Sejarah Gereja Paroki Santo Petrus dan Paulus Kelor Gunungkidul
Sejarah Gereja
Paroki Santo Petrus dan Paulus Kelor Gunungkidul
Paroki Santo Petrus dan Paulus Kelor Gunungkidul
Perjalanan Benih Iman Di Kelor
(Kilas Sejarah Gereja Kelor Menuju Paroki Mandiri)
(Kilas Sejarah Gereja Kelor Menuju Paroki Mandiri)
A. Awal Tertanamnya benih (1932-1975)
Tangal 1 Februari 1932 datanglah seorang pemuda bernama Tarsisius Karim[1] di Pedesaan Kelor. Ia berasal dari Wareng, Desa Munggi, Kecamatan Semanu, Kabupaten Gunungkidul. Ia datang ke Kelor karena mendapat tugas dari Yayasan Kanisius Semarang untuk merintis sebuah sekolah (Sekolah Rakyat: SR) di Pedesaan Kelor. Di mana situasi di Kelor saat itu sebagian penduduknya masih buta huruf karena hanya anak-anak perangkat desa saja yang diijinkan bersekolah oleh pemerintah Belanda yang menjajah Indonesia pada masa itu.
Untuk membuka sekolah pada saat itu tidaklah mudah. Tarsisius Karim sang guru muda tersebut harus mencari murid sendiri dan juga tempat belajar mengajar sendiri. Namun, berkat kegigihan dan keuletan pemuda Karim dan atas bantuan seorang Kawituwa Desa Kelor Bapak Karsaikrama, tugas mulia pemuda Karim tersebut dapat terwujud. Bapak Karsaikrama menyediakan rumahnya untuk tempat belajar mengajar dan Pak Guru Karim mencari murid dari rumah ke rumah. Demi kelancaran tugasnya, Pak Guru Karim menempati rumah Bapak Kamituwa Karsaikrama.
Pada tahun 1933 pemuda Karim mengakhiri masa lajangnya, mempersunting seorang gadis bernama Theresia Mubingah[2] Sebagiamana kebiasaan orang Jawa setelah menikah mendapat nama baru; Tarsisius Karim Darmosuprapta (red- selanjutnya nama Darmo menjadi nama panggilan Tarsisius Karim). Nama yang dikenal sekarang adalah Pak Darma. Meski sudah berkeluarga ia tetap memiliki semangat yang menggelora untuk mengabdi kepada Tuhan lewat pelayanan kasih kepada sesama. Kita tentu dapat membaca bagaimana situasi pada zaman itu. Banyak kesulitan dan tantangan yang harus dia hadapi. Namun karena semangat hidupnya yang masih bergelora tantangan dan situasi zaman tidak menghalangi dia untuk memulai suatu karya yang menjadi tanggung jawabnya. Setiap hari ia mulai berkeliling dari rumah ke rumah untuk mencari murid. Kegigihan dan semangatnya mulai membuahkan hasil, apalagi didukung dengan sikapnya yang penuh keramahan dan kewibawaan yang terpancar dari pembawaannya. Ia mendapat tempat di hati Bapak Karsaikrama, seorang Kamituwa di Pedesaan Kelor. Rumah Bapak Kamituwa tersebut direlakan untuk kegiatan Pak Darma.
Di sore/malam hari sambil makan malam bersama keluarga Karsaikrama, pemuda Karim selalu mendongeng pada keluarga itu. Adapun dongeng yang dibawakan diambil dari Kitab Suci Perjanjian Lama, yang menceritakan para Nabi utusan Tuhan. Sebagai seorang muslim yang saleh Bapak Karsaikrama sangat antusias mendengarkan cerita tersebut, yang notabene mirip cerita dalam Al-Quran.
Sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampau juga, demikianlah pepatah katanya. Hal itu pulalah yang dialami oleh Pak Darma. Siang hari ia mengajar anak-anak agar dapat membaca dan menulis, malam hari ia gunakan waktu untuk mewartakan Injil, menaburkan benih-benih iman katolik di Pedukuhan Kelor. Cara yang ia tempuh sangat sederhana, ia banyak bercerita tentang kisah hidup para nabi yang ia ambil dari Kitab Suci. Apa yang disampaikannya rupa-rupanya menarik perhatian Bapak Karsaikrama dan sanak keluarganya. Akhirnya, Bapak Karsaikrama beserta keluarga termasuk putra-putranya yaitu, Satija, Sadun dan Satijan menyatakan keinginannya untuk menjadi Katolik Mereka yang setiap saat mendengarkan cerita Pak Darma mengungkapkan niatnya untuk menjadi Katolik. Di antara “murid-murid’ Pak Darma tersebut akhirnya dibaptis. Dengan sangat bahagia, Pak Guru Tarsisius Karim menyampaikan Injil kepada keluarga Karsaikrama. Bapak Karsaikrama dibaptis dengan nama baptis Zakarias, Sadun dengan nama baptis Yohanes, dan Satijan dengan nama baptis Aloysius..”Murid-murid” pertama dibaptis pada tanggal 07 Mei 1939 oleh Rm Strater, SJ. di situlah awal mula Gereja tumbuh di Kelor.
Pada tahun 1935 jerih payah Pak Darmo membuahkan hasil panenan yang pertama dengan dipermandikannya Bapak Satijo Suwitowiharja dan Ibu Wasiyah Suwitowiharjo (anak Menantu Mbah Karsaikrama), kemudian tahun 1938 menyusul Bapak Karsaikrama dan Ibu serta Sadun dan Satijan puteranya dipermandikan.
Kelebihan dan kharisma Pak Darmo kiranya menjadi daya tarik warga sekitar untuk mengetahui lebih dalam mengenai ajaran Katolik. Pak Darmo mampu menjalin hubungan erat dengan berbagai komponen masyarakat, berwibawa, bijak, dan rendah hati. Kekhasan beliau pada saat “sharing” (berbagi pengalaman iman), dengan duduk bersila, menggunakan kehidupan sehari-hari sebagai dasar penanaman iman yang konkret. Kisah-kisah Kitab Suci Perjanjian Lama menjadi sarana untuk membawa misi iman Yesus kepada masyarakat sekitar. Perangkat dan barang-barang yang menjadi sarana Pak Darmo sampai saat ini masih tersimpan rapi di Paroki Kelor, antara lain: sepeda, papan tulis, dll.
Dengan telah dipermandikannya Keluarga Zakarias Karsaikrama secara perlahan namun pasti, Gereja Kelor mulai tumbuh. Seusai mengajar dengan tiada takut tantangan dan rintangan Pak Darmosuprapto terus berkarya di ladang Tuhan sampai di Jaranmati dan Wiladeg.
Dalam berkarya beliau mendapat bantuan dari Bapak Zakaria Karsaikrama dan Bapak Hieronimus Suwitowiharjo. Beliau berdualah yang menjadi Katekis pertama di Kelor, bahkan Bapak Karsaikrama mendapat sebutan Mbah Katekis.
Pada masa pendudukan Jepang, terjadi kemunduran di pelbagai bidang. Termasuk SR Kanisius mengalami kemunduran karena faktor politik yaitu karena SR Kanisius dikelola oleh Belanda. Pak Darmo pada waktu itu keluar sebagai guru dan menjadi petugas keamanan Kecamatan Karangmojo. Setelah merdeka, ia menjadi guru SD Negeri, namun perannya sebagai katekis tetap berjalan. Jumlah umat pun semakin lama semakin banyak. Sampai tahun 1959, umat Katolik di Kelor mencapai jumlah lebih dari 125 orang.
Pada tahun 1960-1966, Gereja Kelor mengalami perkembangan yang luar biasa. Faktor yang menyebabkan perkembangan ini antara lain karena kharisma dan figur Pak Darmo, serta tradisi pangruktiloyo umat Katolik berbeda dengan yang lainnya. Pada waktu itu, apabila ada umat yang meninggal dunia, Pak Darmo dan umat Katolik yang lain bergotongroyong, mendoakan, dan mengantar jenazah dari rumah sampai proses pemakaman selesai.
