Sejarah Gereja Katolik Santa Maria Puhsarang Kediri
Gereja Katolik di Puhsarang (atau Pohsarang) didirikan atas inisiatif pribadi dari Romo Jan Wolters CM dengan bantuan arsitek terkenal Henri Maclaine Pont pada tahun 1936. Keindahan arsitektur Gereja Pohsarang melekat pada dua nama ini, arsiteknya Ir Maclaine Pont dan pastornya Romo Jan Wolters CM. Ir. Henricus Maclaine Pont sangat pandai dalam membentuk keindahan bangunan Gereja yang mengukir kebudayaan Jawa; sementara Romo Wolters sebagai inisiator memberi roh pengertian mendalam tentang makna sebuah bangunan Gereja dengan banyak simbolisme untuk katekese iman Katolik. Dalam konteks karya misi Gereja Katolik di Keuskupan Surabaya, Romo Wolters dikenal sebagai “rasul Jawa” (bersama Romo van Megen CM dan Romo Anton Bastiaensen CM). Disebut “rasul Jawa”, karena sebagai misionaris Belanda ia sangat mencintai dan menghormati orang Jawa, bahasa Jawa dan kebudayaan serta nilai-nilai kejawaan. Romo Jan Wolters CM adalah pastor di paroki Kediri pada waktu itu. Insinyur Maclaine Pont juga yang menangani pembangunan museum di Trowulan, Mojokerto, yang menyimpan peninggalan sejarah Kerajaan Majapahit. Sehingga bangunan Gereja Pohsarang mirip dengan bangunan Museum Trowulan. Sayang bahwa gedung museum di Trowulan itu sudah hancur pada tahun 1960 karena kurang dirawat dengan baik sebab kurangnya dana untuk pemeliharaan dan perawatan. Romo Wolters, CM, minta agar sedapat mungkin digunakan budaya lokal dalam membangun gereja di stasi Pohsarang, yang merupakan salah satu stasi dari paroki Kediri pada waktu itu.[1]
Peletakan batu pertama gereja dilakukan pada tanggal 11 Juni 1936, bertepatan dengan pesta Sakramen Mahakudus, oleh Mgr. Theophile de Backere CM, Prefek Apostolik Surabaya pada waktu itu. Dalam gereja kuno ini terdapat dua bagian pokok yakni Bangunan Induk dan Bagian Pendapa. Dalam sambutannya pada waktu peletakan batu pertama, Ir. Maclaine Pont membeberkan rancangannya bahwa hiasan-hiasan simbolis yang ada di salib, seperti mahkota duri, I.N.R.I., Alpha dan Omega, monogram Kristus, paku-paku, nyala api yang menjilat di sekeliling tengah dan akhirnya tetesan darah pada kaki merupakan bagian dari iman Katolik yang penting. Di bawah salib yang besar yang menjulang dengan megah di atas Gereja yang kecil itu, akan bergantung merpati perak di dalam gereja. Karena Kristus adalah satu-satunya perantara antara Tuhan dan manusia, Dialah yang telah mempertemukan kita kembali dengan Allah Bapa oleh kematian-Nya di kayu Salib dan selanjutnya menganugerahkan kita cinta kasih dan Roh Kudus, yang mengemudikan Gereja dan menyucikan para anggotaNya. Empat ujung balok yang menonjol akan melambangkan empat pengarang Injil, yang harus menyebarkan ajaran Kristus. Sementara gambar kedua belas rasul mengatakan bahwa di atas pondasi para rasul-lah Gereja didirikan. Maka, bangunan gereja ini akan merupakan “Kitab Suci” bagi umat yang sederhana yang tak dapat membaca. Seperti halnya raja Jawa yang tinggal di istana (kraton) dengan benteng sekelilingnya dan gapura mengelilingi kraton dan rumah, begitulah juga di sini orang Jawa Katolik, yang harus menunggu kalau hendak menghadap Kristus, Raja dari segala raja. Pertama-tama harus melewati gapura, melalui menara “Henricus” yang besar, untuk mencapai “Istana Tertutup”, dimana umat melalui serambi para katekumen, akhirnya sampai di istana Sang Raja. Di tempat yang suci itu, yang sudah terpisahkan jauh dari dunia biasa, dia akan merasakan lebih dekat dengan Tuhan, dia akan berlutut menunduk di depan “porta coeli” – “pintu Surga”. Gereja yang bangunannya sama-sekali terbuka ini kecuali sekitar panti imam, akan memungkinkan mengikuti upacara-upacara suci dari Istana Raja dari segala raja. Dan, Dua ribu orang dapat ditampung di situ.[2]
Sekilas bangunan gereja di Pohsarang mirip dengan perahu yang menempel pada sebuah bangunan mirip gunung. Bangunan yang mirip gunung ini melambangkan atau menggambarkan Gunung Ararat di mana dulu perahu nabi Nuh terdampar setelah terjadi air bah, yang menghukum umat manusia yang berdosa (Kitab Kejadian 8:4), sedangkan bangunan yang mirip perahu tadi menggambarkan atau melambangkan Bahtera atau Perahu Nabi Nuh, yang menyelamatkan Nuh dan keluarganya yang percaya pada Allah, bersama dengan binatang-binatang lainnya.
