Jumat, 13 Januari 2012

Sejarah Gereja Katolik Santo Servatius & Sejarah Umat Kampung Sawah (10)

Romo Kurris, SJ, Modalnya Senter dan Tongkat
Romo Rudolf Kurris SJ dengan tongkatnya di sebuah jalanan becek di Kampung Sawah

Akhir tahun 1993, Romo Alex Dirdjasusanta dipindah ke Baturetno, Jawa Tengah. Beliau akan diganti oleh Romo Rudolf Kurris, SJ yang menurut isyu yang berhembus adalah romo yang galak, dan akan tinggal lagi di Cililitan. Tak mengherankan ketika ada warga yang ingin mengiri utusan Dewan Paroki kepada uskup untuk meminta agar rencana tersebut dibatalkan. Permintaan tersebut tak dikabulkan, dan Romo Kurris pun datang ke Kampung Sawah. Saat itu umat Paroki Kampung Sawah berjumlah 2.480 jiwa. Romo Kurris ditunjuk sebagai pastor kepala Paroki Santo Antonius Kampung Sawah pada 1 Juni 1993. Ia didampingi oleh Romo Martinus Hadiwijoyo, Pr. Ya, sejak 15 Desember 1994, Kampung Sawah mendapat 2 imam yang tinggal di tengah umatnya.

Romo Kurris dikenal rajin mengunjungi umatnya. Dengan senter di tangan kiri dan tongkat di tangan kanan ia secara rutin mengunjungi umat di seantero Kampung Sawah setiap malam, menebas semak, menghindar dari ular beludak seruni atau ular kadut yang kerap berkeliaran kala malam hari.

Saat kunjungan umat, ia kerap bertegur sapa dengan penduduk setempat.

Seperti suatu ketika saat hujan mengguyur, kilat sambar-menyambar. Pak Jabluk membantunya menyeberangi selokan yang terendam air. Dalam terang petir tampak ada orang telanjang nguyur sawah.

“Cari ikan lu?” Tanya Romo Kurris.
“Nggak Romo, kita sedang bokek, maka daripada kelantih, kita nyeger aja!”

Seorang aktivis gereja, Bapak Sutrisno, menceritakan pengalamannya dengan Romo Kurris seperti ini, “Beliau datang ke rumah saya, bicara bahasa Belanda dan ngomel ke saya. ‘Kamu penganggur, kenapa tidak ikut kegiatan gereja?’ Maka sejak itu saya terlibat di Dewan Paroki. Saya bersama teman-teman mengajak Romo Kurris untuk membuat AD/ART gereja Kampung Sawah. Romo boleh silih berganti, kata saya, tapi misi dan visi kita harus tercantum hitam atas putih. Khusus misi/visi memang saya yang menyusun, di mana budaya yang harus kita tumbuh kembangkan adalah budaya Betawi. Tapi tidak boleh eksklusif, jadi harus memperhatikan budaya-budaya dari suku bangsa lain yang datang!”

Umat Kampung Sawah yang Menggereja

Di Kampung Sawah memang telah hadir banyak penduduk baru dari pelbagai pelosok Indonesia. Lebih dari 12 suku bangsa telah menjadi warga paroki, didominasi oleh Suku Jawa, Betawi dan Flores.

Umat asli Kampung Sawah tak mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan para pendatang. Seperti diungkapkan oleh Bapak Untung Priyatna, “Saya putra asli Kampung Sawah. Saya hidup dan bergaul dengan saudara-saudara dai berbagai suku di lingkungan kami. Kami menanamkan adat-istiadat Kampung Sawah dalam kehidupan mereka. Hingga kini mereka menghormati kebiasaan yang ada di Kampung Sawah.” Pak Untung adalah aktivis lingkungan dan paroki. Ia 2 kali menjadi Ketua Lingkungan Maria Dolorosa di zaman penggembalaan Romo Kurris.

Contoh duplikat Buku Penguatan Paroki StAntonius Padua, Kampung Sawah tahun 1964

Kehandalan kehidupan menggereja umat Kampung Sawah semakin tampak menurut kesaksian Bapak J.F.X. Harbelubun, Wakil Ketua Dewan Paroki -2003), “Nama Kampung Sawah sudah saya kenal karena kebetulan seorang tante saya di Merauke sana, kami panggil Tante Jawa, ternyata asli Kampung Sawah. Saya sendiri yang sejak tahun 1966 mengajar di Strada, baru masuk Kampung Sawah tahun 1977, naik motor hujan-hujan. Orang yang pertama saya kenal adalah Pak Johannes Pepe dan Pak Boih. Pak Boih inilah yang memperkenalkan saya, mengundang saya ke Kampung Sawah. Akhirnya tahun 1977 saya beli tanah di Kampung Sawah dan pada tahun 1981 mulai tinggal di Kampung Sawah.”

