Sejarah Gereja Katolik Santo Servatius & Sejarah Umat Kampung Sawah (3)
Monseigneur Petrus Willekens SJ, Vikaris Apostolik Batavia tahun 1930-an.
Lampu Cabrok di Kampung Sawah pun Makin Terang
Pastor Cremers sangat berminat menerangi Kampung Sawah lewat pendidikan. Pada tanggal 24 Oktober 1936 ia memberkati Sekolah Misi yang sudah befungsi sejak 1925, tapi yang baru saja selesai dipugar. Pada hari yang sama ada 10 anak yang diperkenankan menerima Komuni Kudus untuk pertama kali. Koor paroki, yang dibintangi Lewi Noron, yang seharian bekerja sebagai koster gereja, pembantu pastoran dan tukang kebun, menyanyi lagu enam suara! Hari berikutnya, sebuah pesta rakyat bagi 60 murid sekolah, para orang tua serta warga paroki diselenggarakan.
Pastor tak berheni di situ. Ia mengirim beberapa pemuda ke Jakarta untuk mengikuti Cursus voor Voksonderwijzer atau Sekolah Guru Desa. Pemuda yang dikirim antara tahun 1936-1938 itu, yaitu Sulaiman dan Stefanus Kadiman, Martinus dan Petrus Napiun serta Lukas Pepe. Ketika sudah lulus, mereka ditempatkan di sekolah-sekolah Misi di bilangan Paroki Kampung Sawah. Tugas pertama mereka jelas, mencari murid-murid sendiri, setelah berkumpul, mereka jadi gurunya dengan gaji awal Rp11,- sebulan.
Sebuah foto keluarga yang menampilkan beberapa tokoh umat dan tokoh masyarakat Kampung Sawah tahun 1930-an.
Selama Pastor Cremers tinggal di Kampung Sawah, Gereja Katolik mengalami kemajuan di bidang pendidikan yang amat mencolok. Jumlah sekolah yang berdiri adalah 11 sekolah dengan jumlah murid lebih dari 377 orang. Pastor Cremers yang dalam pelayanannya sangat dibantu oleh Bapak Soebroto dan Engku Poespasoepadma terus mengembangkan pendidikan, meski sebagian besar sekolahnya masih menumpang di ruangan-ruangan yang disewa dari masyarakat.
Tak berhenti di situ, pada tahun 1938, 2 anak keturunan Cina Kampung Sawah, Aloysius Entong Lim Tjian Lan dan Yuventius Yosef Tjiploen dikirim Pastor Cremers ke pusat pendidikan Katolik di Tomohon, Sulawesi Utara.
Untuk mempersatukan para guru dan menambah jiwa kerasulan mereka, Pastor Cremers mendirikan sebuah perkumpulan Unio Institutorum. Sebulan sekali, para Tuan Engku memakai topi capyo[8] atau pakai topi laken berkumpul di pastoran guna memperoleh bimbingan khusus dari pastor. Dalam pertemuan berkala itu orang wajib memakai bahasa Melayu. Mereka yang ngomong Jawa atau Belanda langsung didenda.
Tradisi Perayaan Sedekah Bumi di Kampung Sawah yang berlanjut sampai kini
Asal-Usul Perayaan Sedekah Bumi
Peran Engku Poespa sebagai pendamping Pastor Cremers sangat besar. Bahkan tercatat, ia berhasil membujuk Pastor Cremers memberkati panen padi umat. Pastor setuju. Maka terjadilah sebuah upacara Sedekah Bumi pertama yang masuk sebagai tradisi inkulturasi gereja. Kegiatannya dilakukan di di halaman rumah Pak Yafet Napiun dan Pak Nian Pepe. Bentuknya sederhana. Pemberkatan panen dan pembagian sebagian panenan itu kepada para penderep, orang-orang yang membantu si empunya sawah untuk memetik panenan.
Tradisi ini kemudian juga dilaksanakan dalam wujud persembahan dalam ekaristi di mana umat menyerahkan hasil buminya langsung kepada Tuhan dalam misa kudus di gereja. Kelapa, durian, nangka, rambutan, singkong, padi, dan berbagai hasil bumi lain adalah sebuah pemandangan yang jamak ditemui pada persembahan-persembahan di Gereja Kampung Sawah saat itu.
Acara Sedekah Bumi kemudian dikembangkan menjadi sebuah upacara khusus di Gereja Kampung Sawah sekitar tahun 1996. Tanggalnya adalah setiap 13 Mei, tanggal pesta Santo Servatius. (bersambung)
Sumber : http://www.servatius-kampungsawah.org
0 comments:
Posting Komentar