Arsitektur
Bangunan Induk
Bangunan Induk yang mirip dengan gunung tadi merupakan bagian sakral atau kudus di mana terdapat altar dan sakramen mahakudus, Bejana Baptis, sakristi dan tempat pengakuan dosa. Bagian ini dulu dikhususkan untuk mereka yang sudah dibaptis, yang telah menjadi anggota umat. Pada masa dulu di dalam gereja memang dipisahkan antara mereka yang masih calon baptis dengan mereka yang sudah dibaptis, namun perbedaan itu sekarang sudah dihapuskan. Setiap orang, bahkan mereka yang bukan Katolik pun, kalau ia mau, dapat masuk ke dalam bagian ini, asalkan dia tidak mengganggu kekhidmatan ibadat. Memang dalam budaya Jawa, gunung atau gunungan adalah lambang tempat yang suci di mana manusia bisa bertemu dengan penciptanya.
Bangunan Induk memiliki atap berbentuk seperti cupola atau kubah. Diatas atap dipasang salib, pada ujung atap dipasang gambar simbolis keempat pengarang injil yakni Santo Matius Penginjil (manusia hersayap), Santo Markus Penginjil (singa yang bersayap), Santo Yohanes Penginjil (burung rajawali) dan Santo Lukas Penginjil (lembu jantan), yang juga menunjukkan keempat arah mata angin. Atap bangunan yang berbentuk gunungan itu dibentuk dari empat lengkungan kayu yang ujung simpangnya merupakan bagian pengunci. Lengkungan itu menyangga suatu jaringan kawat galvanis, yang di atasnya dipasang genteng-genteng, yang akan bereaksi dengan tenang dan memamtul pada setiap tekanan angin.
Altar yang ada dalam gereja ini menarik dan punya bentuk yang khas, dibuat dari batu massif, kemudian dipahat. Pahatan di altar tersebut terdapat gambar seekor rusa yang sedang minum air, sedangkan rusa yang lain sedang menunggu minum air. Rusa yang sedang minum air menggambarkan mereka yang telah dibaptis, sedangkan rusa yang menunggu untuk minum air menggambarkan calon baptis atau para katekumen. Air yang mengalir dari 7 sumber melambangkan 7 sakramen dalam gereja. Sesuai dengan tata cara liturgi pada waktu itu, yaitu sebelum Konsili Vatikan II tahun 1965, maka bila seorang imam mempersembahkan misa di altar, dia membelakangi umat, tidak menghadap ke arah umat seperti yang lain dalam tata cara misa saat sekarang.
Di atas altar terdapat relief dari batubata merah yang disusun tanpa semen, tapi menggunakan campuran air, kapur dan gula. Kemudian batu-batu bata digosok dan direkatkan pada batu bata lainnya dengan campuran tadi sehingga saling menggigit dengan baik walaupun tidak menggunakan adukan semen seperti zaman sekarang ini.
Di atas altar terdapat tabernakel dari kuningan, tempat untuk menyimpan Hosti. Di sebelah kiri-kanan tabernakel suci terlihat gambar keempat penginjil. Persis di atas altar terlihat gambar kain dengan gambar Yesus. Di atasnya ada gambar Hati Kudus Yesus yang tertusuk tombak, kemudian tulisan INRI. Disampingnya terlihat gambar para malaekat. Sebenarnya di bagian atas terdapat mahkota, yang sekarang sudah rusak/hilang. Relief yang dibuat dari batu bata merah atau batu bata, mirip dengan relief yang biasa ada pada candi-candi zaman Majapahit.
