Sejarah Gereja Katolik Santo Servatius & Sejarah Umat Kampung Sawah (10)
Romo Kurris, SJ, Modalnya Senter dan Tongkat
Romo Rudolf Kurris SJ dengan tongkatnya di sebuah jalanan becek di Kampung Sawah
Akhir tahun 1993, Romo Alex Dirdjasusanta dipindah ke Baturetno, Jawa Tengah. Beliau akan diganti oleh Romo Rudolf Kurris, SJ yang menurut isyu yang berhembus adalah romo yang galak, dan akan tinggal lagi di Cililitan. Tak mengherankan ketika ada warga yang ingin mengiri utusan Dewan Paroki kepada uskup untuk meminta agar rencana tersebut dibatalkan. Permintaan tersebut tak dikabulkan, dan Romo Kurris pun datang ke Kampung Sawah. Saat itu umat Paroki Kampung Sawah berjumlah 2.480 jiwa. Romo Kurris ditunjuk sebagai pastor kepala Paroki Santo Antonius Kampung Sawah pada 1 Juni 1993. Ia didampingi oleh Romo Martinus Hadiwijoyo, Pr. Ya, sejak 15 Desember 1994, Kampung Sawah mendapat 2 imam yang tinggal di tengah umatnya.
Romo Kurris dikenal rajin mengunjungi umatnya. Dengan senter di tangan kiri dan tongkat di tangan kanan ia secara rutin mengunjungi umat di seantero Kampung Sawah setiap malam, menebas semak, menghindar dari ular beludak seruni atau ular kadut yang kerap berkeliaran kala malam hari.
Saat kunjungan umat, ia kerap bertegur sapa dengan penduduk setempat.
Seperti suatu ketika saat hujan mengguyur, kilat sambar-menyambar. Pak Jabluk membantunya menyeberangi selokan yang terendam air. Dalam terang petir tampak ada orang telanjang nguyur sawah.
“Cari ikan lu?” Tanya Romo Kurris.
“Nggak Romo, kita sedang bokek, maka daripada kelantih, kita nyeger aja!”
Seorang aktivis gereja, Bapak Sutrisno, menceritakan pengalamannya dengan Romo Kurris seperti ini, “Beliau datang ke rumah saya, bicara bahasa Belanda dan ngomel ke saya. ‘Kamu penganggur, kenapa tidak ikut kegiatan gereja?’ Maka sejak itu saya terlibat di Dewan Paroki. Saya bersama teman-teman mengajak Romo Kurris untuk membuat AD/ART gereja Kampung Sawah. Romo boleh silih berganti, kata saya, tapi misi dan visi kita harus tercantum hitam atas putih. Khusus misi/visi memang saya yang menyusun, di mana budaya yang harus kita tumbuh kembangkan adalah budaya Betawi. Tapi tidak boleh eksklusif, jadi harus memperhatikan budaya-budaya dari suku bangsa lain yang datang!”
Umat Kampung Sawah yang Menggereja
Di Kampung Sawah memang telah hadir banyak penduduk baru dari pelbagai pelosok Indonesia. Lebih dari 12 suku bangsa telah menjadi warga paroki, didominasi oleh Suku Jawa, Betawi dan Flores.
Umat asli Kampung Sawah tak mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan para pendatang. Seperti diungkapkan oleh Bapak Untung Priyatna, “Saya putra asli Kampung Sawah. Saya hidup dan bergaul dengan saudara-saudara dai berbagai suku di lingkungan kami. Kami menanamkan adat-istiadat Kampung Sawah dalam kehidupan mereka. Hingga kini mereka menghormati kebiasaan yang ada di Kampung Sawah.” Pak Untung adalah aktivis lingkungan dan paroki. Ia 2 kali menjadi Ketua Lingkungan Maria Dolorosa di zaman penggembalaan Romo Kurris.
Contoh duplikat Buku Penguatan Paroki StAntonius Padua, Kampung Sawah tahun 1964
Kehandalan kehidupan menggereja umat Kampung Sawah semakin tampak menurut kesaksian Bapak J.F.X. Harbelubun, Wakil Ketua Dewan Paroki -2003), “Nama Kampung Sawah sudah saya kenal karena kebetulan seorang tante saya di Merauke sana, kami panggil Tante Jawa, ternyata asli Kampung Sawah. Saya sendiri yang sejak tahun 1966 mengajar di Strada, baru masuk Kampung Sawah tahun 1977, naik motor hujan-hujan. Orang yang pertama saya kenal adalah Pak Johannes Pepe dan Pak Boih. Pak Boih inilah yang memperkenalkan saya, mengundang saya ke Kampung Sawah. Akhirnya tahun 1977 saya beli tanah di Kampung Sawah dan pada tahun 1981 mulai tinggal di Kampung Sawah.”
Bapak J.F.X Harbelubun yang putra asli Kei, Maluku Tenggara, dalam kehidupan menggerejanya di Kampung Sawah, sempat mendirikan koperasi kredit Warna Jaya di “kampung”nya, yang termasuk Lingkungan Petrus Damianus.
Paroki Ganti Nama Pelindung
Derak pembangunan mulai bergaung. Dewan Paroki merencanakan pembangunan gedung gereja baru. Minggu 19 Desember 1995 diselenggarakan rapat pleno Dewan Paroki Antonius Padua di pastoran baru. Rapat pleno tersebut membuat keputusan penting, yaitu nama pelindung gereja lama, Santo Antonius dari Padua tidak akan dipergunakan lagi bagi gereja baru yang sedang direncanakan. Penggantian nama dibicarakan secara mendalam dengan melibatkan para sesepuh asli yang tergabung dalam Kumpulan Abba dan Hana.
Salah satu alasan penggantian nama adalah, bahwa nama pelindung tersebut sudah dipakai oleh Paroki Bidaracina. Nama Santo Servatius pun mengemuka. Santo Servatius, yang sering diperpendek menjadi Servas, adalah misionaris Asia asal Armenia (di Timur Tengah sebelah utara Suriah dan Turki) yang 17 abad lalu ikut mengkristenkan Eropa Barat.
Misa Inkulturasi Betawi
Ide awal misa bergaya Betawi dimunculkan pada rapat Dewan Paroki tahun 1995. Budaya Betawi dimufakatkan menjadi identitas Gereja di Kampung Sawah. Maka disusunlah berbagai kelengkapan misa yang bermuara pada budaya Betawi. Lagu-lagu diciptakan, mulai dari lagu pembukaan, ordinarium, persembahan, sampai lagu penutup. Lagu pertama yang selesai dan mulai dilatih oleh Paduan Suara “Suara Kampus” (Suara Kampung SAwah) – sebuah kelompok koor yang beranggotakan muda mudi Katolik paroki – adalah Lagu “Terimalah ya Tuhan”, yang aransemennya dibuat oleh Bapak Marsianus Balita. Pak Marsi inilah yang mengaransemen semua lagu-lagu bergaya Betawi untuk misa inkulturasi Betawi.
Selain lagu-lagu, atribut pakaian Betawi pun mewarnai misa inkulturasi Betawi. Para pelayan liturgi memakai pakaian Betawi. Tak heran, pada misa-misa hari Minggu biasa pun banyak umat yang memakai atribut Betawi, setidaknya berpeci di kala Misa. Tentang hal ini, Pak Nata Kuding berkomentar, “Menurut saya berpeci itu menandakan kita orang Betawi. Umat zaman dulu, seperti Pak Lewi Noron, Pak Sael Niman, Pak Gobeg, Pak Saiman, selalu berpeci. Itulah tandanya gereja Katolik Betawi Kampung Sawah. Inilah tradisi Kampung Sawah. Kalau nggak berpeci rasanya kurang sreg.”
Kedatangan Relikwi St Servatius diantar oleh 3 Romo
Misa Inkulturasi Betawi pertama kali diadakan sewaktu peristiwa penyambutan relikwi Santo Servatius dari Kota Maastrich, Belanda.
(bersambung)
Sumber : http://www.servatius-kampungsawah.org/
0 comments:
Posting Komentar