Bapak J.F.X Harbelubun yang putra asli Kei, Maluku Tenggara, dalam kehidupan menggerejanya di Kampung Sawah, sempat mendirikan koperasi kredit Warna Jaya di “kampung”nya, yang termasuk Lingkungan Petrus Damianus.

Paroki Ganti Nama Pelindung

Derak pembangunan mulai bergaung. Dewan Paroki merencanakan pembangunan gedung gereja baru. Minggu 19 Desember 1995 diselenggarakan rapat pleno Dewan Paroki Antonius Padua di pastoran baru. Rapat pleno tersebut membuat keputusan penting, yaitu nama pelindung gereja lama, Santo Antonius dari Padua tidak akan dipergunakan lagi bagi gereja baru yang sedang direncanakan. Penggantian nama dibicarakan secara mendalam dengan melibatkan para sesepuh asli yang tergabung dalam Kumpulan Abba dan Hana.

Salah satu alasan penggantian nama adalah, bahwa nama pelindung tersebut sudah dipakai oleh Paroki Bidaracina. Nama Santo Servatius pun mengemuka. Santo Servatius, yang sering diperpendek menjadi Servas, adalah misionaris Asia asal Armenia (di Timur Tengah sebelah utara Suriah dan Turki) yang 17 abad lalu ikut mengkristenkan Eropa Barat.

Misa Inkulturasi Betawi

Ide awal misa bergaya Betawi dimunculkan pada rapat Dewan Paroki tahun 1995. Budaya Betawi dimufakatkan menjadi identitas Gereja di Kampung Sawah. Maka disusunlah berbagai kelengkapan misa yang bermuara pada budaya Betawi. Lagu-lagu diciptakan, mulai dari lagu pembukaan, ordinarium, persembahan, sampai lagu penutup. Lagu pertama yang selesai dan mulai dilatih oleh Paduan Suara “Suara Kampus” (Suara Kampung SAwah) – sebuah kelompok koor yang beranggotakan muda mudi Katolik paroki – adalah Lagu “Terimalah ya Tuhan”, yang aransemennya dibuat oleh Bapak Marsianus Balita. Pak Marsi inilah yang mengaransemen semua lagu-lagu bergaya Betawi untuk misa inkulturasi Betawi.

Selain lagu-lagu, atribut pakaian Betawi pun mewarnai misa inkulturasi Betawi. Para pelayan liturgi memakai pakaian Betawi. Tak heran, pada misa-misa hari Minggu biasa pun banyak umat yang memakai atribut Betawi, setidaknya berpeci di kala Misa. Tentang hal ini, Pak Nata Kuding berkomentar, “Menurut saya berpeci itu menandakan kita orang Betawi. Umat zaman dulu, seperti Pak Lewi Noron, Pak Sael Niman, Pak Gobeg, Pak Saiman, selalu berpeci. Itulah tandanya gereja Katolik Betawi Kampung Sawah. Inilah tradisi Kampung Sawah. Kalau nggak berpeci rasanya kurang sreg.”

Kedatangan Relikwi St Servatius diantar oleh 3 Romo

Misa Inkulturasi Betawi pertama kali diadakan sewaktu peristiwa penyambutan relikwi Santo Servatius dari Kota Maastrich, Belanda.

(bersambung)
Sumber : http://www.servatius-kampungsawah.org/

baca selanjutnya...

Selasa, 10 Januari 2012

Sejarah Gereja Katolik St. Servatius dan Sejarah Umat Kampung Sawah (9)

Bapak Mario Menjadi Pastor Mario
Bapak Mario yang dulu sudah mengikuti studi menjadi imam tapi gagal, pernah memohon kepada Monseigneur Djajaseputra agar boleh ditahbiskan sekalipun sudah lanjut usia. Permintaan itu ditolak. Pada tahun 1970, Monseigneur Leo Soekoto, SJ menjabat sebagai Uskup Agung Jakarta. Pak Mario, usianya sudah 60 tahun, mengajukan permohonan sekali lagi. Kali ini dikabulkan. Tanggal 12 September 1971, Bapa Marius Mariatmadja, ditahbiskan menjadi imam projo di tengah umatnya di Gereja Kampung Sawah, pada usia 60 tahun. Umat Katolik Kampung Sawah sungguh berbahagia menyambut gembala mereka yang selama ini telah mendampingi mereka selama 20 tahun.