Pada sisi sebelah Barat (atau kiri altar) terdapat relief perjamuan pesta perkawinan di Kana yang dihadiri oleh Yesus, para rasul dan Bunda Maria (Yoh 2: 1-11). Di bagian Barat di atas pintu sakristi terdapat gambar Abraham yang akan mengorbankan Iskak anaknya (Kej. 22: 1-19). Kemudian terdapat patung Maria dari batu yang menggambarkan Bunda Maria sedang menggendong kanak-kanak Yesus. Patung itu terletak dalam lekukan yang menggambarkan litani Maria. Kemudian di sana juga terlihat bejana baptis dari kerang yang besar, di atasnya kelihatan relief yang menggambarkan ketika Yesus dibaptis di sungai Yordan (Mat 3:13-17). Kemudian di bagian paling atas terdapat relief yang menggambarkan perahu Nuh dan seekor merpati terbang membawa daun yang hijau, setelah air bah surut (Kej. 8:11).
Di sebelah Timur altar (atau kanan altar) terdapat relief Yesus yang sedang menggandakan roti untuk 5000 orang (Mrk 6,30-44). Kemudian di atas pintu masuk sakristi terdapat relief Imam Agung Melkisedek sedang mempersembahkan roti dan anggur kepada Allah (1ih. Kej. 16:1820). Di sebelah Timur ada patung Yesus terbuat dari batu. Lengkungan di mana terdapat patung Yesus itu dihiasi dengan relief yang menggambarkan sebutan-sebutan untuk Yesus dalam litani Hati Kudus Yesus.
Maksud adanya relief di altar dan sekeliling altar adalah untuk memberikan hiasan pada altar dan sebagai sarana untuk katekese atau untuk mengajar umat yang sederhana. Relief semacam ini biasa terdapat dalam katedral katedral dan gereja-gereja kuno di Eropa, dimana terdapat relief, patung-patung dan mosaik dari kaca yang indah sekali. Karena orang pada waktu itu duduk bersila di lantai ketika mengikuti misa, maka relief dibuat rendah supaya mudah dilihat. Sekarang pun kalau misa orang juga masih duduk bersila atau “lesehan” (bahasa Jawa).
Bangunan Gereja secara unik dikelilingi oleh benteng yang terbuat dari batu-batu dan tampak kokoh. Yang lebih menarik lagi adalah memperhatikan bentuk pintu gerbang atau pintu masuk. Terdapat tiga pintu: pintu utama dengan model bangunan megah terletak di samping; pintu yang terletak di depan pendopo yang langsung berhadapan dengan makam (umat Katolik); dan pintu samping yang terlihat sempit dan kecil. Konsep benteng batu yang kokoh, pintu utama yang megah, pintu sempit, pintu yang berhadapan dengan makam berasal dari kreativitas Romo pendirinya, Romo Jan Wolters CM.
Romo Wolters CM berpendapat bahwa Gereja adalah “Rumah Tuhan” (Keraton Dalem), di situ bertahta Yesus Kristus, sang Raja segala raja. Tetapi, Yesus Kristus adalah Raja yang menyambut umatNya secara personal, pribadi. Ia adalah Raja yang tidak sulit dijumpai. Ia adalah Raja yang menyambut siapa pun yang datang kepada-Nya. Ia adalah Raja yang disembah dalam relasi kemesraan dan keakraban. Pintu yang megah melambangkan gerbang Rumah Tuhan yang harus megah, menyongsong umat Allah yang datang untuk “sowan” dan menyembah Rajanya. Pintu yang sempit mengatakan seperti dalam Injil bahwa untuk masuk ke Kerajaan Allah, orang harus melewati pintu yang sempit. Untuk dekat dan berelasi dengan Tuhan, lorong jalannya kerap sulit, sempit. Pintu yang berhadapan dengan makam mengukir sebuah kebenaran iman, bahwa terhadap umat Tuhan yang telah wafat berpulang ke keabadian, mereka semua disambut oleh Kristus Sang Raja dalam Rumah Abadi di Surga.[3] Jadi, Gereja Pohsarang itu indah bukan hanya karena bentuknya, melainkan juga karena ada katekese iman yang melekat erat pada bangunan tersebut. Dan, katekesenya amat kaya serta mendalam.
