Sejarah Keuskupan Purwokerto
Wilayah yurisdiksi gereja keuskupan Purwokerto meliputi Bagian Barat Propinsi Jawa Tengah, terdiri atas daerah Pantai Utara dari batas Cirebon sampai Semarang, Pantai Selatan dari batas Daerah Istimewa Yogyakarta sampai batas Jawa Barat, antara kedua daerah itu terbentang lembah Sungai Serayu terapit oleh pegunungan, yang Utara menyambung G. Slamet dengan Pegunungan Dieng, sedang di Selatan adalah kepanjangan G. Sumbing dan Sundoro. Daerah tengah itu sejak kuno dikenal sebagai Pasir dan kemudian Banyumas. Letaknya antara Kerajaan Pajajaran dan Galuh di sebelah Barat, sedang di Timur Kerajaan Mataram.
Di samping Banyumas (Kabupaten) Mataram juga membawahi Kabupaten Tegal, Brebes, Pemalang, Pekalongan, dan Batang. Daerah itu diserahkan kepada VOC pada tahun 1709, yaitu akhir Perang Suksesi I. Daerah lainnya masih masuk lingkungan Mataram dengan nama Monconegoro (sebelah Barat). Sehabis perang Diponegoro pada tahun 1830 masuk daerah langsung di bawah Pemerintah Hindia Belanda. Dalam reorganisasi administrasinya terciptalah Kabupaten Banyumas, Purwokerto, Purbalingga, Banjar negara, Wangaba, sedang di selatan didirikan Kabupaten Cilacap, Kebumen, Karanganyar, Purworejo (dulu Bagelen).
Sesudah Perang Diponegoro di tiga kota terakhir terdapatnya detasemen tentara kolonial untuk menjaga terulangnya pergolakan dari Timur. Untuk menduduki jabatan bupati di daerah itu diangkatlah elite lokal yang selaku otokrat besar pengaruhnya di kalangan rakyat. Keluarga elite itu antara lain Kertapati, Arungbinang, Hanggawangsa. Kabupaten di Pesisir Utara yang telah berdiri sejak Mataram, diperintah oleh keluarga aristokrasi yang telah memiliki hubungan darah dengan Keraton Mataram, antara lain karena masih diberlakukan sistem patrimonialisme (birokrat yang diangkat masih mempunyai hubungan pribadi dengan raja atau patih). Beberapa keluarga aristokrasi itu antara lain Jayaningrat (Pekalongan, keturunan Cina), Pusponegoro (Batang, idem keturunan Cina), Martalaya Wiranegara (Brebes).
Dari sejarah pelayaran dan perdagangan Nusantara sejak jaman prasejarah Pulau Jawa boleh dikata “menghadap” ke Utara dan dengan demikian daerah Pesisir Jawa Tengah telah mengalami perkembangan sejak kuno. Lagi pula aliran besar kebudayaan dan agama, Hindu-Budhisme, dan Islam datangnya dari Utara, maka wajarlah apabila pusat-pusat kerajaan sejak 1500 terdapat di Utara Jawa Tengah dan Jawa Timur, seperti Demak, Kudus, Jepara, Tuban, Gresik, Surabaya, dan Panarukan. Antara Cirebon dan Demak timbul banyak kota pantai dan daerah Islam yang kuat. Mengenai sejarah Islamisasi di Jawa pada umumnya berdasarkan tradisi dikaitkan dengan kegiatan para tokoh, ialah para Wali, sembilan jumlahnya, antara lain Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Ampel, Sunan Gunung Jati.
Di daerah Banyumas proses Islamisasi diceritakan sebagai mitologi atau legenda, sebuah cerita seputar Syeh Jambu Karang yang makamnya terdapat di Gunung Lawet. Kalau di Pesisir Jawa Tengah dan Jawa Timur makam para Wali dan orang keramat cukup tersebar luas, di daerah Banyumas sampai pantai Selatan adalah sangat langka. Ini tidak berarti kalau daerah itu penganut agama Islam kurang kuat “ke-santri-annnya”. Yang jelas ialah bahwa dalam bagian kedua abad ke-19 kehidupan agama Islam mengalami revivalisme, terbukti dari meningkatnya angka jumlah naik haji, dan berdasarkan laporan pejabat Belanda (Residen dan Controler) banyaknya jumlah tarekat. Di samping itu gerakan tasauf (sufisme) berkali-kali sangat menonjol, seperti gerakan di bawah pimpinan Kyai Haji Maulani dari Lengkong, K.H. Nurhakim dari Pasir Wetan dan K.H. Malangyuda dari Rajawana Kidul.
Di samping itu perlu dicatat gerakan mesianistis dengan tokohnya Jumadil Kubro. Pengaruh dari gerakan sebelah Utara Pegunungan, yaitu yang dipimpin oleh K.H. Rifangi dari Kalisalak (Batang-Pekalongan), kemudian terkenal sebagai gerakan Budiyah, para muridnya tersebar luas di desa Pesisir, Wonosobo, Banjarnegara, Purbalingga. Sangat khusus gerakan mesianistis yang dipimpin oleh Kyai Sadrah dari seputar Karanganyar (Bagelen). Dalam abad ke-20 di sana sini masih muncul gerakan milenarisme,seperti dari Bapak Semanu dari desa Loano (1947-1950). Rupanya di kalangan rakyat pedesaan masih ada kecenderungan kuat ke arah gerakan mesianisme di satu pihak dan sufisme di pihak lain. Kedatangan Misi dan Zending di Kota-kota rupanya tidak langsung berhadapan dengan aliran-aliran itu, maka coexistentie dengan mudah terjadi. Gerakan yang cukup radikal ialah yang dipimpin oleh Kyai Haji Rifangi tersebut di atas, terutama karena sikapnya anti penjajahan, namun setelah berubah menjadi gerakan sufisme lagi dimusuhi penguasa kolonial.
Perkembangan birokrasi Hindia Belanda beserta sistem administrasinya selama abad ke-19 dan lebih-lebih pada awal abad ke-20 disertai pertumbuhan kota-kota kecil, antara lain ibukota kabupaten. Lagi pula industrialisasi bersama perkembangan komunikasi, transportasi dan komersialisasi meningkatkan urbanisasi. Di kota-kota itu terdapat penduduk beraneka macam suku, bahasa, serta kebudayaannya,sehingga terwujudlah masyarakat pluralistis. Eksistensi golongan Belanda, khususnya dan Eropa pada umumnya, golongan Asia, Cina, Arab, India dan lain sebagainya, dengan sendiri memunculkan agama Kristen, baik Katolik maupun Protestan, Hindu, Budhis, Konfusius, dan lain sebagainya. Kenyataannya ialah bahwa bagi keperluan golongan-golongan Eropa itu dibangun gereja. Jelaslah bahwa dari paroki kota-kota itu mulai ada pemencaran terutama agama Kristen. Didirikan stasi-stasi yang secara berkala mendapat kunjungan imam atau pendeta dari kota.
Selanjutnya dua jenis lemaga yang sangat membantu pemencaran agama, ialah sekolah Misi dan Zending, rumah sakit. Pada tingkat perkembangan itu mulailah berdatangan tenaga biarawan dan biarawati Belanda untuk berkarnya sebagai guru dan perawat. Dengan tenaga pengajar yang memiliki wewenang penuh kedudukan sekolah Misi/Zending banyak menarik murid, terutama yang ingin belajar bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Dalam hubungan itu kedudukan sekolah guru mempunyai peran yang amat penting.
Perlu disebut di sini sekolah guru di Muntilan di bawah asuhan kaum Jesuit (Kweekschool, H.I.K. dan Normaalschool). Frobelschool di Mendut di bawah asuhan Zuzter Fransiskanes dari Heythuizen, dan Sekolah Normal putra dan putri di Ambarawa. Sekolah-sekolah tersebut memegang peran strategis bagi pembibitan masyarakat Katolik di mana-mana. Di situ pihak sekolah tersebut masih relatif langka dan di pihak lain jaringan transportasi sudah memungkinkan mendatangkan murid dari jarak jauh, antara lain dengan pendirian internaat (asrama).
Pada jaman pasca-revolusi perkembangan lembaga pendidikan Katolik berubah dan sangat menonjol, antara lain karena kemungkinan yang diberikan oleh Republik Indonesia lebih luas. Hal ini disebabkan antara lain oleh proses nasionalisasi pendidikan serta kebutuhan akan pengajaran di kalangan penduduk sangat meningkat baik di kalangan pribumi maupun non pribumi. Hal ini rupanya berkaitan dengan politik kolonial yang mulai memperhatikan pendidikan Barat non-pribumi sehubungan dengan pesatnya kemajuan komunis di Cina dalam tahun tigapuluhan.
Perkembangan itu rupanya menunjukkan korelasi dengan kemajuan pengajaran Barat Cina dan pertumbuhan golongan non-pribumi sebagai anggota jemaat paroki-paroki di kota-kota tersebut di atas. Sebagai akibat pecahnya Perang Dunia Kedua golongan Belanda di lingkungan paroki sangat berkurang. Lagi pula banyak rohaniwan Belanda yang diinternir sehingga sekolah-sekolah Misi sangat kekurangan tenaga pengajar. Baru pada jaman pasca revolusi lambat laun keadaan paroki serta sekolah-sekolahnya pulih kembali. Dalam pada itu proses Indonesianisasi, meskipun lambat, namun tetap maju. Jumlah imam dan rohaniwan mulai bertambah. Suatu momentum penting ialah diangkatnya Pater P.S. Hardjosoemarto, M.S.C. sebagai Uskup Purwokerto. Sejak itu pula langkah-langkah Indonesianisasi dapat secara intensif dan berkesinambungan.
Sumber : http://www.keuskupan-purwokerto.net/index.php?pilih=hal&id=2
0 comments:
Posting Komentar