Sejarah Gereja Paroki Aloysius Gonzaga Mlati (1)
Dari Muntilan ke Mlati
Karya misi oleh para Yesuit di tanah Jawa diawali ketika mereka datang pada tahun 1859 dengan tujuan membantu imam-imam diosesan di bawah pimpinan Vikaris Apostolik Mgr Vrancken (1847-1874) dan Mgr. Claessens (1874-1893). Dalam perjalanan waktu karya misi diambil alih oleh para Yesuit dan pada tahun 1893 kepemimpinan misi diserahkan kepada para Yesuit dengan Mgr. J. Staal, SJ sebagai Vikaris Apostolik yang baru (Indonesianisasi hlm. 82). Dalam catatan sejarah KAS ada 6 stasi yang semula menjadi wilayah KAS (KAS Indonesia hlm 13) sekarang ini, yakni:
Semarang dengan Rm. L. Prinsens Pr sebagai pastornya sejak 1808
Ambarawa dengan Rm. CJH. Frenssen Pr sebagai pastornya sejak 1859
Yogyakarta dengan Rm. JB. Palinckx SJ sebagai pastornya sejak 1865
Magelang dengan Rm. Fr. Voogel SJ sebagai pastornya sejak 1889
Muntilan dengan Rm. Fr. van Lith SJ sebagai pastornya sejak 1897
Mendut dengan Rm. P. Hoevenaars SJ sebagai pastornya sejak 1899
Karya Rm. Fr. Van Lith SJ di Muntilan pada dasarnya disampaikan lewat jalur pendidikan dan budaya. Lewat jalur pendidikan dengan mendirikan sekolah-sekolah untuk rakyat. Dari situlah benih iman kristiani dapat disebarkan di Muntilan dan sekitarnya. Dari lulusan sekolah van Lith di Muntilan itulah nantinya muncul tokoh-tokoh Gereja dan masyarakat. Jalur pendidikan dipilih sebab dapat menjadi mediasi untuk mewujudkan iman, yang diharapkan membuahkan transformasi sosial. (Suharyo, hlm. 288). Selain itu Rm. F. van Lith SJ sangat menaruh hormat terhadap budaya setempat, budaya Jawa sebagaiman nampak dari tindaknnya yang: tidak bertempat tinggal di pastoran Muntilan yang ada di daerah pecinan tetapi pindah di kampung Semampir di tengah-tengah orang Jawa. Beliau juga belajar adat-istiadat Jawa dari para pangeran di Yogyakarta dan akhirnya beliau menterjemahkan doa Bapa Kami ke dalam Bahasa Jawa.(bdk Tim KAS 25). Hasil pendidikan di Muntilan itu adalah rasul-rasul awam yang gigih mewartakan nilai-nilai kristiani. Dari daerah yang sekarang termasuk paroki Mlati dapat disebutkan murid-murid Rm. Van Lith, yakni:
Sdr. Marji dari Warak yang dipermandikan pada tahun 1914 kemudian menjadi seorang Bruder di tarekat FIC dengan nama Br. Timotheus FIC pada tanggal 15 Agustus 1926. Beliau dikenal sebagai pencipta wayang wahyu.
Sdr. Suradi dari dusun Sendari, Tirtoadi yang dipermandikan tahun 1914. Kemudian bertempat tinggal di Bausasran Yogyakarta sebagai pesiunan guru dengan nama lengkapnya Yulianus Suradi Padmowiyoto.
Sdr. Katiman dari dusun Warak, tinggal di Warak sebagai pensiusnan pegawai Kereta Api, dengan nama lengkapnya Antonius Katiman Sastrosutanto.
Kismin dari dusun Plaosan yang dipermandikan tahun 1915 dengan nama baptis Chrispinus dan kemudian menjadi imam bernama Rm.C. Martowardaya SJ, yang meninggal tahun 1975.
Mereka berempat dibaptis oleh Rm. H. van Driessche SJ (seorang Indo-belanda yang menjadi imam, dan pada tahun 1922 menjadi guru di kolose Muntilan). Ia menjadi pembantu Rm. F. van Lith SJ dalam karya misinya. Selain mereka berempat ada satu yang juga banyak berjasa dalam penyebaran iman kristiani yakni FB. Saidi Padmowarsito dari dusun Warak yang dipermandikan pada tahun 1924.
Rm. Fr. Strater SJ, Rm. Van Driesche SJ dan para rasul awam
Permulaan tahun 1917 Rm. Fr. Strater SJ tiba di Jakrta dan setahun kemudian menetap di Yogyakarta. Semula beliau hanya bekerja untuk kalangan umat Belanda. Namun segera ia belajar bahasa Jawa dan bekerja sama dengan Rm. Van Driessche SJ yang sejak tahun 1919 meninggalkan Muntilan dan menetap di Yogyakarta. Kedua pastor itu akhirnya bekerja sama dalam pelayanan kepada umat katolik. Sejak tahun 1922 Rm. Strater SJ menjabat pimpinan Novisiat Serikat Yesus yang baru dibuka di Yogyakarta. Kedua pastor Belanda itu akhirnya berbagi tugas dalam melayani umat katolik yakni:
Daerah Yogyakarta bagian Selatan dan Barat dilayani oleh Romo H. van Driesche SJ, bahkan sampai daerah Purworejo yakni daerah Begelan.
Yogyakarta bagian Timur dan Utara dilayani oleh Rm. Fr. Strater SJ sehingga beliau sering mengunjungi daerah-daerah Cebongan, Druju, Sayegan, Warak, Plaosan, Medari, Duwet dan Kalasan. Beliau juga mempersembahkan kurban misa jika kesempatan memungkinkan
Berikut ini dipaparkan beberapa peristiwa dan peran pribadi dan kaum awam pada masa itu:
Pada tahun 1921 Rm. Van Driesche SJ membaptis ayah Marji (Br. Timotheus FIC) yakni Bp. Mangunrejo alias Ranupawiro karena sakit keras.
Di Cebongan seorang mandor pabrik gula bernama Joyoharjo punya anak bernama Srenggono yang lebih dahulu menjadi Katolik, tertarik untuk menjadi Katolik. Maka ia beserta keluarga dipermandikan juga. Setelah mengundurkan diri dari tugasnya di pabrik belaiau mengajar agama. Seorang dari putranya bernama Latifah menjadi suster CB dan wafat pada tahun 1976 di Jakarta.
Rm. H. van Driesche SJ juga menghimpun para pemuda-pemudi untuk dapat bekerja di pabrik cerutu CV. Negresco (atau Taru Martani). Para pekerja itu tinggal di kota di asrama yang bernaung dibawah Yayasan Santa Melania di jalan Sukun (sekarang menjadi lokasi SMPK Gayam). Sebagai bapak asrama ditunjuk Bp. Ignatius Wiryoutomo seorang guru Standaarschool di Kumendaman. Kelak dikemudian hari Bapak itu menjadi pertapa di biara Trapis Rowoseneng Temanggung.
Dalam buku Panca Windu Gereja Mlati menyebutkan beberapa wanita yang menjadi karyawati CV. Negresco antara lain sebagai berikut:
Antonina Katijah, adik dari Antonius Katiman yang menjadi suster OSF, yang meninggal tanggal 7 Januari 1976 dan dimakamkan di Ambarawa.
Elisabeth Juminten yang menjadi isteri Bp. Padmowarsito di Warak.
Helena Sanikem yang menjadi anggota suster OSF.
Bernadetta Samiyem yang menjadi isteri bapak Matheus Darmosukarto di Warak.
Fransiska Romana Sujini yang menjadi isteri bapak Notoharsono di Kadisobo.
Sumartinah yang menjadi isteri bapak Siswoharsono di Bantul.
Karya pendidikan di Mlati
Melanjutkan strategi pewartaan Rm. Van Lith SJ maka Rm. Fr. Strater SJ juga mendirikan lembaga pendidikan untuk masyarakat. Beberapa peristiwa sejarah dalam karya pendidikan di Mlati pada masa ini adalah didirikannya beberapa sekolah yakni:
Sekolah rakyat (volkscholen) yang tahun ajarannya sampai kelas tiga tamat, yakni: tahun 1924 di Plaosan, tahun 1926 di Denggung dan tahun 1929 di Brengosan, Karanglo dan Bugisan.
Sekolah lanjutan (vervolgscholen) yang menampung lulusan volkscholen yang mempunyai masa pendidikan sampai kelas enam tamat yakni: tahun 1931 di Dukuh dan tahun 1935 di Mlati.
Kursus Guru Desa (disingkat kgd, atau Cursus volksonderwijzers disingkat CVO) didirikan untuk mendidik tenaga guru volkscholen.
Untuk tenaga guru yang mengajar di vervolgscholen diambil dari lulusan Normaalschool Muntilan dan Ambarawa bahkan dari Kweekschool juga.
Para guru volkscholen.dan vervolgscholen oleh Rm. Strater SJ pada sore dan malam hari diberi tugas mengajar agama di berbagai tempat. Sementara itu juga pantas untuk kita ingat peran para guru agama di tempat mereka masing-masing yakni:
Bapak Joyoharjo di Cebongan
Bapak Petrus Setrokartomo di Nganggrang Sayegan
Bapak Tarno Harjohadisumarto di Sayegan
Bapak Seco atau Secopelus di Plaosan
Bapak Prawirosentono di Duwet.
Dengan jalur pendidikan itu pada awalnya para murid sekolah-sekolah itu menjadi katolik dan kemudian orang tua mereka juga ikut tertarik dan menjadi katolik. Memang strategi pewartaan lewat jalur pendidikan membuahkan hasil yang menggembirakan.
Kapel Duwet dan Niat untuk mendirikan gereja Mlati
Pada masa itu di kota Yogyakarta baru ada 2 gereja yakni gereja St. Antonius Kotabaru dan St. Fransiskus Xaverius Kidul Loji. Sementara itu orang Jawa semakin banyak yang menjadi katolik sehingga mendorong Rm. van Driesche SJ untuk merubah sebuah bangunan tua menjadi gereja yang dapat menampung sekitar 2000 orang. Kelak di kemudian hari bangunan ini diganti dan didirikan bangunan baru gereja yang kita kenal dengan nama gereja St. Yusup Bintaran.
Sementara itu di Yogyakarta bagian Utara kurban Misa dilaksanakan di sekolah-sekolah dengan dihadiri para murid dan para guru yang lambat laun juga oleh orang tua para murid tersebut. Misalnya di sekolah Morangan dekat pabrik gula Medari. Para pengunjung berasal dari berbagai tempat yakni: Kembangarum, Kadisobo, Somohitan, Salam, Sayegan, Cebongan, Warak, dan Plaosan ikut misa di Morangan tersebut. Maka di kemudian hari didirikan gereja Medari dan diberkati oleh Mgr. A. van Velzen tanggal 27 Oktober 1927. Sementara itu misa di rumah-rumah umat tetap berjalan seperti di Daplokan Druju, Salam, dan Brengosan (Karanglo). Melihat kenyataan itu Rm. Strater SJ kemudian berniat mendirikan tempat ibadah di Duwet yang secara strategis dapat menampung umat dari Duwet sendiri, Kebonagung, Jaten, Beran, Ngepos, dan Denggung. Selanjutnya Rm. Strater SJ membeli sebidang tanah lewat jasa Bp. Afandi di Duwet dan didirikan sebuah kapel. Beaya pembuatan kapel dicatat dalam majalah St. Claverbond sebesar 400 gulden, termasuk harga tanah yang bangunan berukuran 4 kali 8 meter persegi dengan dinding gedeg. Pada tanggal 8 Desember 1931 pada Pesta Bunda Maria tak Bernoda kapel diberkati dalam sebuah ekaristi. Yang menerima komuni sejumlah 116 orang dari 362 yang hadir. (PWGM hlm. 22)
Namun kemudian kapel sudah tidak dapat menampung umat berkat karya pewartaan bapak Prawirosentono seorang guru agama yang aktif berkarya. Maka Rm. Strater SJ berniat memperbesar kapel Duwet tersebut menjadi gereja. Namun Bp. Fr. Sumitro, seorang guru HIS Bruderan di Kidul Loji yang tinggal di Mlati memberikan pertimbangan kepada Rm. Strater SJ sebagai berikut:
* Sebaiknya gereja dibangun di Mlati sebab jika didirikan di Duwet letaknya terpencil.
* Mlati lebih stratergis daripada Duwet karena terletak di pinggir jalan besar dan jalan kereta api jurusan Yogyakarta – Magelang, bahkan ada stasiunnya
* Mlati dekat dengan tempat pemerintahan setempat yakni seorang Asisten Wedono di Mlati
* Walaupun saat itu hanya ada dua keluarga katolik di Mlati yakni Bp. Fr. Sumitro dan Bp. Jayasumitro, tapi lambat laun diyakini bahwa di Mlati akan berkembang jumlah umat katolik.
Pertimbangan itulah yang juga disampaikan kepada Rm van Baal SJ (superior misi yang baru) dan Rm. A. van Kalken (superior misi yang lama) dan disetujui dengan catatan harus disediakan tanah di Mlati. Selanjutnya seorang keluarga di Mlati (Bp. Ranu) yang akan pindah di Payaman sebelah utara Magelang menjual tanahnya kepada gereja. Hal itu terjadi tahun 1934 dengan harga 200 gulden. Setelah urusan pemindahan hak milik selesai maka dimulailah pembangunan gereja tahun 1935. Mengenai suasana pemberkatan gereja Mlati buku Panca Windu gereja Mlati (PWGM) yang mengutip majalah St. Claverbond menyebutkan beberapa point sebagai berikut:
Gereja Mlati adalah gereja keempat yang diberkati oleh YM. Mgr. P. Willekens SJ yakni:
Ø tanggal 29 Maret 1936 gereja Wates
Ø tanggal 05 April 1936 gereja di Bantul
Ø tanggal 15 Juli 1936 gereja di Nanggulan
Ø tanggal 26 Juli 1936 gereja di Mlati
Gereja Mlati dibangun dengan menghabiskan biaya 7000 gulden yang dapat menampung 1500 umat. Ada dua gambar kaca di dinding belakang panti imam yakni gambar St. Aloysius Gonzaga (Pelindung gereja Mlati) dan St. Yohanes Berchmans. Kedua lukisan itu merupakan sumbangan dari Kolose Ignatius di Amsterdam. Selanjutnya ada sumbangan Tabernakel dari seorang donatur dari Amsterdam.
Pemberkatan gereja terjadi pada hari Minggu Pahing 26 Juli 1936 (atau tanggal 6 Jumadilawal 1867 tahun Alip Windu Adi). Pada saat acara itu Mgr. P. Willekens SJ didampingi oleh Rm. Van Baal SJ dan Rm. Fr. Strater SJ. Pada tamu undangan yang hadir adalah beberapa Romo dari Kotabaru, para Romo dari luar daerah, seorang Wedono dari Sleman dan asisten Wedono dari Mlati. Selesai pemberkatan diadakan acara pertemuan ala kadarnya di rumah Bapak Setrodrono, kepala desa Mlati.
Sumber : http://historiadomus.multiply.com/journal/item/43/030_Sejarah_Gereja_Paroki_Aloysius_Gonzaga_Mlati
Gambar : http://baitallah.wordpress.com/
1 comments:
Saya baru mengerti tentang sejarah Gereja St. Aloysius Mlati, waktu SD Romo Romen beliau yg membangun SD Kanisius Duwet, terakhir bersama Rm. Murdi Susanto Pr. Ketika Rm. Murdi Susanto berkarya perkembangan iman dan umat sungguh membanggakan, karena beliau seorang Romo yg dekat dengan umat.
Posting Komentar