Bagian Pendapa
Kalau dalam bangunan Induk terdapat banyak hiasan maka bagian Pendapa ini yang merupakan ruangan terbuka tidak ada hiasannya sama sekali. Bangunan pendapa ini untuk umat yang belum dibaptis atau calon baptis. Dalam Kerajaan Jawa dulu selalu terdapat bagian terbuka atau Pendapa, yang merupakan tempat persiapan sebelum seseorang masuk kedalam istana menghadap raja, demikian pula bagian pendapa ini merupakan tempat persiapan sebelum umat menghadap Allah yang menjadi Raja mereka.[4]
Gereja Pohsarang dibangun dalam konteks jauh sebelum Konsili Vatikan II. Liturgi Ekaristi sebelum Konsili menunjukkan bahwa umat yang belum dibaptis menempati tempat yang “lebih jauh” dari Altar Tuhan. Itulah sebabnya, “pendapa” dimaksudkan untuk tempat “menunggu” bagi umat untuk masuk ke dalam, ke wilayah yang lebih dekat dengan altar Tuhan. Maksudnya, ke “pembaptisan”, sakramen yang membuat mereka dipersatukan sebagai putera-puteri Allah. Sesudah Konsili Vatikan II, pembedaan tempat dalam Ekaristi ini tidak ada lagi. Tata cara liturgi Ekaristi juga telah diperbaharui sedemikian rupa. Namun demikian, struktur bangunan gereja Pohsarang ini mengukir sejarah liturgi yang indah.[5]
Gapura yang Mirip Candi
Kalau bagian dalam gereja terbuat dari batu bata/ merah maka bangunan luar semuanya terbuat dari batu bulat yang memang banyak terdapat di daerah Puh Sarang. Pintu gerbang masuk Pohsarang dibuat dari batu seperti yang biasa terdapat dalam sebuah candi, di mana terdapat banyak tangga. Kemudian terdapat juga tembok keliling dari batu yang merupakan ciri khas Kerajaan Majapahit dan juga kraton di Jawa dan Bali. Di sekeliling tembok kelihatan 14 stasi Jalan Salib yang terbuat dari batu mata merah/terrakota. Di sini bisa terlihat usaha dari Ir. Maclaine Pont memasukkan unsur atau gaya dari kebudayaan asli atau daerah.
Di sebelah barat terdapat replika atau miniatur Gua Maria Lourdes, dengan sebuah patung terbuat dari batu kali. Sedangkan di sebelah timur terdapat gua di mana terdapat patung Pieta atau Patung Maria yang sedang memangku Yesus yang baru diturunkan dari salib. Patung Pieta ini mengingatkan pengunjung akan patung Pieta dari Michaelangelo yang terdapat di Basilika Santo Petrus di Vatikan. Patung Pieta tadi terletak di atas sebuah Tabernakel, yang sekarang sudah tidak dipakai lagi. Tabernakel ini unik bentuknya karena pintunya dibuat seperti pintu makam orang Yahudi. Kemungkinan tabernakel ini hendak menggambarkan makam kosong di makam dulu Yesus dimakamkan dan kemudian bangkit dari sana setelah dimakamkan selama tiga hari (Mrk. 16:1-8).
Gapura St. Yusuf dan Menara St. Henrikus
Untuk masuk ke Gereja Puh Sarang, pengunjung harus melewati anak tangga terbuat dari batu di antara lengkungan gapura, yang serasa seperti masuk bangunan candi. Pada bagian tengah terdapat gapura mirip gapura Candi Bentar. Makna gapura memaksudkan pintu gerbang istana. Dalam angan-angan Romo Jan Wolters gereja Pohsarang adalah bagaikan rumah (istana) Tuhan, Sang Raja dari segala raja, dimana umat datang bersimpuh, menyembah raja dan mendengarkan Sabda-Nya. Namun yang khas di sini ialah bahwa di atasnya terpasang lonceng, sehingga gapura itu berfungsi sekaligus sebagai menara lonceng. Di puncak gapura terdapat ayam jago, seperti yang biasa terdapat dalam menara gereja. Di sana ada relief yang menggambarkan ketika Adam jatuh ke dalam dosa. Sayang relief tadi tidak kelihatan karena ada di atas. Maka orang menyebut gapura yang berfungi sebagai menara dengan sebutan Menara Santo Henrikus. Disebut menara Henrikus, karena untuk mengenang Santo Henrikus, pelindung dari arsiteknya, Ir. Henricus Maclaine Pont.
