Sejarah Singkat Ekaristi
oleh: P. Thomas Richstatter, O.F.M., S.T.D.*
Pernahkah kalian ikut ambil bagian dalam permainan di mana semua peserta duduk melingkar dan orang pertama membisikkan suatu kalimat ke telinga orang di sebelahnya, dan orang di sebelahnya itu membisikkan kalimat ke orang di sebelahnya lagi, dan terus demikian hingga kalimat itu telah diteruskan ke semua orang dalam kelompok? Kemudian orang terakhir menyerukan kalimat dengan lantang, dan suatu kalimat yang semula adalah, misalnya, “My horse is afraid to go upstairs!” menjadi “My house has learned to say its prayers!”
Permainan ini sungguh menyenangkan, tetapi juga menggambarkan betapa sulitnya meneruskan informasi secara akurat dari satu orang ke orang lainnya. Dan jika sulit meneruskan satu kalimat, coba pikirkan betapa sulitnya meneruskan dari satu generasi ke generasi berikut sesuatu yang kompleks, mengagumkan dan misterius seperti Ekaristi Kudus!
Kesulitan dalam hal meneruskan ini kita temui diungkapkan dalam kisah tertulis paling awal mengenai Ekaristi. Kepada jemaat di Korintus, St Paulus menulis: “Apa yang telah kuteruskan kepadamu, telah aku terima dari Tuhan, yaitu bahwa Tuhan Yesus, pada malam waktu Ia diserahkan, mengambil roti…” (1 Korintus 11:23). Paulus selanjutnya mengatakan bahwa jemaat Korintus tidak secara akurat menerima apa yang diteruskan. Dengan tajam ia mengkritik cara mereka merayakan Ekaristi: “Pertemuan-pertemuanmu tidak mendatangkan kebaikan, tetapi mendatangkan keburukan” (1 Korintus 11:17). Adakah yang hilang dan tidak diteruskan? Apakah yang tidak mereka terima dengan benar?
Download file atau
Misteri Inkarnasi
Ekaristi merupakan suatu misteri yang kompleks. Tak seorang pun dari kita - tak peduli betapa terpelajarnya, tak peduli betapa kudusnya - dapat memahami sepenuhnya. Roh Kudus membantu kita untuk meneruskan ke generasi berikut apa yang telah kita terima dari generasi sebelum kita agar “Gereja tiada hentinya menuju kepenuhan kebenaran ilahi” (Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi, #8).
Tetapi tiada hentinya menuju kepenuhan ini terjadi dalam suatu cara manusia: terjadi pada suatu kurun waktu, selama berabad-abad, dengan periode-periode perkembangan pesat dan peride-periode yang ragu-ragu dan kemunduran. Allah bekerja “secara inkarnasi”. Allah telah menempatkan misteri-misteri ilahi, bahkan misteri agung Ekaristi, dalam tangan manusia. “PutraMu yang telah mewariskan kepada kami jaminan cinta kasih-Nya ini” (Doa Syukur Agung untuk Tobat II).
Inkarnasi Yesus dapat membantu kita memahami misteri Ekaristi. Kita percaya bahwa Sabda Bapa yang kekal mengenakan daging dan menjadi sungguh manusia. Dalam kodrat ilahi-Nya, Yesus telah ada sebelum segala masa bersama dengan Bapa dan Roh. Dalam kodrat manusia-Nya Yesus dari Nazaret adalah manusia dari jaman-Nya: Ia berpakaian seperti orang-orang Yahudi abad pertama lainnya, berbicara dalam bahasa mereka, menyantap makanan mereka dan hidup dalam budaya mereka.
Demikia pula, Ekaristi memiliki baik unsur-unsur ilahi maupun manusiawi. Sementara Ekaristi dulu, sekarang dan selamanya akan menjadi perayaan misteri Paskah wafat dan kebangkitan Kristus, misteri ilahi ini di”inkarnasi”kan ke dalam budaya manusia. Perayaan Ekaristi menggunakan bahasa, busana, sikap tubuh dan irama yang sesuai dengan budaya di mana Ekaristi dirayakan. Dan, sebagaimana budaya berbeda dari satu tempat dengan tempat lainnya dan dari abad ke abad, kita dapat menerima perbedaan-perbedaan yang demikian dalam perayaan Ekaristi.
Awal yang Beragam
Salah satu hal terpenting yang saya pelajari mengenai sejarah Ekaristi adalah bahwa tidak ada cara yang satu, seragam dan orisinil dalam merayakan Misa. Ada banyak cara merayakan Ekaristi sebagaimana ada banyak komunitas Kristiani. Hanya secara perlahan upacara-upacara ibadat ini menjadi lebih teratur dan seragam.
Sekitar abad keempat berbagai ritual dan kebiasaan ini mulai melebur ke dalam tradisi-tradisi setempat seputar kota-kota besar; tradisi-tradisi ini berkembang menjadi apa yang sekarang kita sebut ritus-ritus liturgi. Sebagai contoh, dari Alexandria ke Mesir kita mempunyai Ritus Koptik; dari Antiokhia, Ritus Syrian; dari Konstantinopel, Ritus Byzantine dan dari Roma, ritus Roma (ritus liturgi yang kita bicarakan dalam serial ini).
Ekaristi ber”inkarnasi” atau “menjadi daging” dalam kerangka budaya yang beragam ini. Bahasa yang dipergunakan oleh masyarakat setempat menjadi bahasa liturgis yang dipergunakan dalam Ekaristi: Koptik, Syrian, Yunani dan Latin. Busana, gerakan, makanan, bejana-bejana, musik, dll, dari daerah dimasukkan ke dalam liturgi. Inilah aspek-aspek manusia atau budaya dari Perayaan Ekaristi.
Tetapi tak satupun dari hal-hal ini yang membangkitkan amarah St Paulus ketika ia menulis kepada jemaat di Korintus. Ia tidak memusatkan perhatian pada busana yang mereka kenakan, bahasa yang mereka pergunakan ataupun bentuk bejana-bejana ataupun bentuk roti yang dipergunakan dalam Ekaristi. Ia memusatkan perhatian pada “unsur ilahi” - cara dengan mana Ekaristi mewujudkan misteri ilahi.
Misteri Iman
Satu cara untuk memasuki misteri Ekaristi adalah melalui ketiga peristiwa inti Misteri Paskah: Kamis Putih, Jumat Agung dan Minggu Paskah.
1. Kamis Putih: Misa adalah suatu perjamuan kudus di mana kita makan dan minum Tubuh dan Darah Tuhan kita, dan dengan kuasa Roh Kudus kita menjadi Tubuh Tuhan. Ekaristi mewujudkan misteri pengilahian kita, keikutsertaan kita dalam hidup ilahi Tritunggal Mahakudus.
2. Jumat Agung: Melalui pemahaman biblis akan anamnese (= kenangan), Ekaristi memungkinkan kita untuk hadir dalam kurban penebusan Kristus di Kalvari yang satu-kali-untuk selamanya. Ekaristi mewujudkan misteri keselamatan dan penebusan kita dalam Kristus.
3. Minggu Paskah: Dalam Ekaristi kita mengalami kehadiran Kristus yang Bangkit. Tuhan yang Bangkit begitu diidentifikasikan dengan para pengikut-Nya hingga apa yang kita lakukan satu sama lain, kita lakukan terhadap Kristus Sendiri. “Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Matius 25:40). Kehadiran Tubuh Kristus ini merupakan inti dari pengalaman awal St Paulus akan Yesus yang mengubahnya: “Saulus, Saulus, mengapakah engkau menganiaya Aku?” (Kisah Para Rasul 9:4). Ekaristi mewujudkan kehadiran secara real dan substansial dari Kristus yang Bangkit.
Kesulitan utama dalam meneruskan misteri iman dari generasi ke generasi seringkali terletak pada memelihara keseimbangan dan integritas dari ketiga makna inti ini.
Ketika Paulus menulis kepada jemaat di Korintus, keluhannya tampaknya adalah mereka makan dan minum perjamuan kudus mereka dalam kenangan akan Tuhan yang Bangkit akan tetapi mengidentifikasikan kehadiran Ekaristik dengan Kepala Tubuh tanpa mempedulikan anggota-anggota Tubuh Kristus di sini di dunia, teristimewa mereka yang miskin dan terpinggirkan.
Paulus mengkritik mereka sebab apabila mereka berkumpul bersama “bukanlah berkumpul untuk makan perjamuan Tuhan. Sebab pada perjamuan itu tiap-tiap orang memakan dahulu makanannya sendiri, sehingga yang seorang lapar dan yang lain mabuk.” Ia bertanya, “Apakah kamu tidak mempunyai rumah sendiri untuk makan dan minum? Atau maukah kamu menghinakan Jemaat Allah dan memalukan orang-orang yang tidak mempunyai apa-apa?” (lih 1 Korintus 11:17-22). Yang menjadi persoalan adalah cara dengan mana kehadiran Tuhan yang Bangkit dimanifestasikan dan dialami dalam perjamuan kudus dan implikasi moral dari kehadiran itu.
Perlunya Keseimbangan
Sementara Gereja meneruskan misteri Ekaristi dari generasi ke generasi, terdapat suatu pergulatan terus-menerus untuk meneruskan tradisi secara akurat. Menengok ke abad-abad lampau, kita mendapati periode-periode sejarah ketika dimensi Kamis Putih (perjamuan) dari Ekaristi tampaknya kurang dipentingkan dan umat pergi ke Misa tanpa ikut ambil bagian dalam perjamuan kudus, tanpa menyambut Komuni Kudus.
Ada masa-masa ketika kita melupakan dimensi komunitas dari Perjamuan Tuhan dan para imam mempersembahkan Misa secara pribadi dengan hanya seorang pelayan yang melayani. Ada masa-masa ketika dimensi Jumat Agung (Kurban) dari Ekaristi tampaknya terlalu ditekankan hingga mengaburkan hakekat sekali-dan-untuk-selamanya dari Kurban Yesus di Kalvari. Ini mengakibatkan reaksi dari pihak mereka yang meminimalkan dimensi Kurban Ekaristi dan menekankan Perjamuan Tuhan.
Gerakan Liturgis
Di awal abad keduapuluh, Roh Kudus mengilhami para ahli dari berbagai negara dengan pembaharuan perhatian dalam sejarah, ritual dan makna Ekaristi. Naskah-naskah dan catatan-catatan yang telah diabaikan atau hilang selama berabad-abad ditemukan kembali dan dipelajari. Banyak fakta-fakta baru ditemukan. Informasi baru ini membuka pintu bagi pembaharuan liturgis sebagaimana diwujudkan dalam Konstitusi tentang Liturgi Suci, dokumen pertama dari Konsili Vatican Kedua.
Sejak itu, kita melihat banyak perubahan dalam cara kita merayakan Ekaristi. Sebagian dari kita senang dengan perubahan-perubahan ini; sebagian lainnya tidak. Tetapi, bagaimanapun juga, banyak umat Katolik bertanya-tanya mengapa Ekaristi - tanda dan sumber persatuan kita - telah menjadi sumber dari begitu banyak perpecahan dan perdebatan.
Dinamika Perubahan
Bertahun-tahun yang lalu saya melihat suatu grafik yang memetakan dinamika perubahan. Garis-garis vertikal dan horizontalnya adalah “berapa lama” dan “tingkat kesulitan”. Sepanjang garis diagonal adalah: 1) fakta-fakta; 2) sikap; 3) perilaku dan 4) perilaku kelompok. Grafik menggambarkan bahwa adalah jauh lebih mudah dan cepat menerima fakta-fakta baru daripada mengubah sikap atau perilaku. Dan untuk mengubah perilaku kelompok bahkan terlebih sulit dan membutuhkan banyak waktu.
Sebagai contoh, bertahun-tahun yang lalu saya biasa merokok. Ketika pemerintah mulai mewajibkan label-label peringatan pada bungkus rokok dan program bahaya merokok muncul di televisi, saya mulai mempelajari fakta-fakta baru mengenai rokok. Sedikit demi sedikit saya menjadi yakin akan kebenaran fakta-fakta ini, tetapi saya terus merokok.
Bahkan setelah sikap saya berubah dan saya tidak suka merokok lagi, saya pun masih merokok. Hanya setelah upaya keras dan banyak kegagalan saya berhasil mengubah perilaku saya dan berhenti demi kebaikan saya. Dan sekarang, empatpuluh tahun kemudian, saya dapat melihat bagaimana perilaku kelompok telah berubah di restoran-restoran, bandara-bandara dan tempat-tempat umum.
Tetapi sebagian orang masih terus merokok. Mungkin mereka tidak mengetahui fakta-faktanya? Mungkin mereka mengetahui fakta-faktanya tetapi menafsirkannya secara berbeda? Mungkin mereka memang suka merokok? Mungkin mereka selalu merokok dan tak dapat atau tak hendak mengubah perilaku yang telah mereka nikamti selama bertahun-tahun?
Bagaimana hal ini berhubungan dengan Ekaristi? Selama empatpuluh tahun belakangan, saya telah mendaptkan banyak fakta-fakta baru mengenai Ekaristi. Saya mendengarkan Doa Syukur Agung dalam bahasa saya sendiri. Saya telah belajar bagaimana perjamuan merupakan tanda sakramental dari kurban. Saya memahami pentingnya makan dan minum. Saya melihat bahwa point Ekaristi bukan hanya perubahan roti dan anggur, melainkan juga perubahan umat, Gereja, menjadi Tubuh dan Darah Kristus.
Fakta-fakta baru ini telah mulai mempengaruhi sikap dan kesalehan saya. Sedikit demi sedikit mempengaruhi perilaku dan devosi saya - ke arah yang lebih baik, saya percaya. Dan saya yakin dalam duapuluh atau limapuluh tahun mendatang, kita akan mulai melihat perubahan-perubahan dalam perilaku kelompok kita. Pada saat itulah Ekaristi akan menjadi sumber yang begitu penuh daya kuasa dari kekuatan dan rahmat dalam hidup kita hingga orang akan berbicara mengenai kita sebagaimana mereka berbicara mengenai umat Kristen perdana, “Lihatlah betapa mereka saling mengasihi satu sama lain! Tak ada seorang pun yang miskin di antara mereka!”
Kita telah meninjau Misa dari berbagai sudut pandang - sakramen, kurban, perjamuan, kehadiran nyata. Akan tetapi umat Katolik juga menghormati Ekaristi di luar Misa, dan itulah yang akan menjadi topik artikel kita selanjutnya, artikel terakhir dalam serial ini
Fr. Thomas Richstatter, O.F.M., has a doctorate in liturgy and sacramental theology from the Institute Catholique de Paris. A popular writer and lecturer, Father Richstatter teaches courses on the sacraments at St. Meinrad (Indiana) School of Theology.
sumber : “A Short Histtory of the Eucharist,” Eucharist: Jesus With Us by Thomas Richstatter, O.F.M.; Copyright St. Anthony Messenger Press; www.americancatholic.org; diterjemahkan oleh YESAYA: yesaya.indocell.net
0 comments:
Posting Komentar