Perkembangan tahun-tahun berikutnya menunjukkan bahwa jumlah umat Katolik di Stasi Kelor semakin berkembang, dan selama ini kegiatan ibadat/ekaristi/kegiatan umat lainnya diadakan di rumah Pak Darmo. Maka mulai dipikirkan adanya tempat ibadah yang tetap sehingga dibentuklah Panitia pembangunan Gereja/Kapel Kelor. Umat mengumpulkan inatura berupa hasil pertanian.
Perjuangan Pak Darma tidak pernah berhenti. Ia terus merasul dan mewartakan kabar gembira ke berbagai pelosok. Semakin hari jumlah yang ingin menjadi katolik dan dibaptis semakin bertambah. Hal itu tentu semakin menambah semangat dan kegigihan Pak Darma. Panenan hasil perjuangannya semakin bertambah banyak, maka mulai dipikirkan untuk membuat tempat ibadah. Semula kegiatan umat dipusatkan di rumah Pak Darma. Kalau hari minggu mereka mengikuti perayaan ekaristi di Wonosari. Berkat kegigihan dan semangat juang yang tinggi dari umat akhirnya pada tahun 1973 umat Kelor mempunyai tempat ibadah.
Berkat partisipasi umat dan dorongan dari panitia pada tahun 1971 telah berhasil membeli kayu jati sebagai bahan bangunan Kapel, dan menurut rencana pada tahun itu juga kapel akan dibangun. Puji Tuhan saat itu datang pastor pembantu R. Wolfgang Bock, SJ sebagai pastor pembantu di Paroki Wonosari, dan beliau sangat senang melihat umat Kelor berniat mendirikan kapel.
Berhubung panitia/umat belum punya tanah yang definitif milik stasi, pada tahun 1972 beliau membelikan tanah seluas 4.000 m2 seharga Rp 280.000,- (red - tanah ini menjadi tanah pekarangan Gereja sekarang). Dan berkat bantuan beliau pula, akhirnya Gereja dapat dibangun. Namun sayang, sebelum Gereja resmi dipakai beliau telah dipindahkan ke Paroki Karanganyar, dan pada tahun 1973 Gereja selesai dibangun. Sebelum meninggalkan Wonosari beliau berpesan agar Maria dijadikan Pelindung Gereja Kelor. Pada tanggal 29 Juni 1975 Bapak Kardinal/Uskup Agung Semarang berkenan hadir di Kelor untuk menerimakan Sakramen Krisma. Dengan kehadiran beliau Pengurus Stasi atas persetujuan Pastor Paroki sepakat untuk sekaligus meresmikan Gereja Kelor yang baru.
Dengan pengguntingan pita oleh Bapak Camat Karangmojo, Bapak S. Kadiran dan pembukaan kunci Gereja serta pemberkatan Gereja, maka resmilah Gereja Kelor dipakai sebagai tempat ibadah yang tetap bagi umat Stasi Kelor. Saat itu tak terlintas dalam benak Pengurus Stasi Kelor tentang nama pelindung Gereja Kelor, dan tak seorangpun ingat akan wasiat Romo R. Wolfgang Bock SJ. (Romo Subokastowo). Maka Bapak Kardinal berkenan mengambil nama Petrus dan Paulus sebagai Pelindung Gereja Kelor, karena saat itu kebetulan sekali adalah Hari Raya St Petrus dan Paulus, kemudian jadilah tanggal 29 Juni sebagai Hari Raya Pelindung Gereja Kelor. Sejak tanggal 29 Juni 1973 resmilah Gereja kita mengambil nama pelindung Santo Petrus dan Paulus, dan tak lupa setiap tahun diperingati dan dirayakan.