Ruang Gamelan dan Patung Kristus Raja
Di halaman luar, sebelum masuk gereja, terletak di sebelah kanan terdapat rumah untuk menyimpan gamelan. Gamelan itu dulu kala digunakan untuk mengiringi misa dan sendratari yang sering diadakan pada awal berdirinya gereja.
Di halaman gereja terdapat Patung Kristus Raja. Di atasnya terdapat tiang batu di mana terdapat Perahu Nabi Nuh. Dalam Tradisi para Bapa Gereja, bahtera (perahu) Nabi Nuh adalah lambang Gereja. Mengapa ada patung Kristus Raja? Kristus adalah Kepala Gereja. Gereja adalah Tubuh Mistik Kristus. Patung Kristus Raja terbuat dari batu melukiskan keindahan dan kekokohan. Kristus lantas juga seolah-olah tampil kokoh sebagai yang “menakhodai” bahtera-Nya. Kristuslah yang memimpin dan membimbing Gereja-Nya, persekutuan umat beriman yang dipersatukan dalam iman kepada-Nya.
Di halaman yang sekarang dipakai untuk taman, dulu kala terdapat sebuah bangunan indah yang disebut “Amphitheater”, sebuah lapangan menyerupai tempat untuk pementasan drama seperti di zaman Yunani kuno, dimana pentasnya ada di tempat yang lebih rendah dari penontonnya. Pada tanggal 7 Agustus, tahun 1937-an (?), terdapat pementasan kisah Abraham yang dijalankan di “Aphitheater” tersebut sebagai sebuah drama katekese kisah Kitab Suci sekaligus untuk menyambut tamu-tamu agung, yaitu Yang Mulia Mgr. Pacino, Delegat Apostolik untuk Australia, sekretarisnya, Mgr. King; Vikaris Apsotolik untuk Indonesia Timor Mgr. Pelsers, dan Prefek Apostolik Surabaya Mgr. Verhoeks. Peristiwa ini menandai perhelatan penting dari sebuah desa Pohsarang dengan sebuah bangunan “Gereja Keraton Jawa”-nya. Sejak itu, Pohsarang menjadi emblem inkulturasi yang mencengangkan, tulis Romo van Megen CM.[6]
Kini, bangunan “Amphitheater” sudah tidak ada lagi. Bangunan ini telah diganti dengan sebuah tempat yang dulu adalah sekolah dasar. Sekolah dasarnya sendiri telah dipindahkan ke tempat lain di dekat gereja. Di tempat itu sekarang didirikan patung Bunda Maria dari Lourdes yang memakai mahkota.
Proses Pembangunan
Penggunaan Bahan dan Tenaga Lokal
Seperti halnya ketika membangun Museum di Trowulan dan tempat lainnya, Ir. H. Maclaine Pont selalu menggunakan bahan-bahan lokal dan tenaga lokal atau buruh setempat, serta bangunan disesuaikan dengan situasi setempat.
Dalam hal membangun gereja Pohsarang ia banyak memakai tukang-tukang yang telah berpengalaman dan membantunya waktu membuat museum di Trowulan. Mereka adalah ahli bangunan, ahli pahat, ukiran bahkan kemudian dia mendidik rakyat setempat untuk dilibatkan menjadi tenaga pembuat patung yang ahli. Banyak digunakannya batu-batu yang diambil dari Kali Kedak yang ada di dekat Puh Sarang.