Kehandalan Pastor Mario dirasakan oleh semua umatnya, termasuk anak-anak. Bapak Yepta Noron mengaku, “Waktu masih anak-anak saya sering diajak ayah untuk ikut menjaga gereja, maka saya sering bertemu dengan beliau. Saya diajari banyak hal. Pastor Mario sangat perhatian terhadap umatnya. Pastor Mario juga berani melayani umat Katolik Kampung Sawah yang pada waktu itu menghadapi situasi yang sangat membahayakan. “

Sebagai imam, Pastor Mario tak bisa berkarya terlalu lama. Pada tanggal 3 Oktober 1972, ia dipanggil Tuhan. Untuk mengenang kehandalannya menuntun dan membina umat Katolik Kampung Sawah, dibuatlah bangunan khusus di Pemakaman Katolik Kampung Sawah. Selain itu, berbeda dengan paroki lain yang memakai Yayasan Santo Yusuf untuk mengurusi kematian dan pemakaman umat, maka Kampung Sawah memakai namanya, Marius.

Setelah wafatnya, dua pastoran, Kampung Sawah dan Cililitan pun lowong. Sebagai tindakan darurat, pimpinan Serikat Yesus mengutus Romo Brotosoeganda, S.J. Namun, belum sampai 10 hari bertugas, ia pun dipanggil Tuhan pada 13 Oktober 1972.

Pastor Kembali Tinggal di Paroki yang Dibangun Umat Kampung Sawah
Setelah Pastor Mario meninggal, dari tahun 1972-1993, Paroki Kampung Sawah telah mempunyai enam pastor kepala yang semuanya bertempat tinggal di Pastoran Cililitan, 12 kilometer dari Kampung Sawah. Pertama, tentu saja Pastor Baker, S.J, yang mulai tahun 1973 dibantu oleh Pastor Wiyono Haryadi, S.J. yang secara khusus menangani paroki Cijantung. Lalu tahun 1974-1977 Pastor C.Looymans, S.J. yang dibantu oleh Pastor P.P.Polimann, S.J. Pada saat itu pastor juga memperluas gereja hingga menampung 300 umat. Tahun 1977 sampai 1978 Pastor F.de van der Schueren, S.J.

Tahun 1978 sampai 1985, Pastor Martinus Oei Goan Tjiang, S.J. (tahun 1984 membuka SMP Strada Nawar) yang mula-mula dibantu oleh Pastor Martosudjito, S.J. yang bertugas menyiapkan Paroki Cijantung, kemudian dibantu juga oleh Pastor Wiharjono, S.J.

Pada masa penggembalaan Pastor Oei Goan Tjiang, menurut Ibu Triany, “Misa hanya dilakukan hari Minggu. Anak-anak duduk di depan dan suami – istri duduknya terpisah.” Ibu Triany yang datang ke Kampung Sawah pad tanggal 14 Agustus 1977, tinggal di Lingkungan 6 dengan ketua lingkungannya Bapak William Kadiman. Beliau langsung menjadi aktivis paroki, antara lain katekis, lektris, seksi liturgi paroki dan pembimbing Pemuda Paroki.

Pada saat itu memang mudika masih bernama Pemuda Paroki. Kegiatannya dimulai lewat bidang olahraga seperti bola voli, mengunjungi teman-teman yang sakit, dan rosario bersama.

“Romo Oei adalah romo yang punya perhatian lebih kepada umat!” tambah Pak Sutrisno, mantan Dewan Paroki. “Beliau datang malam minggu dan menginap di sini. Saat menginap itulah ia mau datang ke lingkungan-lingkungan. Pendalaman iman ia hadiri dengan vespa tuanya!”

Pada masa ini, datanglah Suster Pauline, OSU yang kemudian mengepalai SMP Strada Kampung Sawah. Beliau juga menggagas terbentuknya P3K (Pertanian, Perikanan, Peternakan) atau Proyek Karang Kitri Kampung Sawah yang tujuannya membantu warga yang tidak mampu. Sore harinya, muai pukul 15.00 WIB sampai senja, sejumlah anak berkebun di bawah bimbingan Pak Yulius Sastra Noron yang telah selesai mengikuti Sekolah Pertanian di Jawa Tengah.

Pastor Mudji Santara, S.J, pengganti Pastor Oei, suka sekali memacul dan menanam di pekarangan gereja. Pernah sewaktu mencabut rumput, datang tamu yang bertanya, “Pak, apakah ada Romo?”

“Tunggu dulu, Pak, nanti ia akan datang.” Jawabnya sambil masuk ke pastoran, mencuci tangan dan muka, mengenakan jubah, lantas keluar lagi. “Ini Romonya!”

Sejarah Kampung Sawah yang begitu panjang dan penuh gejolak membuat Pastor Mudji Santara berminat untuk mendokumentasikannya. Maka pada tahun 1987-1988 beliau mengadakan sayembara untuk membuat sejarah paroki. Bapak Yulius Sastra Noron yang berhasil memenangkannya mendapat hadiah berupa uang sejumlah Rp150.000,-. “Uang itu, “ungkap Pak Sastra, “saya gunakan untuk membuat pagar gereja!”

