Gereja Diaspora: Cara Penyesuaian Diri
Mendekati konsep Gereja diaspora ala Y. B. Mangunwijaya meminta kita pertama-tama untuk mengelaborasi Gereja diaspora itu sendiri untuk menarik implikasinya pada misi Gereja Katolik di bumi Kalimantan.
A. Perkembangan Gereja Kalimantan dari masuknya para misionaris
Misi di Kalimantan telah dimulai sejak 1885. Daerah yang pertama-tama didatangi oleh para misionaris adalah Singkawang dengan umat Katolik pertama berjumlah 100 orang yang adah petani dan pedagang bangsa Cina. Berawal dari Singkawang, para misionaris mulai menuju wilayah orang Daya.
Di tengah suku Daya, hal pertama yang dilakukan sebagai sarana pendekatan adalah memperbaiki ekonomi masyarakat setempat, antara lain dengan mempropagandakan peternakan dan juga pengolahan hutan menjadi perkebunan dan persawahan. Usaha ini dilakukan supaya orang Daya bisa tinggal menetap sehingga bisa maju. Sampai pada tahun 1898 orang Katolik berjumlah 429 orang. Sampai pada akhirnya Misionaris Capusin datang pada tahun 1905.
Sampai pada saat ini, Gereja Katolik telah berkembang di Kalimantan dengan 8 keuskupan (Pontianak, Sanggau, Sintang, Ketapang, Banjarmasin, Palangkaraya, Samarinda, Tanjung Selor). Sebagian besar umat Katolik Kalimantan adalah penduduk pedalaman. Mereka tersebar di pelosok-pelosok pulau Kalimantan yang luas. Paroki-paroki dengan demikian memiliki wilayah teritorial yang amat luas pula dengan jumlah stasi yang bisa hampir mencapai ratusan, tersebar di wilayah teritorial yang amat luas.
Keterbatasan sarana jalan dan beratnya medan alam mengakibatkan pelayanan yang kurang maksimal pada stasi-stasi terutama yang jauh dengan pusat paroki. Jumlah tenaga pastoral yang tak sebanding dengan luasnya wilayah adalah kendala lain lagi yang kian membuat umat di stasi pedalaman jarang menerima pelayanan pastoral.
Beberapa tantangan itu adalah sebagian saja di antara tantangan-tantangan lain yang mengemuka yang sering dihadapi oleh pelayan pastoral saat ini. Tantangan itu antara lain pertama, masih kuatnya umat Katolik pedalaman berpegang pada sistem kepercayaan asli yang sarat dengan mitos. Nilai-nilai kebijaksanaan Kristiani memang terdapat pula dalam kebijaksanaan lokal mereka. Persoalannya adalah bagaimana kebijaksanaan-kebijaksanaan lokal itu ditransformasikan untuk mendapatkan pendasaran pada paham-paham kebenaran di dalam Gereja Katolik. Jadi bukan lagi didasarkan pada paham-paham atau kepercayaan yang sarat dengan mitos.
Kedua, mentalitas umat yang cenderung mau “menerima” daripada “memberi”. Mentalitas seperti ini terbangun dari cara pendekatan misionaris awal yang lebih cenderung memberi “ikan” daripada “kail”.
Ketiga, efek mentalitas yang telah mewarnai budaya kota merembes pula ke pedalaman. Sayangnya, efek modernitas yang merasuk ini tak selalu positif, melainkan negatif. Ini tampak dalam mentalitas hedonis dan konsumeris yang cukup berpengaruh bagi kehidupan moral umat pedalaman.
B. Motivasi Para Misionaris Dulu
Misionaris pertama yang datang ke Indonesia berasal dari Barat, khususnya Belanda. Harus diakui bahwa kedatangan mereka seiring dengan kedatangan serdadu tentara yang hadir di Indonesia dengan motivasi menjajah. Meski demikian, tentu berbedalah maksud kedatangan para misionaris dibanding dengan para serdadu. Realitas penjajahan justru mendorong mereka untuk mengentaskan manusia Indonesia dari keterbelakangan yang menyebabkan mereka mudah dijajah dan dibodohi. Jadi, realitas sejarah, yaitu penjajahan yang memiliki wajah mengerikan adalah salah satu hal yang membuat mereka memiliki semangat dan motivasi kuat dalam berkarya mengentaskan penduduk pribumi dari kebodohan dan kemiskinan. Semangat Pra Konsili Vatikan II yang berpegang pada pandangan bahwa di luar Gereja Katolik tidak ada keselamatan, adalah kemungkinan lain lagi yang mendorong dan menyemangati mereka untuk berkarya dan membabtis orang sebanyak mungkin (bdk. Mat 28:19-20). Asalkan orang dibaptis, maka ia akan selamat.
C. Gereja Diaporan dalam Situasi Konkret Kalimantan
Gereja adalah persekutuan orang yang dipersatukan dalam Kristus, dibimbing oleh Roh Kudus dalam peziarahan mereka menuju Kerajaan Bapa dan telah menerima warta keselamatan untuk disampaikan kepada semua orang (GS 1). Setiap anggota Gereja dipanggil untuk menjadi pewarta dan saksi tentang Yesus Kristus dan injil-Nya sesuai dengan kemampuan dan kedudukannya masing-masing. Bagi Gereja Kalimantan itu berarti diutus untuk mengikuti Kristus mewartakan kabar gembira Kerajaan Allah ke seluruh pelosok Kalimantan.
Namun, hal pewartaan ini tidak akan berjalan tanpa melihat situasi Kalimantan secara menyeluruh. Seperti yang ditegaskan oleh Mangunwijaya bahwa zaman berubah pesat, masyarakat pun berubah. Begitu pun dengan masyarakat Kalimantan. Terbawa arus budaya luar, terutama lewat program transmigrasi di beberapa daerah di Kalimantan telah terjadi pergeseran pola hidup masyarakat. Dfari hidup berkelompok menjadi terpencar-pencar. Rasa kekeluargaan yang dulu amat kental telah berubah menjadi individualis.
Berhadapan dengan situasi ini tampaklah bahwa benih sabda Allah mendapat tantangan yang besar. Untuk keluar dari tantangan itu tidak salahnya bila Gereja Kalimantan menuju Gereja diaspora. Hal-hal yang memungkinkan terbentuknya Gereja Kalimantan sebagai Gereja diaspora adalah sebagai berikut:
1. Kemajuan di bidang transportasi
Kemajuan di bidang transportasi mempengaruhi efektivitas pelayanan pada umat. Sekarang tidak banyak stasi atau kampung yang tidak dapat dicapai dengan sepeda motor. Apalagi dengan banyaknya proyek perusahaan dan dibukanya jalan-jalan baru memungkinkan prasarana yang memadai, seperti jalan, listrik sudah mulai menjangkau pedesaan. Hal ini mengurangi sedikit beban petugas pastoral karena hubungan antara paroki dan stasi-stasi semakin lancar dan pelayanannya lebih intensif.
2. Ada usaha memberdayakan kaum awam
Melalui pengembangan Gereja diaspora dimungkinkan mengecilnya mentalitas pastor-sentris. Gereja diaspora membuka kemungkinan meningkatnya keterlibatan umat dalam hidup menggereja. Wajah Gereja setempat akan tampak dalam partisipasi umat. Yang menjadi aktornya adalah katekis, guru agama, dan pemimpin umat yang terlibat langsung dalam karya pastoral, khususnya pendalaman iman umat setempat. Untuk itu perlu diadakan kursus pembinaan atau pendalaman sebagai bekal pelayanan mereka.
3. Ada usaha membangun jaringan kerja sama dengan lembaga lain
Misi Gereja tidak akan berjalan dengan baik tanpa kerja sama dengan pihak lain. Pelayan pastoral dilihat sebagai pemberi vitamin rohani kepada umat. Untuk menjawab kebutuhan rohani umat sehari-hari, maka Gereja dapat bekerja sama dengan lembaga-lembaga lain. Misalnya, kerja sama dengan instansi pemerintah setempat untuk mengusahakan kesejahteraan masyarakat setempat, melalui Credit Union kita dapat memberi masukan kepada umat bagaimana mengatur ekonomi rumah tangga mereka, melalui media massa, radio, Gereja dapat mengembangkan wawasan pemikiran umat sekaligus sebagai sarana dan pewartaan iman.
D. Gereja Kalimantan di Masa Depan dan Tantangannya
Bila Gereja diaspora benar-benar dikembangkan di bumi Kalimatan, maka wajah Gerejanya menjadi lain. Gereja Kalimatan akan menjadi Gereja yang kuat karena gerak pelayanannya dimulai dari akar rumput. Gereja terdorong untuk trus menerus membekali umat agar melibatkan diri dan berperan serta dlaam masyarakat atas dsar panggilannya sebagai saksi cinta kasih ilahi. Gereja diutus untuk mewartakan dan menjadi saksi kabar gembira dengan cara dan dalam bentuk yang sesuai dengan lingkungan setempat.
Terdorong oleh sifat misioner dan sifat mengakarnya Gereja pada masyarakat Kalimantan, Gereja Kalimantan akan menjadi pengabdi; Gereja yang terpanggil untuk melayani baik kepentingan Allah maupun kepentingan manusia. Dengan kata lain Gereja berpihak pada kaum miskin dan tersingkir. Hanya dengan demikian Gereja meninggalkan egosentrisnya dan terbuka dunia dalam semangat pengabdian. Namun, Gereja yang diidam-idamkan itu bukanlah tanpa tantangan. Ke depan Gereja Diaspora Kalimantan akan mengahadapi beberapa tantangan:
1. Perkembangan sarana audiovisual yang sulit dibendung.
Tantangan ini dirasakan paling mempengaruhi kehidupan masyarakat, termasuk hidup umat beiman sendiri. Perkembangannya mengakibatkan pergeseran nilai-nilai moral di kalangan umat, terutama kaum muda. Penghayatan iman dan moral mengalami kemerosotan. Kaum muda terbawa arus modernisasi tanpa mampu memilah-milah mana yang positif atau negatif. Misalnya, maraknya CD porno menaikan tingkat kriminalitas seperti pemerkosaan. Ditambah lagi minuman keras dan perjudian yang lebih menimbulkan pengaruh negatif daripada pengaruh positifnya.
Di perkebunan sawit (transmigrasi) umat sulit menghadiri ibadat atau ekaristi pada hari Minggu karena kerja lembur mendapatkan upah tambahan. Godaan-godaan di atas benar-benar mengancam kehidupan beriman yang akhirnya menimbulkan mentalitas materialistis dan konsumeristis.
2. Pluralitas suku, agama, dan budaya.
Belajar dari beberapa konflik di Kalimantan, tampak bahwa benturan antara satu kelompok dan kelompok lainnya antara lain timbul karena perbedaan budaya antara komunitas etnis satu dan yang lain, seperti Daya-Madura. Dampak konflik ini berimbas pada bidang kehidupan suku dan agama.
3. Tempat tinggal umat yang terpencar-pencar
Perkembangan, peleburan suatu stasi atau kampung menyebabkan banyak peta paroki berubah. Akibatnya, tidak jelas lagi wilayah-wilayah mana yang harus dilayani oleh tenga pastoral paroki. Hal ini menjadi kesulitan bagi petugas pastoral untuk melayani daerah tersebut. Dengan adanya peleburan dan pengembangan suatu stasi ditambah lagi program transmigrasi menyebabkan pemukiman umat terpencar-pencar. Umat sulit berkumpul bersama dan berdoa.
0 comments:
Posting Komentar