Walaupun di sana banyak pohon bambu tapi dia menggunakan kawat baja, sebab daya tahannya lebih kuat. Selain dari itu waktu itu ada larangan dari Pemerintah Hindia Belanda untuk menggunakan bambu dalam membangun rumah guna mencegah penyakit pes, sebab tikus-tikus yang membawa kuman pes senang bersarang dalam bangunan bambu. Hasil kerajinan dari tanah (terracota) buatan tukang dan seniman lokal cukup terkenal hingga perang dunia kedua tahun 1945. Tapi entah mengapa kemudian menghilang dan tidak kelihatan bekas-bekasnya.
Usaha Inkulturasi dan Karya Monumental
Kompleks Gereja Puh Sarang merupakan suatu usaha untuk menampilkan iman Kristiani dan tempat ibadat Katolik dalam budaya setempat. Banyak orang berpendapat bahwa bangunan yang dibuat di Puh Sarang indah dan unik serta merupakan karya monumental yang patut untuk dipelihara dan dijaga. Karena Gereja Puh Sarang menampilkan gaya Majapahit yang dikombinasikan dengan gaya dari daerah lain dan iman Kristiani.
Yulianto Sumalyo dalam buku yang berjudul “Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia” (Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1993) menulis demikian mengenai gereja Puh Sarang: “Seperti pada bangunan Trowulan, Tegal dan lain-lain untuk membangun gereja Pohsarang selalu menggunakan bahan-bahan lokal. Maclaine Pont menggunakan juga buruh setempat selain beberapa tukang yang sudah berpengalaman pada saat membangun museum. Gereja yang sarat dengan simbolisme ini merupakan suatu karya arsitektur yang sangat berhasil dilihat dari berbagai segi: mulai dari lokasi, tata massa, bahan bangunan, struktur dan tentu saja fungsi dan keindahannya. Semua aspek termasuk budaya setempat dan filsafat agama dipadukan dalam bentuk arsitektur dengan amat selaras”
Gereja di Antara Dua Dunia
Dalam inkulturasi dikenal istilah “locus theologicus” atau konteks teologi. Beriman Kristiani mendasarkan diri pada kebenaran-kebenaran Wahyu dan komunikasi dengan bahasa dan nilai-nilai luhur kebudayaan yang menjadi “locus” hidup sehari-hari. Gereja Pohsarang bukan sekedar sebuah bangunan indah, tetapi juga tempat dimana umat Katolik bersimpuh dengan penuh iman, beribadat dengan ketakwaan dan menyembah Allah secara khusuk. Gereja adalah wilayah “perjumpaan” Tuhan dengan umat-Nya. Menarik untuk memperhatikan pilihan Romo Jan Wolters mengenai tempat pembangunan Gereja Kraton Jawa yang megah ini di sebuah desa Pohsarang yang pada waktu itu terbilang wilayah terpencil. Mengapa Pohsarang? Armada Riyanto CM[7] dalam Membangun Gereja dari Konteks (2004) mengatakan bahwa perjumpaan dengan Tuhan akan memiliki makna yang mendalam, indah, dan inkulturatif bila dijalankan di wilayah pergumulan rohani peradaban hidup manusia-manusia setempat.[8] Pohsarang sebagai sebuah desa memang memiliki keistimewaan tersembunyi, terletak “diantara” kota Kediri dan gunung Wilis. Dahulu Kediri adalah emblem peradaban dunia, sebab pernah mengukir peradaban tinggi kejayaan manusia dalam kerajaan Kediri yang sangat termasyhur itu. Kediri seolah mengukir peradaban keluhuran kebudayaan tinggi manusia. Sementara, “gunung” dalam kitab-kitab kuno dipadang sebagai tempat suci “para dewa” (konon Raja Erlangga wafat dengan bersemedi di gunung Wilis ini). Gunung lantas seolah mengukir peradaban keabadian, wilayah kemuliaan dan tempat tinggal “para dewa.” Sementara Pohsarang berada “diantaranya” (bila mengutip istilah postmodern, “in between”). Pohsarang sebagai wilayah seolah memiliki karakter rohani “diantara” dunia manusia (“di bawah”) dan dunia “di atas”. Maka, Pohsarang sebagai wilayah terpencil memang memiliki “makna rohani” yang dipandang sebagai tempat perjumpaan antara Tuhan dan manusia; dan hal itu ditangkap providentially oleh Romo Jan Wolters CM dan diwujudkannya dalam sebuah Gereja megah nan indah, sebuah Gereja Keraton Jawa, sebuah Gereja dimana manusia-manusia bersimpuh, bermeditasi, memuji, berjumpa dengan Tuhan, Rajanya.[9] Pohsarang seolah-olah menjadi sebuah tempat dimana manusia “meninggalkan” wilayah kesehariannya untuk menyatukan diri dengan Tuhan dalam sebuah perjumpaan meditatif. Secara simbolik, desa Pohsarang lantas seakan merupakan wilayah yang “menyatukan” manusia dan Tuhan, Sang Rajanya.