Pastor Pertama Asli Kampung Sawah
Pada tahun 1988, Kampung Sawah pantas berbangga, karena akhirnya ada seorang putranya yang ditahbiskan menjadi imam untuk Keuskupan Agung Jakarta. Tanggal 15 Agustus, Romo Aloysius Yus Noron, Pr, dalam usia 29 tahun, alumnus SD dan SMP Strada, mantan putra altar, ditahbiskan di Katedral Jakarta. Seminggu kemudian, umat Kampung Sawah merayakan Ekaristi Kudus secara meriah untuk menyambutnya.

Pastor dan Frater pun Menetap di Kampung Sawah
Sewaktu Romo Arko menjabat sebagai pastor kepala, beliau minta izin agar 4 frater muda diosesan yang sedang mengikuti Tahun Rohani di Wisma Samadi Klender diperkenankan tinggal di Kampung Sawah bersama pembibingnya Romo Alex Didjasusanta, S.J. Permohonan ini dikabulkan Bapa Uskup. Maka gedung bekas SMP di bawah pastoran pun disesuaikan sedikit untuk penampungan para frater. Pada tanggal 1 Agustus, Romo Alex bersama para frater berjalan kaki dari Klender menuju Kampung Sawah. Semenjak itu, meski Romo Alex adalah romo pembantu, namun pada kenyataannya ia dianggap pastor Kampung Sawah oleh umat. Dan ia tinggal di Kampung Sawah. Romo Alex langsung menghidupkan suasana paroki. Dibangunlah 2 pendopo di depan pastoran. Lalu dibangun Saung Maria. Panti Imam dan sakristi dibangun kokoh.

“Tumbuh kembalinya iman umat Katolik Kampung Sawah adalah pada masa Romo Alex, “ungkap Bapak Yepta Noron. Semasa Romo Alex, yang sangat disukai oleh warga paroki, SD Strada Cakung Payangan nyaris dibakar oleh oknum beragama lain, sebab permintaan mereka, supaya ada pelajaran agama non-Katolik di sekolah Katolik ditolak.
(bersambung)

Sumber : http://www.servatius-kampungsawah.org/

baca selanjutnya...

Sabtu, 07 Januari 2012

Sekilas Sejarah Paroki Hati Kudus Yesus Tasikmalaya

AWAL MULA GEREJA KATOLIK TASIKMALAYA

Awal mula kehadiran Gereja Katolik di Tasikmalaya tidak terlepas dari orang-orang Belanda yang memiliki perkebunan karet yang tersebar di wilayah Tasikmalaya dan Ciamis. Para pemilik dan keluarga serta handai taulannya banyak yang beragama Katolik. Mereka sangat membutuhkan pelayanan, terutama pelayanan Ekaristi. Selain orang-orang Belanda, di Tasikmalaya banyak juga tentara KNIL yang beragama Katolik, yang membutuhkan pelayanan bimbingan rohani.

Adanya kebutuhan tersebut mendorong hierarki mengutus pastor bekerja di Tasikmalaya, Ciamis dan wilayah sekitarnya. Pastor datang ke Tasikmalaya silih berganti. Belum ada pastor yang menetap. Dengan adanya pelayanan rohani dan Perayaan Ekaristi, maka satu dua ada keluarga Tionghoa yang bergabung sebagai simpatisan.

Ketika Pelayanan Gereja diserahkan dari Serikat Yesuit (SJ) ke Ordo Salib Suci (OSC) wilayah Tasikmalaya dan sekitarnya menjadi “stasi“ dari Paroki Garut. Inilah langkah awal mulai berdirinya paroki Tasikmalaya.

Pada tanggal 28 Mei 1947 seorang anak bernama Tan Tjing It dari keluarga Tan Joen Liong dibaptis dan dicatat tersendiri dalam buku baptis Tasikmalaya meskipun dicatat pula di Garut. Baru pada tahun 1955 buku baptis benar-benar sudah terpisah dari Garut. Sayang arsip dari tahun 1947 sampai dengan 1996 yang mempunyai nilai sejarah yang tinggi itu ikut terbakar dalam peristiwa “Tasikmalaya Kelabu” pada 26 Desember 1996. Dalam perkembangannya, perayaan ekaristi dari waktu ke waktu selalu berpindah-pindah. Itulah sekilas awal mula Gereja Katolik di Tasikmalaya.

