxilier harus tiga kali jumlah anggota aktif. Kegiatan kerasulan presidium di paroki meliputi rapat rutin setiap Sabtu sore setelah misa kudus, kunjungan legioner kepada umat, pendampingan katekumen setiap Rabu dan kunjungan ke stasi. Dalam mengemban tugas-tugas itu, Presidium Ratu Rosari proses konvalidasi perkawinan, merintis pembentukan Stasi St. Paulus Pujer, Tamanan, Maesan, Pra Stasi Poncoran dan Wringin; serta memelopori kemajuan Kuria Maria Tak Bercela Jember yang kondisinya selama satu dasawarsa memprihatinkan. Bersama para perwira Presidium Maria Penolong Orang Kristen Jember, Presidium Maria Ratu Rosari Bondowoso diwakili dua perwiranya selama dua periode membangun kembali Kuria Jember dan berhasil membentuk tiga presidium di paroki-paroki sekitar. WKRI Cabang Santo Yohanes Penginjil Bondowoso Seperti telah disebut dalam kronologi, pada waktu dibentuk pertama kali tahun 1960 bersama Romo Kortink, WKRI memiliki 20 anggota. Ketua ibu Brojo Marsuto, Sekretaris Ibu Soekadji. Dari awal berdirinya, WKRI langsung bergabung dengan Gerakan Organisasi Wanita Kabupaten Bondowoso. Ibu Soekadji sebagai perwakilan WKRI beberapa periode aktif dalam kepengurusannya. Ketika timbul peristiwa G 30 S / PKI, WKRI bergabung dalam Front Pancasila menentang komunis. Peran aktif WKRI dalam GOW antara lain dalam bentuk partisipasi dalam setiap peringatan hari besar Nasional di Kabupaten Bondowoso, bakti sosial bencana alam, pembinaan hidup keluarga dan pemberdayaan perempuan dalam berbagai bidang. Dalam rangka pemberdayaan perempuan, selama satu dasawarsa lebih WKRI menyelenggarakan kursus ketrampilan menjahit setiap Selasa dan Kamis di aula SMPK Indra Prasta. Kursus diikuti peserta dari berbagai kalangan, baik yang beragama Katolik, Kristen maupun Muslimah. Kursus kemudian terhenti setelah beberapa periode pergantian pengurus. Daftar Ketua WKRI Cabang Bondowoso Sejak 1960 1960 - 1964 Ny. Brodjo Marsono 1964 - 1971 Ny. Soekadji 1971 - 1973 Ny. Yaya da Silva / Ny. Tahar 1973 - 1976 Ny. Robert 1976 - 1981 Ny. Soekadji 1981 - 1984 Ny. Hartono 1984 - 1987 Ny. Soekadji 1987 - 1993 Ny. Sony Sandra 1993 - 1996 Ny. Adi Triyogo Misdinar atau Putra Altar Misdinar bertugas membatu imam dalam perayaan Liturgi. Namun kelompok ini sekaligus juga menjadi ajang organisasi bagi remaja di paroki. Pendampingan bagi misdinar yang dilakukan di paroki selama ini menekankan beberapa aspek hidup iman yang penting dikembangkan di kalangan remaja. Pertama-tama berkaitan dengan penghayatan liturgi. Selain belajar memahami seluk beluk Liturgi, dalam kelompok misdinar juga diwujudkan penghayatan pelayanan altar yang menuntut kesesuaian sikap hati, sikap badan, busana dan tindakan-tindakan ritual yang khas dalam tradisi Katolik. Kedua dalam hal kepribadian. Misdinar memberi kesempatan kepada remaja untuk percaya diri dan berani tampil di depan umum dengan melaksanaan tugas-tugas pelayanan altar. Kesaksian yang dituntut dalam hal ini ialah kesesuaian antara perilaku sehari-hari dengan tugas mulia yang harus mereka laksanakan di depan umat yang hendak berdoa. Sebuah tanggungjawab besar yang tidak cukup tersedia dalam kegiatan lain. Ketiga dalam hal organisasi. Misdinar harus belajar disiplin dan mematuhi tugas-tugas yang dijadwalkan bagi dirinya. Tidak hanya perlu tepat waktu, tetapi juga mempersiapkan tugas dengan latihan-latihan yang memerlukan pengorbanan waktu dan tenaga. Di balik semua itu dalam misdinar tersimpan pula potensi-potensi untuk pertumbuhan benih panggilan menjadi imam, biarawan dan biarawati. Kita harus meyakini Roh Kudus bekerja dalam diri anak-anak remaja kita yang setia dan tekun mengemban tugas ini. Mudika Paroki Dalam penuturan kronologis telah disebutkan pada tahun 1978, Dewan Paroki telah mencantumkan pembinaan orang muda dalam struktur kepengurusan. Hal ini menandai harapan besar dari paroki terhadap orang muda untuk membangun hidup gereja sesuai dengan usia dan kemampuan yang ada pada mereka. Perkembangan yang terjadi selama ini tampaknya selalu terbentur dengan kesulitan untuk menghimpun mereka dan mempertahankan kesinambungan dalam proses pendampingan. Menghadapi persoalan ini kiranya kita harus terbuka dalam memandang dinamika orang muda. Selain menyangkut tahap perkembangan kepribadian, orang muda paroki akan selalu menyebar ke berbagai kota untuk menuntut ilmu. Orang muda sekarang juga lahir di tengah akar budaya global dan terserap dalam berbagai komunitas sebaya yang marak karena hobby, minat khusus dan berbagai nilai pemersatu lainnya. Paroki perlu mempersiapkan tenaga pendamping dalam bentuk tim dan menyiapkan perencanaan pendampingan yang kreatif, inspiratif dan edukatif. Dengan sendirinya orang muda akan berhimpun ketika menemukan lingkungan bertemu yang sesuai citarasa mereka. Orang muda memiliki potensi yang sangat besar berapa pun jumlahnya untuk membangun hidup gereja pada usia mereka dan untuk mempersiapkan mereka menjadi penggerak umat di kemudian hari. Sarana-sarana yang telah disediakan perlu dipelihara dengan baik agar dapat awet dan dapat diwariskan kepada generasi berikut. Satu solusi lain yang penting, mengupayakan pendampingan sejak usia dini dan remaja secara berkesinambungan, sehingga dapat tumbuh kesetiakawanan, kreativitas dan loyalitas di antara mereka. Ketika orang muda kita kemudian menyebar ke berbagai tempat, buahnya tetap dapat dipetik dengan melihat peran aktif mereka di tempat yang baru karena telah memiliki bekal cukup untuk menggerakkan paguyuban yang mereka miliki. TKK Indra Rini Perintisan TKK di Bondowoso oleh Pater Viester pada tahun 1940 menyimpan satu harapan agar pendidikan usia dini ini dapat menjadi jembatan yang mendekatkan misi pada orang tua dan masyarakat, disamping untuk tujuan edukasi, katekese dan pemberdayaan masyarakat. Setelah pengelolaan dialihkan dari Yayasan Karmel kepada para Suster SPM pada tahun 1957, bersama pembina TKK, para suster SPM berjuang untuk menyiapkan anak-anak memiliki keunggulan kompetitif dan semangat pelayanan prima. Semangat yang diutamakan ialah perhatian terhadap teman yang miskin, pengembangan kreativitas dan kemandirian, kedisiplinan, peduli lingkungan dan kesejahteraan mental spiritual. Bagi Gereja dan masyarakat, semangat dan perjuangan ini tentu menjadi berkat yang patut selalu disyukuri karena nilai-nilai diserap anak didik sekaligus menjadi nilai-nilai yang diharapkan dapat tumbuh dalam hidup iman Gereja. Adapun para suster dan kepala sekolah yang pernah berkarya di TKK Indra Rini antara lain : 1. Sr. M.Plasida SPM 1957 - 1970 2. Sr. M.Agusta SPM 1970 - 1974 3. Sr. M.Lusiana SPM 1974 - 1978 4. Sr. M.Martha SPM 1978 - 1982 5. Sr. M. Yustina SPM 1962 - 1986 6. Sr. M. Bernardine SPM 1986 - 1987 7. Sr. M. Helena SPM 1987 - 1993 8. Sr. M. Ignatia SPM 1993 - 1996 9. Sr. M. Serafine SPM 1996 - 2001 10. Sr. Martha SPM 2001 - 2004 11. Sr. M. Chrispina SPM 2004 - 2007 12. Sr. M. Patricia SPM 2007 - 2008 13. Ibu Theresia Susanti 2008 – 2011 SDK Indra Siswa Pendidikan dasar yang dipersembahkan oleh Para Suster SPM bagi siswa-siswi SDK Indra Siswa merupakan landasan penting bagi masa depan mereka sebagai pribadi dan warga masyarakat, termasuk juga sebagai umat beriman di paroki. Meskipun semakin berat mengelola pendidikan dasar yang makin kompetitif dalam perkembangan dewasa ini, namun berkat kesetiaan dan ketekunan para guru dan suster SPM, Gereja dapat memetik banyak buahnya, antara lain peran serta para guru dan suster dalam dinamika umat lingkungan dan paroki, peran anak-anak dalam misdinar dan tugas-tugas liturgi, serta kesaksian mereka sebagai anak-anak yang terdidik secara katolik di tengah keluarga dan kerabat serta masyarakat. SDK Indra Siswa pada mulai tahun 2007 mengemban tugas dari Pemerintah Propinsi Jawa Timur menjadi Sekolah Kader Adiwita karena memiliki lingkungan sekolah yang sehat dan peduli terhadap lingkungan hidup. Selain menjadi kesaksian nyata bagi masyarakat, peran duta ini selaras dengan harapan Gereja menanamkan nilai-nilai luhur Sabda Tuhan dalam keseharian setiap orang. Apresiasi terhadap potensi siswa terkait dengan peran kader adiwita diwujudkan dengan memberi kesempatan untuk pengembangan diri melalui kegiatan seni, olah raga, keunggulan komunikasi yang bernafaskan semangat kembali ke alam. Diharapkan dengan upaya ini setiap peserta didik dapat memperoleh pendampingan menjadi anak yang tumbuh secara utuh, cerdas dan trampil. Dalam perkembangan, perannya kemudian tidak terbatas hanya di lingkungan Sekolah, tetapi merambah kepada masyarakat di kelurahan Dabasah dan Badean dengan program pengelolaan kompos dan lingkungan hijau. SDK Indra Siswa berdiri di garis depan untuk menjawab tanda-tanda jaman yang menonjol dewasa ini. Seluruh kemajuan itu tak lepas dari kesinambungan karya dan peran serta pembina dan para suster yang pernah berkarya memimpin sekolah ini dari permulaan dahulu sampai sekarang. 1. Sr. M. Catarina 1957 - 1970 2. Sr. M. Serafine 1970 - 1971 3. Sr. M. Anna Maria 1971 - 1972 4. Sr. M. Catarina 1972 - 1975 5. Sr. M. Anastasia 1975 - 1977 6. Sr. M. Christine 1977 - 1983 7 Sr. M. Petra 1983 - 1984 8 Sr. M. Immaculata 1984 - 1985 9 Sr. M. Veronica 1985 - 1988 10 Sr. M. Stefany 1988 - 1991 11 Sr. M. Prisca 1991 - 1994 12 Sr. M. Theresiana 1994 - 1997 13. Sr. M. Edhita 1997 - 1999 14. Sr. M. Cornelia 1999 - 2001 15. Ibu Nanik Dwiarti 2001 - 2007 16. Sr. M. Marcella 2007 – 2011 Pastor Bondowoso 1936-2011 Mth. Hendrik, O.Carm Oktober 1936 - November 1937 Pastor Paroki St. Mulder, O.Carm November 1937 - Juli 1938 Ass. dr Jember Petrus Staarman, O.Carm Desember 1937 - September 1938 Pastor Paroki Ch. H. W. Viester, O.Carm Februari 1939 - November 1939 Pastor Paroki Mgr. Albers, O.carm November 1939 - Desember 1939 Ass. dr Malang Ch. H. W. Viester, O.Carm Januari 1940 - November 1942 Pastor Paroki TIDAK ADA PASTOR TETAP Desember 1942 - Maret 1943 Jaman Jepang T. V. D. Henk, O.Carm Maret 1943 - Mei 1943 Ass. dr Malang TIDAK ADA PASTOR TETAP Mei 1943 - September 1945 Jaman Jepang T. Singgih, O.Carm September 1945 - Maret 1947 Pastor Paroki TIDAK ADA PASTOR TETAP Maret 1947 - Agustus 1947 Arnoldus Van Hutten, O.Carm September 1947 - September 1948 Pastor Paroki Norbertus Ten Kroode, O.Carm September 1948 - Agustus 1950 Pastor Paroki Ch. H. W. Viester, O.Carm Oktober 1950 - September 1951 Pastor Paroki Benedictus Soegiartono,O.Carm September 1951 - Oktober 1951 Ass. dr Jember Ch. H. W. Viester, O.Carm September 1951 - Oktober 1951 Ass. dr Jember Cajetanus Borggreve, O.Carm Januari 1952 - April 1952 Ass. dr Malang Ch. H. W. Viester, O.Carm Mei 1952 - April 1953 Pastor Paroki G. J. Demmer, O.Carm April 1953 - Juni 1953 Ass. dr Jember Ch. H. W. Viester, O.Carm Juni 1953 - Oktober 1955 Pastor Paroki Quirinus Kramer, O.Carm Oktober 1955 - maret 1957 Ass. dr Malang TIDAK ADA PASTOR TETAP Maret 1957 - Mei 1957 Quirinus Kramer, O.Carm Juni 1957 - Desember 1957 Ass. dr Malang Norbertus Ten Kroode, O.Carm Januari 1958 - Desember 1958 Ass. dr Malang Quirinus Kramer, O.Carm Januari 1958 - Desember 1958 Pastor Paroki H. G. Kortink, O.Carm Mei 1959 - September 1960 Pastor Paroki G.J. Demmer, O.Carm September 1960 - Oktober 1960 Ass. dr Jember H. G. Kortink, O.Carm November 1960 - Mei 1963 Pastor Paroki Fr. CH. G. Orte, O.Carm Juni 1963 - Agustus 1963 Ass. dr Malang Quirinus Kramer, O.Carm Agustus 1963 - Desember 1963 Ass. dr Jember J. Mulder, O.Carm Desember 1963 - Januari 1964 Ass. dr Malang G. J. Demmer, O.Carm Januari 1964 - Juni 1965 Pastor Paroki H. G. Kortink, O.Carm Juli 1965 - september 1965 Ass. dr Jember J. Demmer, O.Carm Oktober 1965 - Juli 1966 G. Ass. dr Jember Yoh. Ig. Sosrowardojo, O.Carm Agustus 1966 - Oktober 1969 Pastor Paroki R. S. Djojopoestoko, O.Carm November 1966 - April 1971 Pastor Paroki Yoseph Kachmadi, O.Carm Mei 1971 - Agustus 1976 Pastor Paroki Alb. Hardo Widagdo, O.Carm November 1976 - Februari 1978 Pastor Paroki R. A. Hadisusanto, O.Carm Maret 1978 - Maret 1983 Pastor Paroki ASP. Poespowardjojo, O.Carm Maret 1983 - Juli 1985 Pastor Paroki Vincentius Suharjana, O.Carm Juli 1985 - Juli 1988 Pastor Paroki I. C. Irwanto, Pr Juli 1988 - Juli 1993 Pastor Paroki Blasius Tira, Pr September1991-Juli1997,1993 Pastor Paroki Winuryanto, Pr Oktober 1992 - Oktober 1995 P. Pembantu A. Benny Susetyo, Pr Oktober 1995 - Oktober 1998 P. Pembantu B. Hudiono, Pr Agustus 1997 - Maret 1998 Pastor Paroki Paulus Suwito, Pr September 1998 - Maret 2003 Pastor Paroki D. Fadjar Tedjo Soekarno, Pr Sept 1998 -Feb 2006, 2003 Pastor Paroki B. Winuryanto, Pr Februari 2006 - April 2006 Ass. Situbondo M. Gunawan Wibisono, O.Carm April 2006 - Agustus 2007 Pastor Paroki Andreas Yudhi wiyadi, O.Carm Agustus 2007 - April 2008 Pastor Paroki Antonius Wahyu Anggono,O.Carm April 2008 - Desember 2010 Pastor Paroki Julius Agus Purnomo, Pr Desember 2010 - Sekarang Pastor Paroki Andreas Adi Prasetyo, Pr Desember 2010 – Sekarang P. Pembantu Rekap Jumlah Pastor 1. Mth. Hendrik, O.Carm Okt 1936 - Nov 1937 Pastor Paroki 2. St. Mulder, O.Carm Nov 1937 - Juli 1938 Ass. dr Jember 3. Petrus Staarman, O.Carm Des 1937 - Sep 1938 Pastor Paroki 4. Ch. H. W. Viester, O.Carm Feb 1939 – Nov 1939 Pastor Paroki Okt 1950 - Okt 1955 5. T. V. D. Henk, O.Carm Mar 1943 - Mei 1943 Ass. dr Malang 6. T. Singgih, O.Carm Sep 1945 – Mar 1947 Pastor Paroki 7. Arnoldus Van Hutten, O.Carm Sep 1947 - Sep 1948 Pastor Paroki 8. Norbertus Ten Kroode, O.Carm Sep 1948 - Agt 1950 Pastor Paroki Jan 1958 - Des 1958 9. Benedictus Soegiartono,O.Carm Sep 1951 - Okt 1951 Ass. dr Jember 10. Cajetanus Borggreve, O.Carm Jan 1952 - Apr 1952 Ass. dr Malang 11. G. J. Demmer, O.Carm Apr 1953 – Jun 1953 Ass. dr Jember Sep 1960 – Okt 1960 12. Quirinus Kramer, O.Carm Okt 1955 - Mar 1957 Ass. dr Malang Jan 1958 - Des 1958 Agt 1963 - Des 1963 13. H. G. Kortink, O.Carm Mei 1959 - Sep 1960 Pastor Paroki Jul 1965 - Sep 1965 14. Fr. CH. G. Orte, O.Carm Jun 1963 - Agt 1963 Ass. dr Malang 15. J. Mulder, O.Carm Des 1963 - Jan 1964 Ass. dr Malang 16. Yoh. Ig. Sosrowardojo, O.Carm Agt1966 - Okt1969 Pastor Paroki 17. R. S. Djojopoestoko, O.Carm Nov1966 - Apr1971 Pastor Paroki 18. Yoseph Kachmadi, O.Carm Mei 1971 - Agt 1976 Pastor Paroki 19. Alb. Hardo Widagdo, O.Carm Nov 1976 - Feb 1978 Pastor Paroki 20. R. A. Hadisusanto, O.Carm Mar 1978 - Mar 1983 Pastor Paroki 21. ASP. Poespowardjojo, O.Carm Mar 1983 - Jul 1985 Pastor Paroki 22. Vincentius Suharjana, O.Carm Jul 1985 - Jul 1988 Pastor Paroki 23. I. C. Irwanto, Pr Jul 1988 - Jul 1993 Pastor Paroki 24. Blasius Tira, Pr Sep1991-Jul1997,1993 Pastor Paroki 25. Winuryanto, Pr Okt 1992 - Okt 1995 P. Pembantu 26. A. Benny Susetyo, Pr Okt 1995 - Okt 1998 P. Pembantu 27. B. Hudiono, Pr Agt 1997 - Mar 1998 Pastor Paroki 28. Paulus Suwito, Pr Sep 1998 - Mar 2003 Pastor Paroki 29. D. Fadjar Tedjo Soekarno, Pr Sep1998-Feb2006, 2003 Pastor Paroki 30. M. Gunawan Wibisono, O.Carm Apr 2006 - Agt 2007 Pastor Paroki 31. Andreas Yudhi wiyadi, O.Carm Agt 2007 - Apr 2008 Pastor Paroki 32. Antonius Wahyu Anggono,O.Carm Apr 2008 - Des 2010 Pastor Paroki 33. Julius Agus Purnomo, Pr Des 2010 - Sekarang Pastor Paroki 34. Andreas Adi Prasetyo, Pr Des 2010 – Sekarang P. Pembantu Sumber : http://75sejarah.blogspot.com/

baca selanjutnya...