Renovasi Gereja
Antara kompleks Puh Sarang sekarang ini dengan keadaan pada waktu didirikannya pada tahun 1936 terlihat sudah terjadi banyak perubahan dan penambahan bangunan serta luasnya areal yang dipakai untuk kepentingan umat. Bangunan amphiteater yang dulu untuk main sandiwara sudah tidak ada lagi, dan sebagai gantinya di tempat itu sekarang muncul Taman Hidangan Kana. Namun bangunan Induk yaitu Gereja tetap dipertahankan dalam bentuk aslinya, meskipun gentengnya dan kawat baja yang ada terpaksa diganti sebab sudah lapuk dimakan usia. Perbaikan dan renovasi itu perlu diadakan karena kalau tidak dilakukan gereja Puh Sarang akan rusak dan hancur seperti museum di Trowulan.[10]
Renovasi Pertama Tahun 1955
Renovasi pertama dilakukan pada tahun 1955 oleh Romo Paul Janssen, CM, yang waktu itu menjadi imam di paroki St. Vincentius a Paulo, Kediri. Ia memperbaiki atap tanpa merubah bentuk bangunan gereja.
Renovasi Kedua Tahun 1974
Pada tahun 1974 kerusakan gereja Pohsarang sudah mencapai taraf yang membahayakan. Kondisinya sudah begitu parah sehingga setiap saat bisa runtuh menimpa u mat yang sedang beribadah, maka renovasi tak dapat ditunda lagi. Berhubung waktu itu keuangan paroki sangat lemah begitu pula keadaan keuangan Keuskupan Surabaya juga tidak mencukupi maka Romo Kumoro, Pr yang waktu itu menjadi Pastor Paroki punya gagasan untuk mengganti dinding gereja yang terbuat dari kayu dengan tembok biasa dari batu bata. Demikian pula bentuk atapnya yang unik itu akan diganti dengan konstruksi blandar, usuk, reng dan berbentuk seperti layaknya kapel atau sebuah kelas. Dengan demikian diharapkan jangka waktu untuk renovasi berikutnya menjadi lebih lama. Untunglah hal ini tidak terjadi, andaikata ini terjadi hilanglah keindahan dan keunikan gereja Puh Sarang.
Ir. Johan Silas yang mendengar hal ini berpendapat bahwa gereja Pohsarang ini bukan hanya monumen kebudayaan Gereja Katolik tapi juga monumen negara Indonesia, sebuah warisan budaya yang layak dipertahankan. Maka atas bantuan Ir. Johan Silas bersama mahasiswanya dimulailah renovasi kedua Gereja Puh Sarang dengan konstruksi besi siku dan usuk jati tipis. Karena minimnya beaya maka Romo FX. Wartadi, CM , Romo Stasi Puh Sarang waktu itu minta agar bagian gereja yang terpaksa diganti supaya bentuk aslinya tetap dipertahankan. Misalnya dinding yang dulu aslinya dari batang-batang kayu jati yang dibelah dua diganti dengan tembok yang dibentuk mirip kayu jati yang dibelah. Lantai dalam gereja, baik di panti imam maupun di tempat umat, yang dulu terbuat dari batu diganti dengan semen biasa supaya bisa dipakai tempat duduk bersila dengan enak. Bagian Pendopo yang dulu terbuka ditutup dengan papan, pendapa yang dulu sempit diperluas.
Renovasi Ketiga Tahun 1986
Renovasi ketiga diadakan oleh Romo Emilio Rossi, CM pada tahun 1986 dengan mengganti genteng yang sudah cukup usang,genting yang baru, yang dicetak khusus untuk keperluan ini. Ia juga membuat gua Maria baru yang terletak di sebelah Utara dari makam umat.