Menelusuri jejak langkah Gereja di Tasikmalaya bak menyusun batu-batu sendi menjadi sebuah bangunan. Apalagi hampir semua arsip baik foto-foto, dokumen permandian musnah terbakar. Pengalaman kehidupan menggereja yang kami dituangkan dalam Sejarah Gereja Paroki “Hati Kudus Yesus” Tasikmalaya terbagi dalam tonggak-tonggak:
1. Gereja Masa Revolusi (1930 – 1947)
2. Gereja Masa Mengembara (1947 – 1955)
3. Gereja Menetap (1955 – 1965)
4. Gereja Berkembang (1965 – 1994)
5. Renovasi: Perjuangan Seluruh Umat (1994 – 1996)
6. Peristiwa Tasikmalaya Kelabu (1996)
7. Membangun Kembali (1996-1997)
8. Gereja Memasyarakat (1997 – 2007)
9. Melampai Tahun 2000

BAGIAN I : GEREJA MASA REVOLUSI (1930 – 1947)

Pada tanggal 19 Oktober 1930 perkawinan antara Henri August Leonard dengan Catherine Jacqueline tercatat dalam buku perkawinan Pastor yang memberikan Sakramen Perwakinan adalah Pastor Ant. Van Asseldonk OSC. Pada tanggal 16 Februari 1931 Tasikmalaya memiliki sebuah gedung gereja sendiri. Meskipun telah memiliki gedung gereja Tasikmalaya merupakan stasi dari paroki Garut.

Pada tahun 1937 Mathias Tan Joen Liong yang dipermandikan di Bandung datang ke Tasikmalaya bekerja sebagai pegawai kebun karet Onderneming ADAWARNA di daerah Sukaraja-Cibalong. Bersama dengan pegawai kebun karet yang lain dan para tentara KNIL serta beberapa orang Tionghoa yang tertarik dengan agama Katolik mereka sering berkumpul mengadakan perayaan ekaristi. Para pastor Belanda dari Bandung yang memimpin perayaan ekaristi. Meski tidak rutin mulai tahun ini perayaan ekaristi sering diadakan secara berpindah-pindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain.

BAGIAN II : GEREJA MENGEMBARA (1947 – 1955)

Setelah situasi agak normal, perayaan ekaristi baru diadakan lagi mulai tahun 1947. Umat menggunakan rumah yang terletak di Jalan Seladarma No. 10 untuk beribadah dan beraktifitas. Selain di rumah tersebut, kehidupan menjemaat juga menggunakan gedung milik Brigif TNI-AD yang terletak di Jalan Yudanegara (sekarang pertokoan). Pada sekitar tahun 1947 pastor yang berkarya adalah Pastor Sumodiwirjo OSC seorang pastor yang bertugas mendampingi para tentara menggantikan Pastor C. Mooij OSC. Karena pastor Sumo adalah pastor tentara (Almoezenier) maka tidak heran bila kerap kali misa diadakan di kantin tentara.

Pada masa pengembaraan ini, sebuah sejarah penting yang perlu juga dicatat yakni peran TNI AD dalam perkembangan gereja Katolik Tasikmalaya. Anggota TNI AD saat itu membantu para pastor dalam pelayanan kepada umat. Bapak Budi Rahardjo dan Bapak Antonius Djawal, anggota TNI AD bagian pembinaan Rohani Katolik (Roh-Kat) ikut membantu pelayanan pastor dalam karya pewartaan.

Karena merekalah perayaan ekaristi hampir selalu diadakan di tempat milik TNI AD. Pada dekade ini sebagian besar umat Katolik adalah anggota TNI AD. Selain menempati markas Brigif, kegiatan berjemaat dilaksanakan di CPRAD yang terletak di Jalan Kalektoran (sekarang gedung BRI).

BAGIAN III : GEREJA MENETAP (1955 – 1965)

Setelah menjalani peziarahan perjalanan gereja yang cukup panjang dan melelahkan, berpindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain berkat bantuan Bapak Richardus Selawinata pada bulan Juli 1954 dibelilah sekolah “Minerva“ milik bapak Tjong A Koei yang terletak di jalan Kebon Tiwu. Setahun kemudian gedung lama dibongkar dan dibangunlah secara bertahap gedung yang baru di bawah koordinasi pastor Dohne OSC dengan arsitek bapak Ho A Buy.

Seiring dengan berdirinya bangunan baru, pada tahun 1955 mulailah sekolah Yos Sudarso Tasikmalaya di bawah pengelolaan Yayasan Salib Suci. Kegiatan hidup menggereja mulai terpusat di tempat ini. Ruangan gedung sekolah sengaja tidak disekat mati, karena setiap hari Minggu ruangan-ruangan kelas tersebut digunakan untuk perayaan ekaristi dan kegiatan gereja.

Ketika itu perayaan ekaristi masih menggunakan bahasa Latin dan semua umat termasuk imamnya menghadap ke altar. Salah satu ruangan yang terletak di ujung bangunan digunakan untuk tempat tinggal pastor sekaligus sebagai sakristi.

Pada tanggal 26 Juli 1956 seluruh bangunan TK, SD, dan SMP Yos Sudarso selesai dibangun. Mgr. Arntz OSC, Uskup Bandung memberkati dan meresmikan pemakaiannya dengan dihadiri perwakilan dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.