Disimak dari awalnya, terlepas dari wasiat Romo R. Wolfgang Bock SJ. memang tepatlah kita berlindung dalam Petrus dan Paulus. Santo Petrus seorang di antara para rasul yang pertama dan paling yakin akan peran Yesus sebagai Kristus. Walau sering ia mengingkari Tuhan, namun dengan jujur dan tegar mengakui kesalahannya dan tetap setia. Hal itu dapat disimak dalam kisah sengsara Tuhan Yesus, saat ia mau ditangkap di Roma ia melarikan diri namun di jalan Tuhan menyapa : quo vadis? Tuan mau kemana? Petrus sadar bahwa ia berusaha menghindar dari tanggungjawab sebagai pemimpin umat dan dari kesengsaraan. Sadarlah ia dan akhimya kembali ke Roma, ditangkap, di penjarakan dan akhirnya mati sebagai martir dengan disalibterbalik (kepala dibawah). Ia malu bila hanya sengsara seperti Kristus, ia mau lebih dari sengsara Tuhan.
Tentang Paulus kita tahu, ia seorang Saulus yang terpelajar dengan tradisi Yahudi yang kuat dan sangat membenci Kristen. Ia pula yang menyetujui Stepanus dihukum rajam. Dan berbekal surat dari penatua Yahudi, ia berangkat ke Damaskus untuk mengejar orang Kristen. Namun Kristus berkehendak lain, Kristus telah berkenan memilihnya untuk menjadi hulubalang Gereja yang setia. Bahkan setelah menjadi hamba Tuhan, Paulus berkeliling ke Asia untuk mengabarkan Warta Kesukaan. Segala rintangan dan tantangan bukan halangan baginya. Bahkan kita sejajarkan ia dengan para rasul. Sejak abad ke-3 atau ke-4 Gereja mengadakan perayaan peringatan Petrus dan Paulus. Dengan doa dan surat-suratnya Petrus dan Paulus menuntun umatnya agar menjadi dewasa dalam imannya dan tetap setia pada Tuhan Yesus.
B. Benih Iman yang Makin Berkembang (1975-1990)
Benih-benih sabda yang ditabur di Paroki ini menjadi pondasi tumbuh dan berkembangnya Gereja sampai saat ini. Umat di masing-masing tempat memiliki kenangan yang membanggakan bagaimana dan dengan siapa mereka merintis tumbuhnya Gereja. Pengalaman suka-duka, harapan, dan kecemasan dalam mengembangkan iman menempa kehidupan umat untuk bertekun melanjutkan perjuangan dengan kemampuan dan cara masing-masing. Apa yang dialami dan dirasakan itu mengendap cukup dalam dihati sanubari umat sehingga membentuk suatu generasi ‘Gereja Perdana’ yang kemudian menjadi suatu ‘panutan’ bahkan ‘idola’ umat masa kini dengan berbagai cerita perjuangannya. Masa ini dapat dikatakan berlangsung sampai tahun 90-an dimana mulai tahun-tahun itu tata penggembalaan umat sudah lebih ‘maju’ dengan adanya pembagian wilayah Paroki menjadi 3, Tengah berpusat di Wonosari, Barat di Bandung dan Timur di Kelor. Wilayah-wilayah tersebut masing-masing memiliki kepengurusan yang lengkap, yang model dan bentuk strukturnya kurang lebih sama dan seragam.
C. Masa Perintisan ( 1990 - 1998 )
Tahun-tahun berikut umat semakin bertambah lagi. Melihat perkembangan umat yang pesat, para gembala umat di Paroki Wonosari melihat perlu adanya pemekaran wilayah baik ke Barat maupun ke Timur. Ke Barat dengan pusat di Bandung sedangkan ke Timur dengan pusat di Kelor. Pada tahun 1990 mulailah perintisan untuk memulai pemekaran tersebut sehingga stasi Kelor mulai mendapat perhatian. Untuk mendukung pelayanan yang memadai dibangun pula pastoran. Perhatian lebih besar lagi terjadi ketika pada tanggal 1 Januari 1998 stasi Kelor ditetapkan sebagai Paroki Administratif, yang meliputi enam wilayah dan tersebar di empat Kecamatan, yaitu Kecamatan Karangmojo, Kecamatan Ngawen, Kecamatan Semin dan Kecamatan Ponjong. Keenam wilayah tersebut adalah: Wilayah Kelor, wilayah Jaranmati, wilayah Semin, wilayah Sambeng, wilayah Wonosari Jurangjero dan wilayah Ngawen. Tahun 2000 perhatian dari Romo Paroki Wonosari semakin besar dengan ditempatkannya seorang Romo yang secara khusus memperhatikan umat Kelor dan bertempat tinggal di pastoran Kelor. Di bawah perlindungan Santo Petrus dan Paulus, umat Kelor semakin mantab untuk memasuki kemadirian sebagai paroki definitif.
Pembagian Paroki menjadi 3 wilayah tentu membawa konsekuensi yang besar di mana masing-masing Dewan Wilayah harus mau belajar mengelola dan mengurus Wilayahnya guna mengembangkan Gereja melalui berbagai macam karya pelayanan. Dewan Wilayah Timur yang mengkoordinasikan 6 Stasi dituntut semakin mengenal wilayahnya dan belajar memikirkan, merencanakan, dan melaksanakan kegiatan-kegiatan pastoralnya meskipun tetap dalam perspektif ‘kesatuan’ dengan Paroki Wonosari yang nampak dalam bentuk sentralisasi keuangan. Masa tersebut dirasakan juga mengandung harapan akan datangnya suatu masa ‘kemandirian’ dimana Wilayah-wilayah akan terpisah dan membangun dirinya sebagai Wilayah yang mandiri.
Harapan tersebut makin kuat ketika mulai tahun 1995 ada kebijakan Romo Paroki menugaskan seorang Pastor Wilayah yang secara intensif mendampingi Dewan Wilayah dalam menyelenggarakan karya pelayanannya. Meskipun dengan ‘wewenang’ yang sangat terbatas tetapi kehadiran Romo Wilayah memberikan motivasi dan dorongan yang kuat dalam mengembangkan Wilayah. Pada masa itulah Dewan Wilayah Timur meletakkan ‘landasan’ jangka panjang dan strategi pencapaiannya untuk mempersiapkan suatu Paroki, yang waktu itu dikenal dengan nama Sistem Pengembangan Wilayah ( SPW ), yang memandang wilayah sebagai suatu kesatuan sistem yang terdiri dari beberapa sub-sistem yang saling terkait, berinteraksi, dan saling mempengaruhi, adapun sub-sistem dimaksud adalah: Pembangunan Jemaat, Pembinaan Teritorial, Pembangunan Sarana dan Prasarana, Pendanaan, dan Pengembangan Organisasi.
D. Masa Pencarian Bentuk ( 1998 - 2000 )
Masa ini relatif singkat atau pendek, yaitu sepanjang masa bakti Pengurus Dewan Paroki tahun 1998 - 2000, yaitu Dewan Paroki I. Tetapi meski pendek banyak hal telah dilakukan selama masa tersebut, Dewan Paroki dengan Visinya : “MENGGALANG PAGUYUBAN, MERAIH KEDEWASAAN MENUJU KEMANDIRIAN” terus menerus membangun diri bersama umat Semenjak dikukuhkannya Wilayah Timur dan Wilayah-wilayah lain menjadi Paroki Administratif pada tgl. 1 Januari 1998, ‘perjuangan’ Gereja Wilayah Timur semakin menemukan landasan yang kokoh untuk menatap masa depan yang lebih terang dalam karya dan pelayanan Pastoralnya. Dengan pengukuhan tersebut perjuangan belumlah selesai tetapi justru baru dimulai ketika sebuah kepercayaan diletakkan di atas pundak umat dan Dewan Paroki.
Pada saat itu Dewan Paroki dibentuk dengan model struktur ‘gemuk’ dengan menampung tokoh-tokoh umat dari setiap Stasi. Struktur semacam itu ternyata belum mampu ‘menjawab’ kebutuhan umat karena Dewan Paroki tidak dapat melaksanakan tugasnya secara efektif, justru karena ‘gemuk’nya, kecuali pada tingkat pengurus harian. Ini disebabkan karena banyaknya kendala dari personil Dewan Paroki yang berjauhan satu sama lain sehingga komunikasi baik formal (rapat-rapat) maupun informal sulit terjadi. Sementara medan pelayanannya cukup luas. Pengalaman selama tiga tahun tersebut terasa cukup berat meskipun tetap ada hasil karya yang patut dicatat dan semakin menantang untuk menemukan bentuk organisasi Paroki beserta Dewan Parokinya. Struktur Organisasi Dewan Paroki juga memberikan banyak pelajaran dan penyadaran tentang model pelayanan Gereja yang seharusnya lebih memberdayakan umat di tingkat basis, apalagi luasnya wilayah merupakan kenyataan yang tak terhindarkan.
E. Masa Penegasan Bersama ( 2001-2006)
Pengalaman berparoki selama tiga tahun menghasilkan suatu babak baru dalam mencari bentuk atau model yang semakin cocok dengan situasi konkret Paroki Kelor. Itulah yang mau dikatakan dengan menyebut masa penegasan bersama ini. Dalam masa ini Arah Dasar KAS tahun 2001 - 2005 terasa menerangi, menjiwai, dan memantapkan langkah-langkah yang ditempuh dalam proses penegasan bersama ini. Diawali dengan suatu rekoleksi Dewan Paroki yang didampingi oleh Tim P3J KAS, dilanjutkan dengan berbagai pertemuan dengan para ketua Stasi, maka setapak demi setapak ditempuh langkah-langkah untuk membentuk suatu Paroki yang berorientasi pada pemberdayaan dan partisipasi umat sebagi salah satu bentuk pelaksanaan tanggungjawab bersama umat Allah.
Kemudian pada proses itu, juga dibuka suatu wawasan baru tentang berbagai kemungkinan bentuk Paroki sebagaimana terdapat adalam PDDP KAS 1987. Pada akhirnya disepakati suatu bentuk Paroki yang berbentuk semi-federatif- suatu kombinasi antara Paroki ber-Stasi dengan Paroki Federatif.- dengan struktur Organisasi Dewan Paroki yang ramping atau ‘kurus’, setidak-tidaknya untuk masa bhakti 2001 -2003.
Pengalaman selama 3 tahun terakhir akhirnya menguatkan pilihan untuk tetap memilih suatu struktur Organisasi Dewan Paroki yang ramping pada masa bhakti 2003 - 2006 ini, yang tetap terdiri atas 5 Bidang beserta anggotanya; Sekretaris dan Bendahara.
F. Menuju ‘Yerusalem’ baru !
Setelah menjalani pengalaman sekian lama, umat Kelor merenungkan dan merefleksikan dalam terang iman bahwa Allah telah mendidik - seperti umat Perjanjian Lama dahulu yang dipersiapkan menerima kehadiran PutraNya, - untuk selalu teguh dalam cita-cita dan tekun dalam berjuang, dan lebih-lebih setia kepada Yesus, menuju Paroki baru. Umat telah membulatkan tekad untuk segera, secara serius, menyongsong peresmian dan pengukuhan sebagai Paroki definitif dan mandiri pada tahun 2006.
Untuk menuju ke sana telah disusun kegiatan-kegiatan seperti di bawah:
1. Reorganisasi Paroki.
Berdasarkan PDDP KAS 2004 telah dilakukan Reorganisasi Paroki sebagai berikut:
Mengganti istilah Kring menjadi Lingkungan;
a) Stasi menjadi Wilayah Status Stasi-stasi di Paroki Kelor seluruhnya berubah menjadi Wilayah
b) Ketua Wilayah Kelor (Ka. Bidang I) masuk ke dalam jajaran Pengurus Dewan Paroki ( Ex Officio )
c) Tugas, tanggungjawab, dan mekanisme organisasi antara Lingkungan- Wilayah- Paroki tetap seperti sekarang.