Renovasi Keempat Tahun 1999
Pada tanggal 22 Mei 1993 Romo Emilio Rossi, CM, pastor Kediri, melaporkan bahwa di gereja Puh Sarang terlihat perubahan bentuk pada busur kayu pendukung atap utama yang mulai bergelombang. Besi beton penatik di tepi busur di sebelah kolom segitiga sudah kendor atau tidak berfungsi lagi, gording-gording besi siku bertambah lendutannya, dan ada dugaan bahwa mungkin atap gereja mengalami penurunan akibat atap yang terlalu berat. Dikawatirkan kalau gereja tidak lekas diperbaiki bisa rusak.[11]
Maka Tim pembangunan Keuskupan setelah mengadakan penilitian berpendapat bahwa harus diadakan perbaikan yang cukup besar. Tanggal 18 Mei 1999 diadakan peresmian mulainya renovasi keempat yang ditangani oleh Ir. Harry Widyanto dan Ir. A.S. Rusli dibantu oleh Ir. Djoko. Diusahakan mengembalikan gereja Puh Sarang ke dalam bentuk aslinya. Pendopo yang sebelumnya tertutup akan dibuat terbuka dan diperkecil seperti bentuk semula. Bentuk atap yang selama ini menggunakan kayu dikembalikan ke bentuk semula dengan memakai kawat baja. Lengkungan yang dulu dari kayu diganti dengan besi baja supaya lebih tahan lama.
Gamelan yang selama ini disimpan dalam pendopo dipindahkan ke rumah gamelan yang sudah rusak atau tidak ada lagi. Renovasi keempat selesai dan diresmikan pemakainnya pada awal Yubileum tahun 2000, yaitu pada tanggal 26 Desember 1999 oleh Uskup Surabaya, Mgr. J. Hadiwikarta. Maka bentuk gereja yang sekarang dikembalikan ke bentuk aslinya dan semua genting yang ada diganti dengan genting yang baru, yang dicetak khusus untuk keperluan ini.
Referensi
[1] St. Vincentius a Paulo, Missietijdschrift der Lazaristen, 15 Juli 1937, hlm. 108.
[2] Bdk. St. Vincentius A Paulo. Missietijdschrift der Lazaristen, 26 JRG 6e AFL, November 1936, hlm. 177 & 178. Lih. Armada Riyanto CM., 80 Tahun Romo-Romo CM di Indonesia, CM Provinsi Indonesia, Surabaya, 2003, hlm. 83-88.
[3] Ibid.
[4] Lih. Aloysius Budijanto CM, Gereja Puh Sarang sebagai Bangunan Ibadat menurut Budaya Jawa, tesis di STFT Widya Sasana, Malang 1991.
[5] Ibid.
[6] St. Vincentius a Paulo, Missietijdschrift der Lazaristen, 29e Jaargang, 6e AFL., No. 158, 15 Nopember 1939, hlm. 171-173.
[7] Armada CM-STFT Widya Sasana
[8] Armada Riyanto CM, Membangun Gereja dari Konteks, Dioma dan STFT Widya Sasana, Malang, hlm. 37-43.
[9] St. Vincentius a Paulo, Missietijdschrift der Lazaristen, 15 Juli 1937, hlm. 108-110.
[10] Lih. Mgr. J. Hadiwikarta, Puh Sarang: Tempo Doeloe dan di Tahun 2000, Surabaya 1999, hlm.21-28. Simak juga Primanto Nugroho e.a., Tempat Ziaraha Santa Maria Pohsarang: Napak Tilas Gereja Umat, Produksi Pohsarang Creat Studio, Yogyakarta, 1999. Dalam terbitan ini, diberikan artikel-artikel reflektif yang menarik.
[11] Lih. Mgr. J. Hadiwikarta, Gua Maria Lourdes Puh Sarang, Kediri, Keuskupan Surabaya, Sekretariat Keuskupan Surabaya, 2001. Buku ini merupakan tulisan yang diasalkan dari beberapa sumber tentang Puhsarang dan terutama untuk menyajikan pembangunan Gua Maria yang terletak beberapa puluh meter dari Gerejanya.
http://id.wikipedia.org/wiki/Gereja_Puhsarang
http://cm-indonesia.org/artikel-refleksi/gereja-puhsarang
0 comments:
Posting Komentar