BAGIAN IV : GEREJA BERKEMBANG (1965 – 1994)

Perkembangan umat yang di luar dugaan ini mendorong untuk memikirkan gedung gereja yang permanen dan representatif. Pastor Van de Pool OSC yang masih muda dan bersemangat mulai membangun gedung gereja dan pastoran di atas tanah di Jalan Manonjaya No. 50 Tasikmalaya yang telah dibeli sebelumnya.

Entah dananya dari mana, mulailah dibangun gedung gereja dan pastoran sederhana. Kapan persisnya gereja dan pastoran tersebut selesai dibangun, namun menurut catatan, pernikahan tanggal 5 Februari 1966 telah menggunakan gedung gereja baru tersebut. Gedung gereja tersebut (kini telah menjadi lapangan parki). Di belakang gereja terdapat aula kecil yang digunakan untuk pertemuan, pelajaran agama, ruang tamu pastoran, dan sekretariat.

Dengan demikian perayaan ekaristi tidak diadakan di sekolah Yos Sudarso. Semuanya pindah ke Jalan Manonjaya No. 50 Tasikmalaya (sekarang Jl. Sutisna Senjaya). Gereja tersebut bisa menampung kurang lebih 200-an umat.

Setelah berkarya kurang lebih dua tahun dan menuai begitu banyak panenan, beliau pindah tempat tugas pada bulan April 1966. Yang menggantikan adalah Pastor Gani OSC yang datang ke Tasikmalaya pada bulan Mei 1966. Pada bulan Agustus 1966 Pastor Hidayat OSC, seorang pastor tentara bergabung untuk berkarya di Tasikmalaya. Kedua gembala ini melayani umat yang tersebar diberbagai tempat di kabupaten Tasikmalaya, Ciamis, Banjar, Pangandaran. Karya mereka bukan hanya dalam bidang katekese juga pemberdayaan ekonomi terutama masyarakat di pedesaan.

BAGIAN V : RENOVASI: PERJUANGAN SELURUH UMAT (1994 – 1996)

Perkembangan umat yang begitu pesat mendorong semua pihak baik pastor maupun umatnya untuk mulai memikirkan tempat sarana pembinaan yang lebih memadai secara serius. Seiring dengan keinginan itu pada pertengahan tahun 1993 keinginan umat memiliki gereja yang lebih luas dengan sarana lainnya tidak terbendung. Angan-angan memang besar, namun waktu itu dana serupiah pun belum punya. Maksud mulia itu disetujui oleh pastor Martin Sommers OSC.

Maka dibentuklah panitia pembangunan gereja. Sebagai pelindung pastor Martin Sommers OSC, penasehat adalah RH Selawinata, Y. Hidayat Yodi Saputra, Yan Setiono, pastor Y. Siswa Subrata Pr. Sedangkan panitia inti adalah dr. Lukmantara Tendi Ketua) dan F.H. Suhartono SH (Wakil Ketua). Panitia yang lain adalah A. Sugito dan C. Sugirman (Sekretaris), L. Benny Hamdani dan F. Eddy Tunggino (Bendahara), Ir. Ign. Sukianto, Ir. Aat Sumadi, H. Gunawan, YB Djoni Hasan, A. Darmawan Tendi (pelaksana). Seksi usaha K. Hansen Tendi dan seksi humas B. Waluyo dan Ign. Sutono. Mereka itulah yang terlibat dari awal sampai akhir sesuai dengan talenta dan waktu serta tenaga yang tersedia.

Selama kurun waktu setengah tahun panitia mengumpulkan modal dan memohon bantuan dana dari Keuskupan Bandung dan Yayasan Salib Suci. Umat juga diajak untuk terlibat dari yang terkecil sampai dengan yang besar kemampuannya. Pengumpulan dana dari umat dilakukan dengan cara iuran per keluarga. Bentuk bangunan pun mulai dirancang dengan meminta bantuan Ir. Bun Yong seorang arsitek dari Bandung. Melalui perdebatan yang panjang dan melelahkan akhirnya model bangunan disetujui.

Pada tanggal 29 September 1994 pastor Martin meletakkan batu pertama gedung gereja di dalam tanah bekas pastoran yang dipakai awal tahun 1960-an pertanda dimulainya pembangunan gedung gereja. Karena dana yang dikumpulkan umat belum memadai, maka selama pembangunan berlangsung umat mengumpulkan dana lewat iuran yang dihimpun lewat para ketua lingkungan. Umat dengan setia sesuai kemampuan memberikan bantuan. Setiap kali pembangunan belum selesai dan masih membutuhkan dana umat diajak untuk berunding mengenai cara mencari dana.