Kamis, 23 Februari 2012

Sejarah Keuskupan Malang

Sejarah

Keuskupan Malang muncul dalam sejarah, terikat dalam ruang dan waktu. Keuskupan Malang berada dalam konteks pertemuan Gereja Katolik dengan bangsa, suku, budaya, keadaan sosial-politik-ekonomi wilayah teritorial yang mencakup eks karesidenan Malang, Besuki. Sebagai Paguyuban Umat Allah terbuka dan memasyarakat, Gereja Katolik Keuskupan Malang perlu memiliki kepekaan terhadap kebutuhan masyarakat di sini, untuk masa sekarang dan masa mendatang.

Rintisan jalan Kerajaan Allah di bagian timur Jawa sudah dimulai pada tahun 1580, ketika kapal bangsa Portugis karena badai berlabuh di Panarukan. Tidak jelas apakah waktu itu sudah ada usaha pewartaan, sebab kunjungan bangsa Portugis yang membawa Pastor Bernardino Ferrari singkat saja. Mereka meninggalkan Panarukan dan berlayar ke Maluku. Beberapa tahun kemudian Romo-romo dari Ordo Dominikan mencoba berkarya menyebarkan Injil di antara Panarukan dan Banyuwangi. Tercatat nama-nama Romo Emmanuele, Pascuale, Pietro dan Giorgio. Tidak ada keterangan, mengenai hasil karya Ordo Dominikan di abad 16 itu, hingga kabarnya mereka ditarik ke Malaka, meninggalkan salah seorang yaitu Pascuale sebagai martir.

Serikat Jesus (SJ), 1800 – 1923

Sejak permulaan 1800-an Romo-romo Serikat Yesus mulai berkarya di Surabaya (Romo H. Waanders, 1810). Mereka berusaha mengunjungi daerah-daerah utara, antara lain Pasuruan. Kronik Sejarah Misi mencatat kedatangan Romo Van der Elzen SJ dan Romo Palinckx SJ, pada tahun 1850 dan seorang awam, A.M. Anthonijsz pada 1895 menyumbangkan sebuah gereja kecil yang hingga sekarang masih dipakai, Gereja St. Antonius Pasuruan. Romo G. Jonckbloet SJ merupakan misionaris pertama yang mengolah Malang sebagai ladang Tuhan sejak 1896. Ia membuka paroki Malang yang berkedudukan di Kayutangan, 2 Juli 1896, dan mendirikan Gereja Hati Kudus. Dari sini gerakan misi merembes ke Lawang, tempat sebuah gereja pembantu didirikan pada 1915. Pada tahun 1900 Ordo Suster-suster (OSU) membangun rumah biara di Celaket, Malang, dan membuka sekolah (Cor Jesu) yang sampai saat ini masih bekerja. Karya para romo Serikat Jesus diakui sebagai fondasi misi di Malang, yang terentang antara Gereja Hati Kudus Kayutangan, Lawang, dan Gereja Antonius-Pasuruan. Dari 1896 hingga1923 tersebut pula nama Romo Van Meurs SJ, Romo Opdenkamp SJ, Romo Van Meerwijk, dan Romo Korndorffer SJ.

Ordo Karmel (O, Carm), mulai 1923

Romo-romo Karmelit masuk Malang pada tahun 1923. Di aula sekolah Ursulin, Celaket, suatu resepsi penyambutan kedatangan Romo Sondaal, O. Carm, Romo Fisscher, O. Carm dan Romo Van den Hewrd, O. Carm, diadakan pada 4 Juni 1923. Merekalah yang melanjutkan karya Romo-romo Serikat Jesus yang ditarik ke Batavia (Jakarta) dan Jawa Tengah, menebar benih Kerajaan Allah, resminya pada 1 Agustus 1923. Dari poros Kayutangan, Lawang, Pasuruan selanjutnya Romo Van der Pas, O. Carm, Romo Henckens, O. Carm dan Brenkel, O. Carm bergerak ke seluruh wilayah Residen Malang (waktu itu), antara lain mendirikan gereja Probolinggo (1924), gereja Balearjosari di malang selatan atas bantuan Bapak Blijdenstein, administratur kebun wilayah itu (1925). Romo Van der Pas bahkan menyeberang dari Probolinggo ke Madura (Sumenep) pada tahun 1927. Sementara itu terjadi gelombang perpindahan penduduk dari Kalibawang, Kulonprogo, Boro Jawa Tengah ke perkebunan-perkebunan sepanjang pantai selatan Jawa-Timur. Di antara mereka adalah orang-orang Katolik generasi pertama yang dibaptis sejak 1904. Umat awam ini ikut serta menebarkan benih Kerajaan Allah ditempat-tempat baru seperti Sumberjati dan Glagahagoeng, selatan kota Banyuwangi, dan Sukoreno (antara Lumajang-Jember), menyiapkan lahan bagi karya misi di wilayah ujung timur Jawa yang waktu itu termasuk kekuasaan adminiitrasi Residen Besuki.

PERFEKTUR APOSTOLIK

Pada bulan April 1927 secara administrasi status wilayah Misi Malang diubah menjadi Prefektur Apostolik. Dengan perubahan status ini segala kegiatan penyebaran dan pengembangan iman katolik dilepaskan dari tanggungjawab Gereja Katolik Belanda dan diambil alih oleh Vatikan, Roma. Romo Clemens vander Pas, O. Carm ditunjuk menjadi pemimpin ditempat setara uskup (prefek), diteguhkan dengan tahbisan oleh Mgr APF Van Velzen SJ, Uskup Jakarta (Batavia). Peristiwa itu dianggap titik tolak keberadaan Keuskupan Malang.

Garis Besar Lintas Sejarah:

* 1534 Awal resmi misi Indonesia: Pembaptisan orang pribumi pertama di Moro, Halmahera Utara. Abad XVII-XVIII Penghambatan karya misi katolik oleh Veregnigde Oost-Indische Compagnie. 1580 Kapal Portugis berlabuh di Panarukan, Situbondo karena badai.
* 1807 Gereja Katolik diperkenankan melaksanakan karya misi lagi oleh raja Lodewijk Napoleon. Prefektur Apostolik Batavia didirikan.
* 1826 Seluruh Hindia Belanda ditempatkan dibawah yurisdiksi Prefek Apostolik Batavia oleh Konggregasi Penyebaran Iman.
* 1842 Prefektur Apostolik Batavia diangkat menjadi Vikariat Apostolik Batavia.
* 1859 Serikat Yesus melayani seluruh Hindia Belanda.
* 1895 Gereja St. Antonius, Pasuruan.
* 1897 Gereja Hati Kudus Yesus, Kayutangan, Malang
* 1900 Serikat Yesus memusatkan karyanya di pulau Jawa, tetapi masih berkarya di Nusa Tenggara, khususnya Flores dan Timor, sampai kawasan ini diambil alih oleh SVD tahun 1914.
* 1902 Awal penyempitan wilayah Vikariat Apostolik Batavia dan pembagian wilayah-wilayah yang kemudian menjadi keuskupan-keuskupan di Indonesia.

Perjalanan sejarah gereja Katolik Jawa Timur melalui:

a. Gelombang masuknya para pengusaha perkebunan tebu, teh, kopi, tembakau, cokelat di wilayah Jawa Timur. Salah satu pimpinan pabrik gula membuka stasi di daerah Malang bagian Selatan dan mempekerjakan orang-orang Katolik dari Kalibawang, daerah lumajang dan Banyuwangi. Stasi yang berkembang antara lain Sukoreno, Curahjati.Mereka didatangkan dari kalibawang pada tahun 1924.

b. Guru-guru dari Muntilan dan Ambarawa datang ke kota Malang dan kota-kota lain dengan prioritas perhatian pada pendidikan putra-putri pribumi, Tionghoa dan pendatang dari Eropa.

c. Para pedagang Tionghoa yang cukup mewarnai paroki di kota.
* 01-08-1923 Penyerahan dari misi di Malang Serikat Jesus ke Ordo Karmel
* 27-04-1927 Prefektur Apostolik Malang.
* 15-03-1939 Vikariat Apostolik Malang.
* 03-01-1961 Dari Constitutio apostolica ’quod Christus’ Paus Yohanes XXIII Vikariat Apostolik Malang menjadi Keuskupan Malang
* 24-27 JULI 2002 Sinode Keuskupan Malang

REFLEKSI SINODE KEUSKUPAN MALANG ATAS SEJARAH

1. SECARA KONTEKSTUAL MENYATU DENGAN MASYARAKAT.
’Katolik’ berarti ’ universal’, artinya tak terikat pada budaya tertentu, melainkan bersedia diperkaya dan memperkaya lingkungannya, bahkan menyatu dengan masyarakat setempat. Adapun lingkungan Indonesia pada umumnya dan wilayah Keuskupan Malang pada khususnya bercirikan kemajemukan. Antara lain, terdapat aneka suku bangsa serta kebudayaannya, aneka agama dan aliran kepercayaan, aneka lapisan masyarakat. Gereja memahami diri sebagai sakramen, artinya sebagai tanda dan sarana keselamatan seluruh umat manusia (bdk. LG 1).

2. MAKIN PEKA TERHADAP KEBUTUHAN MASYARAKAT.
Keuskupan Malang adalah Gereja partikular, Umat Allah yang terbuka bagi lingkungannya dan berupaya memasyarakat sekarang dan di sini, antara lain dengan meningkatkan kepekaannnya terhadap kebutuhan dasar masyarakat.

3. PERANSERTA KEUSKUPAN MALANG DALAM UPAYA MENCERDASKAN BANGSA.
Sejak awal dengan karya persekolahannya Gereja berperanserta dalam upaya mencerdaskan bangsa, yang dicita-citakan oleh gerakan kebangkitan nasional, dan kemudian disadari peran pentingnya dalam mengisi kemerdekaan. Kini dengan meningkatnya arus globalisasi juga perlu ditingkatkan kualitas pribadi denganmemperdalam dan memperluas upaya pendidikan itu.

4. PERAN SERTA DALAM PELAYANAN KESEHATAN.
Juga di bidang pelayanan kesehatan Gereja berperanserta secara aktif, tidak hanya dengan memperhatikan aspek-aspek profesional, melainkan juga aspek-aspek etis dan kemanusiaan. Beberapa hal yang patut lebih dieprhatikan dewasa ini ialah: pelayanan kesehatan yang terjangkau bagi ekbanyakan orang: kode etik, aspek etis dan spiritualitas pelayan kesehatan.

5. PERHATIAN BAGI MANUSIA SEUTUHNYA SEJAK AWAL KEUSKUPAN MALANG.
Perhatian Gereja Keuskupan Malang terhadap manusia seutuhnya nyata antara lain dari prakarsa Prefek Apostolik pertama, Mgr. Clemens van der Pas O, Carm, yang mengundang Konggregasi Misericordia untuk melayani bidang kesehatan. Kiranya pelayanan ini perlu dikembangkan lebih lanjut.

6. STASI-STASI SEBAGAI CIKAL BAKAL PAROKI.
Pendirian paroki tak lepas dari stasi-stasi sebagai cikal bakalnya berkat pelayanan para misionaris, meskipun ada juga stasi yang lenyap entah karena umatnya pergi, entah karena kurang diperhatikan. Hanya sebagai contoh konkret: Beberapa stasi yang berkembang, misalnya stasi Jajag, stasi Ambulu, stasi Japanan, stasi Kraksaan, stasi Dampit, stasi Kedungrejo, stasi Pronojiwo, stasi Landungsari, stasi Sengkaling, stasi Asembagus, stasi Panarukan, stasi Besuki, stasi Muncar, stasi Pasanggaran, dari 107 stasi.

7. PUKULAN BERAT PADA JAMAN JEPANG.
Keuskupan Malang mengalami pukulan berat di jaman Jepang karena para misionaris diinternir. Tetapi dalam keadaan sulit itu ada beberapa tokoh yang melanjutkan pelayanan pastoral, antara lain: Romo G. Singgih, O. Carm, Romo A. Gondowardoyo, O. Carm, Mere Laurence, OSU.

8. PERSEKOLAHAN DAN KARYA PASTORAL LAIN.
Di jaman Vikariat Apostolik didirikan banyak sekolah yang telah amat berjasa, tetapi dewasa ini kiranya juga perlu lebih diperhatikan bidang-bidang pastoral lain, mengingat keperluan umat dan masyarakat di waktu mendatang.

9. BELAJAR DARI SEJARAH.
Kiranya bebarapa gejala perlu mendapat perhatian besar. Mobilitas tinggi masyarakat dengan aneka dampak atas bidang sosial, ekonomis, dan urbanisasi; Meningkatnya kepekaan dan kepedulian sosial serta solidaritas umat; Persaudaraan sejati yang dikembangkan aneka pihak dan makin meluas; Harapan maysarakat untuk keluar dari krisis ekonomi dan mengentaskan kemiskinan; Kebhinekaan suku dan budaya dalam masyarakat.

10. UPAYA MEMBERDAYAKAN UMAT.
Kiranya upaya-upaya karitatif (yang memang tetap perlu) tak mencukupi. Perlu ada uapaya-upaya untuk memberdayakan umat, seperti dahulu sesuai dengan jamannnya (dilakukan Pater Van Lith SJ) agar dapat berperan dalam masyarakat.

11. MEREKA YANG BELUM TERJANGKAU.
Gereja sebagai sarana dan tanda keselamatan universal (LG 1) seharusnya menjangkau segala bangsa dan suku bangsa. Tetapi ada sejumlah suku di wilayah Keuskupan Malang yang belum tersentuh, maka perlu diusahakan agar para petugas pastoral lebih mengenal mereka, budaya dan bahasanya.

12. DIPERKOTAAN DAN PEDESAAN
Kabar baik dimaksudkan bagi semua. Tidak cukup hanya menyapa orang-orang diperkotaan, melainkan juga perlu menyapa mereka yang berada dipedesaan. Diharapkan agar pemberdayaan komunitas basis insani juga dapat mempunyai dampak positif atas penyebaran Kerajaan Allah.

GAMBARAN GEREJA KEUSKUPAN MALANG DEWASA INI

KONTEKS ASIA
Harapan besar diarahkan kepada Gereja di Asia. Sumbangan yang khas dan tanggung jawab di masa mendatang baik dalam konteks Asia maupun visi Katolisitas .

* Benua terbesar dengan jumlah penduduk terbanyak dengan segalapermasalahannya: toleransi-intoleransi, kekayaan alamkemiskinan,masyarakat kota-pinggiran, pengangguran, persoalan HAM Gender.
* Tempat kelahiran agama-agama besar dengan tradisi budaya yang tinggi: heterogenitas dan pluralitas yang tinggi.
* Perubahan peta politis kenegaraan.
* Keanekaka ragaman dampak modernitas: ideologi perkembangan yang terpacu dengan cepat: sekularisasi, materialisme,konsumerisme sekaligus kecenderungan fundamentalisme.
* Pengaruh pola sudut pandangan yang masih kuat setelah runtuhnya ideologi komunisme: Timur-Barat. Gereja masih dipandang sebagai warisan Barat.
* Sumbangan Gereja: berada bersama (companionship), pembaharuan motivasi berdasar pengalaman iman yang kaya akan tradisi spiritualitas, keberanian paritisipasi umat untuk membagikan tak sekedar menerima dan merayakan iman, peranana orang kristianis yang terbentuk dan terdidik sebagai penginjil bagi rekan sebaya.

KONTEKS KEUSKUPAN MALANG

GEOGRAFIS:
Keuskupan Malang meliputi bagian timur Propinsi Jawa Timur:
1. Wilayah Pembantu Gubernur (Eks Karesidenan) Malang meliputi:
* Kotamadya dan Kabupaten Malang.
* Kota Batu.
* Kotamadya dan Kabupaten Pasuruan.
* Kotamadya dan Kabupaten Probolinggo.
* Kabupatenj Lumajang.

2. Wilayah Pembantu Gubernur (Eks Karesidenan Besuki) meliputi:
* Kabupaten dan Kotif Jember.
* Kabupaten Bondowoso.
* Kabupaten Situbondo.
* Kabupaten Banyuwangi.

3. Wilayah Pembantu Gubernur (Eks Karesidenan Madura) meliputi:
* Kabupaten Bangkalan.
* Kabupaten Sampang.
* Kabupaten Pamekasan.
* Kabupaten Sumenep.

Demografis:

Jawa Timur merupakan penduduk paling padat sebagai propinsi Indonesia.

Sosioreligius:
1. Mayoritas penduduk beragama Islam dengan sentra-sentra pendidikan islam: pesantren-pesantren dan pengaruh panutan keagamaan (kyai) yang sangat tinggi dan bertumbuhnya iklim kaum intelektual Islam khususnya di kalangan kaum muda Islam.
2. Banyaknya sekte Kristen dengan Kota Malang sebagai pusat pendidikan evangelis.
3. Iklim FKUB yang cukup membantu persoalan hubungan antar keagamaan.

Sosiokultural:
1. Sebagian terbesar keberadaan gereja Katolik berada di kota.
2. Kecenderungan urbanisasi dari desa ke kota, termasuk juga warga potensial di gereja pedesaan.
3. Multikultural umat: Jawa, Tionghoa, Flores, Kalimantan, Papua dll.
4. Pengaruh modernisasi-global dalam pola hidup.

Sosioekonomi:
1. Umat terdiri dari pegawai negeri, petani, pedagang, sebagian besar sebagai karyawan
2. Kesenjangan masih menjadi faktor kerawanan.

BIDANG PERHATIAN KEUSKUPAN MALANG

PAGUYUBAN
Faktor Sejarah:

* Dulu: Agama KAtolik dikenal sebagai agama pendatang, agama penjajah. Dengan latar belakang para misionaris memakai jalur yang dipakai para pendatang dari Eropa. Pelayanan lebih terfokus untuk pelayanan warga Katolik Eropa yang bekerja di pemerintahan kolonial, sektor perkebunan dan militer.
* Sekarang: Faktor kebersamaan yang dihayati masyarakat agamis menjadi landasan pembangunan Komunitas Basis yang terbuka dan memasyarakat.

Wujud:
* Membangun diri sebagai komunitas partisipatif.
* Penumbuhkembangan sensus ecclesiae.
* Pastoral umat dengan menumbuh kembangkan iman yang mendalam, yang dewasa dan mandiri,berakar pada budaya setempat,imana yang menggereja, iman yang memasyarakat dan misioner-dialogial.
* Lingkup Keuskupan, Paroki, Wilayah/Stasi/Blok/ Kelompok Kategorial-fungsional, Komunitas, Keluarga,persaudaraan-dialog dengan umat Kristen-Potestan, Islam dan umat beragama lain termasuk aliran kepercayaan.
* Hidup berbangsa dan bernegara: Kesadaran Pancasila sebagai pandangan hidup dan ideologi negara yang menyatukan sekaligus kesadaran akan tipisnya penghayatan ’kebhinekatunggalikaan’ )

PEWARTAAN
* Acuan: Mrk 16,15: Pergilah ke seluruh dunia, beritakan Injil kepada segala makhluk’; Allah menghendaki agar semua manusia diselamatkan (AG 7).
* Dilaksanakan dengan menjadi kawan dan mitra yang berbela rasa dengan semua orang dalam perjalanan menuju kepenuhan hidup dalam Kerajaan Allah.
* Dilaksanakan secara berkesinambungan melalui dialog: dengan iman kepercayaan lain, kaum miskin dan kebudayaan setempat.
* Dibutuhkan kemampuan membaca tanda-tanda jaman dan kesaksian hidup.
* Dibutuhkan katekese yang berkesinambungan: bina usia dini, bina iman, anak, bina iman remaja, bina iman umat dewasa.
* Pemanfaatan peluang katekese: Masa Katekumenat, Kotbah, Pendalaman iman, masa liturugis gerejani.

LITURGI
Perhatian dan pengertian lebih besar yang terwujud dalam:
* – Kebiasaan mempersiapkan diri secara lahiriah dan batiniah.
* – Kinerja yang baik dari pemimpin dan petugas.
* – Sarana memadai.
* – Peluang untuk perayaan yang inkulturatif dan kategorial.

Untuk itu diperlukan katekese liturgi, teladan, suasana danpendidikan liturgi untuk: pemahaman liturgi, pengadaan petugas, pengkajian.

KESAKSIAN
* Pengedepanan nilai: keteladanan, kritis-profetis, kesetiaankonsistensi,keadilan,cinta, kejujuran, pemebabasan.
* Menghindari yang hal-hal (gaya hidup,penampilan diri, kegiatan, fasilitas,gedung)dapat merugikan wajah gereja dalam masyarakat.
* Pemanfaatan media massa.
* Memfasilitasi individu dan kelompok melalui talenta atau karyakhusus yang dapat menyebarkan nilai Injili.

PELAYANAN
* Pelayanan sebagai ungkapan dan sarana perwujudan karisma dan kesaksian kristiani baik
* Dibidang: pendidikan, kesehatan, sosial-kemasyarakatan, komunikasi masal, pastoral dan pendampingan kaum muda.
* Perlunya pembekalan semangat pelayanan untuk pengemban profesi dan pejabat.

KEPEMIMPINAN DAN SUMBER DAYA MANUSIA
* Partisipasi umat dalam tritugas Kristus dalam kepemimpinan partisipatif dalam gereja.
* Kepemimpinan gerejani: visi dan seni leadership yang memperhatikan aturan main manajemen, kesekretariatan-kearsipan yang memadai.
* Kinerja sesuai dengan program kerja dan berpedoman pada kepentingan umum..
* Prinsip subsidiaritas.
* Peta kebutuhan tenaga, penelitan, pengembangan SDM dengan:
a. integritas, komitmen dan dedikasi.
b. Pendidikan/pengetahuan yang memadai.
c. Kemauan/kesanggupan yang stabil.
d. Kemampuan profesional.
e. Perhatian penyegaran petugas pastoral dan kesejahteraan karyawan.

PRIORITAS PERHATIAN
KARYA PASTORAL PENDIDIKAN

* Peningkatan mutu dan kualitas pribadi, selain pencerdasan bangsa.
* Perhatian kepada jenis pendidikan yang memadai kebutuhan lokal dan melibatkan partisipasi umat setempat.
* Karya pendidikan non formal yang menekankan nilai-nilai kristiani untuk pembebasan dari ketertindasan.
* Peningkatan dan dukungan terhadap karya sekolah yang telah ditangani lembaga relijius.
* Karya sekolah yang dikelola keuskupan lebih menjangkau masyarakat yang kesulitan baik soal beaya atau lokasi yang berjauhan.

KARYA KESEHATAN
* Sebagai mitra pemerintah dalam karya pelayanan kesehatan yang terjangkau masyarakat kebanyakan.

KARYA EVANGELISASI
* Stasi sebagai cikal bakal dari pertumbuhan paroki.
* Kunjungan keluarga, kunjungan stasi terutama yang jauh dari pusat paroki menjadi salah satu kekuatan jemaat untuk bertahan dan berkembang.
* Pengoptimalan panggilan Imam Diosesan, perberdayaan Awam Pemuka Jemaat dan Religius.
* Karakateristik masyarakat Jawa Timur: mobilitas tinggi, sikap kepedulian-solidaritas tinggi, persaudaraan lintas agama, harapan untuk gerakan peduli pengentasan rakyat kecil, budaya-adat istiadat setempat. Kultur: Jawa?, Osing(Banyuwangi), Madura (Pulau Madura dan masyarakat pinggiran kota di Jawa Timur, Tengger (perbukitan Bromo- Semeru), Mandarin.
* Pewartaan yang inovatif dan kontekstual

KARYA J & P
* Pelayanan secara integral terhadp kaum mistin dan membelea yang tertindas.
* Promosi kemanusiaa yang menjunjung HAM

HUBUNGAN DENGAN AGAMA LAIN
* Dialog, terbuka, mendengar, menghormati yang berkeyakinan lain (NA2).
* Menggalang persaudaraan sejati dan menjalin kerja sama yang berkehendak baik untuk menegakkan komunitas insani yang dijiwai kedamaian, keadilan dan cinta kasih.

Sumber : http://keuskupan-malang.web.id/?page_id=8

baca selanjutnya...

Senin, 16 Januari 2012

Sejarah Paroki "Santa Maria Bintang Samudera" - Situbondo

Pengantar
Sejarah Paroki ini disusun tidak hanya untuk dokumentasi tetapi juga untuk bahan pendalaman iman. Tidak mudah penyusunannya karena sejumlah kendala. Selain makin berkurangnya sumber-sumber lisan, kesulitan disebabkan juga oleh keterbatasan data tertulis di paroki yang musnah terbakar pada peristiwa kerusuhan 10 Oktober 1996 dan karena banjir pada tahun 2002 dan 2008. Hasil yang tersaji dalam buku ini diperoleh dengan jerih payah yang keras tim penyusun. Semoga dapat menjadi awal penelusuran yang lebih mendalam di kemudian hari. Semoga bermanfaat pula untuk pendalaman iman dalam rangka meningkatkan reksa pastoral sekarang dan di masa depan.

REKAMAN DARI MASA KE MASA
Peringatan 50 Th hari jadi paroki Maria Bintang Samodera Situbondo dirayakan pada tahun 2008 dengan acuan tanggal 1 April 1958 sebagai hari penetapan berdirinya. Sejak tahun 1936 Situbondo merupakan stasi dari Paroki St. Yohanes Penginjil Bondowoso. Sewindu sebelumnya masih dalam hitungan sejumlah keluarga Katolik dilayani dari Paroki Jember, Probolinggo atau Malang. Namun masa lalu Situbondo sepertinya tidak cukup ditelusuri sebatas masa-masa itu. Situbondo memiliki keistimewaan masa lalu jauh dari jaman Portugis abad XV dan jaman Kompeni tiga setengah abad sesudahnya.

Gereja Panarukan Jaman Portugis Abad XV
Panarukan pada abad XV merupakan kota kedua dari kerajaan Blambangan dan menjadi pelabuhan singgah pelayaran dari Malaka ke Maluku. Sejak Portugis berkuasa di Malaka, tahun1511, Panarukan selalu disebut karena kehadiran sejumlah orang Portugis di tempat ini. Sering disebut dengan istilah Patoekangan atau Panaroekan. Sejarah misi di Indonesia mencatat usaha pewartaan Injil dari Gereja Katolik Syro Khaldea / Mesir di sini.

Seorang misionaris Yesuit, B. Diaz menulis dalam surat 3 Desember 1559 yang dikirim dari Malaka ke Goa sekelumit keadaan waktu itu : “ Dalam pelayaran dari sini ke Solor, orang singgah di Kerajaan Panarukan. Orang Panarukan sangat bersahabat dengan kita. Orang bilang pada saya bahwa penduduk Panarukan tidak memeluk agama lain, kecuali agama kita. “

Satu dasawarsa kemudian, Pater Gaspar da Cruz dalam catatan yang diterbitkan di Portugis tahun 1569 menulis : umat Katolik di Panarukan ketika itu mendapat pelayanan dari Ordo Dominikan. Jaman itu Ordo Dominikan telah memiliki biara besar di Malaka. Mereka berkarya di Flores dan Maluku. Rupanya mereka juga menempatkan misionarisnya di Panarukan. Melengkapi kedua catatan, sebuah penuturan agak panjang ditulis dalam Sejarah Misi Indonesia menggambarkan keadaan umat di Panarukan tiga dasawarsa sesudah tahun1569.

Pada pertengahan bulan Mei tahun 1579 kapal, yang mengangkut tawanan pembunuhan, Diogo Lopez de Mesquita, meninggalkan Malaka. Ikut serta berlayar diatas kapal tersebut tiga orang misionaris Yesuit : Pater Bernadino Ferrari, Pater Jorge Fernandez dan Pater Gomez da Amara. Karena mendapat rintangan angin haluan yang kuat, maka kapal terpaksa singgah di pelabuhan Panarukan. Waktu kapal sedang berlabuh di pelabuhan Panarukan, para awak kapal tiba-tiba diserang gerombolan sejumlah 150 orang dengan senjata keris. Tujuh puluh tiga orang Portugis mati terbunuh, di antaranya dua orang imam Yesuit : Pater Jorge Fernandez dan Gomes de Amara. Juga kapalnya di rebut dan dikuasai orang orang itu. Pater Bernadiino Ferreri terhindar dari pembunuh an tersebut, karena kebetulan pada waktu itu dia tidak ada di pantai. Dia pergi ke kota Panarukan, kota kedudukan seorang Adipati, sahabat kita. Di sana dia sedang mendengar kan pengakuan dosa dari orang-orang Portugis, yang telah bertahun-tahun menetap di Panarukan. Pater Ferrari diterima dengan sangat ramah oleh Adipati Panarukan dan mendapat hadiah sebidang tanah, untuk membangun sebuah gereja. Tatkala Pater Ferrari mendengar terjadinya pembunuhan di pantai tersebut , maka dia lalu terpaksa bertolak kembali ke Malaka. Pater Ferrari diserahi surat Adipati Panarukan, untuk disampaikan kepada panglima Portugis di Malaka. Di dalam surat itu sang Adipati menyatakan keinginannya, agar dari Malaka dikirim misionaris-misionaris ke Panarukan.

Serikat Yesuit pada waktu itu sudah sangat kekurangan tenaga untuk kepulauan Maluku. Tidak ada misionaris Yesuit yang dapat ditugaskan di Jawa Timur. Ordo Dominikan kekurangan misionaris untuk pelayanan di Nusa Tenggara Timur. Mereka juga tidak dapat melayani Panarukan. Akhirnya datanglah beberapa misionaris Fransiskan.

Empat misionaris Fransiskan berangkat dari Malaka tahun 1584 atau 1585, menumpang kapal Portugis yang akan ke Maluku, dipimpin Manuel Pintu. Setelah pelayaran duapuluh tujuh hari mereka tiba di Panarukan. Pater Pedro Arouca dan Pater Jorge de Viseu tinggal di Panarukan. Sedang Pater Manuel de Elvas dan BruderJeronymo Valente terus ke Blambangan dekat teluk Pangpang, di tepi selat Bali.

Usaha Pater Pedro de Arauca dan Pater Jorge de Viseu di Pelabuhan Panarukan sangat lancar dan menghasilkan banyak buah. Mereka telah mempermandikan banyak orang, antara lain keponakan raja. Tetapi raja tidak suka melihat keponakannya memeluk agama Kristen. Dia ditangkap dan dibunuh atas perintah raja. Kedua orang misionaris di Panarukan itu dikejar.

Kedua orang misionaris Fransiskan tersebut bekerja kira-kira empat tahun di Panarukan. Jadi kurang lebih sama lamanya dengan dua misionaris Fransiskan lainnya, yang bekerja di kota Blambangan.Setelah kembali di Malaka Bruder Jeronymo meninggal karena kecelakaan. Ketiga Pater Fransiskan mendapat tugas di tempat lain. Hampir dapat dipastikan, bahwa setelah berangkatnya keempat orang misionaris tersebut ke Malaka, di kerajaan Blam bangan ada beberapa misionaris Fransis kan baru, yang ditugaskan di situ. Tetapi diantara mereka hanya seorang, yang namanya dapat kita ketahui : Fr. Cosme.

Dalam bulan Januari tahun 1597 Cornelis Houtman, seorang Belanda, dengan kesatuan kapal-kapalnya berlayar melalui Selat Bali. Willem Lodewijcksz, salah seorang yang turut dalam pelayaran Houtman, menulis tentang pelayaran di Selat Bali itu, bahwa pada tanggal 19 Januari ada seorang bangsawan dari Pasuruan datang berkunjung ke kapal Houtman. Bangsawan itu menerangkan, bahwa Adipati Pasuruan masih terus berperang dengan raja Blambangan. Menyusul setelah itu, pada tanggal 21 Januari ada dua buah kapal Blambangan berlayar menuju armada Belanda tersebut. Diatas salah satu kapal tadi terdapat seorang budak (belian) dari seorang imam katolik, yang menyiarkan agama Kristen di Panarukan dan mempermandikan orang-orang Jawa. Pada akhir tahun yang sama di Malaka terdengar kabar, bahwa orang-orang Portugis dan umat Kristen pribumi di Kerajaan Blambangan telah menderita kerugian besar, akibat perang Blambangan dengan Pasuruan. Di sebut dalam tulisan Gidinho de Eridia, tahun 1599 : “Tempat kediaman umat Kristen di dekat Panarukan dihancur leburkan dan sekarang kosong, tidak ada penghuninya”.

Riwayat Gereja Panarukan jaman Portugis tampaknya tamat setelah perang Blambangan-Pasuruan itu. Tahun 1915 Rouffer hanya menemukan sisa peninggalannya berupa kebiasaan orang jawa menyebut " Tugu " yang letaknya di Kuta Bedah ( Ver over de Stad ), dua kilometer dari Panarukan sekarang. Namun demikian tidak dapat dipungkiri, sejarah telah mencatatkan perjalanan kelana Gereja di Panarukan ketika itu. Catatan pertama tahun 1559 dari B. Diaz sampai catatan dari Gidinho de Eridia pada tahun 1599 menggambarkan perkembangan yang berlangsung lebih dari 40 tahun. Secara rohani inilah Israel dalam perjalanan padang gurun sebelum masuk Tanah Terjanji. Sedang rentang waktu lima abad dari kehadiran awal itu sampai berdirinya paroki, mengingatkan perumpamaan tentang benih yang mati sebelum bertunas. Situbondo bagaikan tunas dari benih Panarukan. Di tanah ini tetes darah kemartiran telah dipertaruhkan dan menyiram benih yang ditabur hingga tumbuh tunas dan cabang-cabangnya sampai sekarang. Secara rohani terpaut, meskipun tidak terpaut menurut kesinambungan kacamata sejarah. Biji yang ditanah mati menghasilkan buah banyak sekali. WafatMu menghidupkan.

Jaman Hindia Belanda dan Jepang
Setelah surutnya Portugis pada paruh abad 17, Hindia Belanda berkuasa di Nusantara selama tiga setengah abad. Misi Katolik berkembang lagi pada jamannya mulai tahun 1810 dalam persaingan ketat dengan Zending. Pada awalnya pelayanan orang Katolik Eropa di berbagai tempat dilakukan berkala dengan kunjungan misionaris imam-imam Diosesan Belanda dari Batavia. Setelah Surabaya ditetapkan menjadi Stasi ke 5 Perfektur Apostolik Batavia, sejumlah misionaris lebih sering mengunjungi Pasuruan, Probolinggo dan Besuki. Disebutkan antara lain Pastor H. Waanders Pr, Thiljssen Pr dan Pastor Cartenstat Pr. Orang-orang Eropa Katolik di Besuki yang mereka kunjungi tersebar di beberapa perkebunan, pabrik gula dan pelabuhan Panarukan. Di Besuki dan sekitarnya Hindia Belanda memang membangun pabrik gula antara lain Demas, Wringin Anom, Mangaran, Panjie, Asembagus dan Prajekan. Hindia Belanda juga masih mempertahankan pelabuhan Panarukan untuk pengiriman barang dengan kapal laut sampai kemudian dibangun jalan Anjer Panarukan.

Para misionaris Imam Diosesan dari Belanda itu,sejak tahun 1858 digantikan oleh para misionaris Yesuit, diantaranya Pastor M. van den Elzen SJ, Pastor YB. Palinckx SJ dan Pastor Sondaal SJ. Catatan yang mereka tulis menyebutkan kunjungan ke Pasuruan, Probolinggo dan Besuki makin sulit dilakukan karena pembatasan tugas dari Hindia Belanda. Mereka menjumpai pula kehidupan moral yang buruk dari tentara kompeni karena hidup bersama dengan nyai-nyai tanpa ikatan nikah.

Tahun 1923, misionaris Yesuit digantikan oleh Ordo Karmel. Pelayanan ke Besuki ditempuh dari Malang, dengan menumpang kereta api atau kereta pos yang ditarik kuda. Tahun 1924 pusat pelayanan menjadi lebih dekat karena Ordo Karmel membuka pusat baru di Probolinggo ditangani Rm. Linus Henckens dan Rm. Elias Wouters. Tahun 1926 menyusul tujuh Suster Onza Lieve Vrouv ( SPM ) datang di kota itu, memperkuat karya misi. Rm. E. Stultiens yang tiba di Malang pada tanggal 27 Agustus 1926 langsung ditugasi untuk pelayanan di wilayah “ Jawa Pojok Timur “. Tanggal 4 Juni 1928 Stasi Jember menjadi paroki sekaligus pusat pelayanan untuk orang-orang katolik di sekitarnya. Situbondo mendapat kunjungan dari Jember, Probolinggo atau Malang secara berkala. Mayoritas umat masih orang-orang Belanda yang hanya tinggal sementara di tempat kerjanya. Tidak mudah untuk melacak jumlah, kegiatan dan penyebaran mereka.

Sumber-sumber lisan menceritakan sekitar tahun 1930 di Situbondo terdapat sejumlah orang Katolik namun beribadah di sebuah gereja Protestan. Diantaranya pasangan suami isteri Y.W.F Keeltjes dan Maria Bruk.

Puteri ketiga YWF Keeltjes bernama Helena Sovia Keeltjes pada usia 7 tahun ikut misa untuk pertama kali tahun 1941 di Europese Lagere School Situbondo. Umatnya masih sedikit. Selain orang tuanya sendiri Y.W.F Keeltjes dan Maria Bruk ada pula Pasutri Abels, Ibu Abels Everadus Wilhemus, Jutting Helena Theresia, Pasutri Otto Oberhansil, Sri Rahayu, Ibu P.J. Van der Heyde pemilik hotel Situbondo,pasutri mertua ibu Halim dan Bp. Yakob Rosma dari Solo yang menjadi guru ilmu hitung di Europese Lagere School. Sebagian dari mereka bekerja di pelabuhan Panarukan dan sebagian lain di pabrik gula.

Ditilik dari catatan Sejarah Keuskupan Malang, pelayanan misa ketika itu agaknya dilakukan oleh para Romo Ordo Karmel yang melayani Jember dan Bondowoso. Tahun 1936 Romo Meth. Hendriks O. Carm. Tahun 1937 Rm. St. Mulder O.Carm dan Rm. Petrus Starman O.Carm. Mulai Februari 1939 dilayani oleh Rm. Viester O.Carm dan selama 3 bulan oleh Mgr. Albers yang sempat menetap di Bondowoso, sebelum dilayani lagi oleh Rm. Viester sampai kedatangan tentara Jepang pada tahun 1942.

Selama jaman Jepang pelayanan rohani umat terhenti. Jaman Jepang merupakan masa kelam. Ken Pe Tai atau penguasa Jepang memenjarakan orang-orang Belanda dan melarang kegiatan keagamaan di semua daerah. Kisah umat Situbondo sulit dilacak, seperti halnya kisah-kisah di tempat lain. Rm. Gondo Wardoyo O.Carm yang bekerja di Jember ditangkap juga karena melayani orang Indo Eropah.

Wilayah sekitar Situbondo pada jaman Hindia Belanda tidak pernah sepi dari orang-orang Eropa Katolik yang mendapat pelayanan misionaris, terutama di Besuki yang banyak disebut dalam catatan sejarah misi. Namun karya misionaris ketika itu nampaknya tidak mengakar karena pembatasan tugas dari Hindia Belanda Pelayanannya terbatas pada pelayanan misa dan sakramen tobat yang dilakukan di tempat-tempat yang tidak dikhususkan untuk peribadatan. Mereka tersebar secara sporadis dalam jumlah kecil dan tampaknya tidak menetap. Pengakaran mulai tampak sejak Ordo Karmel hadir di Malang, 1923 dan berdirinya pusat misi di Probolinggo, 1926. Keluarga-keluarga Katolik di Besuki dan Situbondo atau Patokan ketika itu dilayani dari tempat ini sampai Jember ditetapkan menjadi paroki, 1928 dan menjadi induk yang penting untuk pemekaran paroki-paroki lain di wilayah eks karesidenan Besuki dan Blambangan.

Umat Perdana
Geliat kehidupan Katolik di Situbondo yang terpuruk pada jaman Jepang tampak semi kembali sekitar 1952. Sebuah Privatles yang diasuh oleh Ibu Cori di Jl. PB. Sudirman 157 diambilalih oleh Gereja dan berkembang menjadi Sekolah Misi. Setelah sekolah berjalan, Paroki didirikan. Dua romo dikenal baik oleh umat dari masa ini, yakni Romo Werenfridus Viester O.Carm dan Quirinus Kramer O.Carm.

Lembaga Pendidikan Perintis
Ibu Cori memiliki nama lengkap Cornelia Domingo atau Koo Hong Gwan. Privatles di rumahnya dirintis sejak tahun1952, mengasuh 15 anak Tionghoa setingkat Taman Kanak-kanak dan Sekolah Kelas 2. Tahun 1955 Privatles diambilalih oleh Romo Viester menjadi Sekolah Misi : Frobel dan Sekolah Rakyat di bawah pengelolaan Yayasan Karmel. Setelah Romo Viester digantikan oleh Romo Kramer, Sekolah dipindahkan dari rumah Ibu Cori ke Gaduhan, di rumah seorang Bupati yang dihuni keluarga peranakan Belanda bernama Grootbleming. Rumah itu sekarang menjadi Gedung DPRD Situbondo di Jl. Kenanga 1. Selain ditata untuk Frobel dan Sekolah Rakyat, Serambi belakang dari gedung itu digunakan untuk gereja. Luasnya hanya 4 x 8 m2 dengan 9 bangku menampung sekitar 20-30 umat. Sangat sederhana.

Frobel ditangani Ibu Cori. Sedang Sekolah Rakyat diasuh Ibu Martina Martini, guru lulusan SGA Katolik Malang. Murid angkatan pertama berjumlah 35 anak, terbagi dalam tiga kelas. Setelah setahun, pada tanggal 1 Agustus 1956 Ibu Martina Martini digantikan oleh Ibu OM. Sri Soeprapti. Pendampingan murid-murid dilakukan bersama dua orang guru dari Probolinggo.

Untuk pengembangan sekolah pada tahun 1956 Gereja mengupayakan pembelian tanah milik Yayasan Balai Rakyat yang letaknya tak jauh dari Sekolah Kenanga 1. Luasnya 14.387 m2 dengan harga Rp. 7.00 ( tujuh rupiah ) per m2. Tanah yang dibeli berupa sawah dengan banyak cemara di sekitarnya. Sempat muncul sengketa di pengadilan atas sebagian tanah yang dibeli, namun dapat diselesaikan dengan baik. Sebelah utara berbatasan dengan kompleks Rumah Dinas Pemda Situbondo. Di selatan membujur Jl. Cemara atau Jl. Mawar sekarang. Di sebelah Barat Stadion dan Tanah milik Yayasan Perumahan Rakyat. Di Timur pekarangan dan sawah milik Kepala Desa Dawuan.

Pembangunan gedung SDK dimulai pada bulan Januari 1958 dan diresmikan pada tanggal 2 Nopember 1958 oleh Mgr. AEJ. Albers O.Carm dan Bupati RS. Brotoningrat. Pada tahun yang sama SD mendapatkan tambahan ruang kelas dari Nederlands Sticchting Ondewijs yang terletak di seberang Jl. Mawar. Hampir bersamaan waktunya dibangun pula gedung untuk SMPK St. Elias untuk pendidikan lanjut lulusan SDK.

Pembangunan sekolah-sekolah Katolik sangat giat dilakukan pada waktu itu. Mgr. Albers sebagai Vikaris Apostolik Malang berpendapat : Gereja akan muncul dengan sendirinya, kalau jumlah orang Katolik sudah cukup. Tetapi sekolah tidak datang dengan sendirinya. Sekolah harus dibangun. Jika pendidikan masyarakat diperhatikan, dengan sendirinya Gereja akan berkembang. Sekolah adalah salah satu pengabdian misi.

Pelayanan Misa dari Tahun 1955-1958
Seiring dengan pengembangan lembaga pendidikan, umat mulai dihimpun dengan ekaristi. Sebelum memiliki tempat tetap di Kenanga 1, misa dirayakan secara bergantian di Hotel Situbondo dan di rumah Ibu Cori, depan stasiun kota, di bengkel Rimba Motor Jl. A. Yani sekarang. Romo menetap di Bondowoso. Jika ke Situbondo menginap di Hotel Situbondo atau di Wisma Jakarta Loid.

Misa di Hotel Situbondo dan di Rumah ibu Cori pada tahun 1955, menurut Ibu Agustiene Triesye dirayakan dengan duduk lesehan. Umat sekitar 20 orang. Teman sebaya pada waktu itu antara lain Ibu Suryanto, Ibu Parlan dan Berta Didik. Dalam kenangan Bp. Ign. Sulardjo, tahun 1956 Hotel Situbondo masih berupa rumah panggung yang sempit. Pada tahun itu jumlah umat sudah meningkat dari 20 orang menjadi 25 - 30 orang, terdiri dari keturunan Belanda, Tionghoa dan Jawa. Sebagian bekerja di perdagangan, sebagian lain di pabrik-pabrik gula dan guru.

Dalam kenangan beberapa sumber lisan, Romo Kramer lebih dikenal dari pada RomoViester. Mereka menggambarkan sosok Romo Kramer sebagai pribadi yang penuh semangat dengan postur tinggi kurus. Setiap hari berjubah. Kulitnya putih, karena beliau orang Belanda. Romo Kramer naik motor seperti CB, yaitu TWN buatan Eropa, gagah layaknya cowboy. Kunjungan keluarga dilakukan dengan tekun. Jumlah umat tak dimasalahkan. Berapapun jumlah umat yang dilayani beliau tetap hadir penuh semangat. Ketika di Besuki baru ada 2 orang umat, beliau rutin melayani misa di Jl. Sawunggaling 527, di rumah Ibu Hong Kiok, orang tua dari Bp. P. Chandra Prawironegoro. Ketika tahun 1960 jumlah umat hanya 4 orang, pelayanannya tak pernah surut. Anak-anak sekolah juga senang dengan Romo Kramer. Selain setia menemani anak-anak yang belum dijemput usai sekolah, anak-anak pastinya menantikan permen yang tak pernah habis dari saku jubahnya. Dalam pengajaran budi pekerti kepada anak-anak yang belum Katolik, Romo Kramer dikenal piawai dan jago yang memikat. Rm. Kramer pastor paroki pertama yang pantas dikenang.

Dari kesaksian sumber-sumber lisan, dapat diperoleh nama-nama umat antara 1955-1958 yang diingat dari perjumpaan dalam misa di Situbondo. Nama-nama yang disebut antara lain Ibu Vander Heyde (Pemilik Hotel Situbondo), Ibu Cornelia Domingo, Bapak Teo Dores Keeltjes, Lamber H. Tentija, Bapak Albers, Ibu Albers, Bapak Edy Minggu, Ibu Edy Minggu, Bapak Kristantunus Edy Suprayitno, Ibu Lusia Rustingatun (Isteri Edy Suprayitno), Ibu Saniya Maria Magdalena, Bapak Y Sane, Bapak M.J. Croux, Ibu Elisabeth Keeltjes, Bapak Antaonius Yosep Ketang, Bapak Otto Oberhansli dan Ibu Sri Rahayu (Isteri Otto), Ibu Elisabeth Martina, Ibu Augustiene Triesye (B. Maspur), Bapak Suryanto, Van Lim Bek, A.J Soeroso, Dr. Liem Cim Song, Leonardus Tjoa Ting Kian, Ibu Tjoa Ting Kian, Inviolata Siauw Siok Ing, Bapak Koa Ping Lian, Ibu Koa Ping Liang, Ibu Yusefin Utarjo, Suyudi, Munte, Sugeng, Sarjirah, Sungkono (Kepala SMPK), Markus Sale, Bapak Soetedjo, Berta Didik, dan Bapak Ignatius Sulardjo. Tahun 1958 mendapat tambahan dari sejumlah guru muda untuk SDK dan SMPK dan warga baru, antara lain Bp. H.J. Suwarno, Ibu Odelia Soeprapti dan Ririn adiknya, Bpk. Soekarlan, Bpk. Kwa Ping Liang, Ibu Kwa Ping Liang, Bpk.Soekardi, Ibu Theresia Soebiyatmi dan Ibu Soekarti. Sejumlah guru tinggal bersama dengan menyewa ruang belakang rumah Bp. Muntahar menyatu dengan gedung Kenanga 1. Misa makin semarak oleh alunan koor mereka

Nama-nama yang tercatat pantas disebut “ Umat Perdana “ Pada waktu dipersiapkan dan ditetapkan menjadi paroki 1 April 1958, mereka merupakan kelompok umat yang berdomisili di wilayah Situbondo. Meskipun kemudian beberapa di antaranya menyebar ke luar dari Situbondo, kenangan bersama umat lain dari masa merintis berdirinya paroki tidak mereka lupakan.

Enam atau lima tahun sebelum ditetapkan menjadi paroki, geliat kehidupan gereja Situbondo fokus pada usaha merintis lembaga pendidikan Katolik dan menghimpun umat. Jumlah yang terhimpun belum seberapa banyak, namun upaya pengembangan lembaga pendidikan itu menorehkan riwayat inti awal paroki. Pelbagai kemajuan paguyuban umat secara langsung mendapat kekuatan, dukungan dan tenaga inti dari umat yang berkiprah di lembaga itu. Kerjasama yang dibangun antara kalangan pendidik di sekolah dan mereka yang bekerja di pabrik gula, pelabuhan, kantor-kantor pemerintah dan perdagangan membentuk semacam pondasi bagi paguyuban paroki. Situasi ini menggambarkan sebuah permulaan yang agak khas dibanding perkembangan awal dari paroki-paroki lain.

Di tempat lain sering awal riwayatnya mulai dari ketekunan seorang imam, guru agama atau katekis yang penuh kesetiaan berjuang untuk mempertobatkan mereka yang belum mengenal Kristus. Di tempat lain lagi awal pertumbuhan mulai dari peran tokoh-tokoh terpandang yang kuat pengaruhnya dengan warisan besar untuk menghidupi benih paguyuban setempat. Berbeda pula ketika awalnya dirintis seorang atau sekumpulan orang asli setempat dengan segala jerih payahnya. Situbondo tidak beranjak dari awal seperti itu. Sentuhan pendidikan sebagai ciri khas permulaannya ditopang oleh jejaring kekuatan yang datang dari berbagai penjuru satu demi satu, kawanan demi kawanan, pendatang demi pendatang. Rapuh tampaknya untuk sehati sejiwa, namun kokoh jika mengingat besarnya harapan untuk pencerdasan dengan pendidikan. Apalagi dikuatkan ketekunan para romo perintis dan semangat dari Mgr. Albers ketika itu. Gereja akan berkembang manakala pendidikan masyarakat diperhatikan.

Jalan Penuh Liku Di Awal Langkah, 1958-1966
Jerih payah pengakaran Gereja melalui pendidikan di Situbondo sejak 1955 membuahkan hasil tidak hanya anak-anak cerdas dan pinter, tetapi juga beberapa baptisan baru, datangnya tenaga-tenaga baru dan akhirnya juga gerakan baru di tengah persekutuan umat, hingga cukup persyaratannya untuk ditetapkan menjadi sebuah paroki. Delapan tahun pertama setelah menjadi paroki, Situbondo harus bergumul menghadapi gejolak sosial bangsa yang berkembang ketika itu, terutama di tahun 1965.

Hari Jadi Paroki, 1 April 1958
Hari jadi Paroki tanggal 1 April 1958 diperoleh dari catatan Buku Gereja Katolik Indonesia. Sumber-sumber lisan di paroki tidak tahu persis tentang peristiwa penetapan itu. Cukup kesulitan juga untuk melacak dari sumber-sumber tertulis yang ada di paroki karena berkasnya terbakar pada peristiwa 10 Oktober 1996. Data tertulis dari dokumen di Keuskupan tidak memberi keterangan yang rinci. Hanya disebutkan Romo Quirinus Kramer O. Carm menjadi Pastor Paroki Pertama.

Jika ditelusuri dari catatan pertama pada buku Baptis yang menandai status paroki, sementara ini yang dapat ditemukan adalah catatan dari baptis yang dilakukan pada tanggal 11 April 1958, atas nama Heribertus Eko Wahyudi, anak dari Edward Rudi, kelahiran Situbondo, 2 Maret 1958. Dari kesaksian sumber-sumber lisan, di antara belasan murid pertama SDK terdapat dua anak yang dibaptis sekitar tahun 1958, yakni Bertha Didik yang sekarang tinggal di Sukowono dan Agustiene Triesye, namun catatannya masih masuk di buku baptis paroki Bondowoso.

Hari jadi 1 April 1958 tidak muncul tiba-tiba. Jika ditelusuri dalam konteks luas berdirinya paroki-paroki tetangga yang dekat, penetapan itu tak lepas dari persiapan panjang yang telah dimulai sejak tahun 1928 di Paroki Jember dan sejak tahun 1936 di Paroki Bondowoso. Situbondo lahir dari induk yang sama dengan sejumlah paroki di bagian timur Jawa Timur. Selama 22 tahun dilayani dari Bondowoso hingga saatnya ketika ditetapkan untuk berdiri sendiri.

Wilayah Paroki
Wilayah Paroki meliputi seluruh kawasan Kabupaten Situbondo, yang luasnya sekitar 1.638,50 km2 atau 163.850 hektar, terdiri dari 17 Kecamatan : Banyuglugur, Jati Banteng, Alas Malang, Besuki, Suboh, Mlandingan, Bungatan,Kendit, Panarukan, Situbondo, Mangaran, Panji, Landangan, Arjasa, Jangkar, Asembagus dan Banyuputih. Tahun 1993 diperluas dengan tambahan Kecamatan Cerme, Prajekan dan Klabang di Kabupaten Bondowoso, yang sebelumnya dilayani Paroki Bondowoso. Batas sebelah barat dengan Paroki Probolinggo di Paiton. Sebelah timur dengan paroki Banyuwangi di hutan Baluran. Sebelah selatan dengan Paroki Bondowoso di Klabang. Bagian utara berbatasan langsung dengan laut Jawa.

Sisi utara merupakan kawasan pantai, membujur 150 km, dengan 3 obyek wisata unggulan yakni pantai Pasir Putih, Patek dan Bama di Taman Nasional Baluran. Suhu cenderung panas dan lebih padat penduduk. Terdapat pelabuhan nelayan yang besar di Besuki, Panarukan dan Mimbo. Kawasan bagian selatan berupa perbukitan dengan panorama indah. Ada Kayumas sebuah perkebunan kopi di dekat kawah Ijen. Ada pula Puncak Renganis di Gunung Raung. Suhu cenderung dingin, kepadatan kurang, didominasi lahan perkebunan. Lahan pertanian untuk tanaman pangan dan tebu luasnya mencapai 32.000 hektar di kawasan bagian tengah antara daerah pantai dan pegunungan. Di seluruh wilayah terdapat 5 pabrik gula yang masih aktif hingga sekarang, yakni PG Wringin Anom, PG Olehan, PG Prajekan, PG Panjie dan PG Asembagus. PG Demas di Besuki dan PG Mangaran sudah tidak beroperasi selama beberapa tahun terakhir.

Mayoritas penduduk orang Madura. Warga lainnya dari etnis Jawa, Tionghoa dan campuran. Dialek sehari-hari menggunakan bahasa Madura. Menurut data BPS Kabupaten Situbondo tahun 2006 jumlah penduduknya 621.624 jiwa. Penduduk beragama Islam 612.208 jiwa (98,49 %). Katholik 6.175 (0,99 %), Kristen Protestan 2.549 jiwa (0,41%), Hindu 215 jiwa (0,03 %), Budha 296 jiwa (0,05 %), dan lain-lain 181 jiwa (0,03 %).

Dinamika Umat Sewindu Pertama
Langkah awal dinamika umat paroki sekitar tahun enampuluhan ditopang terutama oleh guru-guru di SDK dan SMPK, dalam kerjasama mereka dengan penggerak umat dari pabrik gula dan berbagai kalangan lain. A.J. Soeroso dikenal sebagai penggerak dari PG Wringin Anom dari periode ini. F. Sambanu, Jong Ambon dari Saumlaki, mulai tahun 1961 menambah kekuatan penggerak umat yang sudah ada, selain tugas pokoknya sebagai guru di SMPK.

Keluarga-keluarga Katolik di PG Panjie dan Olean dalam paguyuban masing-masing pada awal paroki ini menjadi semacam embrio terbentuknya Lingkungan. Belum secara resmi ditetapkan sebagai kring atau Lingkungan. Masing-masing paguyuban di PG dianggap satu kelompok karena tinggal berdekatan di kompleks rumah dinas. Umat yang di Besuki, Panarukan dan Asembagus jumlahnya belum banyak dan dilayani sebagai Stasi. Romo melakukan kunjungan rutin berkala untuk misa dan kegiatan pastoral lain.

Persoalan menonjol yang dirasakan pada awal paroki ketika itu lebih banyak menyangkut pergantian pastor Paroki yang terjadi antara 1960-1966, rencana pembangunan gedung Gereja serta gejolak politik yang berimbas pada kehidupan paroki.

Tak lama setelah tahun 1958, Romo Kramer pindah ke Sidikalang Medan, digantikan seorang Romo dari Sumenep Madura, selama setahun. Sumber-sumber lisan lupa namanya, namun beliau adalah seorang Belanda yang pandai dalam pengobatan dan sering mengadakan pemeriksaan cuma-cuma bagi warga. Setelah ditarik kembali ke Sumenep, penggantinya seorang Romo Tionghoa yang sebelumnya bekerja di Paroki Pasuruan. Tak lama bertugas, beliau dipindah lagi, digantikan oleh Romo Stultjiens O.Carm.

Bersama Rm. Stultjiens O.Carm paroki Situbondo mulai merencanakan pembangunan Gereja yang akan didirikan dekat lingkungan SDK dan SMPK. Pembangunan gedung Gereja diperlukan mengingat status tanah dan daya tampung Gereja di Jl. Kenanga 1, serta persiapan untuk masa depan paroki. Gereja Kenanga 1 pada awal tahun enam puluhan dirasa makin sesak. Jumlah umat ketika itu sudah sekitar 40 orang.

Selain kepanitiaan, perijinan, rancang bangun dan anggaran, dalam perencanaan pemba ngunan Gereja juga harus diselesaikan persoalan status tanah. Kepastian status tanah yang direncanakan untuk gedung gereja harus diselesaikan di pengadilan, karena masih menjadi sengketa. Paroki menghadapi masalah ini dengan menugaskan Bapak Petrus Supardjo dan Bapak AJ Soeroso mewakili Keuskupan Malang bersidang di Pengadilan Negeri Situbondo. Setelah melewati masa persidangan yang panjang, diputuskan pada sidang ke 4 tanah yang disengketakan sah menjadi milik Keuskupan Malang dan dapat digunakan untuk mendirikan bangunan Gereja.

Selama dasawarsa tahun enampuluhan pertambahan umat cukup terasa. Angkatan baru yang masuk selama dasawarsa ini diantaranya: Ibu Agustina Widarti, Bapak Lilek Drajat, Ibu Ana Maria Sugiani, Bp. Yohanes Bianto, Bp. Simon Petrus Marsuto, Ibu Lusia Musari Sihanik, Bp. AR. Murtedjo, BSc, Ibu Elisabeth Keeltjes, Bp. Aloysius Soetrisno, Ibu Mariyanti Sutrisno, Ibu Suryati, Ibu Soekarti, Ibu Teresia Soebiyatmi, Ibu Kristina T, Bp. YK Soedjiono, Ibu Sri Sukartina, Bp. Kwa Ping Liang, Ibu Kwa Ping Liang, Bp. Fx. Muh. Yasin, Ibu Suwarti, Petronela Astina, Ibu Carina, Ibu Corina (Aleks Motor), Ibu Florentina Sunarti (B. Sambonu), Ibu Emertina Isiyatik, Ibu Anastasia Sarmi (Istri HJ Soewarno), Bp. APM Supriyono, Bp. YB Suyadi, Ibu YB Suyadi, Sagiyadi, Petrus Pardjo, Sudarto, Subagyo, Maryono, Sutikno, Sawiji, Pris, Tik Giok Bi, Tik Giok Ing, Tio Bak Kim, Sutanto, So Ho Bing, So Han Sing, So Han So, Ibu Katarina dan Bp. Purnomo.

Seputar Peristiwa G 30 S 1965
Tahun 1965 suhu politik bangsa memanas karena peristiwa G 30 S. Dampak peristiwa ini sempat menimbulkan masalah bagi paroki. Sejumlah pengerak umat dituduh terlibat dalam gerakan komunis. Sejumlah orang lain lagi ditangkap dan sempat digunduli rambut kepalanya ketika ditahan di penjara. Persiapan pembangunan gereja terhambat. Ketakutan menyelimuti seluruh paroki. Bukan karena ancaman penangkapan dan penjara saja, tapi juga karena bahaya pembunuhan. Tuduhan pada perorangan berimbas pada lembaga atau organisasi dimana orang itu berkegiatan, termasuk keaktifnnya di sekitar kegiatan Gereja. Untuk mengatasi kegelisahan dan kesulitan yang timbul, Romo Stultjiens bersama sejumlah penggerak umat mengupayakan pembelaan, di antaranya A.J Sambuno, guru SMPK yang waktu itu aktif sebagai Wakil ketua II Form Barisan Pancasila. Mereka menghadap bupati untuk membebaskan umat yang ditahan. Upaya advokasi membuahkan hasil. Umat yang ditahan dapat dibebaskan.

Tak lama setelah kemelut terlewati, paroki menyambut dengan penuh syukur kehadiran Suster-suster SPM di Jl. J.A. Suprapto. Pada tanggal 19 Desember 1967 tiga suster SPM pertama datang menempati rumah yang dibeli dari keluarga Kwa Ping Liang, yakni Sr. Aloysia SPM, Sr. Rita SPM dan Sr. Agatha SPM. Selain dibangun biara, di Jl. Suprapto dibangun pula Taman Kanak-kanak. Para Suster menerima pelimpahan dari Yayasan Karmel untuk mengelola SDK Fransiskus Xaverius dan TKK St. Theresia mulai 1 Januari 1968. Penggerak di paroki makin bertambah kuat dengan kehadiran mereka.

Pembangunan Gedung Gereja, Tahun 1967
Tak lama juga setelah lewat badai peristiwa G 30 S, tahun 1967 rencana pembangunan gedung Gereja kembali dimatangkan. Kejelasan status tanah dari sidang-sidang sengketa tuntas dengan keluarnya Sertifikat tanah dari Dinas Agraria Situbondo, yang diserahkan oleh Bupati Tahir kepada A. J. Sambonu, mewakili pihak Gereja Katolik Keuskupan Malang.

Sesuai rencananya, gedung gereja didirikan satu lokasi dengan SDK dan SMPK. Tepatnya pada lahan di sebelah utara SDK. Panitia Pembangunan yang dibentuk diketuai Bp.Tjoa Ting Kian. Bendahara Bp. So Hong Bing (Sosrowibowo), dibantu Bp. So Han Sing dan Bp. Balok dari Asembagus, Bp. AL. Sawiji, Bp. Sutikno dan Bu Edy dari Panarukan, Bp. Parjo dan Kwa Ping Liang dari Situbondo. Dalam perjalanan Ketua Panitia digantikan oleh Bp. A.J. Soeroso.

Keseluruhan beaya dianggarkan 2 Juta rupiah. Selain ditopang oleh beberapa sponsor dari pejabat PG dan pengusaha Tionghoa, beaya pembangunan digali juga dari para donatur, kegiatan bazar dan berbagai usaha lain. Romo Paroki dan Bapak Uskup menggali dana dari Belanda dan berhasil menghimpun separuh dari kebutuhan, yakni sekitar Rp. 1.000.000. Dengan mobil “ Oustin “ bendahara panitia berkeliling di Surabaya dan sekitarnya. Berkat usahanya bantuan mengalir tidak hanya dari umat Katolik, diantaranya dari Bp. Kasian, Kepala BRI Situbondo, Bapak Siri (orang Kalimantan sahabat Bapak Sosrowibowo), Ibu Rokayah dan beberapa wali murid SDK dan SMPK Situbondo.

Ketika bergerak di sekitar Malang, selain bantuan dana, Bp. Sawiji bersama Bp. Sutikno malahan mendapat perlakuan istimewa. Karena keraguan, mereka sempat dihadapkan ke Uskup oleh umat setempat untuk memastikan keabsahan proposalnya. Dipelopori oleh Sr. Aloysia SPM, Sr. Rita SPM dan Sr. Agatha SPM, paroki menggelar bazar pakaian. Lewat Bp. Sambonu, Mgr. Albers suatu ketika juga mengadakan lelang bolpoin parker ke siswa-siswi SMPK.

Dalam bentuk lain, bantuan datang dari umat sendiri dan beberapa anggota kepolisian. Selain kerjabakti pengecoran balkon, bantuan mereka diwujudkan dalam bentuk penjagaan lokasi. Kerjasama gereja dengan Polres Situbondo pada waktu itu dijembatani beberapa umat yang bekerja sebagai polisi : Bp. Petrus Parto, Bp. T. Sudarto, Bp. Bagio dan Bp. Murtoyo. Keamanan belum sungguh-sungguh kondusif, penjagaan diperlukan.

Peletakan batu pertama gedung Gereja dilakukan oleh Romo Stultjiens, Bp. Sosrowibowo sebagai motor utama pembangunan, dan anggota panitia lain di hadapan umat yang hadir. Batu pertama yang ditempatkan di landasan pondasi adalah batu eks Gereja jaman Portugis Panarukan. Pencarian batu dilakukan oleh Bp. Sawiji dan Bp. MJ. Sutikno dari sekitar Tugu Portugis. Dalam peta sekarang lokasinya terletak sekitar 300 meter dari Jembatan Sibun, Sebelah Timur Muara Sungai Sampeyan Panarukan.

Peletakan batu pertama gedung Gereja dilakukan oleh Romo Stultjiens, Bp. Sosrowibowo sebagai motor utama pembangunan, dan anggota panitia lain di hadapan umat yang hadir. Batu pertama yang ditempatkan di landasan pondasi adalah batu eks Gereja jaman Portugis Panarukan. Pencarian batu dilakukan oleh Bp. Sawiji dan Bp. MJ. Sutikno dari sekitar Tugu Portugis. Dalam peta sekarang lokasinya terletak sekitar 300 meter dari Jembatan Sibun, Sebelah Timur Muara Sungai Sampeyan Panarukan.

Pengadaan kayu ditangani oleh Bapak Hoi Wi Tjik, pengusaha pengergajian terkenal di Situbondo ketika itu. Kayu yang digunakan adalah kayu jati yang didatangkan dari Bojonegoro oleh Bapak Coa Ping Liang dan Bapak Balok masih dalam bentuk glondongan. Material lain banyak disumbang sejumlah pengusaha di Situbondo. Konsultan tehnis Bp. Muntalib, pejabat Kantor PU Situbondo. Kepala tukang seorang muslim dari Sidoarjo bernama Bp. Abuhasan.

Pembangunan berjalan hampir setahun. Sebelum selesai semua rencana, pada tanggal 25 Nopember 1967 gereja diresmikan penggunaannya oleh Mgr. Albers O.Carm. Uskup Malang. Peresmian dilakukan beberapa bulan setelah mutasi pastor paroki ketika itu. Romo Stultjiens pindah tugas ke paroki lain, digantikan oleh Romo Borggreeve O.Carm. Sebagai pastor pengganti, beliau menyelesaikan sebagian bangunan gereja dan mempersiapkan pembangunan pastoran baru, sampai beliau digantikan oleh R. Hutten.

Pada masa Rm. Hutten, panitia pembangunan Gereja yang lama resmi dibubarkan dan dibentuk panitia baru pada tahun 1969, dengan SK Keuskupan Nomor : 15/16/S, tanggal 22 April 1969. Ketua I dan II dalam kepanitiaan ini adalah Bp. Petrus Pardjo dan Bp. Tjoa Ing Tjwan. Bp. HJ. Soewarno dan Bp. Ignatius Sulardjo menjadi Sekretaris. Bendaharanya Bp. A.L. Sawiji dan Bp. Bian Hwat. Sedang bidang usaha ditangani Bp. Sosrowibowo, Bp. Soetikno, Bp. Tan Hok Hian ( Soetanto ), Bp. So Han Sing, Bp. Kwee Swie Sing, Bp. Tristijono dan F. Sambonu.

Panitia bekerja menyempurnakan gereja dan membangun pastoran sampai perte tngahan tahun 1970 dan diresmikan penggunaannya pada tanggal 15 Agustus 1970. Romo mulai menetap di pastoran dekat Gereja. Pastoran di Jl. Sentana 1 dikembalikan kepada pemilik karena statusnya dalam sengketa sebuah keluarga. Demikian pula SDK kelas I - II digabung ke lokasi SDK di Jl. Mawar dan TKK dipindah ke Jl. J.A. Suprapto.

Dasa warsa enampuluhan telah dilewati oleh paroki sebagai masa penuh warna. Selain tragedi karena peristiwa G30S, paroki juga harus bekerja keras melengkapi diri dengan membangun Gereja dan Pastoran. Suasana kebersamaan setiap kali menjadi lebih kental dan dinamis dalam pergumulan semacam ini. Namun demikian tugas gereja tidak langsung selesai sesudah berhasil membangun gedung Gereja. Tugas yang harus dipikul Gereja masih mengantri panjang. Perjalanannya harus menjadi sebuah ziarah dalam kepekaan terhadap suka duka dan harapan masyarakat sekitarnya. Fasilitas gedung Gereja menjadi wadah perjumpaan umat dengan Tuhan dan sesama umat beriman. Menjadi juga tempat menempa diri untuk menjadi garam yang asin dan terang yang mampu bersinar dalam kegelapan. Pembangunannya yang dilakukan menyusul setelah lembaga pendidikan berjalan mantap menyingkapkan rencana Tuhan untuk mendahulukan nilai Kerajaan Allah dan yang lainnya ditambahkan.

Pengembangan Panca Tugas, 1968-1995
Setelah memiliki Gereja sebagai sarana utama untuk pastoral umat, Paroki memusatkan perhatian pada usaha-usaha mewujudkan panca tugas Gereja, yakni Paguyuban, Liturgi, Pewartaan, Pelayanan dan Kesaksian.

Pengembangan Paguyuban
Selain Stasi dan Lingkungan sebagai paguyuban yang dibentuk atas dasar pembagian wilayah, dalam paroki juga dikembangkan paguyuban atas dasar kebutuhan khusus karena faktor usia, minat, jenis karya dan tugas-tugas yang diemban.

Stasi St. Mikael Besuki
Sejarah misi mencatat misionaris-misionaris pada jaman kompeni sering berkunjung ke Besuki. Meskipun tidak mudah dilacak, dapat diperkirakan pada waktu itu sudah ada orang Katolik di Besuki. Sumber-sumber lisan hanya ingat pengalaman sekitar tahun 1958. Sejak tahun itu Besuki rutin mendapat kunjungan Romo yaitu Rm. Kramer, Rm. Stultjiens dan Rm. Boorggreeve. Jumlah umat hanya 2 orang, namun dilayani dengan misa di rumah Ibu Hong Kiok di Jl. Sawunggaling 527. Tahun 1960 jumlah umat masih 4 orang. Peningkatan terjadi selama satu dasawarsa kemudian hingga tahun 1970 jumlahnya sudah mencapai 25 orang.

Kapel stasi mulai dipersiapkan tahun 1980. Tanah untuk Kapel di Jl. Sapudi dibeli dengan harga Rp. 600.000,-. Modal awal untuk pembangunan Kapel hanya Rp. 300.000,- Dengan jerih payah keras pembangunan dapat diselesaikan dalam waktu setahun. Di kapel ini pelayanan misa diberikan 2 kali dalam sebulan, yakni pada Minggu I dan III. Pada Minggu II dan IV dilayani dengan ibadat Sabda tanpa imam oleh petugas awam dari Paroki. Ketika terjadi kerusuhan 10 Oktober 1996 kapel juga tidak luput dari perusakan. Kerusakannya tidak sangat parah, namun tetap perlu renovasi. Selama setahun misa dan ibadat sabda dipindahkan di rumah Bp. Ambrosius Agus Sinaryadi hingga renovasi dapat diselesaikan akhir tahun 1997.

Sejak awal umat rukun dan kompak. Perkembangan ini tidak lepas dari keuletan para ketua stasinya : Bp. A. Sunaryo, Bp. Ign. Jemmy, Bp. Ambrosius Agus Sinaryadi, Bp. Petrus Ponjol, Bp. Yohanes Deny Cipta dan Bp. Fx. Liman Hartono. Tahun 1980 dirintis Minggu Gembira. Berdasarkan pengalaman menangani Minggu Gembira, pada tahun 2006 Stasi mendirikan Play Group dan Taman Kanak-kanak “ Tunas Kasih “. Tahun 2008 dirintis pendirian Legio Maria Presidium Maria Tak Bercela yang belum diresmikan oleh Kuria.

Stasi St. Yoseph Asembagus
Sumber-sumber lisan dari Stasi Asembagus mengingat pendahulu mereka sudah ada sejak tahun enampuluhan, antara lain Keluarga Yohanes, Liu Seng, Balok, Hansing dan Keluarga pemilik Toko Tunas. Mereka tidak hanya aktif di Asembagus, tetapi juga di Situbondo. Misa diadakan di rumah keluarga secara bergantian setiap bulan satu kali. Rumah yang sering digunakan untuk misa adalah Rumah Bp. Gondo, wakil Tata Usaha PG Asembagus dan di Rumah Bp. Hadi, kakak dari Romo Puspo O.Carm.

Prakarsa untuk memiliki rumah ibadah datang dari Bp. Balok. Persiapannya dilakukan bersama Rm. Hutten. Dilakukan tahap demi tahap. Setelah mendapatkan tanah di lokasi kapel sekarang, dilakukan pemagaran lokasi dengan batu-bata yang dibuat dan dibakar sendiri oleh umat. Perijinan dilakukan dengan menggunakan nama Bp. HJ. Suwarno hingga dapat didirikan tempat yang pantas untuk rumah ibadah. Pembangunan berjalan sekitar setahun dan dapat diselesaikan pada tahun 1980.

Seiring dengan tersedianya rumah ibadah, stasi kemudian membentuk kepengurusan pada jaman Rm. Hadi. Tongkat pertama untuk ketua stasi dipercayakan kepada Bp. Martin Appel. Menyusul kemudian Bp. Herman dan Bp. Gunardi.

Kapel stasi Asembagus tidak luput dari kerusakan akibat kerusuhan 10 Oktober 1996. Bangunannya tidak sempat terbakar, namun seluruh perabot dalam kapel porak poranda. Renovasi yang dilakukan setelah kerusuhan menjadi kapel dalam bentuk seperti yang sekarang ada. Sekarang misa dapat dilayani rutin setiap Minggu II dan IV. Pada Minggu I dan III umat mengikuti Ibadat Sabda Tanpa Imam bersama petugas awam dari Paroki. Minggu Gembira diadakan setiap Minggu mulai pk. 08.00 sebelum misa atauibadat pada pk. 10.00 dengan pembina Bp. Martin Appel dan Ibu Suciwati. Selain faktor jarak tempat tinggal umat yang cukup berjauhan, kesulitan untuk berkumpul juga timbul karena kesibukan pekerjaan. Untuk mengatasinya para pengurus berusaha terus menerus menyapa umat dan menggiatkan doa berkala di rumah-rumah umat.

Kebersamaan umat digalang juga dengan mengadakan kegiatan khusus setiap hari raya Gereja, baik Natal maupun Paskah dan hari Pelindung Stasi pada pesta St. Yoseph. Bagi warga yang sakit, pengurus bersama umat melakukan kunjungan bersama-sama setelah kegiatan ibadah atau misa hari Minggu. Untuk melayani calon Katolik, Stasi mempercayakan pembinaannya kepada Bp. Martin Appel. Demikian pula untuk persiapan penerimaan Komuni Pertama dan Krisma. Stasi Asembagus di masa depan harus menggalang tenaga-tenaga muda untuk tinggal menetap di wilayahnya, karena banyak dari mereka harus menempuh pendidikan di tempat lain. Dengan doa dan usaha membangun paguyuban yang tekun harapan ini niscaya dapat dicapai.

Stasi St. Paulus Panarukan
Sebelum ditetapkan menjadi Stasi, umat Katolik di Panarukan jumlahnya sekitar 15 orang. Sejak tahun enampuluhan umat sudah mendapat kunjungan dari Rm. Kramer, Rm. Stuljiens, Rm. Borggreevee, dan Suster Yosea SPM. Suster memberi pelajaran agama bagi calon baptis di rumah Bapak Kristantunus Edy Suprayitno. Romo melayani misa secara bergantian di rumah Bp. Edy dan Bp. M. Sutikno. Dalam perjalanan waktu mulai dibicarakan keinginan untuk memiliki kapel sebagai tempat ibadah yang tetap. Bersama Rm. Hutten keinginan itu mulai diwujudkan dengan membeli rumah milik salah seorang famili dari keluarga Bp. Sutikno di Jl. Raya Panarukan pada tahun 1970. Dana untuk pembelian rumah digali dari swadaya umat dan bantuan yang digalang oleh Rm. Hutten dan Sr. Yosea. Rumah yang mereka beli dirombak sedikit pada bagian tenggah sehingga menjadi lebih luas untuk merayakan misa dan diberi nama Rumah St. Paulus.

Pada jaman Romo Blasius, tahun 1995 dilakukan renovasi total atas rumah tersebut dan didirikan di tempat yang sama sebuah kapel. Namun sekitar tiga atau empat bulan setelah pembangunan selesai, kapel yang belum sempat diresmikan itu dirusak oleh massa pada peristiwa 10 Oktober 1996. Kapel dibangun kembali sesudahnya dalam bentuk seperti yang sekarang ada.

Wilayah stasi meliputi Gelung, Pecaron, Kendit, Sumberkolak, Wringin Anom dan Paowan. Pertambahan jumlah umat meningkat sedikit demi sedikit dari keluarga-keluarga yang anaknya sudah baptis lebih dahulu melalui katekumenat sekolah. Kemajuan yang terjadi tidak lepas dari kegigihan para pengurus stasi. Pernah menjadi ketua stasi di Panarukan antara lain : Ibu Lusia Rustingatun isteri Bp. Kristantunus Edy Suprayitno, Bp. Antonius Lukas Sawidji, Bp. A. Y. Suparlan, Bp. Hendricus Suwadi, Bp. Y. Gunardi.

Sekarang ini secara rutin misa dilayani pada Minggu I dan III. Pada Minggu II dan IV umat mengikuti Ibadat Sabda tanpa imam dipimpin oleh petugas awam dari Paroki. Doa bersama di rumah keluarga semula dapat rutin diadakan seminggu sekali secara bergiliran. Kini masih dipertahankan tapi jangka waktunya satu bulan sekali. Minggu Gembira pernah dirintis pada jaman Bp. Antonius Lukas Sawidji ditangani oleh Bp. Hong Liang, namun kemudian surut dan dirintis kembali pada tahun 2007 setiap Minggu pk. 17.00, bersamaan dengan misa dan ibadat sabda, dengan pendamping Sdri. Elly dan Juli.

Kesulitan di tengah umat sering timbul terkait dengan ajakan untuk pindah ke Gereja lain. Pengurus Stasi berupaya menghadapi kesulitan ini dengan meningkatkan kunjungan keluarga secara berkala. Umat juga dipacu lebih giat dalam peribadatan di kapel dengan mengingatkan kembali janji yang digalang sebelum kapel direnovasi. Pertalian dengan masyarakat diwujudkan dalam bentuk santunan kepada warga menjelang hari raya keagaman Katolik atau Lebaran. Sekarang ini untuk pemeliharaan kapel, pengurus mempercayakan kepada sebuah keluarga Muslim. Panarukan berupaya agar kapel juga menjadi bagian dari keseharian masyarakat sekitar. Menyangkut sejarah Gereja Katolik jaman Portugis, pengurus masih terus berusaha melacak situs-situs lama di sekitar desa Kom. Karena tenggang waktu yang lama dan derasnya pembangunan di wilayah ini upaya yang dilakukan belum mencapai hasil yang memuaskan.

Stasi St. Bernardus Prajekan
Stasi Prajekan mulai dirintis pada tahun 1973 sebagai bagian dari Paroki Bondowoso. Ketika itu jumlah umat sekitar 10 orang, terdiri dari karyawan karyawati PG Prajekan. Misa hanya satu kali dalam sebulan, bertempat di Rumah Bp. I. Woeryanto, kompleks Rumah Dinas PG. Pada tahun 1993 Stasi Prajekan diserahkan kepada Paroki Situbondo dan diberi nama pelindung St. Bernardus. Jumlah umat sekitar 18 orang. Pelayanan misa diberikan 2 kali dalam sebulan pada Minggu II dan IV, bergiliran di rumah umat. Untuk menjalin kerjasama dengan Gereja-gereja Kristen lain dan masyarakat, pada hari Raya Natal sering diadakan Natal Ekumene, bertempat di Gedung Pertemuan Rono Puri milik PG. Pada jaman Rm. Ign. Irwanto pernah diusahakan untuk membangun kapel untuk peribadatan tetap. Tanah untuk lokasi pembangunan sudah berhasil dibeli. Namun proses pembangunan terhambat oleh sejumlah hal hingga sekarang ini. Stasi Prajekan masih menjadi umat peziarah dari rumah ke rumah untuk berdoa bersama. Namun dengan cara ini pula kebersamaan yang terbentuk menciptakan suasana kekeluargaan yang kental.

Pengembangan Lingkungan di Sekitar Gereja Induk
Setelah berkembang sebagai benih dalam bentuk paguyuban warga di beberapa pabrik gula sejak 1958, pada tahun 1970 Paroki mulai menata wilayah sekitar Gereja induk di Situbondo menjadi Kring. Keluarga-keluarga yang berdekatan dalam satu wilayah digabungkan dalam satu kelompok. Awalnya hanya dibentuk 2 Kring. Dalam perkembangan dimekarkan menjadi 3 Kring dan sesudahnya dimekarkan lagi menjadi 5 kring dan namanya diganti dengan istilah Lingkungan.

Pada waktu pembentukan pertama, Kring I dimotori Bp. Yovet Siwi, meliputi wilayah di sekitar Gereja. Kring II di daerah Ardirejo dipimpin Bp. Antonius Sutanto. Umat sungguh merasakan pengaruhnya. Tahun 1972 doa kring sangat aktif. Rumah yang digunakan sering tidak mampu menampung umat yang hadir. Maka pada tahun 1973 diputuskan untuk pemekaran kring baru, yakni pembentukan Kring III di wilayah Sucipto, Olean dan Basuki Rahmat, dengan motor penggerak Bp. Otto. Menyusul pada tahun berikutnya, dilakukan perubahan lagi. Selain berupa pemekaran Kring, juga dilakukan penamaan baru. Kring diganti namanya menjadi Lingkungan. Ketiga Kring yang sudah ada dimekarkan menjadi 5 Lingkungan dengan nama St. Aloysius, St. Yohanes, St. Pertus, St, Cicilia, St. Maria.

Hari Kamis setiap pekan menjadi hari untuk pertemuan rutin di semua Lingkungan. Masing-masing menjadwalkan pertemuan di rumah umat secara bergantian. Selain misa, pertemuan diisi dengan Pendalaman Iman oleh anggota Tim PI dan sering diisi pula dengan intensi khusus dari keluarga yang rumahnya ditempati untuk doa. Dalam beberapa tahun terakhir, Romo dijadwalkan misa harian di setiap Lingkungan pada hari Kamis pk. 18.00 secara bergiliran. Selain menjadi kesempatan untuk kunjungan, misa ini juga menjadi kesempatan untuk mengadakan berbagai pemberkatan-pemberkatan sesuai permintaan umat.

Dalam kurun waktu setahun, irama rutinitas pertemuan setiap Lingkungan kurang lebih sama. Selama masa Advent pertemuan difokuskan untuk persiapan Natal. Pada masa Prapaskah fokus untuk persiapan Paskah. Selama bulan Mei dilakukan doa rutin devosi kepada Bunda Maria. Pada bulan September mengikuti irama Bulan Kitab Suci Nasional dilanjutkan devosi kepada Bunda Maria pada Bulan Oktober dan doa untuk arwah pada bulan Nopember. Pada hari Pesta Nama dan Pelindung Lingkungan, masing-masing dengan berbagai cara memperingati dan merayakan bersama-sama dengan mengundang Dewan Pastoral Paroki dan pengurus dari Lingkungan lain dan pengurus Stasi. Dalam rangka pelayanan Liturgi, Lingkungan sudah cukup lama diberi tugas untuk koor, lektor, menghias altar, dll. Namun hingga kini pelaksanaannya dirasakan masih belum maksimal. Diperlukan kepengurusan yang lebih solid di tingkat Lingkungan agar tanggungjawab yang dipercayakan kepada Lingkungan dapat dipikul bersama dengan keterlibatan sebanyak mungkin umat.

Pembagian paguyuban umat sebagai Lingkungan merupakan pembagian yang tuntas. Dengan membagi wilayah dalam bentuk Kring atau Lingkungan, maka tidak ada satupun umat yang tidak terjangkau. Siapapun yang bertempat tinggal dalam satu wilayah secara otomatis masuk dalam Lingkungan setempat. Masalahnya tinggal pada masing-masing keluarga atau umat setempat : melibatkan diri atau tidak. Di tengah jaman yang makin berkembang sekarang, paguyuban kecil seperti Lingkungan menjadi penting untuk mewujudkan persaudaraan seiman. Jumlah ideal warga untuk satu Lingkungan adalah 20-30 KK dengan jarak yang tidak terlalu berjauhan. Jika dalam perkembangan jumlah KK dalam Lingkungan makin membengkak, maka Lingkungan itu harus siap dimekarkan. Dengan pemekaran Lingkungan ditambahkan pula kekuatan baru penggerak umat. Namun seringkali pemekaran tidak mudah dilakukan karena kuatir kehilangan keakraban.

Pengembangan Paguyuban Kategorial
WKRI ( Wanita Katolik Repoblik Indonesia, Cabang Situbondo )
WKRI telah dirintis sejak 1958 pada jaman Rm. Kramer sebagai cabang dari WKRI Keuskupan Malang. Sejak awal cakupan tugas yang diemban meliputi tugas pada bidang liturgi, pembinaan ibu-ibu paroki dan karya kemasyarakatan. Secara berkala WKRI mengikuti rapat tahunan di tingkat Dewan Pembina Daerah ( DPD ) dan pada Musyawarah Nasional, selain menyambut kunjungan dinas pengurus DPD. Selain berperan aktif dalam organisasi wanita ( GOW), WKRI juga selalu berusaha untuk mengikuti berbagai kegiatan tingkat Kabupaten, misalnya pada kesempatan peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI dengan mengikuti lomba gerak jalan, bola tik, donor darah, pasar murah, dll. Sesuai dengan kedudukannya sebagai organisasi massa WKRI mencoba menghadirkan Gereja di lingkungan pemerintahan dan masyarakat sekitar Situbondo. Ibu-ibu yang pernah berperan menangani WKRI antara lain Ibu Edy, Ibu Tien, Ibu Is dan Ibu Yohanes Nangameka.

Legio Maria
Legio Maria dibentuk pertama kali pada tanggal 15 Agustus 1968 pada jaman Rm. Borggreeve O.Carm. dengan nama Presidium Bintang Timur. Sempat vakum mulai tahun 1986 dan dihidupkan lagi pada tahun 1990. Pada tahun 2005 dibentuk satu presidium lagi yakni Presidium Pecinta Damai dan sejak 2008 dirintis pembentukan presidium di Stasi St. Mikhael Besuki, yakni presidium Maria Tak Bercela. Anggota Presidium Bintang Timur pada tahun-tahun terakhir ini 10 orang aktif dan 15 orang auksilier. Sedang Presidium Pecinta Damai, aktif 9 orang dan auksilier 5 orang. Presidium Maria Tak Bercela di Besuki belum diresmikan, memiliki 8 orang anggota aktif dan 8 orang anggota auksilier. Selain pertemuan rutin seminggu sekali, Legio mengemban tugas membantu pastor paroki dalam pelayanan pastoral, antara lain mengirim komuni untuk umat yang sakit, kunjungan keluarga, mendoakan umat paroki dan anggota legioner sendiri, serta karya untuk pengudusan lainnya. Legio Maria mewajibkan anggotanya untuk mengikuti ekaristi harian dan mendoakan Tesera. Dari permulaan hingga sekarang ini legioner di paroki antara lain : Bp. Ign. Bp. APM Supriyono dan Ibu Milka Landong, Bp. FX. M Yasin, Ibu Merry Wowor, IBp. Hartono, Ibu Magda, Ibu Agnes Suyati, Goddiva Samsida, Agnes Suprapti, Sulardjo dan ibu, Ibu Dermawan, Bp. Sambonu dan ibu,Ibu Rusli, Ibu Chenan, Ibu Sinta Chandra, Bp. Joko Marsudi, Ibu Yassin, Ibu Titin, Ibu Anna Supardjiah, Bp. Widodo, dll. Selain Romo Paroki, Legio memiliki pembantu pembimbing Rohani, yakni Bp. Yoseph dan Sr. Agnesa SPM.

SSV ( Konferensi Stella Maris Situbondo )
Serikat Sosial Vincentius merupakan paguyuban yang mendasarkan semangatnya pada St. Vincentius dengan memberi perhatian kepada orang miskin dan terlantar.Selain meningkatkan mutu hidup, karya serikat juga mendorong agar klien makin mandiri dengan berbagai bantuan yang diberikan. Di Situbondo SSV disahkan oleh Dewan Pusat di Paris sejak 1963 dengan nama konferensi BMV Stella Maris. Penggerak yang pernah aktif di konferensi Situbondo antara lain : Bp. Sutrisno, Bp. Sutanto, Bp. Marsuto, Bp. Wiyoto, Bp. Supardjo, Ibu Hook, Bp. Gunardi, Ibu Magdalena, Ibu Swandayani, Ibu Suryanto, Ibu Atik, Bp. Sambonu. Pada tahun 1963 SSV Situbondo menjadi Pengurus Dewan Daerah membawahi 7 konferensi.

PK ( Pemuda Katolik )
Pemuda Katolik Cabang Situbondo sebagai organisasi kemasyarakatan ( OrMas ) didirikan 1995 atas prakarsa Bp. Yohanes Nangameka, Bp. Vincentius Joko Marsudi dan Bp.Yustinus Sugeng Sunarto. Selain untuk memperkuat basis pemuda dalam bermasyarakat, pendirian Pemuda Katolik ini tak lepas dari keinginan untuk membina kaum muda paroki dalam jaringan kerjasama tingkat regional dan nasional. Peresmian berdirinya ditandai dengan Musyawarah Cabang I, menghadirkan Ketua Pemuda Katolik Jawa Timur, Ketua Pemuda Katolik RI, dan Ketua Komisi Kepemudaan Keuskupan Malang. Pemuda Katolik dalam programnya antara lain menangani Arisan Paroki dan kegiatan-kegiatan umat pada peringatan hari Nasional. Selain itu juga membidani lahirnya Yayasan Putra Samudera dan mempersiapkan kader-kader politik. Dalam rangka kaderisasi di bidang Sosial Politik pada tahun 1994 Pemuda Katolik mempersiapkan Alf. Rudi Alfianto untuk duduk di lembaga legeslatif Situbondo namun tidak berhasil. Usahanya baru berhasil pada Pemilu tahun 2004 dan bertahan hingga kini. Kepengurusan pada tahun pertama dimotori oleh Sdr. Antonio dilanjutkan Sdr. Agustinus Tri Suradi. Dalam perjalanan terakhir ini, Pemuda Katolik melangkah antara ada dan tiada.

PUKAT ( Persekutuan Usahawan Katolik )
PUKAT kependekan dari Persekutuan Usahawan Katolik. Forum ini dibentuk di Situbondo setelah peristiwa 10.10 untuk menyatukan kebersamaan umat yang bekerja sebagai usahawan dalam berbagai lapisan dan bidang. Selain mengupayakan siraman rohani bagi anggota secara berkala, Pukat juga menyelenggarakan arisan dan pembinaan kader-kader muda untuk mengembangkan usaha mandiri. Atas jerih payah PUKAT bersama umat, telah berhasil dipersembahkan aula St. Thomas Villa Nova, dua kapling tanah di sekitar pastoran, dan sejumlah perlengkapan gereja dan paroki. PUKAT masih terus menyelenggarakan arisan untuk mempersatukan anggota dan membantu pelaksanan berbagai kegiatan sosial dan pembangunan di paroki hingga sakarang. Dengan berhimpun dalam PUKAT, anggota didampingi untuk memperjuangkan penghargaan yang layak terhadap kaum pekerja dan meningkatkan kepedulian terhadap warga yang menderita di sekitar. Ketika berbagai bencana secara beruntun menimpa Situbondo, PUKAT menjadi jaringan yang diandalkan untuk menjangkau persekutuan-persekutuan di kota-kota lain. Dalam rangka pengembangannya di masa depan, PUKAT kini sedang berusaha menghimpun potensi baru dari kalangan usia muda dan mempersiapkan mereka dengan berbagai kegiatan untuk pelayanan dalam Gereja dan masyarakat.

KTM ( Komunitas Tri Tunggal Mahakudus )
Komunitas Tri Tunggal Maha Kudus ( KTM ) berkembang di Situbondo sejak 2004 sebagai paguyuban yang mempersembahkan karya doa dan pelayanan bagi orang sakit dan berbagai bantuan rohani lain. Kehadirannya di paroki memberikan warna keutuhan gereja yang dilengkapi dengan komunitas doa. Meskipun harus berusaha untuk dimengerti, KTM merambat sedikit demi sedikit meresapi keseharian anggota dan umat dengan kesetiaan pada Sabda, Ekaristi dan doa. Anggota mempunyai kewajiban untuk rajin menyambut Ekaristi, merenungkan Kitab Suci, menerima sakramen tobat dan melakukan doa pribadi dan dalam kelompok selnya. Penggerak komunitas ini antara lain Ibu Aris Atmaka dan Bp. Benny Kamallan. Pada bulan Desember 2007 komunitas menyelenggarakan retret di Susteran SPM Situbondo untuk melayani kehausan rohani umat. Selain pertemuan sel yang rutin diadakan di komunitas masing-masing, satu bulan satu kali diadakan pertemuan bersama di tingkat paroki.

Perkembangan Jumlah Umat Dari Masa Ke Masa
Data gereja berbeda secara mencolok dengan data yang dimiliki oleh BPS Situbondo terutama daridata tahun 2006. Jumlah yang dicatat di BPS Situbondo adalah 6.175 jiwa, sementara dalam catatan Gereja jumlahnya masih 2110 jiwa. Data yang mendekati fakta adalah data dari Gereja.

Ketua Dewan Pastoral Paroki Dari Masa Ke Masa
Istilah Dewan Pastoral Paroki mulai digunakan sejak 2008, mengantikan istilah Dewan Paroki yang digunakan pada masa sebelumnya. Selain mewujudkan peran serta umat dalam pastoral Paroki, pembentukan Dewan Pastoral Paroki juga menandai peningkatan mekanisme pastoral Gereja yang semula dipandang klerikalis.

Situbondo memiliki Dewan Pastoral Paroki sejak 1970. Dapat diperoleh data dari sumber-sumber lisan nama-nama umat yang pernah menjabat sebagai ketua Dewan:

A.J. Soeroso 1970-1976, Marsuto 1976-1979, F. Sambonu 1979-1981, Ismu Sutopo 1981-1983, HJ Soewarno 1983-1985, Harsoyo, 1986-1991, YB. Suyadi BK, 1991-1994, Bambang Harjito 1995-2000, Bambang Harjito, H.M. Sutjipto dan B. Setyabudi, 2011-2003, L. Amihadi, 2003-2010.

Masing-masing menghadapi tantangan pada jamannya yang berbeda dari waktu ke waktu. Namun semuanya memperlihatkan kesungguhan untuk membangun paroki menjadi gereja yang mandiri dan memasyarakat. Dengan panduan Anggaran Dasar Dewan Pastoral Paroki yang diumumkan pada awal Adven 2007, Dewan Pastoral Paroki mengemban tanggungjawab yang lebih besar untuk masa kini dan esok. Selain harus membina umat, Dewan Pastoral Paroki bertugas pula untuk membangun jaringan kerjasama dengan paroki-paroki lain dan masyarakat agar Gereja semakin nyata hadir sebagai garam dan terang.

SITUBONDO MEMBARA, 10 Oktober 1996

Keseharian yang landai paroki Situbondo selama puluhan tahun tiba-tiba kejut terperangah, Kamis 10 Oktober 1996. Semua tertegun seperti terjaga dari tidur. Fasilitas Katolik berupa gedung gereja, sekolah, susteran dan kapel-kapel dibakar massa. Tak jelas apa pangkal sebabnya, tak jelas pula apa kaitan dengan perkara pemicunya.

Sidang yang berlangsung di Gedung Pengadilan Negeri Situbondo, Jl. PB. Sudirman pada hari itu dijadwalkan untuk pembacaan vonis terdakwa. Massa yang besar terkonsentrasi di sekitar gedung pengadilan, mencapai jumlah hampir 2000 orang. Jaksa Penuntut Umum Riyanto mengajukan tuntutan 8 tahun penjara bagi terdakwa Soleh. Majelis Hakim yang terdiri dari M Ridwan R, Sumaryanto dan Suhartono menjatuhkan vonis 5 tahun penjara. Sedang massa di luar ruang sidang meng inginkan hukuman mati. Kekecewaan atas tuntutan dan vonis itu pada pk. 10.00 tgl 10 bulan 10 tahun 1996 itu segera menyulut ketegangan dan berbuntut kerusuhan.

Massa tidak hanya berteriak-teriak histeris. Mereka juga menyerang aparat pengamanan sidang itu dengan batu-batu dan berusaha merebut Soleh untuk diadili sendiri. Para Hakim, pegawai Kantor Pengadilan Negeri dan aparat keamanan berhamburan dengan berbagai cara untuk lolos dari kepungan massa. Karena Soleh tidak ditemukan, massa membakar gedung pengadilan dan Gereja Bethel Indonesia Bukit Sion di dekat Pom Bensin, sembari corat-coret hujatan di tembok. Dari kesaksian Komandan Kodim 0823 Situbondo, Letkol Imam Prawoto dalam Musda KNPI 12 Oktober 1996 di aula PG Panji terungkap Gereja Bukit Sion sudah dibakar hanya selang 30 menit setelah massa membakar gedung PN Situbodo, Namun yang membakar Gereja Bukit Sion adalah massa yang baru datang dengan beberapa truk dari arah selatan.

Sebelum semua sungguh tersadar oleh kerusuhan ini, massa yang beringas bergerak cepat mengalihkan amuknya ke lokasi lain di Situbondo dan sekitarnya, ke tempat-tempat yang tak ada kaitan langsung dengan peristiwa pengadilan itu, yakni fasilitas-fasilitas milik Katolik dan gereja-gereja Kristen serta sejumlah pertokoan. Berbagai sebutan diberikan untuk menamai peristiwa ini, diantaranya : “ Kamis Kelabu “ dan “ Peristiwa 10.10 “. Dari berbagai kesaksian dapat digambarkan kronologi peristiwa itu sbb :

Gelombang massa yang telah membakar PN Situbondo dan Gereja Bukit Sion bergerak ke arah timur menuju kota. Sebagian massa berjalan dengan histeria ke Jl. A. Yani, sebagian berbelok ke Jl. WR. Supratman ke arah Jl. Anggrek

11.30 GPIB di Jl. PB Sudirman diserbu. Aparat mencegah pembakaran gedung gereja karena letaknya bersebelahan dengan Polresta. Namun massa tetap mendesak masuk gereja, menjarah barang-barang gereja lalu membakarnya di jalan raya. Pada waktu yang bersamaan massa yang lain membakar Susteran dan TK St. Theresia di Jl. J.A. Suprapto. TK dan Susteran kosong. Sr. Alberta SPM yang ada di rumah sudah diungsikan ke rumah seorang warga Katolik di Jl. Santana sejak Pk. 09.00. Suster-suster lain pada hari itu sedang bepergian ke Probolinggo untuk mengikuti perayaan HUT SPM.

11.30 Sekelompok massa juga mulai berkumpul di depan kompleks Gereja dan sekolah Katolik di Jl. Mawar namun belum bertindak apa-apa. Jumlahnya sekitar 30 orang saja. Ketika itu pelajaran di sekolah masih berlangsung. Setidaknya masih ada 25 siswa di sekolah bersama sejumlah guru. Mereka masih ngobrol tentang kerusuhan di PN Situbondo dan Gereja Bukit Sion. Gerbang sekolah sudah ditutup sejak Pk. 09.00 atas permintaan seorang intel yang tak diketahui namanya. Guru-guru dan siswa yang tinggal itu kemudian evakuasi diri dari kompleks sekolah menyusul datangnya gelombang massa yang besar dengan kendaraan truk sekitar pk. 12.00. Massa dengan besaran sekitar 300 orang itu langsung memasuki halaman sekolah dan membakar gedung SDK, SMPK dan Pastoran. Kurang lebih 30 menit massa menguasai lokasi, kemudian pergi meninggalkannya. Dalam situasi yang masih mencekam, beberapa guru dan warga mencoba menyelamatkan gedung SMPK bagian utara yang belum terbakar.

Pk. 15.00 SDK dan Pastoran ludes. Gedung gereja aman dari api. Pastoran dan Gereja ketika itu hanya dijaga oleh koster dan Frater Burhan yang baru beberapa minggu menjalani tahun Pastoral di Situbondo. Romo Blasius Tira Pr, Pastor Paroki, sedang tidak di tempat, karena cuti. Fr. Burhan sedang mandi lalu meloncat melalui pagar belakang begitu gelombang massa dengan beringas mengepung dan membakar kompleks sekolah dan Pastoran. Dalam kekalutan itu tak ada berkas gereja yang sempat diselamatkan.

15.30 Sekelompok massa lain yang jumlahnya tak banyak dengan pakaian sorban
memasuki gedung Gereja. Mereka naik ke Balkon dan menyusun perabot dari kayu mendekati plafon lalu membakarnya. Sangat sistematik dan terencana. Gereja terbakar mulai dari bagian balkon di sisi selatan, menyusul bagian tengah dan utara. Pk 18.00 Seluruh bangunan gereja ludes terbakar, menyisakan tembok di ke empat sisi yang menghitam.

Pembakaran Gereja Stasi
Gerakan massa sejak tengah hari tidak hanya mengarah ke kota, tapi juga ke luar kota. Kapel Stasi St. Paulus Panarukan, Stasi St. Yusuf Asembagus dan Stasi St. Mikhael Besuki, tak luput juga dirusak massa.

Penyerbuan massa di Kapel St. Paulus Panarukan dimulai sekitar Pk. 14.00. Sebelum perusuh berdatangan pada pk. 14.00 Bp. Hendrikus Suwadji dan Bp. Eddy yang tanggap terhadap keadaan dengan sigap menyelamatkan lebih dahulu benda-benda penting dari dalam kapel. Sebuah doa pengharapan yang khusuk dipanjatkan dalam kapel itu oleh Bp. Hendrikus sebelum perusakan berlangsung. Selain keselamatan untuk seluruh umat, juga dimohon kan agar kapel tidak dirobohkan, karena ketika itu hutang pembangunannya belum tuntas diselesaikan. Kapel memang baru direhab total dan masih menyisakan tunggakan hutang. Perusuh yang datang dengan dua truk dan satu mobil bak terbuka itu kesulitan ketika berusaha menghancurkan kapel dan tidak berhasil merobohkan dindingnya. Bahkan ketika berbalik lagi pada pk. 20.00 untuk merobohkan dinding, mereka malah ditangkap oleh aparat keamanan seketika itu.

Kapel Stasi Besuki didatangi massa sekitar pk. 16.00. Warga sekitar sempat mencegah karena lokasi kapel berdekatan dengan rumah penduduk. Namun perusuh tetap menjarah barang-barang dari kapel dan membakarnya di halaman. Kerusakan yang dialami tidak separah tempat ibadah lain di Besuki yang dibakar massa sampai rata dengan tanah.

Kapel Stasi Asembagus diserbu massa yang datang dengan truk dan sepeda motor, sekitar pk. 15.00. Sejumlah peralatan dalam gereja sempat diselamatkan sebelum massa datang oleh Pak Hendro dan isteri. Gerbang pun dikunci rapat. Massa masuk ke halaman dengan melompati pagar lalu mermecah kaca-kaca, merusak pintu dan menjungkir balikkan bangku-bangku.Orgen diseret ke jalan dan dibakar bersama barang-barang dari Gereja Pantekosta. Gudang dibakar tapi sebelum api membesar dapat dipadamkan oleh PMK PG Asembagus .

Pembakaran Gereja-Gereja Kristen
Gereja-gereja Kristen di Situbondo, Banyu Putih, Asembagus, Panarukan dan Besuki mengalami nasib sama, diserbu massa sekitar tengah hari. Di Situbondo, selain membakar GBI Bukit Sion dan merusak GPIB, massa juga membakar Gereja Bethel Injil Sepenuh ( GBIS ), Gereja Sidang Jemaat Pantekosta ( GSJP ) di Jl. Argopuro, Gereja Pantekosta Pusat Surabaya ( GPPS ) di Jl. Basuki Rahmat, Gereja Pentekosta di Indonesi di Jl. A. Yani dan GKJW di Jl Anggrek.

Pembakaran yang dilakukan di GPPS tidak hanya menghanguskan gedung Gereja, tetapi juga keluarga pendeta yang tinggal di kompleks gereja. Ketika kerusuhan berlangsung keluarga pendeta semua berada di dalam rumah. Mereka terkepung dan tidak bisa meloloskan diri dari massa. Seluruh keluarga hangus terbakar dalam posisi berdoa bersama di Gerejanya. Mereka adalah Pendeta Ishak Christian ( 70 th ) ; Ibu Ribka Lena Christian , 65 th ( Isteri ); Elysabeth ( 20 th, anak ), Rita ( 25 th, anak asuh ) dan Nova ( 15 th, anak asuh ). Panti Asuhan Kristen “ Buah Kasih “, Sekolah Kristen Emmanuel dan sejumlah toko pun tak luput dari serbuan massa. Selain mengambil barang-barang, massa merusak jendela-jendela dan perabot sampai porak poranda. Tak ada yang salah dengan semua fasilitas itu, tapi entahlah massa dengan beringas meluluhlantakkannya.

Kerusuhan sehari itu meluas di lima kecamatan. Terhitung ada 24 Gereja dibakar. Di Situbondo menimpa 8 Gereja, 3 Sekolah, 1 Susteran, 1 Panti Asuhan. Di Panarukan 2 Gereja. Di Besuki 4 Gereja dan 1 klenteng Budha. Di Asembagus 3 Gereja. Sedang di Banyu Putih 7 Gereja. Amat mustahil jika diandaikan tanpa rencana.

Penanganan dari aparat dimulai dengan datangnya Kompi 514 pk . 14.00, yang waktu sedang latihan tempur di Bondowoso. Selain menangkap sebagian perusuh di pasar Mimbaan, tentara kompi 514 itu juga menyebar untuk mengamankan sejumlah fasilitas penting lain, kantor perbankan dan pompa bensin. Setelah malam tiba, Situbondo baru dapat terkendali.

1. Rekaman situasi umat 3 hari pertama
Begitu menyebar berita kerusuhan itu ke tengah umat, sebagian umat ada yang cepat-cepat mengungsi ke luar daerah. Sebagian hanya bisa terpaku berdiam di rumah atau di kantor dengan diliputi rasa tercekam, takut, sedih dengan doa penuh harapan dan penyerahan untuk mohon selamat dan perlindungan bagi semua. Ada pula beberapa orang yang turun ke jalan-jalan untuk melihat keadaan atau menyusup bergabung dengan massa untuk memantau gerakan mereka dengan perasaan getir karena menyaksikan hancurnya rumah Tuhan. Segala rasa campur aduk menyikapi peristiwa itu : takut, tercekam, lemas, marah, pedih, pilu, eman, iba, dan menangis merana, karena semua terjadi tanpa diduga dan tanpa sebab jelas. Isak tangis tak terbendung ketika umat bertemu di gereja yang masih menyisakan kepulan asap di malam usai pembakaran itu.

Sabtu, 12 Oktober 1996 dilakukan koordi nasi antara pengurus Gereja, Bp. Yohanes Nangameka, Bp. Yoseph Sudjiono dan beberapa guru SDK untuk mempersiapkan ujian sekolah SDK yang akan berlangsung Senin 14 Oktober 1996 dan kelanjutan proses belajar mengajar di sekolah Katolik. Untuk ujian sekolah, mereka mengajukan permohonan ke Pemda Situbondo dan diberi ijin untuk menggunakan gedung wanita sebagai tempat ujian dengan menggunakan bangku lipat, tanpa meja. Kegiatan belajar bagi sekolah-sekolah Katolik sementara waktu dilakukan di tempat yang masih bisa digunakan. SDK di gedung lama di selatan Jl. Mawar. SMPK menggunakan sebagian lokal di bagian utara yang tidak terbakar. Sedang TKK menggunakan aula di belakang kompleks susteran yang selamat dari kebakaran.

Sabtu dan Minggu,12- 13 Oktober 1996 tidak ada misa di gereja Katolik. Peribadatan di gereja-gereja Kristen juga ditiadakan. Romo Blasius Tira yang buru-buru balik ke Situbondo dari cuti untuk sementara menginap di rumah Bp. Petus Pardjo. Setelah kunjungan Bapak Uskup ke Situbondo Rm, Blasius diminta Uskup untuk tinggal di paroki Bondowoso.

2. Temperamen dan pola gerakan Massa
Sejumlah saksi peristiwa menuturkan massa pembakaran gereja terdiri dari orang-orang tua dan anak muda tanggung dengan pakaian sederhana. Ada yang pakai sarung. Bahkan banyak yang masih mengenakan seragam pelajar putih abu-abu. Mereka seperti berkelompok-kelompok. Dalam setiap kelompok selalu ada profokator yang berada di depan, dengan temperamen beringas, berbaju atau malah telanjang dada. Pemimpin berbadan atletis, ikat kepala hitam, diikuti beberapa anak buah bergaya pesilat, membawa pentungan dan mengawali perusakan dengan membakar ban. Komunikasi mereka memakai bahasa Madura, namun bukan dialek Madura Situbondo.

3. Kerjabakti Pembersihan Puing
Pembersihan puing-puing dilakukan beberapa hari setelah peristiwa. Selain oleh umat masing-masing gereja, dikerahkan pula sejumlah Ormas Islam dan semua pegawai Pemkab Situbondo dan masyarakat sekitar dibantu tentara yang dikirim dari Malang dan Surabaya.

4.Belarasa Berbagai Kalangan
Peristiwa 10.10 dengan cepat menjadi berita nasional dan internasional. Berbagai kalangan dengan cepat pula tanggap dan menyatakan sikap belarasa dan solidaritas nya dengan berkunjung ke Situbondo. Pada tanggal 12 Oktober KWI mengeluarkan surat keprihatinan yang dilansir di media massa. Umat yang sebelumnya seperti tertidur kemudian bangkit oleh solidaritas itu.

5. Perayaan Natal 25 Desember 1996
Natal 25 Desember 1996 dirayakan di bekas gereja yang hanya tinggal dinding di keempat sisi. Tanpa atap, tanpa bangku, duduk lesehan di lantai beralas tikar, dengan altar dan hiasan seadanya. Umat berjubel dan meluap sampai di halaman dan lapangan basket depan sekolahan. Misa dipimpin oleh Rm. Ant. Beny Susetyo Pr. Dalam perayaan yang monumental ini dipermandikan sekitar 100 orang calon baptis. Kehadiran umat yang jarang atau lalai ke gereja di waktu-waktu yang lalu menambah kesemarakan misa.

6. Pembangunan Gedung Gereja
Pembangunan gereja baru dimulai pada awal Januari 1997. Peletakan batu pertama dilakukan oleh dua Uskup, yakni Mgr. HSJ Pandoyo Putro O.Carm Uskup Malang dan Mgr. Hadi Wikarto Pr dari Keuskupan Surabaya dan sejumlah pejabat pemerintah. Dinding gereja lama dirobohkan, karena tidak diijinkan untuk dipertahankan sebagai monumen oleh Pemkab Situbondo. Hanya sebagian dari menara gereja yang dipertahankan. Luas gedung diperlebar dari pondasi gereja lama.

Sementara pembangunan berjalan, selama sembilan bulan perayaan misa dilakukan di bangunan sementara yang disebut “ Gereja Seng “. Letaknya bersebelahan dengan lokasi gereja yang sedang dibangun. Di tempat ini dengan meriah Pekan Suci 1997 dirayakan. Pada malam Paskah jumlah katekumen yang dibaptis juga banyak. Di tempat ini juga beberapa kali diadakan rekoleksi untuk pemulihan situasi batin umat dengan menghadirkan beberapa romo dan pemerhati. Untuk mendukung pembangunan Gereja, umat digalang membacakan “ Doa untuk Pembangunan Gereja “ dengan selebaran yang dibuat oleh paroki. Gereja Baru diresmikan penggunaannya oleh Bapak Uskup Malang pada jaman Rm. B. Hudiyono Pr.

Gereja Yang Bangkit
Berbagai kiprah Paroki Situbondo paska peristiwa 10.10


Upaya Pemulihan
Peristiwa 10.10 semula dialami oleh semua dengan perasaan getir. Namun tak lama larut dalam cekaman itu, umat bersama Romo Paroki dan berbagai elemen pemerhati mengupayakan pemulihan. Crisis Centre KWI membentuk Tim Pencari Fakta. Sejumlah tokoh nasional di sela kesibukannya yang padat meluangkan waktu khusus untuk kunjungan ke Situbondo. Ragam penafsiran yang berkembang disikapi dengan duduk bersama dalam semangat persaudaraan. Situbondo yang sebelumnya landai dan sepi menjadi begitu semarak oleh gebrakan-gebrakan dan kiprah “ Gereja Bangkit, Gereja Memasyarakat, Gereja Ramah Lingkungan “. Namanya muncul dalam percaturan nasional dan internasional, menyingkap tabir kekelaman yang selama ini tak dipandang dan diperhatikan orang,

Di tingkat Paroki bagi umat Katolik diupayakan pemulihan dalam bentuk ceramah dan rekoleksi, menghadir kan beberapa pemerhati DR. Daniel S. Paringga ; DR. Ery Seda, Rm. Sandyawan SJ, Rm. Adi Susanto SJ. dll. Pemulihan juga diperkuat oleh kunjungan beberapa tokoh nasional : Dirjen Bimas Katolik Pusat, K.H. Abdulrahman Wahid, Letkol. Suwardjono, Pendeta Wirasmohadi, dll.

Berkat kehadiran mereka, umat paroki dibantu dengan cepat melihat pokok persoalan yang mendasar di balik peristiwa 10.10 dan menemukan langkah-langkah konkret untuk dikerjakan bersama. Tragedi telah berubah menjadi semangat kebangkitan dan melahirkan sejumlah gebrakan yang mengejutkan.

Bersama masyarakat umum dilakukan berbagai kegiatan yang diprakarsai paroki dengan arahan dari Rm Beny Susetyo Pr. Selain ceramah pencerahan, di pondok-pondok pesantren diupayakan kursus komputer singkat untuk membantu para santri maju dalam tehnologi ini. Ketika pada tahun 1998 muncul gerakan reformasi, umat Katolik juga masuk dalam barisan pelopor untuk mendukung reformasi. Di tingkat regional dan nasional digalang terbentuknya Tim Pencari Fakta, FKAUB dan sejumlah diskusi lintas agama. KWI menerbitkan nota pastoral menjelang Pemilu 1999. Semua berupaya agar masyarakat jangan mudah melupakan peristiwa yang telah berlangsung, menahan diri dari tindak kekerasan dan memupuk rasa hormat satu sama lain, karena di balik peristiwa itu terbentang persoalan dasar kehidupan berbangsa yang selama ini selalu ditutup-tutupi dan ditekan. Semua juga berusaha agar kebersamaan di tingkat akar rumput hingga pucuk pimpinan sungguh digalang dengan tulus dengan menyingkirkan agenda-agenda tersembunyi. Paus Yohanes Paulus II sebagai pimpinan tertinggi Gereja Katolik seluruh dunia menyampaikan dukungan atas upaya-upaya positif itu, disamping keprihatinan dan kesedihannya karena rumah Tuhan diluluhlantakkan.

Selama beberapa tahun setelah peristiwa 10.10 pastoran di Jl. Mawar 50 selalu ramai oleh kehadiran rekan-rekan dari berbagai kalangan. Bazar dibanjiri oleh ribuan orang dilakukan di kompleks gereja atau di lokasi lain sebagai salah satu buah kerjasama paroki dengan elemen yang peduli pemulihan. Kegiatan jalan sehat dalam rangka ulang tahun kemerdekaan juga melibatkan peran serta warga memperlihatkan kesemarakan relasi yang dapat digalang pada waktu itu. Situbondo yang sebelumya sedikit muncul di media massa menjadi Situbondo yang tak pernah absen dari pemberitaan.

Tanggap Banjir 2002
Di tengah semarak kebersamaan paska peristiwa 10.10, Situbondo tiba-tiba dikejutkan lagi oleh banjir bandang Sungai Sampean karena jebolnya Dam Sampean Baru. Peristiwa ini dikenang dengan istilah Peristiwa 2.2. karena terjadi pada bulan Februari tahun 2002. Romo Haryono O.Carm yang bertugas sebagai pastor paroki ketika itu segera tanggap dengan keadaan dan mendirikan Posko untuk membantu korban banjir. Selain dipusatkan di gedung SDK lama di Jl. Mawar sebagai posko penyimpanan dan distribusi bantuan material, juga dibuka Dapur Umum di Jl. Anggrek Gg. VII di rumah Bp. Andreas dan Agustinus Tri Suradi. Namun karena luasnya wilayah dampak banjir dan keterbatasan tenaga relawan, dapur umum kemudian disebar di berbagai lokasi dengan melibatkan warga setempat. Posko mengambil peran sebagai pemasok bahan dan peralatan memasak selama kurang lebih tiga minggu.

Setelah melewati masa darurat, Paroki mengupayakan penanganan lanjut dampak banjir dengan mendirikan Balai Pengobatan di gedung SDK lama dan bertahan kurang lebih selama setahun. Untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal, paroki juga membangunkan beberapa rumah relokasi di Karang Asem, Talkandang dan Salewung dengan dana dari para donatur.

Tragedi kali ini tidak hanya menyadarkan umat untuk lebih memasyarakat, namun juga menjadi pelajaran arti bermasyarakat. Meskipun diri sendiri sama dengan yang lain menjadi korban, namun tetap mengulurkan tanggan untuk menolong korban yang lain.

Kegiatan-kegiatan akbar
Suasana semarak kebangkitan terus dilestarikan di paroki dengan berbagai kegiatan akbar yang menyusul setelah banjir 2002. Tidak hanya di kalangan orang dewasa, namun juga di kalangan anak-anak usia dini. Tidak sebatas kebersamaan dalam lingkup paroki namun juga dengan paroki-paroki dan lembaga gerejawi lain dari luar Situbondo.

Temu Akrab Minggu Gembira Regio Timur, 2 Oktober 2002
Temu Akrab Minggu Gembira yang diadakan 2 Oktober 2002 merupakan agenda kegiatan Bina Iman Usia Dini Regio Timur, yang telah dimulai di Bondowoso beberapa tahun sebelumnya. Situbondo dibanjiri sekitar 2000 tamu anak-anak usia dini dari Paroki Banyuwangi, CurahJati, Genteng, Jember, Tanggul, Bondowoso, Lumajang, Probolinggo dan Pasuruan yang sebenarnya termasuk regio Barat Keuskupan Malang. Ajang keakraban anak-anak ini dimaksudkan untuk pembinaan bersama, meningkatkan solidaritas anak-anak dan kerjasama antar pendamping. Kehadiran tim bina dari Paroki Celaket Malang sebagai pemandu acara makin menyemarakan jalannya temu akrab.

Aksi Panggilan
Menyusul sesudah sentuhan bagi anak-anakusia dini, semarak kebangkitan dikobarkan di antara para remaja dan orang muda dengan kegiatan Aksi Panggilan. Frater, Suster dan Romo yang hadir selama kegiatan ini sekaligus mendapat kesempatan Live In singkat di rumah umat. Selain ekspo dan sharing panggilan, kegiatan disemarakkan pula dengan penampilan dari frater, suster dan romo yang kocak dan menyegarkan. Umat mengenang dengan baik pengalaman sejenak bersama para frater, suster dan romo, meskipun dalam perjalanan selanjutnya masih sedikit yang kemudian terpanggil untuk menggikuti jejak mereka. Dari penelusuran sepintas, umat Situbondo yang pernah mencoba meniti panggilan untuk menjadi imam dengan belajar di Seminari antara lain Yohanes Suprapto, Ronny Siwi, Anis Sambonu, Bram, Tino dan Dion. Telah menjadi imam ada 3 orang, yakni Rm. Harry SJ dari Kapongan, Rm. Agustinus Marsuto OSC, Rm. C. Eko Atmono Pr. Masih menjadi frater Fr. Andreas SJ dan Fr. Andre Pr. Telah menjadi suster Sr. dari Sumber Waru dan Sr. Bernadeth Anggari Asih, anak dari keluarga Pak Legi.

Pesta Paduan Suara Gerejani 2006 di Situbondo
Situbondo pada tanggal 19 Nopember 2006 bersedia menjadi panitia Pesparani karena kebetulan Rm. Winuryanto sebagai Pastor Paroki sekaligus rangkap jabatan sebagai Ketua Komisi Liturgi Keuskupan Malang. Namun lebih dari faktor kebetulan itu, Situbondo menyediakan diri juga karena keinginannya untuk tetap menjaga semangat kebangkitan dari peristiwa 10.10, sebagaimana tersurat dalam tajuk kegiatan “ Umat Katolik Menjadi Berkat Bagi Masyarakat “.

Pesta Paduan Suara Gerejani 2006 di Situbondo diikuti oleh 13 paroki dari 29 Paroki di Keuskupan Malang, ditambah 2 tamu dari paduan suara Aloysius Gonzaga Surabaya dan Paduan Suara Seksi Musik Suci Komisi Liturgi Keuskupan Malang.

Paroki-paroki yang mengirimkan kontingen antara lain : Paroki St. Paulus Ambulu, Paroki Gembala Baik Batu, Paroki St, Yohanes Penginjil Bondowoso, Paroki Ratu Para Rasul Curahjati, Paroki Kristus Raja Genteng, Paroki St. Yusuf Jember, Paroki Annunciata Lodalem, Paroki St, Albertus de Trapani Blimbing, Paroki Maria Diangkat Ke Surga Celaket, Paroki Ratu Rosari Kesatrian, Paroki Permaisuri Damai Purworejo, Paroki Maria Tak Bernoda Tanggul dan Paroki Maria Bintang Samodera Situbondo sendiri sebagai tuan rumah.

Lagu wajib yang dilombakan adalah “ To Be Joyfull “ karangan WA. Mozart dan beberapa lagu gereja Inkulturasi sebagai lagu pilihan : Ke Altar Tuhan, Seluruh Jemaat Datanglah, Sambutlah Diri Kami Tuhan, Tuhan Membebaskan, Mulyakanlah Allah Bapa, Dosa dan Pengampunan, Kristus Beserta Kita, Gusti Memberkati, Rumah Yang Kokoh, KasihMu Tuhan, Wartakan Damai Tuhan, Sorak Sorai Para Kudus, Warta Malaikat, Hari Ini, Kobarkan Cinta, Kuatkan Iman, Harapan, Cintaku dan Satukan UmatMu.

Juara umum diraih oleh Paroki St. Yusuf Jember. Situbondo sebagai tuan rumah mendapat piala penghargaan dan pujian atas keberhasilan menjadi tuan rumah.

Penambahan Sarana Prasarana Pastoral
Selain dalam bentuk kegiatan, upaya menjaga semangat kebangkitan ditempuh dengan melengkapi sarana-sarana untuk keperluan bersama di Paroki. Pada tahun 1997 Paroki membeli sebuah rumah dari seorang pedagang logam mulia di Jl. Mawar 50 untuk Pastoran. Ketika itu bangunannya menjadi satu-satunya pastoran yang paling lapang di Keuskupan Malang. Gereja Seng yang difungsikan sebagai aula sementara kemudian dirombak total menjadi aula yang lebih permanen dan diberi nama Aula St. Thomas Villa Nova. Dengan sarana ini berbagai pertemuan umat dapat dilaksanakan dengan suasana yang lapang.Menyusul setelah pembangunan aula, dibangun gua Maria sebagai sarana devosi umat di ujung aula. Pembenahan dan penyempurnaan dilakukan kemudian untuk memperindah gua tersebut, termasuk penggantian patung Bunda Maria dari Semen dengan patung baru dari fiber yang masih bertahan hingga sekarang. Dalam rangka perluasan tanah untuk pengembangan sarana paroki di masa depan, PUKAT Situbondo berusaha membeli tanah di belakang pastoran pada tahun 2005 dan tanah dari keluarga Bp. Takik di sebelah pastoran pada tahun 2007. Tanah Makam untuk umat Paroki yang telah lama diidamkan diupayakan kembali pada tahun 2008 dan masih dalam proses penyelesaian untuk mendapatkan tanah makam di Kilen Sari Panarukan, menindaklanjuti hibah dari Kel. M.J. Sutikno kepada Gereja. Bagi kaum muda pada tahun 2006 disiapkan peralatan band untuk pengembangan talenta dan sarana menghimpun mereka, di tempatkan di Kantor Sekretariat paroki di belakang pastoran. Kendaraan Paroki diperbarui dengan harapan dapat mendukung mobilitas dan kelancaran pastor paroki dalam pelayanan, mengingat jarak stasi-stasi di Situbondo. Dalam rangka peringatan 50 Tahun Paroki dinding sebelah barat gereja dibangun dengan ornamen batu kali bersamaan dengan pembangunan Copula untuk Pieta atau Keluarga kudus oleh Agustinus Taufik Hadi Suryanto.

Tanggap Bencana Gempa 2007 dan Banjir 2008
Meskipun berjarak lebih dari satu dasawarsa, nuansa kebangkitan 10.10 tetap terasa ketika gempa menguncang Asembagus,10 September 2007 dan ketika banjir kembali menerjang Situbondo, 8 Februari 2008.

Bermodal dana sosial paroki dan bantuan dari Panitia Aksi Puasa Pembangunan KWI , Suster Putri Kasih Kediri, Pt. Era Data Surabaya, Paroki St. Andreas Malang dan sejumlah donatur, Paroki Situbondo menanggapi bencana Gempa Asembagus dengan membangun 6 lokal kelas di tiga SD Negeri Kedunglo. Di SDN II, III, dan VI Kedunglo masing-masing dibangunkan 2 lokal untuk mengatasi kesulitan sekolah menghadapi ujian akhir dan kelangsungan proses belajar mengajar karena kerusakan parah di gedung yang mereka miliki. Pelaksanaan pembangunan ditangani Agustinus Taufik Hadi Suryanto. Dikerjakan mulai 22 Oktober 2007 sampai 22 Desember 2007. Nuansa kebangkitan umat tetap terasa kental tampak dari kelengkapan data yang diperoleh oleh Seksi Sosial Paroki sejak 12 September 2007 dan kegairahan relawan dalam setiap kali melakukan bakti sosial. Diperoleh beras sebanyak 3,4 ton yang dihimpun pada misa pembukaan peringatan 50 tahun paroki 7 Oktober 2007 dan ratusan dus mie instan yang belum habis terbagi sampai datang musibah banjir 8 Februari 2008.

Banjir bandang 8 Februari 2008 dirasakan lebih parah dan meluas dari banjir 2002, karena banyaknya kawasan dampak banjir yang terkena. Banjir dari Sungai Sampean yang membelah Situbondo melanda 7 Kecamatan, 28 desa. Di bagian barat banjir datang dari bukit di Kecamatan Mlandingan melanda 3 Kecamatan 12 desa dengan karakter berbeda karena membawa bongkah batu besar-besar. Halaman gereja paroki kali ini dipenuhi lumpur sebatas polok kaki. Teras dan aula masih aman sehingga dapat digunakan untuk pengungsian warga sekitar ketika peristiwa terjadi dan sesudahnya. Dengan berbekal mie instan yang masih tersisa dari Bakti Sosial Gempa Asembagus, mulai malam peristiwa itu, Paroki langsung membuka Posko Dapur Umum di garasi pastoran. Relawan berdatangan dari berbagai tempat. Paroki Jember, Banyuwangi, Probolinggo dengan penuh semangat membantu posko selama hampir sebulan. Demikian pula pelbagai lembaga dari Malang dan Surabaya silih berganti mengirimkan santunan dan tenaga untuk meringankan beban korban. Pelayanan kesehatan yang berlangsung beberapa kali mendapat sumbangan besar dari kehadiran Suster-suster PK, Perdhaki Keuskupan Malang dan Surabaya, serta PT. Sidomuncul. Semua dapat merasakan, gereja benar-benar menjadi tumpuan korban di tengah situasi kalut dampak banjir. Selain bantuan kesehatan, perlengkapan tidur, pakaian dan perlengkapan dapur, Posko Mawar 50 bagian Dapur Umum mampu menyuplai sekitar 4000-7000 nasi bungkus setiap hari selama tiga pekan. Posko baru ditutup pada akhir Mei setelah menyelesaikan semua tanggungjawab distribusi bantuan kepada korban, baik di lingkungan umat Katolik sendiri maupun di tengah masyarakat warga. Semua memiliki harapan agar musibah tidak menjadi langanan berkala, karena setiap musibah datang berarti harus mengawali hidup mulai dari titik nol lagi

Tim Redaksi
Vincentius Tulam, Yohanes Nangameka, Ignatius Sunaryo, Bonifacius Basuki, Stephanus Purwono, Yohanes Suprapto, Markus Xaverio, Agustinus Taufik Hadi Suryanto, H. Sutjipto, dan Rm. J.A. Purnomo,sbg editor.

Narasumber Lisan
Bapak Teo Dores Keeltjes,Kristantunus Edy Suprayitno, Ibu Lusia Rustingatun,Ibu Vander Heyde, A.J Soeroso, P, Sosro, Bp. HJ. Suwarno, Ibu B. Martina, Bp. Marten Apple, Ign. Sulardjo (+), Ibu Helena Keeltjes, Ibu YasinBp. APM Supriyono, Ibu B. Odelia, Bp. YB Suyadi,Ibu Katarina dan Bp. Purnomo. Bp. Hendrikus Suwadi, Ibu Agustiene Trisye, Bp, Maspur, Bp. Suryanto, Ibu Suryanto, Ambrosius Agus Sinaryadi, P. Ponjol,

Pustaka
Bercermin Pada Wajah-wajah Keuskupan Gereja Katolik Indonesia, Dr. F. Hastorosariyanto, SJ,2001
Sejarah Gereja Katolik Indonesia 1A, IIIB, Dokpen KWI, 1974
Buku Petunjuk Gereja Katolik Indonesia, Dokpen KWI, 2005

Sekretariat Redaksi : Jl. Mawar 50 Situbondo, Telp. 0338.677460
Sumber : http://mawarlimapuluh.blogspot.com/p/sejarah-paroki.html

baca selanjutnya...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP