Sejarah Gereja Paroki Aloysius Gonzaga Mlati (2)
Sejarah Gereja Mlati Tahun 1936-1961
Dari Gereja Mlati umat bertumbuh
Pembangunan gereja Mlati selain alasan strategis sebagaimana diungkapkan dalam bagian di atas, juga terlebih karena alasan penggembalaan terhadap umat yang semakin bertumbuh. Dari buku baptis yang ada di Paroki Medari sebelum tahun 1936 atau sebelum adanya Buku Baptis di Mlati terdapat data hasil pencatatan oleh bapak FB. Driyanto dan Bp. P. Subardiyono (sekretaris Paroki Mlati) sebagai berikut:
1) Dari buku baptis tahun 1919 sd 1935 ada sebanyak 1443 baptisan yang tercatat di Paroki Medari. Di antara itu ada 582 baptisan berasal dari daerah yang sekarang ini termasuk wilayah paroki Mlati.
2) Dari 582 orang itu dapat dipaparkan perincian mengenai asal baptisan seturut dengan 15 Wilayah yang sekarang ini ada di paroki Mlati (Tambakrejo dan Karangmloko masih menjadi satu).
Berikut ini perinciannya:
Donoharjo Utara : 44 orang
Donoharjo Selatan : 9 orang
Dukuh : 91 orang
Tridadi : 40 orang
Warak : 49 orang
Cebongan : 29 orang
Getas : 14 orang
Plaosan : 70 orang
Mlati : 47 orang
Tambakrejo+Karangmloko : 23 orang
Duwet : 93 orang
Kronggahan : 3 orang
Brekisan : 41 orang
Bolawen : 3 orang
Jomblang : 7 orang
Luar “paroki Mlati”: Sayegan dll : 19 orang
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa:
a. Pada saat sebelum adanya gereja Mlati di wilayah yang sekarang ini termasuk paroki Mlati ada 40,3 % orang dari 1443 umat di wilayah yang sekarang termasuk Paroki Medari yang menerima baptisan. Tentu saja kesimpulan tersebut tidaklah valid 100% sebab hal itu hanya mendasarkan pada catatan buku baptis dan tidak memperhitungkan mutasi/perpindahan umat. Tetapi dari data itu sudah dapat memberikan gambaran betapa dalam 17 tahun sejak 1919 terjadi pertumbuhan umat sebanyak 582 umat yang dipermandikan dari wilayah Mlati yang sekarang menjadi wilayah Paroki Mlati.
b. Kesuburan jumlah baptisan berasal 3 wilayah asal terbesar adalah wilayah Duwet, Dukuh dan Plaosan. Kesuburan jumlah baptisan di suatu daerah tertentu dapat dibaca sebagai gerak karya Tuhan lewat para tokoh pada waktu yang bersangkutan.
Berikut ini beberapa gambaran peristiwa sejarah pada masa setelah adanya gereja Mlati berdasarkan buku Panca Windu Gereja Mlati hlm 25-28:
a) Setelah adanya gereja Mlati maka umat di daerah teritorial Mlati dijadikan sebagai stasi dalam penggembalaan pastor paropki Kotabaru. Perayaan Ekaristi diadakan 2 kali sebulan yakni pada hari minggu kedua dan keempat oleh romo dari Kotabaru. Sedangkan Perayaan Ekaristi pada minggu pertama dan ketiga diadakan di gereja Medari. Suasananya dapat digambarkan sebagai berikut:
Ø umat duduk di atas tikar
Ø bangku panjang untuk duduk baru ada 4 buah, dan satu bangku panjang untuk khusus menyambut komuni suci.
b) Perawatan gereja mula-mula didilakukan oleh bapak Fr. Sumitro dan diganti oleh bapak Sadat Daryosusiswo, seorang guru vervolgschool di Mlati dengan dibantu para muridnya.
c) Pada tahun 1938 di Mlati didirikan perkumpulan “Katholika Wandawa” yang kegiatannya antara lain mengurus kebutuhan gereja.
d) Bp. Daryosusiswo kemudian pindah ke Nguntaranadi Wonogiri menjadi guru di Sekolah Ongko Loro (Sekolah Negeri) dan digantikan oleh Bp. Maliki Jayawikarto.
e) Pelajaran agama juga diperankan oleh para guru sekolah Yayasan Kanisius yang didirikan oleh Rm. Strater SJ dibantu oleh para Frater dan para Bruder SJ. Pantas disebut jasa Br. Endrodarsono yang giat mengunjungi umat di wilayah Plaosan, Duwet, Mlati dan Tambakrejo dengan bersepeda. Kemudian beliau diganti oleh Br. Purnomo SJ.
f) Tahun 1938 Perayaan Ekaristi di gereja Mlati tidak hanya pada hari minggu kedua dan keempat tetapi juga pada hari Jumat Pertama tiap bulan. Selain itu pada hari minggu pertama diselenggarakan lof (astuti atau penghormatan kepada sakramen mahakudus). Selanjutnya pelayanan Ekaristi ditambah yakni pada hari raya yakni: Kristus Raja, Kenaikan Yesus, Bunda Maria diangkat ke surga. Bahkan juga diadakan perarakan sakramen Mahakudus pada hari raya Kristus Raja mengelilingi gereja dengan hiasan janur dan vandel yang didatangkan dari Kotabaru. Dalam acara seperti itu gereja penuh sesah karena umat datang melimpah. Keadaan itu berlangsung sampai tahun 1941
Penjajahan Jepang dan pengaruhnya terhadap umat katolik di wilayah Mlati (diolah dari buku PWGM hlm 29-35)
Pecahnya perang dunia II turut mempengaruhi situasi di Indonesia (dulu: Hindia Belanda). Bagi pemerintahan Hindia Belanda, Jepang menjadi ancaman bagi keberadaannya di Hindia Belanda. Pada tanggal 1 Maret 1942 Jepang mendarat di Pulau Jawa. Sebelum itu keadaan ekonomi morat-marit, hati tidak tenang dan kebingungan mencekam penduduk. Ajaran agama tidak terurus dengan baik, gereja nampak sepi hampir tak terkunjungi. Pada tanggal 28 Februari (1942?) para guru Misionaris atau Kanisius mendapat gaji dan ditambah gaji darurat untuk 3 bulan berikutnya.
Tanggal 1 Maret 1942 sekolah-sekolah Misi ditutup untuk jangka waktu yang tidak tentu. Sementara itu pada pada tanggal 4 Maret 1942 jam 03.30 tentara Jepang sudah berada di jalan Denggung dan menghadang tentara Belanda. Umat yang akan ke gereja pada Hari Jumat Pertam itu melihat keadaan itu lari mencari selamat. Selanjutnya pada tanggal 8 Maret 1942 Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang. Maka mulailah suasana penjajahan Jepang.
Berikut beberapa situasi/peristiwa yang memberi gambaran masa pendudukan Jepang dan pengaruhnya bagi karya misi Gereja.
a. Setelah menduduki Hindia Belanda, Jepang memerintahkan agar semua kantor, sekolahan, toko dan pasar untuk dibuka kembali agar kehidupan kembali seperti semula. Tetapi bagi mereka yang jatuh karena kekalahan rejim Belanda semua itu tinggal kenangan.
b. Sekolahan misi harus dibuka kembali. Para guru disuruh mengajar tetapi tidak mendapat gaji. Yayasan Kanisius pun tak ada uang untuk menggaji para guru. Yayasan bahkan menyerahkan pengelolaan sekolahan kepada para guru: mau dibuka atau ditutup.
c. Sampai dengan Juli 1942 aktivitas hidup katolik seperti biasanya. Persembahan Korban Misa pada Minggu kedua dan keempat berjalan biasa. Tetapi tekanan ekonomi dan rasa tidak senang terhadap orang-orang katolik yang dituduh pro Penjajah Belanda menyebabkan mengendornya semangat kekatolikan. Tak jarang mereka yang katolik (tokoh) dituduh mengadakan gerakan bawah tanah melawan Jepang. Banyak korban dalam hal ini.
d. Sementara itu Rm. Strater SJ tetap giat menyemangati umat siang malam di daerah Medari, Kalasan, Mlati, Kokap, Bantul dan Wates. Karena itulah beliau ditangkap oleh tentara Jepang di gedung Broederan Kidul Loji dan ditahan di Ngupasan tanggal 14 Agustus 1942. Peristiwa itu semakin menggelisahkan umat katolik di Yogyakarta, Magelang dan Solo.
Berikutnya beberapa tokoh yang mengalami penangkapan oleh Jepang yakni:
a) Bapak Kresnoamijoyo seorang tokoh umat dari Medari
b) Bapak Laman Joyosumarto seorang guru dan kepala sekolah di Dukuh Mlati.
c) Bapak Siswoharsono seorang tokoh katolik di Bantul.
d) Tanggal 20 Agustus 1942 bapak F. Sumitro juga ditangkap. Karena siksaan berat beliau meninggal di RS Bethesda tanggal 27 Agustus 1942.
e) Selanjutnya Rm. A. van Kalken dan Rm. A. Joyoseputro SJ juga ditangkap dan diadili di Jakarta.
e. Pada Januari 1945 gedung Seminari Agung di Jalan Code disita Jepang sehingga untuk sementara waktu menumpang di Panti Rapih menempati Novisiat para Suster CB.
f. Sejak Rm. Strater ditangkap maka penggembalaan umat di Mlati dilakukan oleh beberapa romo silih berganti. Sebagai gambarannya adalah sebagai berikut:
Ø Mulai Agustus 1942 pelayanan umat oleh Rm. G. Vriens SJ, diganti Rm. E. Koersen dan akhirnya Rm. Bastianse. Ketiganya akhirnya ditahan di Kotabaru dalam bulan September 1943.
Ø Lewat surat kabar “Sinar Matahari” diberitakan bahwa mereka yang ditahan (para romo dan tokoh umat) diputuskan untuk dihukum mati, atau dihukum seumur hidup, atau 20 tahun, 15 tahun dll. Dengan adanya keputusan itu para tahanan dipindahkan dari Jakarta ke Bandung. Romo Strater dan bapak Joyosumarto meninggal di dalam hukuman di Bandung.
g. Beberapa Romo dan Bruder ada yang ditahan di Kesilir, sebelah barat Banyuwangi daerah Blambangan. Bruder Timoteus memberikankesaksian tentang hal itu karena beliau meninjau para tahanan dengan membawa surat izin dari Tahta Suci Roma.
h. Rm. G. de Quay SJ sekretaris Mgr. Soegijapranata SJ ditawan dan digantikan oleh Rm. T. Wignyasupadmo SJ yang membawa surat dari Rm. G. van Baal, Superior SJ yang isinya menyerahkan kedudukan Superior SJ kepada Mgr. Soegijapranata SJ. Dengan demikian maka kedudukan Mgr. Soegijapranata SJ juga menjadi Superior SJ. Selanjutnya RM C. Martawardaya SJ dijadikan wakil Superior.
i. Mgr. Soegijopranata SJ berkenan mentahbiskan Rm. Harjowarsito Pr. Selanjutnya menjadi Presiden Seminari Tinggi serta ditambah urusan pelayanan luar kota termasuk di Mlati. Beliau bekerja juga bersama Rm. C. Martawardaya SJ hingga bulan September 1945.
Kemerdekaan RI, revolusi kemerdekaan dan pengaruhnya (terhadap Gereja di Mlati) (diolah dari buku PWGM hlm 36-40)
Peristiwa sekitar kemerdekaan masih sangat memberi warna situasi: rakyat berhadapan dengan Sekutu dengan Belanda yang masih membonceng tentara Sekutu. Keadaan ekonomi sosial yang carut-marut melemahkan niat memelihara kehidupan iman. Bahkan ada desas-desus bahwa pemeluk agama Katolik adalah pro Belanda sehingga membuat orang katolik takut menampakkan dirinya.
Bulan Oktober 1945 urusan Gereja Mlati dipercayakan kepada Rm. Soemarna SJ, lalu Rm. Mertawardaya SJ, dan akhirnya Rm. A. Djajaseputra SJ.
Pada malam Jumat Kliwon 7 Januari 1949 segerombolan pemuda yang telah membumihanguskan bangunan kecamatan Mlati mendatangi kediaman bapak Sudino, dan rumah bapak C. Wignyosudarmo yang kosong. Bapak Sudino dibunuh sedang bapak Wignyosudarmo selamat kerena sedang berada di Plaosan.
Niat membumihanguskan gereja Mlati dengan alasan agar tidak menjadi markas Belanda dapat dicegah oleh bapak lurah Wongsopramujo.
Keadaan gawat itu berlangsung sampai 30 Juni 1949. Pelayanan di gereja Mlati berturut-turut oleh Rm. Djajaseputra SJ, Rm. Mertowardaya SJ (sampai Oktober 1949), Lalu Rm. Th. Holthuyzen SJ dari Kotabaru. Kehidupan umat mulai tertata: muncul Wanita Katolik, Muda Katolik Indonesia, pembagian umat menjadi beberapa kring. Selama Rm. Th. Holthuyzen SJ cuti urusan pelayanan dilaksanakan oleh Rm. W van Heusden SJ dibantu Rm. Ciptoprawata Pr dan Rm. Harjawardaya Pr. Setelah itu Rm. Holthuyzen digantikan oleh Rm. Th. Harsawijaya pada tahun 1959.
Menjadi stasi dari Kotabaru (diolah dari Teks PWGM hlm 41-42)
Dalam buku Panca Windu Gereja Mlati halaman 41 disebutkan bahwa “sekitar tahun 1952 urusan Gereja disempurnakan sehingga Mlati tidak lagi menjadi Stasi dibawah Kotabaru, tetapi ditetapkan sebagai Paroki Mlati. Baru pada tanggal 1 Januari 1955, Paroki Mlati dilepas dari Kotabau sama sekali harus berdiri sendiri, karena umat sudah dipandang mampu mengurus kebutuhan Paroki kecuali bila pembangunan atau reparasi besar-besaran”. Tulisan itu bertentangan dengan kenyataan bahwa paroki Mlati baru mempunyai pastor paroki pertama kali pada tahun 1960 yakni sejak Rm. A. Wignyamartaya, Pr ditetapkan sebagai Pastor Kepala Paroki dan baru menetap di Pastoran Mlati tahun 1961. Maka besar kemungkinan yang dimaksud dalam buku PWGM itu adalah bahwa Mlati menjadi stasi mandiri tahun 1955 dan baru pada tahun 1960 menjadi Paroki.
Pada masa-masa ini keaktifan umat dalam politik juga nampak sebagaimana muncul para tokohnya yakni: Bp. Lukas, Bp. Boediono, Bp. Soepardiyana, Bp. Soeprapta, dll. Kemajuan umat dalam peribadatan nampak dengan dibukanya tempat peribadatan di Donolayan di rumah Bp. Sugiyo dan di Warak di rumah Bp. Padmawarsito. Pada masa ini pelayanan imam oleh Rm. Holthuyzen dan Rm. Harsawijaya sampai dengan diganti oleh Rm. A. Wignyamartaya Pr tanggal 16 Agustus 1960 yang masih tinggal di Pastoran Medari (karena pembangunan pastoran Mlati belum selesai). Baru pada tanggal 1 Oktober 1961 Rm. A. Wignyamartaya Pr menetap di Pastoran Mlati.
Sumber : http://historiadomus.multiply.com/journal/item/43/030_Sejarah_Gereja_Paroki_Aloysius_Gonzaga_Mlati
Gambar : http://baitallah.wordpress.com/
0 comments:
Posting Komentar