Gereja baru yang dibangun di belakang gedung gereja lama tampak lebih luas. Karena menggunakan tanah sekolah Yos Sudarso yang sebelumnya dipakai untuk lapangan basket dan ruang laboratorium, maka gereja mengganti kedua fasilitas tersebut. Lapangan basket dibuatkan di samping aula dan ruang laboratorium di samping ruang legio Mariae.

Berbagai tantangan dan hambatan muncul silih berganti. Namun syukurlah semuanya bisa diatasi berkat suntikan dan pendampingan pastor Siswa Subrata Pr. Gedung gereja selesai dibangun dan telah mulai dipakai sejak Minggu pertama masa Advent tahun 1995. Waktu pelaksanaan termasuk seluruh gedung penunjang berlangsung 672 hari atau tepatnya 96 minggu, mulai tanggal 29 September 1994 sampai dengan 31 Juli 1996.

Sepintas semuanya berjalan cepat dan lancar, namun sesungguhnya setiap hal membutuhkan diskusi dan perjuangan tersendiri. Prasasti gedung gereja ditandatangani oleh bupati Tasikmalaya Suljana W. Kusumah dan diresmikan penggunaannya serta diberkati oleh bapak Uskup Alexander Djajasiswaja Pr. pada tanggal 7 Agustus 1996.

BAGIAN VI : PERISTIWA TASIK KELABU (1996)

Kamis, 26 Desember 1996, sehari sesudah Hari Raya Natal adalah Hari Raya Santo Stefanus, Martir Pertama. Kota Tasikmalaya mencatat sejarah penting yang tidak pernah dilupakan terutama oleh masyarakat yang menyaksikan maupun mengalaminya. Pada hari itu, 77 hari setelah kerusuhan di Situbondo, terjadilah kerusuhan yang mengejutkan. Peristiwa itu memakan korban jiwa dan kerusakan harta benda. Gereja-gereja dan pertokoan termasuk rumah-rumah yang dimiliki oleh orang Tionghoa dirusak dan dibakar termasuk terbakarnya gedung gereja Paroki Hati Kudus Yesus yang baru diresmikan oleh Bapa Uskup Alexander Djajasiswaja Pr pada tanggal 7 Agustus 2006. Prasasti yang menandai diresmikannya gereja tersebut ditanda tangani oleh Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kabupaten Tasikmalaya Suljana W. Kusumah.

Dalam peristiwa yang mengejutkan itu, gedung gereja Paroki Hati Kudus Yesus, Jl. Sutisna Senjaya 50, Tasikmalaya mengalami empat gelombang aksi perusakan. Sebagai sebuah catatan sejarah penting kiranya perlu ditulis kronologis perusakan gedung gereja dan sarana penunjang lainnya sebagaimana dituturkan oleh Pastor Kepala Paroki, Rama Y. Siswa Subrata Pr dan beberapa umat yang menyaksikannya.

BAGIAN VII : MEMBANGUN KEMBALI DI ATAS PUING-PUING RERUNTUHAN (1996-1997)

Peristiwa Kerusuhan Tasikmalaya, dan peristiwa serupa yang terjadi di mana-mana pada dekade tahun 1996 – 1997 kiranya menimbulkan keprihatinan umat katolik yang sangat mendalam. Kerusuhan yang terjadi di Tasikmalaya merusak sejumlah sarana umum, kantor instansi, toko, pabrik, gedung gereja dan tempat ibadah lain serta bangunan-bangunan lain. Akibat dari peristiwa tersebut, banyak orang yang terlantar dan menderita karena kehilangan lapangan pekerjaan dan sumber penghidupan.

Peristiwa Kerusuhan Tasikmalaya yang meluluhlantahkan bangunan gereja dan sarana penunjang lainnya menyimpan sebuah tanda tanya: mengapa gereja yang harus dirusak? Keprihatinan ini menjadi semakin menghentak masyarakat lantaran disusul dengan krisis moneter yang menimpa bangsa Indonesia. Harga bahan makanan pokok yang melambung tinggi, jumlah pengangguran yang melonjak, masyarakat yang dihantui rasa takut membuat semakin lengkaplah penderitaan bangsa ini. Keprihatinan yang melanda seluruh negeri seolah ingin mengatakan bahwa bangsa ini sedang terpuruk. Jatuhnya rezim Orde Baru yang ditandai dengan mundurnya Soeharto dari kekuasaan pada tanggal 20 Mei 1998 membuat situasi semakin tidak menentu. Setelah kerusuhan di Tasikmalaya, menyusul pembakaran gereja di mana-mana yang dipicu oleh peristiwa sederhana. Pada masa ini umat katolik merasa tersudutkan dan kurang aman. Apalagi ditambah dengan kenyataan hidup yang semakin terasa menghimpit karena krisis moneter.

Di tengah-tengah situasi yang rawan, umat Tasikmalaya bangkit membangun kembali gedung gereja yang telah luluh lantak. Dalam suasana yang masih tidak menentu, reruntuhan dibersihkan dengan dibantu oleh warga masyarakat sekitar. Pastor Siswa Subrata Pr. membentuk sebuah tim yang bertugas merenovasi bangunan yang telah hancur.

BAGIAN VII : GEREJA MEMASYARAKAT (1998 – 1999)

Satu tahun setelah kerusuhan masih muncul bermacam rumor di masyarakat.. Gerakan-gerakan meskipun kecil menimbulkan kekhawatiran di kalangan umat. Banyak umat yang memiliki toko masih enggan membuka kembali usahanya. Setiap kejadian yang melibatkan masyarakat Tasikmalaya didiskusikan bersama. Pastor Siswa Subrata Pr. sebagai pastor paroki berperanan sekali dalam mengamati setiap kejadian. Umat diajak untuk mendiskusikan setiap gerak kemudian mengambil langkah-langkah untuk mengantisipasi kejadian yang tidak diinginkan.

Menyikapi situasi negara yang sedang dilanda krisis moneter, maka gereja mengadakan berbagai macam kegiatan sosial. Dalam setiap rapat para pengurus Dewan Paroki maupun Pengurus Lingkungan selalu disinggung mengenai situasi terkini yang terjadi di Tasikmalaya. Setiap kejadian yang menarik perhatian masyarakat direfleksikan menjadi sebuah aksi. Maka muncullah berbagai macam gagasan kegiatan yang melibatkan masyarakat. Boleh dikatakan bahwa tahun 1998 – 1999 adalah tahun kegiatan sosial yang diwarnai dengan aksi sosial entah berupa pemberian Paket Murah atau Paket Hemat berupa beras, minyak goreng, gula, mie instant. Kegiatan lain yakni berupa operasi pasar ke pelosok-pelosok dengan menjual beras murah.

Kegiatan yang paling mendapatkan tanggapan positif dari masyarakat adalah pasar murah bagi warga RW 05 Kebon Tiwu yang dilaksanakan pada tanggal 25 Januari 1998. Kegiatan ini mendapat sambutan hangat karena krisis ekonomi sedang melanda seluruh negeri dimana harga barang-barang kebutuhan pokok melonjak. Seluruh umat terlibat dalam kegiatan ini sesuai dengan talentanya masing-masing. Pada kesempatan tersebut walikota Tasikmalaya hadir meski tidak diundang.

Pasar murah menjadi agenda kegiatan yang berkelanjutan bahkan rutin dilaksanakan. Pada bulan Maret 1998 berturut-turut pasar murah diadakan bagi warga di kecamatan Tawang, kemantren Tamansari, bagi para penderita cacat. Tidak jarang pula kegiatan sosial seperti ini bekerjasama dengan PMII dan IPNU. Pada bulan yang sama dierikan paket berupa beras, mie instant, ikan asin bagi masyarakat Gunung Tanjung dan kemantren Tamansari.

Bulan berikutnya paket murah juga diberikan bagi orang-orang yang cacat di kompleks lembaga sosial. Pada hari Minggu, 17 Mei 1998 paket hemat diberikan untuk para penyandang cacat di lapangan basket.

Pada tanggal 26 Mei 1998 bekerjasama dengan IPNU dan mahasiswa Cipasung (IAIC) yang sedang mengadakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) mengadakan operasi pasar ke: Warungponteng sebanyak 5 ton beras; Sukaratu 1 ton beras; Cipicung, Taraju 1 ton beras; Sukanagara 1 ton.

Pada bulan Agustus 1998 paroki melaksanakan program rakyat sehat. Berbagai macam aksi sosial dilaksanakan. Kegiatan yang paling menonjol yakni program bayi sehat. Seksi sosial dan PMII bekerjasama membagikan susu bagi balita hampir di setiap kelurahan.

Komunikasi dengan saudara-saudara muslim ditingkatkan. Kunjungan kepada para kyai dan ajengan dilaksanakan. Silaturahmi dengan para pemuka agama diintensifkan bersama dengan para pengurus lingkungan di tingkat masyarakat bawah.

Jalinan persaudaraan itu membuahkan hasil yakni terbentuknya sebuah forum yakni Forum Persaudaraan Umat Beragama (FPUB) yang dideklarasikan pada tanggal 20 Mei 1998 oleh beberapa tokoh dari kalangan umat beragama. Saat terbentuk forum ini mempunyai tujuan agar bisa digunakan sebagai tempat merumuskan konsep-konsep persaudaraan antarumat beragama. Dialog keagamaan pun berlanjut dalam karya bagi masyarakat.

Sumber : http://parokitasikmalaya.wordpress.com/2010/09/13/sekilas-sejarah-paroki-tasikmalaya/#more-369

baca selanjutnya...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP