Salib Selayang Pandang
oleh: Romo Kamilus Ndona Sopi, CP
ARTI DAN MAKNA SALIB
Salib (Yun = stauros atau skolops; Lat = crux simplex) dimengerti sebagai dua balok kayu yang bersilang membentuk sudut 90 derajat, sehingga terbagi dalam empat arah. Salib adalah alat hukuman mati yang ngeri dan memalukan. Maka, tidaklah mengherankan kalau Cicero, sastrawan Roma menyatakan bahwa kata “salib” mesti dijauhkan dari tubuh, bahkan dari pikiran, mata, dan telinga warga Romawi. Demikian pula Paulus mengatakan, bahwa salib Kristus, bagi orang-orang Yahudi adalah “batu sandungan” dan bagi orang bukan Yahudi adalah “kebodohan” ( 1Kor 1:23; bdk Gal 5:11). Hukuman mati ini berasal dari negeri Persia, kemudian diambil alih oleh Yunani, dan sejak perang dengan Kartago, orang Roma pun menggunakan hukuman salib. Oleh bangsa Romawi salib dijadikan alat hukuman yang paling kejam terhadap para budak dan orang-orang asing (terutama jajahan) yang memberontak.
Kedua tangan si terhukum direntang, dipaku dan / atau diikat pada balok horisontal (patibulum), sedangkan kakinya pada balok vertikal (stipes). Kemudian salib dipancang ke tanah, sementara si terhukum dibiarkan tergantung sampai mati.
BENTUK-BENTUK SALIB
Guna memahami lebih dalam tentang bentuk-bentuk salib yang dikenal dalam kalangan Kristiani, di sini terlebih dahulu dipaparkan beberapa gambar kuno. Dalam kebudayaan Mesir kuno ditemui bentuk “Ankh”, yang di kemudian hari dipakai orang Kristen Koptik di Mesir dengan sebutan “Crux Ansata”. Selain Mesir, di daerah Mesopotamia kuno juga ditemukan lambang yang berpola dasar garis silang, yang disebut “Swastika” bila bengkok ke kanan, dan “Sauvastika” bila bengkoknya ke kiri. Lambang ini kemudian menyebar ke daerah Caucasus, Syprus, Athena, Macedonia, Italia, Galilea, dan Scandinavia. Swastika juga terkenal di India. Pelbagai candi, ukiran, lukisan, dan arca di sana senantiasa bergambarkan swastika.
Lambang ini sebenarnya sudah terdapat dalam kebudayaan asli Mohenjo Daro, sebelum kedatangan bangsa Arya. Setelah bangsa Arya memasuki India, swastika digunakan juga oleh kaum Hindu dan Budha.
Konon, hukum Yahudi menentukan bahwa para pemuja berhala, penghojat, dan pemberontak dirajam dengan batu dan digantung pada sebuah tiang. Mereka dibiarkan mati secara mengerikan karena dipandang sebagai yang terkutuk oleh Allah. Dan agar tidak menajiskan, maka mayat mereka segera dikuburkan (Ul 21:23; bdk Gal 3:13).
Dalam perkembangan selanjutnya orang lebih sering menggunakan salib dalam beberapa bentuk:
1) Salib Latin (Crux Immisa)
kayu berukuran panjang yang padanya diletakkan kayu palang yang lebih pendek. Dari papan nama (plakat) yang bertuliskan alasan hukuman, seperti yang dipasang pada salib di atas kepala Yesus, da-pat disimpulkan bahwa salib bentuk inilah yang dikenakan pada-Nya.
2) Salib Tau (Crux Commisa)
kayu palang diletakkan pada puncak balok vertikal. Bentuk ini disebut juga salib St. Antonius, mungkin karena menyerupai tongkat St. Antonius dan para pertapa lainnya di padang gurun.
3) Salib Yunani
kayu palang dan vertikal berukuran sama dan bersilang tepat di tengah.
4) Salib St. Andreas (Crux Decussata)
balok vertikal dan horisontal juga berukuran sama, tetapi persilangannya membentuk huruf X. Jadi, kedua kakinya sama-sama ditanam ke dalam tanah.
PROSES PENYALIBAN
Penyaliban kerap diawali penderaan. Cara mendera orang Yahudi berbeda dengan orang Romawi. Orang Yahudi tidak boleh memberikan deraan lebih dari empat puluh pukulan, masing-masing pada bahu kiri dan kanan, serta dada. Sedangkan orang Romawi tidak terbatas; mereka boleh memukul di mana saja. Alat penderaan terbuat dari cambuk yang ujungnya diperkuat dengan batu-batu timah atau tulang punggung binatang. Sebelumnya, tangan si terhukum diborgol dan diikat pada sebuah tiang yang tingginya berukuran kurang lebih 60 cm. Dalam posisi membungkuk, si terhukum didera oleh algojo-algojo yang tidak berperikemanusiaan. Kedahsyatan penderaan dapat mengakibatkan banyak luka dan darah di sekujur tubuh si terhukum, sehingga rupanya pun tak tampak (bdk Yes 1:6; 53:3-4). Luka-luka dan aliran darah bekas penderaan tentu saja mempercepat proses kematian.
Selanjutnya si terhukum dipaksa membawa sendiri kayu palang (patibulum) dengan lobang di tengahnya ke tempat eksekusi. Tempat eksekusi biasanya sangat strategis, agar mudah ditonton orang yang lewat. Di tempat ini telah dipancang tiang vertikal (stipes), yang ujungnya dibuat lebih kecil sehingga patibulum mudah dimasukkan. Kedua tangan si terhukum diikat terentang pada palang yang diletakkan di atas bahunya. Tali dililitkan pada tangan kanan membelit lengan, melingkari dada, lalu membelit lengan kiri, mengikat tangan kiri; ujung tali diikat pada pergelangan kaki kiri, sehingga ia terpaksa berjalan membungkuk, tidak bebas, dan menimbulkan tertawaan khalayak ramai yang menyaksikannya. Tiba di tempat hukuman, ia dibaringkan, pergelangan tangan dan telapak kakinya dipaku pada salib. Ada sebatang kayu kecil (sedicula) ditempelkan pada tiang untuk menahan berat badan. Biasanya sedicula ditempatkan pada bagian pantat ataupun pada telapak kaki. Dengan demikian lengan si terhukum tidak mudah sobek, dan ia akan bertahan lebih lama pada salib. Guna mempercepat proses kematian, si terhukum seringkali disesah dan kakinya dipatahkan (crurifragium) (bdk Yoh 19:31-32). Bagi yang tidak punya makam, mayatnya kerap dibiarkan membusuk, bahkan menjadi mangsa serangga dan binatang buas. Namun, sering juga kaum kerabat atau keluarga meminta izin dengan memberi sejumlah uang kepada penguasa, agar mayat si terhukum dapat dikuburkan.
SIMBOL-SIMBOL SALIB
Dalam pandangan publik, salib memang mengerikan, memalukan, bahkan menjijikkan. Namun dengan sengsara dan wafat Yesus, salib memperoleh cahaya dan arti baru. Dikatakan baru karena yang disalibkan justru Putra Allah yang tak bersalah, bukan hamba yang jahat dan memberontak; Ia disalibkan semata-mata demi keselamatan segenap umat manusia, bukan demi keselamatan diri-Nya. Salib mengandung simbolisme yang patut dipahami dan dihayati oleh setiap umat Kristiani. Sejak abad kedua para apolog gencar memperkenalkan salib bukan sebagai alat hukuman yang mematikan, namun sebagai alat yang “menyembuhkan”alam raya dan “menyelamatkan” manusia.
SALIB: LAMBANG KEHIDUPAN
Para ahli Mesir mengartikan “Ankh” sebagai simbol kehidupan yang dipertentangkan dengan kematian. Ankh diyakini juga sebagai milik para dewa yang diberikan kepada Firaun, raja Mesir, selaku penguasa kehidupan. Demikian pula dengan bentuk “Tau”. Kepercayaan masyarakat atas bentuk “Tau” sebagai tanda kehidupan mungkin berasal dari arti kata “tau” itu sendiri yang dalam bahasa Mesir kuno dibaca “kehidupan”. Orang Roma memakainya bagi tentara yang masih hidup, sedangkan bagi yang sudah meninggal digunakan istilah “theta”. Dalam Perjanjian Lama, tanda Tau juga menyimbolkan kehidupan, seperti yang difirmankan TUHAN kepada Nabi Yehezkiel, “'Berjalanlah dari tengah-tengah kota, yaitu Yerusalem dan tuliskan huruf T pada dahi orang-orang yang berkeluh kesah kerena segala perbuatan keji yang dilakukan di sana.' Dan kepada yang lain-lain aku mendengar Dia berfirman, 'Ikutilah dia dari belakang melalui kota itu dan pukullah sampai mati! Janganlah merasa sayang dan jangan kenal belas kasihan. Orang-orang tua, teruna-teruna dan dara-dara, anak-anak kecil dan perempuan-perempuan, bunuh dan musnahkan! Tetapi semua orang yang ditandai huruf T itu, jangan singgung!'” (Yeh 9:4-6b). Perintah Allah ini hendak membuktikan kasih-Nya untuk menyelamatkan mereka yang menderita karena kekejian.
Simbolisme perintah yang kurang lebih sama, juga ditujukan kepada Musa dan Harun. Lewat Musa dan Harun, Allah berfirman kepada segenap jemaah Israel di Mesir untuk mengoleskan darah anak domba Paskah pada tiang dan jenang pintu rumah orang-orang yang memakan-nya. Dengan pengolesan itu mereka akan dibebaskan dari murka Allah (Kel 12:1-28). Darah anak domba Paskah Yahudi ini menjadi lambang darah Kristus, Anak Domba Paskah yang dikorbankan bagi keselamatan umat baru, yang ditandai dengan salib. Simbolisme ini lebih jelas terungkap dalam Wahyu, bahwasannya keempat malaikat ditugasi Allah untuk memeteraikan hamba-hamba-Nya supaya tetap hidup.
Mengenai swastika atau sauvastika ada beberapa kebudayaan yang memberi arti kepadanya. Bagi orang Jerman kuno, swastika dilambang-kan dengan palu odam dewa Thor yang digunakan untuk mengolah dunia. Jadi, swastika melambangkan kekuatan dan kekuasaan dewa. Bangsa Mesopotamia menganggapnya sebagai kekuatan alam semesta.
Dalam kebudayaan Mohenjo Daro, India kuno, swastika dikaitkan dengan gambar naga, yang melambangkan kesuburan. Hinduisme meng-hubungkannya dengan Visnu yang menguasai kehidupan dan alam semesta. Sedangkan bagi Budhisme, swastika merupakan simbol peraturan jagat raya, termasuk aturan hidup manusia.
SALIB: POHON KEHIDUPAN
Dalam kebudayaan non-kristiani, salib dipertautkan dengan pohon yang oleh pelbagai suku bangsa kuno dilihat sebagai lambang: micro-cosmos dan manusia yang menuju macrocosmos; alam semesta, kehadiran Tuhan di dunia; hidup dan kesuburan; pusat alam sernesta; jalan menuju Tuhan; pembaharuan hidup; dan sebagai pusat hidup yang berawal dari “dunia atas” dan masuk “dunia bawah”. Hal ini melukiskan keterkaitan antara hidup di dunia dengan hidup kekal; keterkaitan manusia dengan para dewa.
Dalam melawan ilmu kebatinan dan penyembahan berhala, Hipolitus dari Roma merayakan salib dengan menghidupkan lagi seluruh simbolisme kuno (Paschal Homily 6). Baginya salib adalah sebatang pohon yang menjulang tinggi dari bumi ke langit, suatu tiang penopang alam raya. Sejalan dengan pandangan Hipolitus, Firmicus Maternus lebih jauh rnenekankan bahwa salib Yesus berfungsi menegakkan gerakan langit sekaligus memperkuat pondasi bumi.
Gambaran pohon atau kayu sebagai pratanda keselamatan memang tersebar di banyak tempat dalam Perjanjian Lama (lih. Kej 6:14-16, 18:1; Kel 4:2-5, 14:16, 17:5-6). Namun, yang paling jelas untuk ditelaah adalah gagasan yang tertera pada Kej 2:9, “Lalu TUHAN Allah menumbuhkan berbagai-bagai pohon dari bumi, yang menarik dan yang baik untuk dimakan buahnya; dan pohon kehidupan di tengah-tengah taman itu, serta pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat.” Pohon kehidupan melambangkan kekekalan Allah; sedangkan pohon pengetahuan melambangkan hasrat manusia untuk memiliki sekaligus menguasai norma-norma moral tentang yang baik dan yang jahat. Dan pohon pengetahuan inilah yang menjerumuskan manusia (Adam) ke dalam maut. Sehubungan dengan ini para teolog Kristen merefleksikan, bahwa sebagaimana pohon pengetahuan menjerumuskan Adam dan umat manusia umumnya ke dalam dosa, maka pohon salib digunakan Kristus sebagai sarana untuk memulihkan kembali hubungan mesra manusia dengan Allah. Jika “pohon Adam” membawa maut, sebaliknya “pohon Kristus” mendatangkan kehidupan. Jadi, sekalipun manusia telah diracuni buah pohon pengetahuan, namun disembuhkan kembali oleh Pohon Kehidupan (Lignum Vitae), yaitu Kristus, Adam Baru (bdk. Why 2:7; 22:2).
St. Ireneus dari Lion memadukan gambaran kedua pohon itu dalam aspek ketaatan Kristus dan ketidaktaatan Adam (manusia). Pohon ketidaktaatan Adam membawa maut, sedangkan pohon ketaatan Kristus menyelamatkan manusia dari maut (bdk. Rm 5:19).
SALIB: MISTERI KOSMIK
Pada abad-abad pertama para apolog memperkenalkan salib sebagai “misteri kosmik”. Perkenalan ini dimaksudkan untuk memberi corak kristiani ke dalam filsafat Yunani. Mereka melihat salib pada tata penciptaan. Penglihatan ini bertitik-tolak dari keyakinan mereka bahwa ketika menciptakan dunia dan segala isinya, Allah telah memikirkan peristiwa salib dan memberikan bentuknya pada jiwa kosmos. Maka, salib menjadi ukuran struktur dunia.
Bapa-bapa Gereja Timur selalu menggarisbawahi segi “kemuliaan salib”. St. lreneus misalnya menyatakan bahwa bentuk salib secara total menampakkan manifestasi kosmik. Demikian halnya St. Syrillus dari Yerusalem. Bagi Syrillus, Golgota adalah pusat seluruh lingkungan kosmos. Seluruh jagat raya berporos padanya, karena di Golgota, Allah merentangkan tangan-Nya untuk merangkul segala sesuatu. Gregorius dari Nissa melihat salib sebagai suatu cap yang dibubuhkan pada langit dan bumi. Maksudnya bahwa segala sesuatu berada di bawah kekuasaan salib dan dirangkul olehnya. Dengan demikian tepatlah pemyataan Paulus, bahwa betapa lebar, panjang, tinggi, dan dalamnya kasih Kristus (Ef 3:18). Salib menjadi tanda keselamatan universal, yang mempersatu-kan segala sesuatu, baik yang di surga maupun yang di bumi (Ef 1:10). Melalui salib Kristus, Allah memperdamaikan segala sesatu dengan diri-Nya (Ef 2:15-16).
SALIB: TIANG AGUNG KAPAL
Kapal adalah sarana pelayaran yang sangat penting bagi manusia, dahulu maupun sekarang. Dengan kapal orang bisa saja mengadakan perjalanan jauh antar pulau, baik untuk urusan perdagangan, peperangan, penyelidikan, maupun sekedar berpetualang. Keselamatan kapal dan penumpangnya sangat tergantung pada bagaimana kapal itu dibangun.
Pembangunan sebuah kapal tentu tidak terpisah dari tiang utama dan layarnya. Bahkan keduanya merupakan komponen penting, sekaligus sebagai simbol kekuatan, keamanan, dan kemenangan dalam suatu ekspedisi. Bentuk tiang dan layar yang terbentang amat mirip dengan salib. Oleh karena itu dalam apologinya, St. Yustinus memperbandingkan tiang dan layar kapal dengan salib. Kalau tiang dan layar kapal dapat menjamin keamanan pelaut, maka salib Kristus mampu mendatangkan keselamatan bagi manusia.
Gambaran tiang dan layar kapal melambangkan salib sebagai tiang agung Gereja, yang membawa penumpang ke tepian keselamatan, kendatipun dihadang ombak lautan yang menggelora. Sebagaimana kekuatan tiang dan layar dapat mendorong kapal melaju ke pelabuhan, demikian pula kekuatan salib dapat membawa Gereja ke pelabuhan keselamatan surgawi. Maka, kalau seseorang mengikat diri pada salib Kristus, ia pasti mencapai keselamatan kekal.
St. Ambrosius dari Hipolitus dalam katekesenya memuji mereka yang “terikat” atau setia memikul salib. Sebab kendati menghadapi keganasan dan gelombang rayuan dunia, toh mereka akhirnya sampai ke pelahuhan abadi. Gereja adalah kapal dan salib Kristuslah Tiang Agung-nya. Terikat pada salib menjadi syarat mutlak untuk mencapai keselamatan. “Setiap orang yang mau mengikuti Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikuti Aku” (Mat 16:24; Mrk 8:34; Luk 9:23; bdk. Mat 10:38; Luk 14:27). Dengan demikian, salib menjadi tanda kehidupan dan kemenangan bagi mereka yang setia mengikuti Kristus. Seperti Kristus yang telah mengalahkan dosa dan maut, serta mencapai kebangkitan melalui salib, begitu pula setiap orang yang mengikat diri pada salib akan mengalahkan dosa dan maut dalam hidupnya.
SALIB: TANDA ANTROPOLOGIS
Di samping sebagai tanda jagat raya, lambang salib dapat juga ditinjau dari aspek antropologis. Hal ini dapat diamati dari bentuk tuhuh manusia, yang bila tangan direntangkan terlihat secara jelas menyerupai salib. Simbolisme ini dapat diamati dari cara Musa berdoa ketika Israel berperang melawan orang Amalek. Selama perang, Musa berdoa dengan merentangkan kedua tangannya sehingga Israel menang. Sebaliknya tatkala ia menurunkan tangannya, maka orang Amaleklah yang meraih kemenangan (Kel 17:8-16). Jadi, kemenangan Israel dikarenakan oleh cara Musa yang berdoa dengan tangan terentang menyerupai salib.
Simbolisme ini memainkan peranan penting dalam Gereja purba; sebab selain menunjukkan sikap badan dalam doa, juga mengingatkan pendoa akan salib Kristus. Simbolisme yang sama juga digunakan dalam liturgi, di mana imam berdoa dengan tangan terentang. Sikap imam ini tentu merujuk kepada sikap doa Yesus di atas salib yang sungguh berkenan kepada Bapa-Nya demi keselamatan kita. Doa Yesus di atas salib membuktikan kekuatan dan kekuasaan-Nya yang penuh belas kasih dalam menghadapi maut.
SALIB: BUKTI KEKUATAN
Sejak Gereja awali, salib dilihat sebagai tanda mujarab untuk melawan kekuatan-kekuatan jahat yang kerap disimbolkan dalam rupa ular, naga, singa, dsb. Simbol-simbol tersebut dilawankan dengan salib Kristus, yang mengalahkan segala bentuk kejahatan. Tentang ini St. Petrus mengatakan bahwa iblis seperti singa yang mengaum-aum mencari mangsanya (1 Ptr 5:8; bdk. Why 12:3, 13:2.11). Oleh karena itu dibutuhkan perlawanan yang gigih. Dan satu-satunya “senjata” yang ampuh untuk itu adalah salib Kristus, yang kekuatannya melampaui segalanya.
Bertolak dari keyakinan bahwa salib mempunyai kekuatan untuk mengusir kejahatan, maka kaum Kristiani sejak dahulu senantiasa menandai diri dengan tanda salib. Membuat tanda salib menjadi kekhasan Kristiani, sebab dengan demikian orang Kristen menyatakan diri menjadi milik Kristus. Salib menyertai, mempersatukan serta menguatkan kaum beriman. Semula calon baptis ditandai salib pada bibir, mata, telinga, dll, justru untuk mengusir setan, serta menjadikan si calon pantas didiami Roh Kudus. Tanda salib yang diberikan oleh Uskup pada dahi calon Baptis dan Krisma juga menandakan bahwa si penerima sudah dikuasai salib Kristus.
Sekitar abad VIII ditetapkan cara baru. Tanda salib dikenakan pada dahi, dada, bahu kiri dan kanan, disertai seruan Tritunggal. Hal ini hendak menunjukkan keteguhan iman orang Kristen dan kekuatan salib Kristus. Juga mau menginsafkan kita akan permandian yang telah kita diterima melalui air dan Roh Kudus dengan ditandai salib (bdk. Yoh 1:26; Kis 1:5, 11:16). Penandaan pada dahi, dada, dan bahu sebagai peringatan, bahwa misteri salib perlu dipikir, dikenang, dan dipikul dalam perjalanan hidup ini. Dalam kegiatan liturgis, menandai diri dengan tanda salib juga dilakukan pada dahi, bibir, dan dada menjelang pembacaan Injil. Maksudnya, supaya Kabar Gembira keselamatan itu diterima dengan pikiran, diwartakan dengan bibir, dan dihayati dalam hati.
Perihal kebiasaan menandai diri dengan salib rupanya tertera pula dalam dokumen kuno, “Bila saudara tergoda, tandailah dirimu dengan salib, sebab inilah tanda sengsara yang terkenal kekuatannya melawan setan, bila dilakukan dengan iman ... iman sempurna terhadap Sang Anak Domba” (Traditio Apostolica 42). Tanda salib menjadi cara yang paling ampuh untuk menjauhkan diri dari setan dan godaan-godaannya. Karena itu bagi orang Kristen “tanda salib” menjadi hal yang sangat biasa dalam kehidupan beriman hingga sekarang.
Referensi:
1. S. Reksosusilo, “Salib dalam Budaya dan Budaya dalam Salib”;
2. C. Groenan, “Sengsara Tuhan Kita Yesus Kristus”;
3. Luigi di S. Carlo, “Renungan Sengsara Yesus Kristus”;
4. Gabriel Antonelli, “Retret Sengsara Kristus”
0 comments:
Posting Komentar