2. Reorganisasi Wilayah dan Lingkungan :
Dalam rangka penataan organisasi di tingkat lingkungan dan wilayah telah dimulai proses reorganisasi pengurus dimana awal dan akhir masa bakti pengurus lingkungan dan wilayah se Paroki dibuat sama / serentak yaitu mulai 1 Januari s.d 31 Desember 2008 dst. Sedangkan untuk masa bhakti DP mulai 1 Januari s.d 31 Desember 2009 mengingat masa bhakti DP yang sekarang baru akan berakhir pada 31 Desember 2006
Pertemuan dengan Dewan Paroki Wonosari dan Bandung tgl. 1 Sept. 2005 dimana pada waktu itu DP Kelor menyampaikan rencana langkah untuk menuju Pengukuhan Paroki. Tanggapan dari Romo Paroki Wonosari dan DP Bandung pada prinsipnya mendukung rencana dan keinginan DP Kelor meski tetap ada harapan untuk tetap menjalin kerjasama satu sama lain.
Tanggal 23 September 2005 Bapak Uskup Agung Semarang, Mgr. Ignatius Suharyo berkenan “rawuh” di Kelor untuk menerimakan Sakramen Krisma, selain menerimakan sakramen krisma Bapak Uskup juga berkenan wawan hati dengan Dewan Paroki Kelor. Pada waktu itu Dewan Paroki mengutarakan niatnya untuk menjadi Paroki yang definitif. Bapak Uskup menanggapi permohonan Dewan Paroki dengan gembira hati dan menyarankan agar Dewan Paroki Kelor membicarakan niat tersebut dengan Dewan Paroki Wonosari dan membuat surat permohonan ke Keuskupan. Saran dari Bapak Uskup tersebut ditindaklanjuti. Tanggal 26 Oktober 2005 Dewan Paroki Kelor mengadakan pertemuan dengan Dewan Paroki Wonosari dan Dewan Paroki Bandung. Hasil pertemuan tersebut disampaikan kepada Bapak Uskup dalam bentuk surat paparan dan permohonan pengukuhan paroki. Bapak Uskup dengan gembira hati menanggapi dan memperhatikan maksud hati umat Kelor. Tanggal 15 Maret 2006 Dewan Paroki Kelor diberi kesempatan untuk bertemu dengan Bapak Uskup untuk membicarakan masalah pengukuhan paroki. Dalam pertemuan tersebut Bapak Uskup berkenan mengukuhkan paroki administratif Kelor menjadi paroki yang definitif pada tanggal 2 Agustus 2006.
Mendengar keputusan dari Bapak Uskup Agung Semarang Mgr. I Suharyo, kami umat separoki administratif Kelor merasa gembira dan hanya rasa syukur yang dapat dihaturkan. Tuhan telah mendengarkan dan mengabulkan permohonan umatNya. Perjuangan untuk menjadi paroki definitif begitu panjang dan melelahkan sejak dirintis oleh Pak Darma pada tahun 1932. Berkat rahmat dan bimbingan dari Allah sendiri, meski mengalami jatuh bangun umat tidak putus asa. Perjuangan dalam kemandirian yang sudah dimulai sejak tahun 1998 sebagai paroki administratif kini dapat dipetik buahnya.
Perjuangan sejak tahun 1998 itu dimulai dengan membangun paguyuban yang semakin erat di antara umat. Umat telah berusaha untuk mencoba menghidupi segala macam kegiatan paroki dengan swadaya umat, tidak lagi tergantung dari paroki induk, yaitu Paroki St. Petrus Kansius Wonosari. Segala macam kegiatan dan kebutuhan paroki dicukupi dari swadaya umat yang terkumpul dari kolekte misa hari minggu yang rata-rata Rp 350.000,- per minggu dan amplop persembahan bulanan yang rata-rata mendapatkan Rp 1.800.000,- per bulan. Meski pemasukan kecil dan terbatas akan tetapi umat tetap berani melangkah menuju paroki definitif. Tentu perjuangan umat tidak berhenti sampai pada peresmian Paroki. Perjuangan umat masih panjang menapaki peziarahan hidup sebagai Gereja yang ingin ikut serta mewartakan dan mewujudkan Kerajaan Allah yang memerdekakan, mengembangkan dan memberdayakan seluruh umat sesuai dengan Arah Dasar Keuskupan Agung Semarang 2006-2010.
Menanggapi keputusan dari Bapak Uskup tersebut, para anggota Dewan Paroki telah berupaya untuk mempersiapkan segala sesuatu untuk peresmian tersebut. Banyak hal yang harus dipersiapkan. Kebutuhan dana untuk mencukupi pendanaan kegiatan peresmian tersebut juga tidak sedikit. Dewan Paroki sudah berusaha untuk menggali dana dari umat untuk mencukupi semua kebutuhan tersebut. Dewan Paroki juga berusaha untuk mengetuk pintu hati siapapun juga untuk membantu umat Kelor. Hal ini ditempuh mengingat bahwa keadaan umat di Paroki kami sangat terbatas dalam hal pendanaan. Maklumlah bahwa umat kami kebanyakan bermata pencaharian sebagai petani. Tetapi umat tetap yakin dan percaya bahwa Roh Kudus senantiasa berkarya lewat siapapun juga.
Pertemuan dengan Bapak Uskup Agung Semarang Mgr. Ign. SUHARYO pada tgl. 23 Sept 2005. Pada saat itu DP Kelor menyampaikan beberapa informasi mengenai situasi umat dan Paroki Kelor : a.l tentang jumlah umat; Paguyuban Umat; Organisasi Gerejawi; Sarana dan Prasarana serta langkah-langkah yang telah dilakukan oleh DP selama ini serta maksud dan keinginan untuk dikukuhkan menjadi Paroki Mandiri Tanggapan Bapak Uskup : MENDUKUNG dan MERESTUI dengan memberikan catatan agar hal ini dibicarakan dengan Paroki induk (Paroki Wonosari) untuk mendengarkan pendapat dan masukannya serta membicarakan hal-hal lain yang dianggap perlu, setelah proses itu dilakukan kemudian DP membuat surat permohonan ke KAS tentang Pengukuhan Paroki tersebut, selanjutnya menunggu persetujuan dan keputusan dari KAS.
Kunjungan ke Lingkungan dan Wilayah tahap 1 menyampaikan sosialisasi tentang kewajiban dan tanggungjawab umat terhadap hidup dan karya Paroki terutama dalam hal pendanaan melalui amplop persembahan sebagai salah satu wujud paguyuban dan gotong royong umat.
Tanggapan umat sangat Positif terbukti dengan melonjaknya pemasukan dana melalui amplop persembahan, hal ini sungguh membesarkan hati karena umat masih tetap setia dengan cita-citanya menjadi Paroki Mandiri dan atas kesediaan untuk menopang pendanaannya.
Rapat-rapat DP dengan Pengurus Wilayah tiap dua bulan sekali, lebih-Iebih dalam tahun 2005, DP senantiasa mengingatkan dan mengajak seluruh pengurus tingkat lingkungan maupun wilayah untuk bersiap diri karena “waktunya sudah dekat”.
Pada akhirnya, rangkaian persiapan untuk “omah-omah dhewe, urip mandhiri” membangun Paguyuban umat Allah di wilayah Kelor, secara resmi diberkati oleh Bapak Uskup Agung Semarang, Mgr. Ignatius Suharyo, pada hari Rabu Legi, tanggal 02 Agustus 2006. Dengan kemandirian ini, bukan berarti sejarah peziarahan hidup umat Allah di Kelor akan berhenti, bukan hanya berhenti pada kepuasan dengan peresmian dan memiliki Paroki sendiri. Masih banyak peziarahan yang harus selalu diperjuangkan, demi iman yang teguh, mandiri, dan mendalam. Semuanya dipersembahkan demi kemuliaan Allah yang mahatinggi. (Ad Maiorem Dei Gloriam) (Fr. Bw. Tgh)
Diolah dari berbagai sumber oleh Tim Buku Kenangan
[1] Tarsisius Karim lahir di Gunungkidul pada tanggal 17 Oktober 1912 dan wafat pada di Kelor pada tanggal 31 Oktober 1995.
[2] Theresia Mubingah lahir di Gunungkidul pada tanggal 19 April 1915 dan wafat pada di Kelor pada tanggal 13 April 1994.
Sumber : http://historiadomus.multiply.com/journal/item/98/085_Sejarah_Gereja_Paroki_Santo_Petrus_dan_Paulus_Kelor_Gunungkidul
0 comments:
Posting Komentar